Wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Pengawasan Terkait Penyimpangan Yang Terjadi Pada Pelaksanaan Perizinan Perusahaan Joint Venture

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Asmin Nasution, Transparansi dalam Penanaman Modal Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia Jakarta: Kencana, 2010.

Budiman Ginting, Hukum Investasi: Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing. Medan : Pustaka Bangsa Press, 2007

Erman Radjagukguk, Modul Hukum Investasi di Indonesia: Pokok Bahasan, Jakarta : FHUI, 2005

Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Jusri Djamal, Aspek-aspek Hukum Penanaman Modal Jakarta: BKPM, 1981. Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global),

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2003.

Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia: Pokok Bahasan, Jakarta : Rajawali Pers, 2008.

Lusiana, Usaha Penanaman Modal di Indonesia, Ed. Pertama, Cet. Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005

Luna Destiana, Analisis Kualitas Pelayanan Perizinan Investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jakarta Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2011.


(2)

Siregar, Mahmul Disertasi Perdagangan Dan Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Kesiapan Hukum Di Indonesia dalam Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral Yang Terkait Dengan Peraturan

Penanaman ModalMedan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi Bandung : Nuansa Aulia, 2007.

Luna Destiana, Analisis Kualitas Pelayanan Perizinan Investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Jakarta Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2011

Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia Bandung: P.T. Alumni, 2009

Amrial, Hukum Bisnis (Deregulasi Dan Joint venture di Indonesia teori dan Praktek) Jakarta: Djambatan, 1996.

Nindyo Pramono, Hukum Komersial Jakarta: Universitas Terbuka, 2008.

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005.

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

Ridwan Khairandy , Nandang Sutrisno dan Jawahir Tontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia Bogor: Ghlmia Indonesia, 2006

Soekanto, Soerjono Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, edisi revisi UI-Press, Jakarta, 2002.

Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Soekanto, Soejano. Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2006), hlm. 24

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1996

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa, 2010


(3)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tenatnag Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

KEPPRES NO. 25/1991 tentang kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi bkpm

Instruksi Presidium Kabinet RI Nomor 36/U/IN/1967

Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

Peraturan Kepala BKPM Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman Modal

Internet

www.scribd.com, Arbitrase Sebagai Penyelesaian Sengketa dalam Penanaman Modal Asing, hlm.2, di akses tanggal 6 Agustus 2015.

http://Muharyanto.blogspot.com/2009/04/blog_post.html, hlm. 1, diakses tanggal 6 Agustus 2015.

http://choiceoflaw.blogspot.co.id/2015/02/pengawasan-joint-venture-di-indonesia.html diakses tanggal 18 agustus 2015 18.00

www.hukumonline.com, Pengaturan dan Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture, di akses tanggal 12 Agustus 2015.

http://www.indonesia.go.id/in/lpnk/badan-koordinasi-penanaman-modal/2472-profile/365-badan-koordinasi-penanaman-modal (diakses tanggal 1 Desember 2015)

http://www.bkpm.go.id/id/lembaga/sejarah-waktu di akses pada tanggal 8 Desember 2015

KEPPRES NO. 25/1991 tentang keduudkan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi bkpm

http://www.legal4ukm.com/pengaturan-pengawasan-joint-venture/(diakses tanggal 1 Desember 2015)


(4)

http://hukumpenanamanmodal.com/pengaturan-izin-prinsip-dan-izin-investasi-terbaru-tahun-2015/ diakses tanggal 7 Maret 2016

http://nswi.bkpm.go.id/wps/portal/LKPM- ID/!ut/p/c4/04_SB8K8xLLM9MSSzPy8xBz9CP0os3hDAwNPJydDRwMLXx9jA0-zwBADE5MwI09PI_2CbEdFAJaB9tM!/diakses tanggal 7 Maret 2016

Ian Hewitt, Joint ventures, Second edition, Sweet and Maxwell A Thomson Company, 2001.

N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Menghadapi Era Global, Malang : Bayu Media Publishing, 2003.

Sunaryati Hartono, Masalah-masalah Dalam Joint Venture Antara Modal Asing dan Modal Indonesia Bandung; Alumni, 1974

Amirudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2004

Ridwan Khairandy, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Hukum Bisnis, Volume 26, No. 4, 2007.

Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perusahaan_patungan (diakses tanggal 19 Mei 2015) Emmet Scully,”Shareholders Agreement: A Practical Analysis”, http://www.dunde.ac.ukl/cepmlp/journal/htm/vol.1 /artickle-5.html (diakses tanggal 20 Mei 2015)

http://nihayatulifadhloh.blogspot.com/2014/12/perjanjian-joint-venture.html (diakses tanggal 20 Mei 2015)

http://nihayatulifadhloh.blogspot.com/2014/12/perjanjian-joint-venture.html (diakses tanggal 22 Mei 2015)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da7214a4789f/pengaturan-dan-pengawasan-pelaksanaan-joint-venture (diakses tanggal 21 Desember 2015)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da7214a4789f/pengaturan-dan-pengawasan-pelaksanaan-joint-venture (diakses tanggal 8 Januari 2016)

Akbarmalawat pengetahuan.blogspot.co.id/2012/10/joint-venture.html (diakses tanggal 11 Februari 2016)


(5)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da7214a4789f/pengaturan-dan-pengawasan-pelaksanaan-joint-venture (diakses tanggal 11 Februari 2016)


(6)

BAB III

PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE

A. Pengertian Joint Venture

Pelaksanaan penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia seperti yang telah ditetapkan dalam ketentuan dalam Pasal 1 angka (3) UUPM, khususnya yang berkenaan dengan penanaman modal asing yakni tidak hanya dilakukan dalam bentuk direct invesment akan tetapi pula dalam bentuk usaha kerja sama patungan (joint venture). Kehadiran bentuk kerja sama dalam menjalankan suatu usaha sangatlah dibutuhkan demi kelangsungan usaha terutama dalam hal penanaman modal, di mana perkembangan kerja sama antara pihak asing dengan negara Indonesia baik dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak swasta sangatlah penting. Namun dalam UUPM tidak mengatur mengenai bentuk kerja sama penanaman modal asing. Bentuk kerja sama tersebut dalam kaitannya dengan penanaman modal dilakukan dalam bentuk joint venture.35

Secara sederhana joint venture perusahaan modal asing diartikan dengan usaha patungan antara perusahaan domestik (Indonesia) dengan perusahaan asing yang menggunakan modal asing. Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1970. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 menentukan sebagai berikut: Perusahaan nasional adalah perusahaan yang

35 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 83.


(7)

sekurang-kurangnya 51 % (lima puluh satu persen) daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional, persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75 % (tujuh puluh lima persen). Selanjutnya Munir Fuady menjelaskan, bahwa:

“Penanaman Modal Asing (foreign investment) merupakan suatu tindakan dari orang asing atau badan hukum asing untuk melakukan investasi modal dengan motif untuk berbisnis dalam bentuk apa pun ke wilayah suatu negara lain”.

Pelaksanaan Penanaman Modal Asing di Indonesia seperti yang ditetapkan dalam ketentuan penanaman modal asing sesuai dengan Pasal 1 UUPMA mengenai pengertian penanaman modal asing yaitu dilakukan dalam bentuk direct investment, akan tetapi di lain pihak diperkenankan pula usahanya dilakukan dalam bentuk usaha kerja sama (joint venture) dengan pihak swasta nasional Indonesia seperti yang teretera dalam Pasal 23 UUPMA yang pada prinsipnya menetapkan bahwa:

1. Dalam bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dapat diadakan kerja sama antara modal asing dengan modal nasional dengan mengingat ketentuan Pasal 3 UUPMA.

