Psychological Distress TINJAUAN PUSTAKA

all 1998, kondisi somatik timbul sebagai akibat dari psychological distress. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada psychological distress yang ditandai dengan gejala depresi, kecemasan, dan somatisasi. 5. Distress Patologis dan Distress Non-Patologis Menurut DSM IV-TR 2000, beberapa hal perlu diperhatikan untuk memutuskan suatu keadaan distress sebagai distress patologis. Pertama, psikolog merujuk definisi distress dalam DSM IV-TR. Dalam Diagnostic Statistical Manual IV-TR DSM IV-TR individu dinilai mengalami distress bila mengalami keadaan yang menyulitkan, membuat tidak nyaman, dan mengganggu fungsi psikososialnya DSM IV-TR. Kedua, distress dinyatakan sebagai kondisi patologis apabila bertahan atau menetap dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan diagnosis pada tiap gangguan yang spesifik. Ketiga, distress diikuti oleh disfungsi mental yang menyebabkan hilangnya fungsi sosial disfunction dan menyebabkan gangguan pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar disruption. Berbeda dari distress patologis, distress non patologis atau yang biasa disebut dengan non-clinical distress terjadi dalam kurun waktu yang relatif pendek, biasanya sekitar satu minggu Damanik, 2006; Payton, 2009. Distress non-patologis terjadi pada setiap individu terkait dengan peristiwa hidup stressor yang spesifik. Ketika stressor selesai, maka kondisi distress menghilang Payton, 2009; Zvolensky, 2010. Gejala distress non- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI patologis tidak dapat dilihat menggunakan DSM. Fokus dalam penelitian ini adalah distress non-patologis yang terkait dengan peristiwa sehari-hari. 6. Faktor yang Memengaruhi Psychological Distress Psychological distress dipengaruhi oleh beberapa faktor. Matthews 2007 menyatakan bahwa psychological distress dipengaruhi oleh faktor interpersonal dan situasional. a. Faktor Intrapersonal Matthews 2007 menyebutkan bahwa faktor intrapersonal terdiri atas ciri kepribadian. Penelitian menemukan bahwa tipe kepribadian ekstrovert berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan afek positif. Di sisi lain, kepribadian introvert berkorelasi positif dengan kondisi psychological distress. Kepribadian neurotik memiliki frekuensi konflik interpersonal yang lebih tinggi, sehingga lebih rentan berada dalam kondisi psychological distress. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kepribadian tipe A lebih mudah berada dalam kondisi psychological distress dibandingkan tipe kepribadian lain Locker Gregson, 2004. b. Faktor Situasional Selain faktor intrapersonal, beberapa keadaan yang bersifat situasional juga memengaruhi timbulnya kondisi psychological distress. Faktor situasional tersebut adalah:  Faktor Fisiologis Gangguan atau kerusakan yang terjadi pada salah satu bagian otak membawa dampak timbulnya psychological distress pada individu Mattew, 2007. Kerusakan pada amygdala menyebabkan respon emosional berlebihan. Penelitian juga membuktikan bahwa kecemasan terkait dengan aktivitas anterior otak kanan , sedangkan depresi terkait dengan peningkatan aktivitas frontal sebelah kanan.  Faktor Kognitif Faktor kognitif terkait dengan persepsi dan kepercayaan seseorang terhadap suatu stressor Mattew, 2007. Studi eksperimental menyebutkan bahwa dampak psikologis dan fisik dari suatu stressor sangat bergantung dan dipengaruhi oleh kepercayaan dan ekspekstasi individu. Psychological distress terjadi apabila individu menilai bahwa dirinya gagal dalam mengatasi suatu masalah dan meragukan kemampuan dirinya.  