2. Pemerintah menetapkan lebih lanjut bidang-bidang usaha, bentuk-bentuk dan cara-cara kerja sama antara modal asing dengan modal nasional. Dengan memanfaatkan modal dan keahlian asing dalam bidang ekspor serta produksi barang dan jasa.


(8)

Berdasarkan pengaturan tersebut di atas seperti yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UUPM, maka penanaman modal asing di Indonesia diperkenankan melaksanakan usahanya dalam bentuk kerja sama (joint venture) dengan pihak swasta nasional dalam bentuk dan cara kerja sama yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah khususnya dalam hal komposisi kepemilikan saham perusahaan36

Joint Venture sebagai suatu bentuk kerjasama penanaman modal yang di dalamnya melibatkan pihak asing, di Indonesia mulai popular di penghujung tahun 60-an ketika bangsa Indonesia baru menyadari bahwa bagi kepentingan pembangunan nasional diperlukan modal yang sangat besar. Cadangan devisa negara yang terbatas untuk tujuan pembangunan itu, menyebabkan Indonesia memerlukan arus modal dari luar negeri, yang pada saat pemerintahan orde lama masuknya modal asing ke Indonesia masih dianggap sebagai bentuk lain dari penjajahan.

Kerja sama antar modal asing dan nasional dapat diadakan dalam bidang usaha yang terbuka bagi modal asing. Kerja sama ini cenderung menggunakan bentuk perusahaan joint venture. Kesepakatan antara investor asing dan nasional dituangkan dalam perjanjian joint venture, yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam membuat Anggaran Dasar Joint Venture.37

Pasal 5 ayat (2) UUPM menyatakan:

36 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004) hlm. 47.

37 Budiman Ginting, Hukum Investasi: Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas


(9)

“Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”. Istilah Joint Venture dalam kehidupan masyarakat selalu dipergunakan untuk menunjukkan sebuah kerjasama dalam bidang-bidang tertentu yang melibatkan pihak asing di dalamnya. Joint Venture sering diistilahkan dengan sebutan patungan. Sedangkan dikalangan Pemerintah istilah Joint Venture adalah suatu istilah yang diberikan secara khusus untuk suatu bentuk kerjasama tertentu antara pemilik modal nasional (Swasta dengan Perusahaan Negara) dan pemilik modal asing.

Partisipasi modal nasional dalam perusahaan penanaman modal asing menjadi kecenderungan umum baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun negara-negara maju. Hal tersebut merupakan pencerminan nasionalisme di bidang ekonomi dan merupakan keinginan untuk menghindari ketergantungan pada kontrol asing terhadap perekonomian mereka. Strategi termudah untuk dapat melakukan hak tersebut adalah pemberlakuan ketentuan keharusan adanya joint venture. Bagi pelaku usaha sendiri, joint venture merupakan salah satu cara efektif untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian Hewitt dalam bukunya Joint Venture:

“Joint venture are vital to business. They have become an important

strategic option for many companies, particularly those operating internationally. Even the large compamies do not have capital, skill or market access necessary to achieve their commercial objectives entirely


(10)

through their own recourse. Rarely day passes without an announcement

of significant new joint venture or alliance38.

Istilah Joint Venture menurut Peter Muchlinski dalam bukunya yang berjudul Multinational Enterprise and Law adalah sebagai berikut:

“The term ‘joint venture’ has no precise legal meaning, it can refer to any agreement or undertaking between two independent firms. However, certain features are commonly associated with the concept. In particular, the joint venture involves the cooperation of two or more otherwise independent parent undertakings which are linked, through the venture, in

the pursuit of a common commercial, financial or technical activity”39

Pada dasarnya partisipasi asing dalam investasi langsung dapat melalui dua cara berikut ini:

1. Staight investment: pihak asing mengadakan dan memiliki investasi secara

penuh (100%). Biasanya investasi terselenggara melalui:

a. Anak perusahaan milik asing penuh atau perusahaan cabang, b. Perusahaan milik asing subsider.

2. Melalui kerjasama investasi: investasi terselenggara atas adanya kerjasama pihak asing dengan pihak nasional, baik pemerintah maupun swasta. Dengan demikian terdapat dua pola kerjasama investasi, yaitu:

a. Kerjasama melalui pembentukan sebuah badan hukum atau perusahaan ; b. Kerjasama-kerjasama bisnis melalui hubungan-hubungan kontraktual

khusus yang dapat diklasifikasi dalam perjanjian-perjanjian teknologi dan keahlian, serta perjanjian kerjasama produksi dan subkontrak.40

38 Ian Hewitt, Joint ventures, Second edition, Sweet and Maxwell A Thomson Company, 2001, hlm.1

39 Ibid, hlm.1

40N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Menghadapi


(11)

Mengenai perusahaan patungan, Henry Campbell mengartikannya sebagai berikut:

“a corporation which has joined with other individuals or corporation

whittin the corporate framework in some specific undertaking”. 41

Sedangkan Tomlisoon melengkapi definisi perusahaan patungan tersebut sebagai:

”a comitment for more than a very short duration, of fund, facilities and

services, by two or more legally separate interest to an enterprise for their

mutual benefit”.42

Menurut Erman Rajagukguk, joint venture terbentuk ketika dua pihak atau lebih baik secara pribadi maupun perusahaan bermaksud menjadi partner satu sama lain untuk suatu kegiatan dan mengatur secara bersama suatu perusahaan baru yang saham-sahamnya dimiliki secara bersama pula.43

Sunarjati Hartono, menegaskan bahwa istilah yang diberikan oleh pemerintah ini tidak cukup memadai, hal ini dikarenakan bahwa di Indonesia tidak dapat ditunjukkan suatu perbedaan yang prinsipal antara direct investment dan portfolio investment, demikian pula tidak ada perbedaan yang tajam antara direct investment kredit, atau antara kontrak karya dengan joint venture, sekalipun rumusan yuridisnya memberi kesan seakan-akan terdapat perbedaan yang besar dan prinsipal baik dalam UUPMA, maupun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan tambahan UUPMA, tidak dijumpai adanya

41 Ibid

42Tomlisoon.wordpress.com/2009/11/22/join-venture-di-indonesia/diakses tanggal 1 Februari 2016


(12)

batasan secara hukum apa yang dimaksud dengan joint venture tersebut. Karena itu para pakar tidak mempunyai kesamaan pandangan tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan joint venture ini. 44

Partisipasi asing dalam kerjasama investasi melalui sebuah perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki secara bersama (joint venture company), relatif lebih kompleks dan diadakan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Kerjasama terselenggara atas dasar pengadaan basic agreement antar mitra untuk membentuk suatu usaha patungan serta atas dasar persetujuan yang diberikan oleh pemerintah negara penerima modal.45

Kerjasama patungan dapat diselenggarakan antara peserta swasta dengan swasta, pihak swasta dengan pemerintah, dan antar pemerintah, berupa perusahaan milik pemerintah. Pelaksanaan dari kerjasama patungan dapat berbentuk joint venture, joint enetrprise, kontrak karya dan sebagainya.

Bagi investor asing motif diadakannya kerjasama patungan antara investor asing dan nasional dalam perusahaan joint venture selain karena peraturan, juga biasanya didukung oleh beberapa faktor yang memberi manfaat bagi investor, yaitu:

Pertama, investor asing mendapatkan partner yang sudah mengenal situasi pasar lokal. Adakalanya ia tidak perlu membuat jaringan pemasaran yang baru, yang memakan waktu, biaya dan tenaga.

44 Sunaryati Hartono, Masalah-masalah Dalam Joint Venture Antara Modal Asing dan

Modal Indonesia (Bandung; Alumni, 1974), hlm. 5.


(13)

Kedua, investor asing ingin menjaga hubungan baik dengan pemerintah lokal yang dapat menyediakan bahan mentah atau bahan baku. Misalnya partner lokal yang sudah memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Ketiga, investor asing akan menjaga hubungan baik dengan pemerintah lokal, sehingga partnernya yang merupakan perusahaan lokal, yang akan dikedepankannya, manakala berurusan dengan instansi-instansi pemerintah setempat.

Keempat, untuk menekankan perasaan nasionalisme yang berlebih-lebihan dari masyarakat lokal. Masyarakat lokal akan merasa ekonominya tidak dijajah oleh investor asing, bila terdapat orang lokal didalam perusahaan perusahaan asing46.

Struktur dari joint venture Perusahaan Modal Asing tidak jauh berbeda dengan struktur dari perusahaan biasa. Perbedaannya yang mencolok terletak pada permodalannya serta kepengurusan dan ketenagakerjaan. Perbedaan yang mencolok di dalam permodalan adalah terdapatnya unsur modal asing dalam suatu perusahaan modal asing. Meskipun begitu, perkembangan arah policy tentang Penanaman Modal Asing yang semakin relaks menyebabkan pihak asing dapat memegang saham 100 % (seratus persen) dalam perusahaan yang bergerak hampir di semua bidang bisnis yang boleh dimasuki oleh Perusahaan Modal Asing tersebut. Komposisi pemegang saham dari suatu Perusahaan Modal Asing adalah salah satu dari kemungkinan berikut ini: (1) 100 % (seratus persen) saham asing; (2) mayoritas asing; (3) minoritas asing; (4) pemegang saham asing dan domestik


(14)

berbanding 50: 50 (lima puluh banding lima puluh); dan (5) pemilik saham 49 : 49 (empat puluh sembilan banding empat puluh sembilan) dengan saham pengawas di pegang oleh pihak ketiga.47 Mengenai kepengurusan, dalam suatu perusahaan modal asing diperkenankan untuk menduduki posisi komisaris atau pengurus. Sedangkan untuk posisi selain komisaris atau pengurus baru dibenarkan jika ada izin untuk itu dari yang berwenang. Pemberian izin tersebut diberikan dengan memperhatikan tenaga lokal yang memadai.

UUPM di satu pihak menetapkan asas perlakuan yang sama (non diskriminatif) dalam penanaman modal di Indonesia, namun, di pihak lain bidang-bidang usaha tertentu dinyatakan tidak terbuka untuk semua penanaman modal karena diperuntukan khusus bagi pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKMK), sehingga asas perlakuan yang sama kelihatannya tidak diterapkan secara utuh. Asas perlakuan yang sama yang tercantum pada Undang-UUPM tersebut hanyalah sebatas asas perlakuan yang sama untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan.perizinan penanaman modal, dan belum mencakup perlakuan yang sama terhadap bidang-bidang usaha yang terhadap bidang-bidang usaha yang dapat dimasuki untuk kegiatan penanaman modal. Pengertian ini harus dipegang secara teguh karena implikasinya akan berbeda terhadap keberhasilan dan kesinambungan pembangunan nasional menuju masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan. Sampai saat ini pemerintah masih memandang perlu untuk mempertahankan kebijakan tersebut karena bagaimanapun juga dalam semangat liberalisasi perdagangan yang begitu

47


(15)

mewabah dewasa ini tentunya tidak semua bidang usaha dapat dibuka dan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas. Adanya persaingan bebas pada akhirnya akan dapat mematikan pengusaha nasional yang sampai saat ini masih perlu diberikan perlindungan.48

Pasal 12 ayat (1) UUPM menyatakan bahwa semua bidang usaha atau jenis usaha bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Pasal 12 ayat 2 menetapkan bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:

a. produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan

undang-undang.

B. Pelaksanaan Perusahaan Joint Venture

Pelaksanaan atau aplikasi penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia yang tidak melalui suatu usaha kerjasama dengan modal nasional baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum secara yuridis telah jelas diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing, bahwa baik terhadap modal, kekuasaan maupun pengambilan keputusan seluruhnya dilakukan sepenuhnya oleh pihak asing bilamana suatu perusahaan 100% modal sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Lain halnya bilamana dilakukan atau dilaksanakan dalam suatu usaha kerjasama dengan pihak nasional, maka terdapat berbagai bentuk atau corak maupun variasi kerjasama antara modal asing

48 Mahmul Siregar, Perdagangan Dan Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Kesiapan

Hukum Di Indonesia dalam Menghadapi Persetujuan Perdagangan Multilateral Yang Terkait Dengan Peraturan Penanaman Modal, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera


(16)

dengan modal nasional baik dalam wujud perimbangan modal, kekuasaan dan pengambilan keputusan.49

Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang diketemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dikemukakakn sebagai berikut:50

1. Technical Assistance (service) Contract: suatu bentuk kerja sama yang

dilakukan antara pihak modal asing dan nasional sepanjang yang bersangkutan paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan skala produksinya tentu membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja baru. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran dalam bentuk royalties, yakni pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambil dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.

2. Franchise and brand-use Agreement: suatu bentuk usaha kerja sama yang

digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti

Coca-Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc’Donalds, dan Kentucky Fried

Chicken.

3. Managemet Contract: suatu bentuk usaha kerja sma antara pihak modal asing

dan nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khususnya dalam hal

49Amirudin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, 2004 hlm. 57


(17)

pengelolaan manajemen pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalnya yang lazim digunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf Internasional oleh pihak Indonesia diserahkan kepada swasta luar negeri sepert Hilton Internasional Hotel, Mandarin Internasional Hotel, dan Hyatt.

4. Build, Operation, and Transfer (B.O.T): suatu bentuk kerja sama yang relatif

masih baru dikenal yang pada pokoknya merupaka suatu kerja sama antara para pihak, di mana suatu objek dibangun, dikelola, atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli.51

Berbicara mengenai penanaman modal asing berarti terkait dengan dua atau lebih sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh investor dan hukum Indonesia yang dianut oleh pemodal nasional. Untuk itu, perlu dipahami mengenai aspek-aspek hukum dalam kerjasama usaha yang dilakukan dalam penanaman modal asing.

Ketentuan mengenai kerja sama patungan ini tidak dicantumkan dalam UUPM, namun didalam Pasal 1 angka 3 UUPM dinyatakan bahwa:

“Penanaman modal asing adalah kegiatan menanamkan modal untuk melaksanakan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri”.


(18)

Pasal 5 ayat (2) dan (3) UUPM secara langsung mengatur mengenai kerja sama antara modal asing dengan modal nasional yaitu:

1. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

2. Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan:

a. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas b. Membeli saham

c. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Kerja sama patungan yang diatur dalam UUPM adalah Equity Joint

Venture.52 Hal ini pada dasarnya bahwa ketika investor asing akan menanamkan

modalnya di Indonesia wajib berbentuk perseroan terbatas badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pada prakteknya pelaksanaan penanaman modal asing melalui usaha patungan yang diatur berdasarkan UUPM tersebut masih kurang batasannya, sehingga memberikan celah bagi penguasaan dan pengusahaan penuh oleh pihak asing melalui jalan kerjasama patungan.

Pengaturan pemerintah dalam hal penetapan bentuk kerja sama patungan (joint venture) antara penanaman modal asing dengan modal nasional dalam penjabarannya dilaksanakan pertama kali melalui Instruksi Presidium Kabinet 36/U/IN/1967 yang di tetapkan dalam bentuk usaha kerja sama usaha campuran

52 Ridwan Khairandy, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Hukum Bisnis, Volume 26, No. 4, 2007, hlm. 43.


(19)

(joint enterprise)53 yang juga merupakan salah satu bentuk usaha kerja sama patungan (joint venture).