Faktor Sosial Psychological distress terjadi ketika individu mengalami masalah sosial dengan lingkungan sekitarnya. Masalah seperti perceraian, pengangguran, atau kekurangan dukungan sosial dapat menjadi penyebab psychological distress Mattew, 2007. Penelitian Kessler 1979 menyebutkan bahwa individu pada strata sosial rendah cenderung lebih mudah mengalami psychological distress. Hal ini terjadi karena individu memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, dan informasi. 7. Pengukuran Tingkat Psychological Distress Asesmen tingkat psychological distress dilakukan dengan metode pelaporan diri self-report. Dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur psychological distress adalah pendekatan keluasan gejala dan pendekatan waktu. Saat ini, pendekatan waktu lebih banyak digunakan untuk mengukur psychological distress Mattew, 2000. Secara khusus, pendekatan waktu mengukur psychological distress dengan cara: a. Melihat kondisi sementara individu yang berlangsung hanya beberapa menit. b. Melihat kondisi episodik yang berlangsung dalam hitungan minggu atau bulan. Kondisi ini biasanya dipicu oleh kejadian dalam hidup. c. Melihat kepribadian yang menetap dan stabil selama bertahun-tahun. Dari dua pedekatan tersebut, peneliti memilih untuk fokus pada pengukuran dengan pendekatan waktu yang bersifat episodik. Beberapa skala ditemukan untuk mengukur psychological distress, Peneliti memilih Distress, Anxiety, and Stress Scale DASS yang dibuat oleh Lovibond dan Lovibond 1955. Distress, Anxiety, and Stress Scale DASS mengukur psychological distress berdasarkan 3 gejala, yaitu depresi, kecemasan, dan stress dalam jangka waktu satu minggu Crawford Henry, 2003. Skala DASS dapat mengukur psychological distress pada subjek klinis dan non klinis Crawford Henry, 2003. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Damanik 2006 menyebutkan bahwa DASS mengukur gejala depresi, kecemasan, dan stress sebagai sebuah keadaan state, artinya skala ini tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan depresi dan kecemasan yang menetap, seperti yang disebutkan dalam DSM IV-TR. Oleh karena itu, administrasi skala DASS meminta individu untuk melakukan pengamatan terhadap keadaan diri selama satu minggu Crawford Henry, 2003;, Damanik, 2006. Norma dalam DASS adaptasi Indonesia membagi penggunanya ke dalam lima kategori psychological distress berdasarkan skor kasar yang diperoleh Damanik, 2006. Lima kategori tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 1. Kategori Skor DASS Adaptasi Indonesia Skor Kategori 30 Normal 30-40 Mild 40-60 Moderate 60-70 Severe 70 Extremly Severe Dalam penelitian, norma DASS adaptasi Indonesia digunakan untuk membagi subjek ke dalam lima kategori tersebut.

B. Expressive Writing

1. Paradigma Expressive Writing EW Expressive writing pertama kali dicetuskan oleh Pennebaker pada tahun 1989. Pennebaker yang merupakan seorang professor di bidang Psikologi sosial banyak meneliti mengenai manfaat dari kegiatan menulis. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada awal penelitiannya, Pennebaker meneliti manfaat menulis pada klien dengan gangguan Post Traumatic and Stress Disroder PTSD Pennebaker, 1997. Kemudian, Pennebaker memperluas penemuannya dengan melakukan eksperimen bidang psikososial, yaitu mengenai relasi sosial dan hubungan romantis Pennebaker, 1997. Expressive writing memberi pengaruh dan manfaat pada aspek kognitif, emosional, sosial, dan biologis seseorang Klein dan Boals, 2001. Yang dimaksud dengan kegiatan expressive writing adalah menulis mengenai suatu hal yang sangat emosional tanpa memperhatikan tata bahasa maupun diksi Pennebaker, 1997. Perbedaan mendasar expressive writing dengan refleksi harian atau diary adalah tidak adanya proses evaluasi diri yang mengharuskan individu untuk membuat penilaian mengenai dirinya sendiri Baker Moore, 2008. Expressive writing merupakan suatu proses katarsis dan