C. Aspek Hukum Pelaksanaan Perusahaan Joint Venture

Perusahaan patungan yang dibentuk harus berbadan hukum perseroan terbatas (PT) dan berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia. Para pihak yang ada dalam joint venture, menetapkan klausa untuk membuat joint venture company dengan status perseroan, klausa tersebut mengatur segi permodalan (sero), peran para pihak, nama, tempat dan jangka waktu berdirinya perusahaan, serta klausa-klausa lain sehingga perusahaan yang diharapkan dapat terbentuk. Pembentukan perseroan terbatas sebagai sebuah badan hukum tunduk pada hukum perusahaan (company law), yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas. Penanaman modal asing yang sifatnya teknik operasional seperti ahli teknologi tidak jalan alias mandeg, peningkatan skill tenaga lokal tidak jalan, manajemen yang diterapkan terlalu individualistis dapat mengakibatkan akibat hukum.

Akibat hukum bagi penanam modal asing yang lalai atau melakukan pelanggaran kontrak, dapat menimbulkan akibat hukum yang menurut Handri Raharjo, yaitu:

1. Menuntut pemenuhan perikatan;

2. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menurut pembatalan perikatan;

3. Menuntut ganti rugi;


(20)

4. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;

5. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.54

Pasal 15 UUPM menerangkan bahwa penanam modal asing mempunyai kewajiban yang terdiri dari:

1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada badan koordinasi penanaman modal;

4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Istilah kontrak patungan merupakan terjemahan dari kata joint venture contract atau joint venture agreement. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Menengah, menyebutnya dengan istilah perjanjian kemitraan. Hakikat perjanjian kemitraan adalah kerja sama antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah dan besar. Kerja sama ini menyangkut tentang pemodalan maupun skill. Para ahli mencoba mengemukakan berbagai pandangannya tentang pengertian dan hakikat dari joint venture agreement.55

Erman Rajagukguk mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan joint

venture agreement adalah:56

54 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia,2009) Hlm. 81.

55 Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.Cit., hlm. 206 56 Ibid.


(21)

”Suatu kerja sama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional berdasarkan suatu perjanjian (kontraktual).”

Pengertian-pengertian dari joint venture agreement telah memberikan beberapa ciri/ karakteristik bagi joint venture agreement itu sendiri, yakni sebagai berikut:57

a. Perusahaan baru yang sama-sama didirikan oleh beberapa perusahaan lain, b. Modal perusahaan joint venture agreement terdiri dari modal saham yang

disediakan oleh perusahaan-perusahaan, pendiri, kekuasaan joint venture sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam oleh masing-masing perusahaan sendiri,

c. Perusahaan joint venture tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing,

d. Kerjasama antara perusahaan domestik dan perusahaan asing tidak menjadi persoalan apakah modal yang ada merupakan modal pemerintah ataupun modal swasta.

Salah satu syarat dari badan hukum asing untuk menjadi perseroan terbatas adalah badan hukum asing itu harus melakukan kerja sama dengan badan hukum domestik. Kerja sama antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik dituangkan dalam joint venture agreement.

Joint venture agreement adalah suatu kontrak antara beberapa atau semua pemegang saham dalam suatu perseroan. Tujuan dasarnya adalah untuk menetapkan bagaimana perusahaan dikelola dan jika dimungkinkan, mengatur


(22)

hal-hal yang mungkin menjadi masalah di kemudian hari jika tidak disepakati sebelumnya.58

Perusahaan baru merupakan perusahaan yang dibentuk antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional. Semula pengusaha asing mempunyai nama perusahaannya sendiri dan pengusaha nasional juga mempunyai nama perusahaanya sendiri-sendiri, namun dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak, mereka sepakat untuk membentuk perusahaan baru.59

Joint venture agreement memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses pembentukan dan pengoperasian perusahaan patungan. Perjanjian seperti ini dinegosiasikan dan dibuat sebelum pembentukan perusahaan yang bersangkutan. Pentingnya dibuat sebuah kontrak atau perjanjian pada pembentukan joint venture adalah sebagaimana fungsi adanya perjanjian tersebut, yaitu :60

1. Sebagai peraturan mengenai hubungan hukum antara sesama pihak.

2. Menjadi dasar untuk melaksanakan pimpinan yang dibutuhkan untuk kepentingan bekerjasama, semuanya harus mengacu pada perjanjian yang telah disepakati bersama.

3. Sebagai dasar peraturan yang memungkinkan para pihak secara individual mempunyai hak melakuakan perbuatan tertentu, tidak tergantung atau terpisah dari joint venture.

58Emmet Scully,”Shareholders Agreement: A Practical Analysis”,

http://www.dunde.ac.ukl/cepmlp/journal/htm/vol.1 /artickle-5.html (diakses tanggal 20 Mei 2015) 59 Ibid.

60Nihayatulifadhloh.Blogspot.Com/2014/12/Perjanjian-Joint-Venture.Html (diakses tanggal 20 Mei 2015)


(23)

Kontrak joint venture yang telah dibuat, biasanya bahasa yang digunakan adalah dengan menggunakan bahasa Inggris, karena hal ini akan memudahkan para pihak, mengingat kontrak joint venture pada umumnya adalah bentuk kerja sama dengan perusahaan asing. Isi kontrak tersebut dibuat oleh para pihak yang ikut terlibat.

Joint venture agreement merupakan bentuk perjanjian patungan yang tidak terlepas dari Buku III Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyebutkan:

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”

Membuat suatu joint venture perlu juga diperhatikan beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan untung ruginya suatu kerjasama. Segi-segi kepentingan dari masing-masing pihak, menjadi pertimbangan suatu joint venture akan memberikan manfaat walaupun disamping itu juga kerugiannya.

Dilihat dari kepentingan modal domestik, joint venture akan memberikan keuntungan, karena:61

1. Mitra lokal mendapat bantuan pendanaan dengan memanfaatkan modal asing. 2. Mitra lokal dapat memanfaatkan manajeman orang asing yang kaya

pengalaman.

3. Mitra lokal dapat menerima transfer teknologi asing.

4. Mitra lokal dapat memanfaatkan dan memenembus pasar di luar negeri yang di kuasai partner asing.


(24)

5. Mitra lokal dapat meningkatkan kemampuan karyawan domestik dengan training (keterampilan) yang diberikan pihak asing.

Sementara itu kerugian yang dapat timbul dari suatu jenis joint venture bagi pihak dalam negeri adalah sebagai berikut:

1. Manajeman tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh pihak domestik, melainkan harus dibagi dengan pihak yang lebih mempunyai kemampuan.

2. Training dan management belum tentu diberikan dalam batas-batas

kemampuan yang memadai untuk standar asing.

3. Transfer teknologi dari partner asing mungkin dilakukan dalam ukuran yang yang kurang optimal, selain itu hasil dari penelitian dan pengembangan tidak akan seluruhnya diberikan kepada joint venture.

4. Kemungkinan transfer nilai harga dengan perusahan induk dalam dimensi yang besar dapat dilaksankan dan hal itu dapat menimbukan kerugian bagi mitra lokal.

Bagi investor asing, kerugian itu dapat terjadi dalam wujud dan keadaan berikut:

1. Management tidak seluruhnya berada di tangannya, melainkan harus dibagi kewenangannya dengan pihak domestik, walaupun melalui suatu perjanjian tersendiri.

2. Teknologi harus terbuka bagi mitra lokal, walaupun masih ada yang dapat disembunyikan dan yang tertutup.

3. Strategi pemasaan dari barang-barang produksi mungkin tidak sepenuhnya dapat dikuasai.


(25)

Penanaman modal di era globalisasi tidak dapat dipisahkan dari rangkaian perjanjian-perjanjian internasional, di mana Indonesia telah ikut serta melibatkan diri di dalamnya.62 Joint venture agreement dalam rangka penanaman modal asing di Indonesia adalah langkah awal untuk membentuk sebuah perusahaan patungan (joint venture company) yang diharuskan bagi investor asing yang merencanakan berinvestasi di Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan syarat yang ditegaskan dalam UUPM. Investor asing dan pihak lokal menjadi pemegang saham dalam perusahaan patungan yang besarnya sesuai dengan kesepakatan bersama. UUPM juga telah memberikan wewenang kepada BKPM untuk melakukan koordinasi di dalam pelaksanaan penanaman modal, wewenang tersebut tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUPM.