terkadang disebut sebagai emotional storytelling karena dalam proses menulis, individu diminta menulis perasaan terdalam dan melibatkan emosinya dalam membuat cerita Synder, 2011. Emotional storytelling berhubungan dengan fungsi expressive writing untuk mengeluarkan emosi negatif yang disimpan dalam pikiran seseorang. Ketika seseorang menulis, ia mengeluarkan emosi yang selama ini dipendam dan mencoba untuk merekonstruksi memori dalam suatu peristiwa spesifik tertentu, sehingga menimbulkan suatu kesadaran Niederhoffer Pennebaker, 2006. Hingga saat ini, tidak ada teori tunggal yang dapat menjelaskan cara kerja expressive writing. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk menemukan bagaimana expressive writing memiliki banyak dampak positif yang signifikan dalam berbagai bidang, seperti pada bidang kesehatan, pendidikan, penyembuhan trauma, dan resiliensi korban bullying Pennebaker Graybeal, 2011. 2. Administrasi Expressive Writing Administrasi EW sangat sederhana, yaitu dengan menuliskan hal yang sangat emosional tanpa mempedulikan tata bahasa dan diksi dalam kurun waktu 15-30 menit. Kegiatan ini dapat dilakukan seminggu sekali dalam kurun waktu 3-5 minggu Baikie Wilhelm, 2005 atau selama 4 hari berturut-turut Pennebaker, 1989. Hasil dari expressive writing biasanya tidak dibaca kembali seperti buku harian atau refleksi, tetapi disimpan dan hanya akan dibuka ketika individu menghendakinya Baikie dan Wilhelm, 2005. Instruksi terlampir 3. Perkembangan Instruksi Expressive Writing Instruksi expressive writing EW pertama kali dibuat oleh Pennebaker 1989 dan bersifat umum serta berfokus pada menulis kejadian mengenai trauma King, 2001. Pada perkembangannya, King 2001 menemukan bahwa topik mengenai regulasi diri mempunyai manfaat yang sama dengan menulis kejadian traumatik. Hasil penelitian tersebut kemudian membawa dampak besar bagi pengembangan instruksi EW. King 2001 menyebutkan bahwa menuliskan topik yang lebih spesifik membuat individu menjadi fokus pada satu kejadian. Penemuan King 2001 melaporkan bahwa menuliskan topik spesifik seperti life-goal membuat individu berpikiran jernih, menjadi peka dengan dirinya sendiri, dan membantu proses memutuskan suatu nilai atau prinsip hidup. Hal ini sama dengan terapi kognitif perilakuan. Dengan menulis mengenai topik yang spesifik, individu menemukan cerita yang lebih konstruktif dan masuk akal, sehingga muncul keyakinan dan optimisme dalam diri individu ketika mengalami peristiwa sejenis King, 2001. Peneliti memutuskan untuk menguji dua instruksi dalam pilot study karena dua penemuan yang bebeda tersebut. 4. Manfaat Expressive Writing Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan adanya manfaat dari kegiatan expressive writing. Secara kognitif, expressive writing membantu individu mengingat dan meningkatkan kapasitas otak Klein Boals, 2001. Hal ini menyebabkan prestasi akademik meningkat Ramirez Bailoc, 2011. ParkRamirez 2012 menemukan bahwa kecemasan yang dirasakan siswa pada saat ujian Matematika dapat direduksi dengan melakukan expressive writing. Pada bidang kesehatan, expressive writing diakui membantu meningkatkan kesehatan dengan memperkuat sistem imunitas Booth Pennebaker, 1997. Expressive writing digunakan untuk membantu korban bullying dalam melakukan resiliensi Betten et al, 2002. Baikie dan Mcllwain 2008 juga menguji expressive writing untuk memperbaiki interaksi sosial pada siswa Sekolah Dasar yang memiliki gangguan emosi dan perilaku. Dari eksperimen ini, ternyata expressive writing memiliki dampak yang signifikan dalam memperbaiki interaksi sosial. EW terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menigkatkan well-being Park Blumberg, 2002 dalam Baikie Wilhelm, 2005. 5. Expressive Writing dan Psikoterapi