Kegiatan penanaman modal asing langsung di Indonesia harus dijalankan melalui perusahaan berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUPM, yakni dalam bentuk perseroan terbatas. Berkaitan dengan hal ini, badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang akan menanamkan modalnya di Indonesia harus mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UUPT dengan dinyatakan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Terdapat dua perjanjian yang menjadi landasan pembentukan perusahaan patungan (joint venture company), yakni joint venture agreement dan anggaran dasar (article of association).

62 Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Bandung: P.T. Alumni, 2009), hlm. 83.


(26)

Joint venture agreement yang dibuat oleh investor asing dan investor nasional akhirnya bermuara pada pendirian joint venture company, sehingga joint venture company dapat dikatakan berdiri atau lahir atas dasar perjanjian. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dalam hukum perjanjian, memungkinkan hal itu terjadi, sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum, kepatutan dan kesusilaan yang baik. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagai asas yang berlaku universal dalam hukum perjanjian, memberikan keleluasaan kepada para pihak yang terlibat dalam perjanjian, untuk menentukan isi perjanjiannya. Tidak hanya itu, berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sebuah perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya serta memiliki kekuatan mengikat (pacta sun servanda).

Joint venture agreement yang dijadikan salah satu syarat dalam penanaman modal asing oleh BKPM digunakan sebagai dasar dibentuknya joint venture company. Artinya joint venture company tunduk kepada hukum perjanjian. Namun dalam Pasal 5 ayat (2) UUPM, joint venture company harus berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa joint venture company tunduk kepada hukum perusahaan dalam hal ini UUPT.

Perseroan terbatas (limited liability company, naamloze vennootschap) adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha bisnis. Perseroan terbatas menurut hukum Indonesia adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan


(27)

usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan nya.63

Berdasarkan hal tersebut, maka suatu perusahaan penanaman modal asing selain tunduk pada UUPM. Modal, juga harus tunduk kepada UUPT beserta seluruh peraturan pelaksananya.

Aspek-aspek hukum di dalam pelaksanaan perusahaan joint venture terdiri dari:

1. Bidang usaha

Setiap pengaturan kerja sama patungan adalah berkaitan dengan sesuatu bidang usaha tertentu. Mengenai bidang-bidang usaha ini dalam UUPM ditentukan bahwa pemerintah berwenang untuk:

a. Menentukan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas yang ditetapkan tiap kali pada waktu pemerintah menyusun rencana-rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang dengan memperhatikan perkembangan ekonomi serta teknologi. b. Pemerintah berwenang pula untuk menentukan syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh penanam modal asing untuk melakukan sesuatu bidang, termasuk menetapkan sesuatu bidang tertutup untuk penanam modal asing, terbuka secara terbatas, dan sebagainya.

Bidang usaha yang terbuka merupakan bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan investasi, baik oleh investor asing maupun investor domestik.


(28)

Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.64

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.65

Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan ini telah ditentukan dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Untuk bidang usaha yang tertutup dalam penanaman modal asing yang diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UUPM baik untuk investasi domestik maupun investasi asing, yang meliputi:66

a. Produksi senjata. b. Mesin.

c. Alat peledak. d. Peralatan perang.

e. Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

64 Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Op.Cit., hlm. 54.

65 Ibid., hlm. 56.


(29)

Penjabaran lebih lanjut dari perintah Pasal 12 ayat (2) UUPM telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 telah mengatur secara rinci tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup.

Bidang usaha yang tertutup dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan non komersial seperti, penelitian dan pengembangan dan mendapat persetujuan dari sektor yang bertanggung jawab atas pembinaan bidang usaha tersebut.

2. Persyaratan kepemilikan saham asing

UUPMA sebenarnya tidak mengatur suatu ketentuan yang mewajibkan suatu perusahaan penanaman modal asing mempunyai mitra lokal, dan tidak ada larangan atas keberadaan suatu perusahaan yang 100% (seratus persen) terdiri dari modal asing. Baru pada tahun 1974 setelah meluas Peristiwa MALARI (malapetaka 15 Januari) telah dilakukan pembatasan terhadap penanaman modal asing. Ketika itu pemerintah menetapkan bahwa investor asing yang akan menanam modal di Indonesia harus berpatungan dengan perusahaan lokal atau perusahaan domestik.67

PP Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing yang merupakan salah satu bagian dari kelengkapan UUPM, kegiatan penanaman modal di Indonesia, khususnya penanaman modal asing, telah cukup berkembang dengan baik dan mampu

67 Amrial, Hukum Bisnis (Deregulasi Dan Joint venture di Indonesia teori dan Praktek) (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 57.


(30)

memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Sejak pertengahan tahun 1997 di berbagai negara telah terjadi perubahan keadaan ke arah kemunduran perekonomian yang disebut sebagai krisis ekonomi, yang terjadi pula di Negara Indonesia. Berkaitan dengan usaha mempercepat pemulihan perekonomian nasional Indonesia akibat krisis tersebut, pada tahun 2001 pemerintah pun kembali menyesuaikan ketentuan penanaman modal asing, yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

Pasal 2 PP Nomor 17 Tahun 1992 menyebutkan bahwa perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, selanjutnya disebut Perusahaan PMA, pada dasarnya berbentuk usaha patungan dengan persyaratan bahwa pemilikan modal saham peserta Indonesia dalam perusahaan patungan tersebut sekurang-kurangnya 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh nilai modal saham perusahaan pada waktu pendirian perusahaan patungan, dan ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 51% (lima puluh satu per seratus) dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak perusahaan berproduksi secara komersial sebagaimana tercantum dalam izin usahanya.

Perusahaan PMA dapat didirikan dengan jumlah modal yang ditanamkan sekurang-kurangnya US $ 250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dollar Amerika Serikat) apabila memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut:

c. Padat karya dengan jumlah tenaga kerja langsung sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang, dan sekurang-kurangnya 65% (enam puluh lima per


(31)

seratus) hasil produksi untuk diekspor; atau menghasilkan bahan baku atau bahan penolong atau barang setengah jadi atau komponen untuk memenuhi kebutuhan industri lain,

d. Melakukan kegiatan di bidang usaha jasa tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perusahaan PMA yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a UUPM dapat didirikan dengan persyaratan bahwa pemilikan modal saham peserta Indonesia pada saat perusahaan didirikan sekurang-kurangnya 5% (lima per seratus) dari seluruh nilai modal saham perusahaan pada saat didirikan dan ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh nilai modal saham perusahaan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak perusahaan berproduksi secara komersial sebagaimana tercantum dalam izin usahanya. Modal saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditingkatkan lagi menjadi sekurang-kurangnya 51% (lima puluh satu per seratus) dari seluruh nilai modal saham perusahaan dalam waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak perusahaan berproduksi secara komersial. Investasi asing dapat berupa 100% kepemilikan saham pada perusahaan penanaman modal asing. Namun, bila tidak beroperasi selama 15 tahun, kepemilikan sahamnya harus dijual kepada perusahaan Indonesia atau dengan merger bisnis dengan pertukaran saham domestik secara langsung atau tidak langsung.

Perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang telah berproduksi komersial dapat pula mendirikan perusahaan baru dan/atau


(32)

memberli saham modal dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri yang telah beridiri, baik yang telah atau belum berproduksi komersial melalui pasar modal dalam negeri. Saham yang sebagaimana dimaksud dapat juga dibeli oleh perusahaan yang didirikan melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para pihak. Pembelian saham perusahaan dapat dilakukan sepanjang bidang usaha perusahaan tersebut tetap terbuka bagi penanaman modal asing dan tidak mengubah status perusahaan.

Terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi serta pemilikan saham yang dirasa sangat merugikan negara dan juga diperbolehkan permodalan asing ikut serta menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai oleh negara yaitu dalam PP Nomor 83 Tahun 2001, penanaman modal asing dapat menjangkau kegiatan-kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Walaupun tidak dapat dikuasai oleh modal asing secara langsung (100% dikuasai) akan tetapi modal asing dapat menguasai maksimal 95% sedangkan 5% dikuasai oleh negara atau swasta nasional. Sedangkan dalam peraturan sebelumnya, persentase modal milik negara atau swasta nasional sebesar 60% saham dan modal asing hanya dapat menguasai modalnya sebesar 40% sehingga sebagian besar keuntungan perusahaan masih tetap masuk ke kas negara.

Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di


(33)

Bidang Penanaman Modal menyebutkan dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

b. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang mengambil alih adalah sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

c. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan baru hasil peleburan adalah sebagaimana ketentuan yang berlaku pada saat terbentuknya perusahaan baru hasil peleburan dimaksud.

3. Persyaratan direktur dan komisaris dan penggunaan tenaga kerja asing a. Direktur

Keberadaan dewan direktur atau direksi sebagai pengurus perseroan dan dewan komisaris sebagai pengawas suatu perusahaan joint venture yang berbentuk Perseroan menentukan akselerasi pencapaian tujuan Perseroan sebagai badan hukum bisnis. Perusahaan joint venture sangat memerlukan direksi yang profesional. Profesionalitas suatu dewan direksi amat menentukan keberhasilan suatu usaha. Pengurus atau direksi mempunyai suatu tanggung jawab yang lebih luas, yakni dapat melindungi kepentingan setiap pemegang saham, kreditur dan pihak lain (stake holder) yang terkait dengan perseroan terbatas. Komisaris


(34)

perseroan dalam pelaksanaan tugasnya dapat mengawasi kebijaksanaan direksi, dan bila dianggap perlu komisaris perseroan dapat melakukan tindakan kepengurusan perseroan, sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 100 ayat (2) UUPT.

Jumlah direksi dalam perseroan terdiri dari 1 orang anggota direksi atau lebih yang menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dan direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 93 ayat (1) UUPT sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau anggaran dasar. Namun menurut Pasal 93 ayat (2) UUPT, perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 orang anggota direksi.

Berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UUPT, di jelaskan yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:68

1) Dinyatakan pailit;

2) Menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau


(35)

3) Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

Pasal 93 ayat (1) UUPT menetapkan bahwa UUPT tidak mengatur adanya kewajiban/keharusan bagi perusahaan yang merupakan penanaman modal asing untuk mengangkat seorang direksi yang berkewarganegaraan Indonesia. Sementara Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang secara tegas melarang tenaga kerja asing menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. Artinya, jika suatu perusahaan penanaman modal asing hendak mengangkat seorang direktur personalia, maka direktur personalia tersebut haruslah orang yang berkewarganegaraan Indonesia.

Anggota direksi dan komisaris diangkat oleh RUPS dan untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b UUPT. Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut. Kemudian anggota direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Jika RUPS tidak menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi,


(36)

pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi tersebut mulai berlaku sejak ditutupnya RUPS.

Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota direksi, direksi wajib memberitahukan perubahan anggota direksi kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS tersebut.69 Pengangkatan anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 UUPT batal karena hukum sejak saat anggota direksi lainnya atau dewan komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Jika jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota direksi lainnya atau dewan komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota direksi yang bersangkutan dalam surat kabar dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar perseroan.70

b. Komisaris

UUPT dengan tegas menyebutkan komisaris sebagai salah satu organ perseroan yang bertugas untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan. Jumlah komisaris dalam perseroan terbatas minimal satu orang. Apabila terdapat lebih dari satu orang komisaris, menurut pasal 94 ayat (3) UUPT mereka merupakan sebuah majelis. Berbeda dengan direksi, dalam hal terdapat lebih dari satu orang komisaris, sebagai majelis komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri untuk mewakili perseroan.

69 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 94 ayat (7) 70 Ibid., Pasal 95 ayat (1)


(37)

Komisaris diangkat oleh RUPS untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Untuk pertama kali pengangkatan komisaris dilakukan dengan mencantumkan susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan tempat tinggal dan kewarganegaraan komisaris dalam anggaran dasar. Selanjutnya, anggota komisaris dapat sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasan-alasan dan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.71

Tidak semua orang dapat diangkat menjadi anggota komisaris, hanya mereka yang memenuhi syarat tertentu yang dapat diangkat menjadi komisaris. Sama halnya dengan direksi, UUPT juga mengatur kriteria orang yang dapat menduduki jabatan komisaris suatu perseroan. Kriteria tersebut diatur dalam Pasal 110 UUPT yang menentukan bahwa yang dapat diangkat menjadi komisaris adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: 72

1) Dinyatakan pailit;

2) Menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau

3) Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

c. Penggunaan tenaga kerja asing

Setiap perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia serta wajib meningkatkan

71 Nindyo Pramono, Hukum Komersial (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hlm. 4.30. 72 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 110 ayat (1)


(38)

kompetensi tenaga kerja Warga Negara Indonesia melalui pelatihan kerja. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi kekosongan keahlian dan kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat ter cover oleh tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.

Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor : KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.

Persyaratan Tenaga Kerja Asing menurut Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah sebagai berikut:


(39)

a. Memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki,

b. Bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Warga Negara Indonesia khususnya TKI pendamping, dan c. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

4. Fasilitas penanaman modal

Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. Fasilitas penanaman modal itu berupa:73

a. Melakukan peluasan usaha.

b. Melakukan penanaman modal baru.

Penanaman modal yang mendapat fasilitas tersebut sekurang-kurangnya harus memenuhi salah satu kriteria yang sebagai berikut:74

a. Menyerap banyak tenaga kerja, b. Termasuk skala prioritas tinggi, c. Termasuk pembangunan infrastruktur, d. Melakukan ahli tekonologi,

e. Melakukan industri pionir,

f. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang di anggap perlu,

g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup

h. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi, i. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi, atau

73 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 18 ayat (2) 74 Ibid., Pasal 18 ayat (3)


(40)

j. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang di produksi di dalam negeri.

Apabila salah satu kriteria telah dipenuhi oleh penanam modal, maka sudah dianggap cukup bagi pemerintah untuk memberikan fasilitas dan kemudahan bagi investor. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana yag dimaksud pada Pasal 18 ayat (4) UUPM adalah sebagai berikut:75

a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilam neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu,

b. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produki yang belum dapat diproduksi di dalam negeri,

c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu,

d. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu, e. Penyusunan atau amortisasi yang dipercepat, dan

f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.


(41)

Pemberian fasilitas-fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah terhadap penanaman modal asing hanya berlaku bagi penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas.


(42)

5. Penyelesaian sengketa

Pasal 32 UUPM mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Pasal tersebut diuraikan bagaimana cara menguraikan sengketa yang digunakan apabila terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal.

Dari ketentuan Pasal 32 UUPM tersebut disebutkan bahwa penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan penanam modal dilakukan melalui cara:

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, di mana dalam penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat mengikat. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang telah ada ternyata tidak berhasil. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan biasanya hanya dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dalam kontrak tersebut. Klausula tersebut biasanya menegaskan bahwa jika terjadi sengketa, mereka sepakat untuk menyerahkan sengketa kapada suatu pengadilan.76

Lembaga pengadilan merupakan lembaga yang mempunyai fungsi dan kewenangan di antaranya:77

1) Sebagai penjaga kemerdekaan masyarakat (in guardian the freedom of society).

76 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005), hlm. 210.

77 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian


(43)

2) Sebagai wali masyarakat (are regarding as custodia of society).

3) Sebagai pelaksana penegakan hukum (judiciary as the up holders of the rule of law).

Penyelesaian sengketa yang telah dijelaskan sebelumnya tentu penyelesaian sengketa melalui sistem litigasi atau pengadilan mempunyai keuntungan dan kerugian dalam menyelesaian sengketa . Keuntungannya yaitu:78

1) Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, pengadilan sekurang-kurangnya dalam batasan tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. 2) Pengadilan sangat baik untuk menentukan kesalahan-kesalahan dan

masalah-masalah dalam posisi pihak lawan.

3) Pengadilan memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan.

4) Pengadilan membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi.

5) Dalam pengadilan para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaiakan sengketa.

Litigasi bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. Namun, litigasi setidak-tidaknya sebagaimana yang terdapat di


(44)

Amerika Serikat, memiliki banyak kekurangan (drawbacks). Kekurangan litigasi:79

1) Memaksa para pihak pada posisi yang ekstern.

2) Memerlukan pembelaan (advocasy) atas setiap maksud yang dapat memengaruhi putusan.

3) Benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan sering kali marginal.

4) Menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan.

5) Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya.

6) Tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pihak yang bersengketa, dan

7) Tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian.

b. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase dalam perkembangannya saat ini semakin popular dan semakin


(45)

banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, sebelum sengketanya lahir (claise compromissoire). Orang yang dipilih melaui arbitrase disebut arbitrator atau arbiter yang biasa disebut di Indonesia.80

Arbitase juga memiliki kelebihan atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh peradilan umum, yaitu sebagai berikut:81

1) Kebebasan, kepercayaan dan keamanan, yaitu memberikan kebebasan otonomi yang sangat luas kepada para pelaku bisnis pihak yang bersengketa dan memberikan rasa aman terhadap keadaan tidak menentu kepastian berkenaan dengan sistem hukum yang berbeda serta terhadap kemungkinan putusan yang berat sebelah,

2) Keahlian arbiter, yaitu para arbiter merupakan orang-orang yang mempunyai keahlian besar mengenai permasalahan yang disengketakan,

3) Cepat dan hemat biaya, yaitu proses pengambilan keputusannya cepat, tidak terlalu formal dan putusannya bersifat final dan binding. Permasalahan baru muncul jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,

80 Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 37.

81 Ridwan Khairandy , Nandang Sutrisno dan Jawahir Tontowi, Pengantar Hukum Perdata


(46)

4) Bersifat Confidential, yaitu arbitrase bersifat rahasia dan tertutup, oleh karenanya pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup termasuk pengucapan putusannya,

5) Bersifat non preseden, artinya putusan arbitrase tidak mempunyai preseden. Maka mungkin saja dengan masalah yang sama dihasilkan putusan arbitrase yang berbeda di masa datang,

6) Independen, artinya pemeriksaan arbitrase dilakukan oleh para arbiter yang dipilih oleh kedua belah pihak dan dalam memberikan putusannya arbiter tidak dipengaruhi oleh pihak luar termasuk pemerintah.

7) Final dan binding, artinya putusan arbitrase merupakan putusan terakhir yang mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana atas putusan tersebut tidak dapat dibanding.

8) Kepekaan arbiter, artinya arbiter menerapkan hukum yang berlaku dalam menyelesaikan perkara dan akan lebih memberikan perhatian khusus terhadap keinginan, realitas, dan praktik dagang para pihak. Cara penyelesaian melalui arbitrase dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), arbitrase ad hoc maupun arbitrase asing. Arbitrase asing yang biasa dipilih dalam penyelesaian sengketa penanaman modal antara lain seperti: ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) dan ICC (International Chamber of Commerce). Berkaitan dengan


(47)

arbitrase asing tersebut, Indonesia telah meratifikasi New York Convention on

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award of 1958.82

Indonesia juga memiliki arbitrase nasional, yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional). Selain itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Lembaga arbitrase yang juga sering digunakan adalah ICC yang kepanjangan dari International Chamber of Commerce atau juga kamar dagang Internasional. Ini adalah badan non pemerintah dan juga salah satu badan arbitrase internasional tertua di dunia. Badan ini didirikan di Paris pada tahun 1923. ICC memiliki spesialisasi dalam perdagangan komersial internasional seperti dalam Incoterms 1990 yang banyak digunakan dalam kontrak-kontrak penjualan barang internasional.

D. Prosedur Pengawasan Pelaksanan Joint Venture

Berdasarkan Pasal 27 UUPM, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). BKPM merupakan lembaga independen non-departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Presiden kemudian menetapkan Peraturan Presiden

82 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi Langsung di


(48)

No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007. 83

Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007, maka BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkan Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”). Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal.

Tujuan dari pengendalian pelaksanaan modal ini adalah agar dapat:

1. Memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;

2. Melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;

3. Melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal.

83 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da7214a4789f/pengaturan-dan-pengawasanpelaksanaan-joint-venture (diakses tanggal 8 Januari 2016)


(49)

Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture dan Badan yang Berwenang Melakukan Pengawasan. Pengawasan pelaksanaan penanaman modal diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui:

a. Penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;

b. Pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan

c. Tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal. Badan yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal tersebut adalah:

a. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM) terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di kabupaten/kota;

b. Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) terhadap penanaman modal yang kegiatannya bersifat lintas kabupaten/kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan pemerintahan provinsi;

c. BKPM terhadap penggunaan fasilitas fiskal penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah;

d. Instansi teknis terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha. Berkaitan dengan pelaksanakan tugas pengawasan sebagaimana disebut di atas, PDKPM melakukan koordinasi dengan instansi daerah terkait. Sedangkan PDPPM melakukan koordinasi dengan PDKPM dan instansi daerah terkait, di


(50)

mana BKPM melakukan koordinasi dengan PDKPM, PDPPM dan instansi daerah terkait.


(51)

BAB IV

WEWENANG BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN TERKAIT PENYIMPANGAN YANG

TERJADI PADA PELAKSANAAN PERIZINAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE

A. Bentuk Penyimpangan pada Pelaksanaan Perizinan Joint Venture

Berkembangnya berbagai kawasan dapat peningkatan di bidang investasi, khususnya sarana dan penunjangnya mendorong adanya pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penanaman modal atau investasi oleh asing , meliputi:

1. Pelanggaran terhadap izin prinsip

Izin prinsip adalah izin yang wajib dimiliki dalam memulai kegiatan usaha baik dalam kegiatan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Kegiatan yang mencakup memulai usaha adapun sebagai berikut:

a. Pendirian usaha baru baru, baik dalam rangka PMDN maupun PMA; b. Perubahan status menjadi PMA, sebagai akibat dari masuknya modal asing

dalam kepemilikan seluruh/sebagian modal perseroan dalam badan hukum, atau

c. Perubahan status menjadi PMDN, sebagai akibat dari terjadinya perubahan kepemilikan modal perseroan yang sebelumnya terdapat modal asing, menjadi seluruhnya modal dalam negeri.

Terdapat beberapa jenis izin prinsip, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:


(52)

a. Izin prinsip baru, yakni izin pertama kali sebelum memulai kegiatan usaha; b. Izin prinsip perluasan, yakni izin sebelum melakukan kegiatan ekspansi

perusahaan;

c. Izin prinsip perubahan, yakni izin sebelum melakukan perubahan rencana investasi atau realisasinya;

d. Izin prinsip penggabungan (merger), yakni izin sebelum melakukan penggabungan dua perusahaan atau lebih84

Masa berlaku izin prinsip sama dengan jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip. Jangka waktu tersebut diberikan satu sampai lima tahun tergantung karakteristik bidang usahanya. Apabila jangka waktu tersebut yang ditetapkan dalam izin prinsip telah habis masa berlakunya dan proyek tersebut belum selesai, maka perusahaan tidak dapat mengajukan permohonan perizinan dan non perizinan lainnya. Sehingga apabila perusahaan belum menyelesaikan proyek sesuai dalam izin prinsip, perusahaan wajib mengajukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek selambat-lambatnya 30 hari kerja sebelum berakhirnya jangka waktu penyelesaian proyek yang ditetapkan dalam izin prinsip tersebut.

Jangka waktu penyelesaian proyek dalam izin prinsip yang telah habis masa berlakunya dan perusahaan tidak memperpanjang atau terlambat dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek tersebut, maka perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa surat peringatan dan ditindaklanjuti oleh BKPM mengenai proyek yang tidak

84 http://hukumpenanamanmodal.com/pengaturan-izin-prinsip-dan-izin-investasi-terbaru-tahun-2015/ (diakses pada tanggal 7 Maret 2016)


(53)

diselesaikan tepat waktu. Lebih lanjut, apabila hasil dari tindak lanjut tersebut perusahaan tidak dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dan terlambat dalam memperpanjang jangka waktu penyelesaian proyek tersebut maka yang dapat dilakukan perusahaan adalah mengajukan permohonan izin prinsip baru, seperti diatur dalam Perka 14/2015, apabila perpanjangan waktu penyelesaian proyek diajukan setelah berakhirnya masa berlaku jangka waktu penyelesaian proyek maka permohonan perpanjangan tersebut tidak dapat diproses dan wajib mengajukan permohonan izin prinsip baru. Penyebab izin-izin prinsip penanaman modal terancam dibatalkan, sebagian karena masa berlakunya sudah habis, dan sebagian lagi lantaran tidak menyampaikan LKPM. Sehingga sesuai dengan UUPM dan Perka BKPM Nomor 3 Tahun 2012 telah diatur jenis sanksi dan tata cara pemberian sanksi oleh BKPM.85

Apabila telah dibatalkannya izin prinsip penanaman modal, dan perusahaan tersebut masih menjalankan kegiatan usaha maka hal tersebut merupakan tindakan pelanggaran hukum. Setiap penanam modal berkewajiban membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal sesuai UUPM. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) adalah laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal. LKPM ditujukan untuk memantau realisasi investasi dan produksi. LKPM mencakup kegiatan penanaman modal yang dilakukan perusahaan di setiap lokasi dan bidang usaha investasi, kecuali bidang usaha perdagangan. Bagi perusahaan


(1)

ABSTRAK

WEWENANG BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM PENGAWASAN TERKAIT PENYIMPANGAN YANG TERJADI PADA PELAKASANAAN PERIZINAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE

*Aina Dwi Utari **Budiman Ginting ***Mahmul Siregar

Pembangunan nasional digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia, mengembangkan teknologi yang mutakhir, dan pembangunan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Namun, Indonesia masih belum mampu menyediakan dana pembangunan tersebut. Disamping berupaya untuk menggali pembiayaan dalam negeri, pemerintah juga mengundang sumber pembiayaan lainnya yaitu dari luar negeri, yang salah satunya adalah Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment) melalui perusahaan joint venture. Perusahaan joint venture berdiri setelah adanya izin yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal atas bidang-bidang usaha yang telah terdaftar. dalam pelaksanaan perizinan terhadap perusahaan joint venture terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut terdapat permasalahn yang diteliti yaitu bagaimana eksistensi BKPM dalam penanaman modal di Indonesia, bagaimana pelaksanaan perusahaan joint venture, dan bagaimana wewenang BKPM dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perizinan perusahaan joint

venture.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan terkait serta dengan mempelajari buku-buku. Bersifat deskriptif yaitu menggambarkan fenomena hukum dari fakta-fakta yang diketemukan. Data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Badan Koordinasi Penanaman Modal di Indonesia sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden bertugas melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam penanaman modal asing BKPM memliki wewenang sebagai lembaga yang turut mengawasi jalannya kegiatan penanaman modal asing. Salah satunya dengan mengawasi pelaksanaan perizinan dalam kegiatan joint venture yang merupakan kegiatan penanaman modal asing. Dalam pengawasannya terhadap pelaksanaan perizinan, BKPM melakukan pengawasan secara langsung ke lokasi proyek secara rutin apabila terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, dan juga BKPM melakukan pengawasan secara tidak langsung yang dilakukan melalui penelitian terhadap LKPM (Laporan Kegiatan Penanaman Modal) yang disampaikan oleh perusahaan. Bentuk penyimpangan yang terjadi salah satunya yaitu pelanggaran yang terjadi terhadap izin prinsip. Atas penyimpangan dalam perizinan yang terjadi, BKPM berhak memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, dan pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin atas segala nikmat iman, Islam, kesempatan,

serta kekuatan yang telah diberikan Allah Subhanahuwata’ala sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam untuk tuntunan dan suri tauladan Rasulullah

Shallallahu‘alaihiwasallam beserta keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa

menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sampai saat ini dapat dinikmati oleh seluruh manusia di penjuru dunia.

Adapun judul skripsi penulis adalah Wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Pengawasan Terkait Penyimpangan Yang Terjadi Pada Pelaksanaan Perizinan Perusahaan Joint Venture.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun penyampaiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam masa penulisan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(3)

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ucapan terima kasih yang tiada tara untuk kedua orang tua penulis. Untuk Ibunda Maria Sofia Poluan dan Ayahanda Alm. Suriadi, SE, yang telah menjadi orang tua terhebat sejagad raya, yang selalu memberikan motivasi, nasehat, cinta, perhatian, dan kasih sayang serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas.


(4)

10.Kepada kakak-kakak dan adik-adik tercinta, Aulia Putri Utami, Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., Nadia Amelya Poluan, Marlina Deliana Poluan, Fardhayana Mentari Barus, Nishka Sylviana, Dimas Maulana yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

11.Kepada sahabat-sahabat penulis, Aziza Hasanah, Dinda Anwar, Fitri Apriliani dan Rizky Chairunisya, Sabilla Dien Tharra yang selalu memberi dukungan kepada penulis.

12.Kepada sahabat-sahabat penulis, Natastya Rehulina, Naomi Manurung, M.Febriyandri, T. Azlansyah Alsani, M. Ibnu Hidayah, Grace Dina Mariana, Stevany Caludia, Assyfa Humairah, Azaria Tobing, M. Zuhdi Lubis, Ridho Alviant Lubis yang selalu mendukung penulis.

13.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Januari 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Keaslian Penelitian ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II EKSISTENSI BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) DALAM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA ... 21

A. Pengertian Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ... 21

B. Tugas dan Wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ... 28

C. Pengawasan Penanaman Modal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ... 34

BAB III PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE ... 40


(6)

C. Aspek Hukum Pelaksanaan Perusahaan

Joint Venture ... 53

D. Prosedur Pengawasan Pelaksanaan Perusahaan Joint Venture ... 81

BAB IV WEWENANG BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN TERKAIT PENYIMPANGAN YANG TERJADI PADA PELAKSANAAN PERIZINAN PERUSAHAAN JOINT VENTURE ... 85

A. Bentuk Penyimpangan pada Pelaksanaan Perizinan Perusahaan Joint Venture ... 85

B. Faktor Pemicu Terjadinya Penyimpangan dalam Pelaksanaan Perizinan Perusahaan Joint Venture ... 92

C. Wewenang Pengawasan Badan Koordinasi Penanaman Modal Terhadap Penyimpangan dalam Pelaksanaan Perizinan Perusahaan Joint Venture ... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA