Efektivitas expressive writing sebagai reduktor Psychological distress.
EFEKTIVITAS EXPRESSIVE WRITING SEBAGAI REDUKTOR PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Lidwina Florentiana Sindoro ABSTRAK
Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk menguji efektivitas expressive writing sebagai reduktor psychological distress. Hipotesis menyatakan bahwa expressive writing efektif untuk mengurangi tingkat psychological distress. Eksperimen kuasi ini menggunakan desain between subject. Desain within subject digunakan untuk kelompok kontrol dan eksperimen. Subjek penelitian sejumlah 37 mahasiswa yang terdiri atas 7 mahasiswa laki-laki dan 30 mahasiswa perempuan. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa expressive writing. Analisis data menggunakan independent sample t-test menunjukkan tidak ada perbedaan penurunan tingkat psychological distress kelompok kontrol dan eksperimen (p = 0.607). Dengan demikian, hipotesis tidak diterima. Hasil analisis lebih lanjut dengan uji beda Wicoxon pada kelompok eksperimen menyatakan bahwa expressive writing efektif untuk mereduksi distress (pkontrol = 0.106 > 0.05; peks = 0.006 < 0.05).
(2)
EFECTIVENESS OF EXPRESSIVE WRITING AS A REDUCTOR OF PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Lidwina Florentiana Sindoro ABSTRACT
This experimental study aims to test the effectiveness of expressive writing to reduce psychological distress. The hypothesis states that expressive writing is effective in reducing the level of psychological distress. The design of this quasi experiment is between subject-design. Futhermore, within subject-design used for the control and the experimental group respectively. The research subject were 37 students, consist state of 7 male students and 30 female students. The experimental group was given task of expressive writing. Data analysis using independent sample t-test shows no difference improvement in reducing psychological distress between experimental and control group (p = 0.607). Thus the hypothesis is not accepted. The results of further analysis by Wilcoxon test of the experimental group stated that expressive writing effectives for reducing psychological distress (pkontrol= 0.106 > 0.05 ; peks = 0.006 < 0.05).
(3)
SKRIPSI
EFEKTIVITAS EXPRESSIVE WRITING SEBAGAI REDUKTOR PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Lidwina Florentiana Sindoro 129114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
i SKRIPSI
EFEKTIVITAS EXPRESSIVE WRITING SEBAGAI REDUKTOR PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Lidwina Florentiana Sindoro 129114046
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
(7)
iv
HALAMAN MOTTO
Push Your Self to the Limit!
Dalam kelemahanku,
(8)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk:
Bapak dan Ibuk, Bayu, Valen, dan Mas Tyo,
Mbah Uti dan Mbah Kakung,
Om dan Bulik serta adik-adik sepupuku
yang memberiku cinta tanpa kata “tetapi”…
Serta untuk Romo Erwin yang mengajarkanku 2 hal terpenting dalam hidup:
bersyukur dan memaafkan
(9)
(10)
vii
EFEKTIVITAS EXPRESSIVE WRITING SEBAGAI REDUKTOR PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Lidwina Florentiana Sindoro ABSTRAK
Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk menguji efektivitas expressive writing sebagai reduktor psychological distress. Hipotesis menyatakan bahwa expressive writing efektif untuk mengurangi tingkat psychological distress. Eksperimen kuasi ini menggunakan desain between subject. Desain within subject digunakan untuk kelompok kontrol dan eksperimen. Subjek penelitian sejumlah 37 mahasiswa yang terdiri atas 7 mahasiswa laki-laki dan 30 mahasiswa perempuan. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa expressive writing. Analisis data menggunakan independent sample t-test menunjukkan tidak ada perbedaan penurunan tingkat psychological distress kelompok kontrol dan eksperimen (p = 0.607). Dengan demikian, hipotesis tidak diterima. Hasil analisis lebih lanjut dengan uji beda Wicoxon pada kelompok eksperimen menyatakan bahwa expressive writing efektif untuk mereduksi distress (pkontrol = 0.106 > 0.05; peks = 0.006 < 0.05).
(11)
viii
EFECTIVENESS OF EXPRESSIVE WRITING AS A REDUCTOR OF PSYCHOLOGICAL DISTRESS
Lidwina Florentiana Sindoro ABSTRACT
This experimental study aims to test the effectiveness of expressive writing to reduce psychological distress. The hypothesis states that expressive writing is effective in reducing the level of psychological distress. The design of this quasi experiment is between subject-design. Futhermore, within subject-design used for the control and the experimental group respectively. The research subject were 37 students, consist state of 7 male students and 30 female students. The experimental group was given task of expressive writing. Data analysis using independent sample t-test shows no difference improvement in reducing psychological distress between experimental and control group (p = 0.607). Thus the hypothesis is not accepted. The results of further analysis by Wilcoxon test of the experimental group stated that expressive writing effectives for reducing psychological distress (pkontrol= 0.106 > 0.05 ; peks = 0.006 < 0.05).
(12)
(13)
x
KATA PENGANTAR
Cinta Tuhan yang melimpah hadir dalam diri orang-orang di sekitar penulis. Berkat dukungan mereka, skripsi ini terselesaikan dengan baik. Terima kasih kepada:
1. Yesus, kekasihku yang paling setia dan Bunda Maria.
2. Pak Hari dan Bu Tutik, cinta pertamaku. Terima kasih seribu untuk didikan penuh cinta yang unik dan tak pernah kubayangkan.
3. Bayu Sindoro dan Valentinus Sindoro, yang menjadikanku tuan putri seutuhnya dalam sebuah kerajaan.
4. Keluarga besarku : Mbah Uti dan Mbah Kakung, Om dan Bulik semuanya serta 6 sepupu kecilku. Cinta tanpa syarat kalian membuatku tumbuh dengan sempurna.
5. Romo Erwin Sasmita, big thanks!
6. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si, Dekan Fakultas Psikologi. 7. Kaprodi Fakultas Psikologi, Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. 8. Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si., Dosen Pembimbing Akademik.
9. Romo Dr. Agustinus Priyono Marwan, SJ., dosen pembimbing skripsi atas cinta, waktu, dan semua nasihatnya. Stay positive!
10.Keluarga besar Psikologi, keluarga kedua yang membesarkanku dengan penuh cinta, pengharapan, dan ketulusan melayani sesama. Psychology for
(14)
xi
11.Keluarga besar Campus Ministry, Rm Elias yang selalu menjadi ayah kedua dan penyelamat bagi penelitianku. Pamong dan Sub Pamong
Student Residence serta semua partisipan penelitianku yang dengan sabar
berdinamika denganku selama seminggu. Nice to meet you!
12.Sahabat-sahabatku yang memberi warna dan cinta dalam perjuanganku:
Princess Kutukan (Tiara, Anti, Gek, Desi, Ira, Ave). Saudara NIM (Monic
Mamon, Kelek si Kembaran). Kanca Pait Voice (Cik Tippa, Roy, Paul, Dhesa, Titus, Alm. Vinsen). Tim lomba sambil jalan-jalan (Jeje, Leo, Dewinta, Mbak Wita, Mas Angga), SEKARNI (Bu Sylvi, Mbak Ocha, Angel, Rio, dan Mas Angga) dan KOMPAI. Aditara Angels dan Pak Gatot, terima kasih untuk 3 tahun di rumah yang sama.
13.Rekan seperjuangan Rm Pri di “Learning Corner” yang pantang pulang
sebelum bimbingan: Aprek si rekan penelitian, Suci, Romo Yulius yang selalu membawa insight, dan 20 teman lain yang sedang berjuang. GBu! 14.Kakak ketiga, Rm Yudho, thanks for being my brother. Kakak kedua,
Ignatius Dwi Setyo Pamungkas, I would to say, “Yes, I do.”
15.Siapapun di sana yang telah mencintaiku, mendukungku, dan membawaku dalam doanya. Cinta Tuhan melimpah
Yogyakarta, 26 Agustus 2015 Penulis,
(15)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Rumusan masalah ... 5
C. Tujuan penelitian ... 5
D. Manfaat penelitian... 6
a. Manfaat Teoritis ... 6
b. Manfaat Praktis ... 6
(16)
xiii
A. Psychological Distress ... 7
1. Stress, Distress, Eustress ... 7
2. Definisi Distress ... 7
3. Distress dalam Berbagai Bidang ... 9
4. Gejala Psychological Distress ... 10
5. Psychological Distress Patologis dan Psychological Distress Non- Patologis ... 11
6. Faktor yang Memengaruhi Psychological Distress ... 12
7. Pengukuran Psychological Distress ... 14
B. Expressive Writing ... 15
1. Paradigma Expressive Writing ... 15
2. Administrasi EW ... 17
3. Perkembangan Instruksi ... 17
4. Manfaat Expressive Writing ... 18
5. Expressive Writing dan Psikoterapi ... 19
C. Dinamika Antar Variabel ... 21
D. Skema ... 22
E. Hipotesis ... 24
BAB III. METODE PENELITIAN ... 25
A. Jenis dan Desain Penelitian ... 25
B. Variabel Penelitian ... 26
C. Definisi Operasional ... 26
(17)
xiv
E. Metode Pengumpulan Data ... 28
F. Alat Pengumpul Data ... 29
G. Metode Analisis Data ... 30
BAB IV. PERSIAPAN PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN ... 32
A. Persiapan Peneltian ... 32
1. Uji Coba Alat ... 32
2. Pilot Study ... 33
3. Deskripsi Konteks Penelitian ... 36
B. Hasil Penelitian ... 36
1. Pemaparan Pengumpulan Data ... 36
2. Proses dan Hasil Analisis Data ... 38
a. Uji Normalitas ... 39
b. Uji Beda Independent Sample t-test ... 39
c. Uji Beda Wilcoxon ... 41
3. Pembahasan ... 35
a. Pembahasan Uji Beda Independent Sample t-test ... 43
b. Pembahasan Uji Beda Wilcoxon ... 45
4. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian... 47
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 42
(18)
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kategori Skor DASS Adaptasi Indonesia ... 15
Tabel 2. Distribusi Subjek ... 38
Tabel 3. Uji Normalitas ... 39
Tabel 4. Uji Beda Independet Sample T-test... 40
Tabel 5. Uji Normalitas Pre-test dan Post-test ... 41
(19)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed Consent ... 59
Lampiran 2. Skala Try Out ... 61
Lampiran 3. Uji Reliabilitas dan Validitas... 68
Lampiran 4. Administrasi Pilot Study ... 70
Lampiran 5. Instruksi Pilot Study ... 72
Lampiran 6.Skala Penelitian ... 74
Lampiran 7. Administrasi Penelitian ... 81
Lampiran 8. Instruksi Penelitian ... 84
Lampiran 9. Data Deskriptif Subjek ... 85
a. Kelompok Kontrol ... 85
b. Kelompok Eksperimen ... 89
Lampiran 10. Hasil Penelitian ... 93
Lampiran 11. Tabel Kategorisasi Psychological Distress ... 94
a. Kelompok Kontrol ... 94
b. Kelompok Eksperimen ... 95
Lampiran 12. Uji Normalitas ... 96
a. Gain Score ... 96
b. Pre-test dan Post-test ... 99
Lampiran 13. Uji Beda Independent Sample t-test ... 105
(20)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Individu pasti pernah mengalami stress selama masa hidup (Pennebaker, 1997). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Reskesdas) yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan melaporkan sebanyak 14 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional dengan gejala kecemasan dan depresi (www.depkes.go.id). Hasil Reskesdas sejalan dengan pernyataan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Danardi yang dimuat dalam harian Kompas tanggal 15 Mei 2015. Danardi (2015) menyebutkan bahwa depresi dan kecemasan merupakan gejala stress yang diakibatkan tekanan ekonomi, pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan. Stress terjadi pada usia produktif dan dapat menimbulkan kerugian hingga 20 tirliyun rupiah karena produktivitas menurun (www.print.kompas.com). Oleh karena itu, penanganan dan pencegahan stress perlu dilakukan (Danardi, 2015).
Individu mengalami stress ketika tidak mampu memenuhi tuntutan dengan kemampuan dirinya (Danardi, 2015; Nasution, 2007). Stress juga dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu untuk menanganinya (Aggola & Ongasi, 2009). Stress bersifat subjektif, artinya setiap individu dapat menghasilkan penilaian berbeda mengenai suatu keadaan (stressor) yang sama (Mase et al, 1998; Kessler, 1979). Ketika seseorang menilai negatif tuntutan
(21)
2
dari lingkungan dan kurang mempunyai kemampuan untuk coping, maka individu berada dalam keadaan distress. Di sisi lain, keadaan eustress merupakan keadaan ketika individu menilai bahwa suatu tuntutan membawa dampak positif bagi dirinya dan memiliki strategi coping yang tepat untuk memenuhi tuntutan tersebut (Looker & Gregson, 2004). Kemampuan seseorang, lingkungan, tipe kepribadian, dan status sosial ekonomi merupakan beberapa faktor yang memengaruhi interpretasi seseorang terhadap stressor (Crawford & Henry, 2003; Kessler, 1979; Looker & Gregson, 2004).
Falci (2006) mengungkapkan bahwa individu paling banyak mengalami stress pada usia dewasa awal, yaitu usia 18-40 tahun dan dewasa madya, yaitu usia 40-65 tahun (Papalia, 2008). Pendapat serupa yang menyatakan bahwa usia dewasa awal merupakan usia yang rentan stress diungkapkan oleh Davidson dan Neale (2001 dalam Damanik, 2006). Tugas perkembangan menuntut individu dewasa awal memutuskan karier, membangun relasi dengan lawan jenis, sekaligus mengembangkan relasinya dengan orang lain. Pada usia dewasa madya, individu diharapkan mencapai puncak karier dan relasinya (Papalia, 2008; Santrock, 2008). Individu seringkali menginterpretasikan tuntutan perkembangan sebagai keadaan yang tidak menyenangkan atau mengancam. Interpretasi ini diikuti oleh ketidakmampuan individu untuk mengatasi tuntutan dan akhirnya membuat mereka berada dalam keadaan distress (Falci, 2006). Laki-laki mengalami peningkatan agresivitas dan perempuan mengalami peningkatan sensitifitas ketika distress (Nasution, 2007).
(22)
3
Cameron (1992) menyebutkan bahwa salah satu cara mereduksi stress adalah dengan menulis. Orang yang tidak buta aksara dan tidak memiliki masalah penglihatan menulis di mana saja dan kapan saja. Seseorang menulis jadwal sehari-hari, menulis puisi atau karya sastra lainnya, menulis diary atau buku harian, dan menulis bebas (Baikie & Wilhelm, 2005). Pennebaker (1989) menemukan bahwa menulis selama 15-20 menit mengenai suatu hal yang sangat emosional tanpa mempedulikan tata bahasa atau diksi mempunyai banyak manfaat. Metode ini dikenal sebagai expressive writing (EW) dan membuka paradigma baru dalam dunia psikologi, meskipun sampai sekarang belum ditemukan teori tunggal yang mendasari efektivitas expressive writing (Pennebaker & Graybeal, 2011; Pennebaker, 2004). Kegiatan expressive
writing dilakukan selama 3-5 hari berturut-turut (Baikie & Wilhelm, 2005).
Pennebaker (2004) menyatakan bahwa expressive writing memengaruhi aspek kognitif, emosional, sosial, dan biologis seseorang. Secara kognitif,
expressive writing bermanfaat untuk meningkatkan proses kognitif, yaitu
mengingat dan meningkatkan kapasitas working memory (Klein & Boals, 2001), sehingga prestasi akademik meningkat (Ramirez & Bailoc, 2011). Penelitian lain menemukan bahwa expressive writing bermanfaat untuk menjaga kesehatan, meningkatkan sistem imunitas (Booth & Pennebaker, 1997), dan menjaga relasi romantis dengan pasangan (Leoopore & Greenberg, 2002). Bagi para pekerja, expressive writing menjadi metode meningkatkan produktivitas kerja (Spera et al, 1994) dan membuat para pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan lebih mudah mengatasi tekanan dalam dirinya
(23)
4
(Pennebaker, 2004). Expressive writing juga terbukti membantu korban
bullying melakukan resiliensi (Betten et al, 2002).
Dalam bidang klinis, expressive writing terbukti signifikan untuk mereduksi gejala trauma pada kasus Post Traumatic Stress Disorder (Gidron et al, 1996), kekerasan seksual, dan perceraian (Synder et al, 2004). Klien dengan gangguan mood juga dilaporkan memiliki mood yang lebih baik ketika menjalani intervensi dengan expressive writing (Pennebaker, 1997). Regan dkk (2005) melaporkan bahwa expressive writing terbukti meningkatkan atensi dalam mengerjakan tugas, memperbaiki interaksi sosial, dan meningkatkan self-awareness siswa Sekolah Dasar yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Sejauh pengetahuan peneliti, expressive writing belum banyak dilakukan untuk proses terapi di Indonesia. Konseling menjadi model yang paling umum digunakan pada proses psikoterapi. Proses menulis dalam expressive writing setara dengan proses psikoterapi karena klien mengungkapkan cerita yang menjadi masalah dalam hidupnya (Pennebaker & Seagal, 1999). Penelitian Barry dan Singer (2001) mendukung penelitian sebelumnya. Mereka menemukan bahwa expressive writing efektif untuk mereduksi distress pada ibu dengan bayi yang dirawat di (Neonatal Intensive Care Unit) NICU. Selain itu, penelitian membuktikan bahwa expressive writing dengan media blog mengurangi distress (Baker & Moore, 2008).
Peneliti tertarik untuk menguji efektivitas expressive writing sebagai reduktor distress pada mahasiswa semester 6 di Student Residence Universitas
(24)
5
Sanata Dharma (USD). Ketertarikan ini didukung oleh teori bahwa expressive
writing merupakan metode katarsis yang memuat proses kognitif berupa
merekognisi peristiwa (King, 2001; Pennebaker & Graybeal, 2011). Selain itu, metode expressive writing yang fleksibel dan tidak mengharuskan klien berbagi ceritanya dengan orang lain menjadi pertimbangan peneliti memilih metode ini. Expressive writing tidak membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang panjang seperti psikoterapi, sehingga dapat digunakan untuk berbagai kalangan subjek (Baker & Moore, 2008; Barry & Singer, 2001), termasuk mahasiswa semester 6 yang tinggal di Student Residence USD.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut :
“Apakah expressive writing dapat menjadi metode yang efektif untuk
mereduksi psychological distress?” C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas expressive writing dalam mengurangi tingkat psychological distress.
(25)
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan berupa peneguhan teori efektivitas expressive writing sebagai reduktor psychological distress. 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat intervensi
expressive writing pada kelompok atau individu yang menghadapi kondisi psychological distress.
(26)
7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Distress
1. Stress, Distress, dan Eustress
Istilah stress pertama kali dikemukakan oleh Seyle (1974) sebagai respon non-spesifik tubuh terhadap suatu tuntutan. Stress juga dapat dilihat sebagai suatu respon atau suatu stimulus (Lazarus & Folkman, 1984). Mattew (2000) mengungkapkan bahwa stress merupakan proses dan respon yang berkaitan dengan adaptasi individu dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Goldstein dan Kopin (2007) menyebutkan bahwa stress mengandung unsur kesadaran individu untuk menginterpretasi keadaan dan mengerahkan kemampuannya untuk lepas dari keadaan tersebut.
Seyle (1974) menemukan dua macam respon individu terhadap stress. Respon pertama disebut distress, yaitu kondisi ketika individu merasa kesulitan menghadapi stressor. Respon kedua disebut Seyle sebagai eustress merupakan kondisi ketika stressor menjadi motivasi individu untuk meningkatkan performasi. Beberapa peneliti sepakat bahwa respon individu terhadap stressor bersifat subjektif, artinya stressor yang sama dapat dipersepsikan berbeda oleh tiap individu (Goldstein & Kopin, 2007; Lazarus & Folkman, 1984; Mattew, 2000). Pada taraf tertentu, situasi stress membuat orang mengalami eustress, namun ketika
(27)
8
tuntutan semakin banyak dan individu tidak memiliki strategi coping, maka individu akan mengalami keadaan distress (Goldstein dan Kopin, 2007; Kessler, 1979).
2. Definisi Distress
Istilah distress pertama kali dikemukakan oleh Seyle (1974) dalam teorinya mengenai General Adaptation Syndrome (GAS). Dalam teori tersebut, Seyle (1974) mendefinisikan distress sebagai keadaan tidak nyaman dan mengancam bagi individu yang bersifat sementara. Keadaan tersebut disebabkan tekanan lingkungan (stressor) yang tidak sebanding dengan kemampuan individu untuk mengatasinya. Kondisi distress ditandai dengan gejala sakit fisik atau psikologis dalam kurun waktu tertentu (Seyle dalam Mattew, 2000). Distress juga dapat diartikan sebagai kesadaran kognitif individu bahwa dirinya sedang dalam keadaan terancam yang dibuktikan dengan keinginan untuk menghindari stresor (Goldstein & Kopin, 2007).
Masse et all (1998) menyebutkan bahwa distress adalah reaksi negatif individu terhadap kesulitan yang dihadapi. Distress merupakan situasi ketika jumlah tuntutan yang diberikan pada individu semakin meningkat dan individu memandang tuntutan tersebut sebagai situasi sulit atau mengancam (Looker&Gregson, 2004). Mattew (2000) menyebutkan bahwa distress merupakan ketegangan internal yang disebabkan oleh
stressor eksternal. Distress dapat berarti ketegangan yang muncul akibat stressor. Ketegangan tersebut muncul karena seseorang berusaha untuk
(28)
9
mengatasi stressor atau mempertahankan fungsi psikososialnya (Lazarus, 1980 dalam Terluin et al, 2004).
Dari definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa distress adalah kondisi mengancam dan tidak nyaman yang dirasakan individu dalam kurun waktu tertentu karena persepsi/penilaian negatif terhadap suatu keadaan atau tuntutan.
3. Distress dalam Berbagai Bidang
Seyle (1974) pertama kali menggunakan istilah distress pada konteks biologi. Dalam perkembangannya, istilah distress digunakan di banyak bidang, seperti bidang kesehatan, ekonomi, dan juga psikologi. Istilah distress pada bidang kesehatan merujuk pada disfungsi bagian tubuh tertentu karena penyakit atau cedera (Aitken, 1975). Dalam bidang ekonomi juga terdapat istilah distress, yang dikenal dengan financial
distress. Financial distress diartikan sebagai keadaan keuangan yang
buruk atau tidak mendukung pemenuhan kebutuhan individu tertentu (Campbell, 2011).
Peneliti juga menemukan istilah moral distress, yaitu kondisi tidak menentu yang disebabkan pengambilan keputusan yang bertentangan dengan moral atau kode etik (Ulrich, 2010; Weinberg, 2009). Moral distress biasanya dialami oleh dokter atau perawat. Pada dasarnya, istilah distress tetap mengacu pada keadaan subjektif yang tidak menyenangkan akibat stressor. Istilah psychological distress yang digunakan dalam penelitian mengacu pada kondisi subjektif yang mengancam kesejahteraan
(29)
10
psikologis individu akibat adanya stressor (Payton, 2009; Singer et al, 1996).
4. Gejala Psychological Distress
Seperti yang telah disebutkan di atas, psychological distress merupakan kondisi subjektif bagi tiap individu (Goldstein & Kopin, 2007; Lazarus & Folkman, 1984; Mattew, 2000). Peneliti berfokus pada
psychological distress, yaitu kondisi distress yang ditandai dengan gejala
psikologis. Penelitian sebelumnya menghasilkan gagasan berbeda mengenai gejala psychological distress. Major (2002) menyebutkan bahwa gejala depresi dan somatisasi merupakan gejala psychological distress. Penelitian Mattew (2000) menemukan depresi dan kecemasan sebagai gejala utama psychological distress. Dua bentuk depresi dan kecemasan adalah mood dan malaise (Mirowsky & Ross, 1986). Mood digambarkan sebagai perasaan kesedihan pada depresi dan kekhawatiran pada kecemasan. Malaise merujuk pada gejala fisik, seperti kelesuan, kegelisahan, penyakit ringan (sakit kepala, sakit perut, dan pusing) pada kecemasan serta distraksi pada depresi (Mirowsky & Ross, 1986).
Penelitian Masse et al (1998) menyatakan bahwa psychological
distress merupakan gejala non-spesifik meliputi konstruk kecemasan,
depresi, masalah kognitif, iritabilitas, dan kemarahan. Dari semua gejala tersebut, Masse et all (1998) menyimpulkan bahwa psychological distress ditandai dengan gejala depresi, kecemasan, dan somatisasi seperti insomnia, sakit perut, sariawan, dan gangguan makan. Menurut Masse et
(30)
11
all (1998), kondisi somatik timbul sebagai akibat dari psychological
distress.
Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada psychological distress yang ditandai dengan gejala depresi, kecemasan, dan somatisasi.
5. Distress Patologis dan Distress Non-Patologis
Menurut DSM IV-TR (2000), beberapa hal perlu diperhatikan untuk memutuskan suatu keadaan distress sebagai distress patologis. Pertama, psikolog merujuk definisi distress dalam DSM IV-TR. Dalam Diagnostic
Statistical Manual IV-TR (DSM IV-TR) individu dinilai mengalami
distress bila mengalami keadaan yang menyulitkan, membuat tidak nyaman, dan mengganggu fungsi psikososialnya (DSM IV-TR). Kedua, distress dinyatakan sebagai kondisi patologis apabila bertahan atau menetap dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan diagnosis pada tiap gangguan yang spesifik. Ketiga, distress diikuti oleh disfungsi mental yang menyebabkan hilangnya fungsi sosial (disfunction) dan menyebabkan gangguan pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar (disruption).
Berbeda dari distress patologis, distress non patologis atau yang biasa disebut dengan non-clinical distress terjadi dalam kurun waktu yang relatif pendek, biasanya sekitar satu minggu (Damanik, 2006; Payton, 2009). Distress non-patologis terjadi pada setiap individu terkait dengan peristiwa hidup (stressor) yang spesifik. Ketika stressor selesai, maka kondisi distress menghilang (Payton, 2009; Zvolensky, 2010). Gejala distress
(31)
non-12
patologis tidak dapat dilihat menggunakan DSM. Fokus dalam penelitian ini adalah distress non-patologis yang terkait dengan peristiwa sehari-hari. 6. Faktor yang Memengaruhi Psychological Distress
Psychological distress dipengaruhi oleh beberapa faktor. Matthews (2007)
menyatakan bahwa psychological distress dipengaruhi oleh faktor interpersonal dan situasional.
a. Faktor Intrapersonal
Matthews (2007) menyebutkan bahwa faktor intrapersonal terdiri atas ciri kepribadian. Penelitian menemukan bahwa tipe kepribadian ekstrovert berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan afek positif. Di sisi lain, kepribadian introvert berkorelasi positif dengan kondisi
psychological distress. Kepribadian neurotik memiliki frekuensi
konflik interpersonal yang lebih tinggi, sehingga lebih rentan berada dalam kondisi psychological distress. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kepribadian tipe A lebih mudah berada dalam kondisi psychological distress dibandingkan tipe kepribadian lain (Locker & Gregson, 2004).
b. Faktor Situasional
Selain faktor intrapersonal, beberapa keadaan yang bersifat situasional juga memengaruhi timbulnya kondisi psychological distress. Faktor situasional tersebut adalah:
(32)
13
Faktor Fisiologis
Gangguan atau kerusakan yang terjadi pada salah satu bagian otak membawa dampak timbulnya psychological distress pada individu (Mattew, 2007). Kerusakan pada amygdala menyebabkan respon emosional berlebihan. Penelitian juga membuktikan bahwa kecemasan terkait dengan aktivitas anterior otak kanan , sedangkan depresi terkait dengan peningkatan aktivitas frontal sebelah kanan. Faktor Kognitif
Faktor kognitif terkait dengan persepsi dan kepercayaan seseorang terhadap suatu stressor (Mattew, 2007). Studi eksperimental menyebutkan bahwa dampak psikologis dan fisik dari suatu
stressor sangat bergantung dan dipengaruhi oleh kepercayaan dan
ekspekstasi individu. Psychological distress terjadi apabila individu menilai bahwa dirinya gagal dalam mengatasi suatu masalah dan meragukan kemampuan dirinya.
Faktor Sosial
Psychological distress terjadi ketika individu mengalami masalah
sosial dengan lingkungan sekitarnya. Masalah seperti perceraian, pengangguran, atau kekurangan dukungan sosial dapat menjadi penyebab psychological distress (Mattew, 2007). Penelitian Kessler (1979) menyebutkan bahwa individu pada strata sosial rendah cenderung lebih mudah mengalami psychological distress.
(33)
14
Hal ini terjadi karena individu memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan, fasilitas kesehatan, dan informasi.
7. Pengukuran Tingkat Psychological Distress
Asesmen tingkat psychological distress dilakukan dengan metode pelaporan diri (self-report). Dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur psychological distress adalah pendekatan keluasan gejala dan pendekatan waktu. Saat ini, pendekatan waktu lebih banyak digunakan untuk mengukur psychological distress (Mattew, 2000). Secara khusus, pendekatan waktu mengukur psychological distress dengan cara:
a. Melihat kondisi sementara individu yang berlangsung hanya beberapa menit.
b. Melihat kondisi episodik yang berlangsung dalam hitungan minggu atau bulan. Kondisi ini biasanya dipicu oleh kejadian dalam hidup. c. Melihat kepribadian yang menetap dan stabil selama bertahun-tahun. Dari dua pedekatan tersebut, peneliti memilih untuk fokus pada pengukuran dengan pendekatan waktu yang bersifat episodik.
Beberapa skala ditemukan untuk mengukur psychological distress, Peneliti memilih Distress, Anxiety, and Stress Scale (DASS) yang dibuat oleh Lovibond dan Lovibond (1955). Distress, Anxiety, and Stress Scale (DASS) mengukur psychological distress berdasarkan 3 gejala, yaitu depresi, kecemasan, dan stress dalam jangka waktu satu minggu (Crawford & Henry, 2003). Skala DASS dapat mengukur psychological distress pada subjek klinis dan non klinis (Crawford & Henry, 2003).
(34)
15
Damanik (2006) menyebutkan bahwa DASS mengukur gejala depresi, kecemasan, dan stress sebagai sebuah keadaan (state), artinya skala ini tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan depresi dan kecemasan yang menetap, seperti yang disebutkan dalam DSM IV-TR. Oleh karena itu, administrasi skala DASS meminta individu untuk melakukan pengamatan terhadap keadaan diri selama satu minggu (Crawford & Henry, 2003;, Damanik, 2006).
Norma dalam DASS adaptasi Indonesia membagi penggunanya ke dalam lima kategori psychological distress berdasarkan skor kasar yang diperoleh (Damanik, 2006). Lima kategori tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kategori Skor DASS Adaptasi Indonesia
Skor Kategori
<30 Normal
30-40 Mild
40-60 Moderate
60-70 Severe
>70 Extremly Severe
Dalam penelitian, norma DASS adaptasi Indonesia digunakan untuk membagi subjek ke dalam lima kategori tersebut.
B. Expressive Writing
1. Paradigma Expressive Writing (EW)
Expressive writing pertama kali dicetuskan oleh Pennebaker pada
tahun 1989. Pennebaker yang merupakan seorang professor di bidang Psikologi sosial banyak meneliti mengenai manfaat dari kegiatan menulis.
(35)
16
Pada awal penelitiannya, Pennebaker meneliti manfaat menulis pada klien dengan gangguan Post Traumatic and Stress Disroder (PTSD) (Pennebaker, 1997). Kemudian, Pennebaker memperluas penemuannya dengan melakukan eksperimen bidang psikososial, yaitu mengenai relasi sosial dan hubungan romantis (Pennebaker, 1997).
Expressive writing memberi pengaruh dan manfaat pada aspek kognitif, emosional, sosial, dan biologis seseorang (Klein dan Boals, 2001). Yang dimaksud dengan kegiatan expressive writing adalah menulis mengenai suatu hal yang sangat emosional tanpa memperhatikan tata bahasa maupun diksi (Pennebaker, 1997). Perbedaan mendasar expressive
writing dengan refleksi harian atau diary adalah tidak adanya proses
evaluasi diri yang mengharuskan individu untuk membuat penilaian mengenai dirinya sendiri (Baker & Moore, 2008).
Expressive writing merupakan suatu proses katarsis dan terkadang
disebut sebagai emotional storytelling karena dalam proses menulis, individu diminta menulis perasaan terdalam dan melibatkan emosinya dalam membuat cerita (Synder, 2011). Emotional storytelling
berhubungan dengan fungsi expressive writing untuk mengeluarkan emosi negatif yang disimpan dalam pikiran seseorang. Ketika seseorang menulis, ia mengeluarkan emosi yang selama ini dipendam dan mencoba untuk merekonstruksi memori dalam suatu peristiwa spesifik tertentu, sehingga menimbulkan suatu kesadaran (Niederhoffer & Pennebaker, 2006).
(36)
17
Hingga saat ini, tidak ada teori tunggal yang dapat menjelaskan cara kerja expressive writing. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti untuk menemukan bagaimana expressive writing memiliki banyak dampak positif yang signifikan dalam berbagai bidang, seperti pada bidang kesehatan, pendidikan, penyembuhan trauma, dan resiliensi korban
bullying (Pennebaker & Graybeal, 2011).
2. Administrasi Expressive Writing
Administrasi EW sangat sederhana, yaitu dengan menuliskan hal yang sangat emosional tanpa mempedulikan tata bahasa dan diksi dalam kurun waktu 15-30 menit. Kegiatan ini dapat dilakukan seminggu sekali dalam kurun waktu 3-5 minggu (Baikie & Wilhelm, 2005) atau selama 4 hari berturut-turut (Pennebaker, 1989). Hasil dari expressive writing biasanya tidak dibaca kembali seperti buku harian atau refleksi, tetapi disimpan dan hanya akan dibuka ketika individu menghendakinya (Baikie dan Wilhelm, 2005). (Instruksi terlampir)
3. Perkembangan Instruksi Expressive Writing
Instruksi expressive writing (EW) pertama kali dibuat oleh Pennebaker (1989) dan bersifat umum serta berfokus pada menulis kejadian mengenai trauma (King, 2001). Pada perkembangannya, King (2001) menemukan bahwa topik mengenai regulasi diri mempunyai manfaat yang sama dengan menulis kejadian traumatik. Hasil penelitian tersebut kemudian membawa dampak besar bagi pengembangan instruksi EW. King (2001)
(37)
18
menyebutkan bahwa menuliskan topik yang lebih spesifik membuat individu menjadi fokus pada satu kejadian.
Penemuan King (2001) melaporkan bahwa menuliskan topik spesifik seperti life-goal membuat individu berpikiran jernih, menjadi peka dengan dirinya sendiri, dan membantu proses memutuskan suatu nilai atau prinsip hidup. Hal ini sama dengan terapi kognitif perilakuan. Dengan menulis mengenai topik yang spesifik, individu menemukan cerita yang lebih konstruktif dan masuk akal, sehingga muncul keyakinan dan optimisme dalam diri individu ketika mengalami peristiwa sejenis (King, 2001). Peneliti memutuskan untuk menguji dua instruksi dalam pilot study karena dua penemuan yang bebeda tersebut.
4. Manfaat Expressive Writing
Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan adanya manfaat dari kegiatan expressive writing. Secara kognitif, expressive writing membantu individu mengingat dan meningkatkan kapasitas otak (Klein & Boals, 2001). Hal ini menyebabkan prestasi akademik meningkat (Ramirez & Bailoc, 2011). Park&Ramirez (2012) menemukan bahwa kecemasan yang dirasakan siswa pada saat ujian Matematika dapat direduksi dengan melakukan expressive writing. Pada bidang kesehatan, expressive writing diakui membantu meningkatkan kesehatan dengan memperkuat sistem imunitas (Booth & Pennebaker, 1997).
Expressive writing digunakan untuk membantu korban bullying dalam
(38)
19
menguji expressive writing untuk memperbaiki interaksi sosial pada siswa Sekolah Dasar yang memiliki gangguan emosi dan perilaku. Dari eksperimen ini, ternyata expressive writing memiliki dampak yang signifikan dalam memperbaiki interaksi sosial. EW terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan untuk menigkatkan well-being (Park & Blumberg, 2002 dalam Baikie & Wilhelm, 2005).
5. Expressive Writing dan Psikoterapi
Penggunaan expressive writing sebagai salah satu paradigma dan metode baru dalam psikoterapi sebenarnya tidak lepas dari tujuan psikoterapi. Psikoterapi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran klien mengenai masalahnya serta dapat membicarakan masalah tersebut dengan orang lain (Pennebaker, 2003), sehingga pola pikir klien dapat berubah menjadi lebih adaptif (Beck dkk dalam Pennebaker, 2003). Dalam kerangka kuratif, ada dua cara yang populer dalam proses psikoterapi, yaitu meminta klien berbicara dan menulis (Brand, 1987; Pennebaker, 1997). Bicara dan menulis merupakan salah satu cara terapeutik sekaligus katarsis (Chung & Pennebaker, 2008). Konseling merupakan salah satu model psikoterapi dengan cara berbicara.
Penelitian membuktikan bahwa bicara melalui konseling dan menulis mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing karena perbedaan prosedur dalam tiap metode. Tavakoli dkk (2009) menjelaskan bahwa pada model pertama, yaitu berbicara, klien mendapatkan timbal balik dari terapis atau konselor setelah ia membicarakan masalahnya. Di sisi lain,
(39)
20
dalam expressive writing, ketika klien sudah selesai menulis, tulisannya disimpan di suatu tempat dan hanya dibuka dalam kondisi tertentu (Pennebaker, 1997).
Paez dan Gonzalez (1999) menyatakan bahwa menulis merupakan proses reframing. Reframing juga terjadi pada proses konseling. Dalam proses konseling, reframing terjadi dengan bantuan konselor (Brand, 1987; Paez & Gonzales, 1999). Di sisi lain, reframing pada klien yang melakukan expressive writing terjadi ketika klien menuliskan stressor dan mengalami proses rekognisi (Paez & Gonzales, 1999). Brand (1987) menyebutkan bahwa menulis merupakan model psikoterapi yang melibatkan proses kognitif dan penyadaran. Kedua proses tersebut dalam konseling dilakukan secara bertahap bersama konselor.
Pennebaker & Seagal (1999) menyebutkan bahwa ketika individu tidak melepaskan beban masalahnya, maka stressor akan terakumulasi dan berdampak pada kesehatan. Memendam masalah juga dapat mengganggu proses asimilasi dengan peristiwa hidup yang lainnya. Dalam konseling, asimiliasi dilihat sebagai salah satu indikator keberhasilan (Pennebaker, 1997). Menulis dipercaya mempunyai kedudukan yang setara dengan psikoterapi karena memiliki aspek pengungkapan masalah (Pennebaker & Seagal, 1999).
Paradigma expressive writing masih memiliki keterbatasan, yaitu pengetahuan mengenai cara kerjanya. Hingga saat ini, paradigma umum yang muncul tentang expressive writing adalah bahwa expressive writing
(40)
21
mempunyai efek yang positif terhadap aspek kesehatan dan psikologis, namun belum ada kesepakatan mengenai cara kerjanya (Pennebaker, 2004). Hal ini disebabkan keharusan untuk menguji sebuah paradigma melalui cara berpikir sebab akibat (Pennebaker & Graybeal, 2011).
C. Dinamika Antar Variabel
Kondisi psychological distress (PD) dialami oleh individu dalam taraf yang berbeda. Kondisi PD muncul karena persepsi negatif individu terhadap
stressor yang dihadapi. Pada usia dewasa awal dan dewasa madya, individu
rentan berada dalam kondisi PD yang bersifat episodik. Hal ini berkaitan dengan tuntutan perkembangan pada usia dewasa awal dan dewasa madya. Ketika individu mengalami PD, terdapat 3 gejala yang muncul, yaitu depresi, kecemasan, dan keadaan somatik yang berlangsung selama kurun waktu tertentu. Jika tidak diatasi, maka kondisi PD menurunkan performa individu dan berpotensi mengganggu kesehatan.
Untuk mengatasi kondisi PD, individu perlu mengubah persepsi terhadap stressor dari negatif menjadi positif. Expressive writing (EW) menjadi salah satu cara yang potensial untuk mereduksi PD karena terjadi perubahan persepsi negatif menjadi positif ketika menulis. Perubahan ini disebabkan oleh proses rekognisi yang menimbulkan kesadaran baru pada individu bahwa dirinya dapat mengatasi stressor yang sedang dihadapi. Proses rekognisi membantu individu menjadi lebih sadar (aware) mengenai pikiran, perasaan,
(41)
22
dan kemampuan individu dalam menghadapi tuntutan, sehingga persepsi negatif berubah dan distress bisa diatasi.
D. Skema
Di bawah ini merupakan skema penelitian yang memperlihatkan proses reduksi variabel dependen (psychological distress) menggunakan variabel independen (expressive writing)
(42)
23
Tanpa Perlakuan
Expressive Writing
PD Turun
Psychological Distress (PD):
Kondisi mengancam dan tidak nyaman yang dirasakan oleh individu dalam kurun waktu tertentu karena persepsi negatif
terhadap stressor.
Gejala PD: Depresi Kecemasan
Somatisasi
Persepsi negatif Positif
Persepsi negatif negatif Rekonstruksi peristiwa
Awareness
PD Tetap/Naik
(43)
24
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
Ho : Tidak terdapat perbedaan tingkat psychological distress antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Hi : Terdapat perbedaan tingkat psychological distress yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Jika Ho ditolak dan Hi diterima, maka expressive writing efektif untuk mereduksi psychological distress.
(44)
25 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain eksperimen kuasi. Pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori secara objektif dengan cara mengukur hubungan antar variabel secara numerik dan menganalisanya secara statistik (Creswell dalam Supratiknya, 2014). Peneliti juga menggunakan desain eksperimen kuasi. Desain eksperimen kuasi dipilih untuk menguji efektivitas dari suatu jenis intervensi tertentu dalam setting natural (Solso, 2008). Jenis ekperimen kuasi memungkinkan generalisasi hasil ekperimen ke populasi.
Peneliti bertujuan melihat efektivitas intervensi expressive writing dalam mereduksi psychological distress. Untuk melihat efektivitas tersebut, peneliti menggunakan desain between subject dengan menguji gain score kelompok kontrol dan eksperimen. Desain lanjutan dalam penelitian ini adalah within
subject, yaitu melakukan pre dan post test pada kelompok kontrol dan
(45)
26
B. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat satu variabel dependen dan satu variabel independen. Masing-masing variabel tersebut adalah
1. Dependent Variable : Psychological distress
2. Independent Variable : Expressive writing
C. Definisi Operasional
1. Psychological distress
Psychological distress adalah keadaan yang terjadi ketika individu
menginterpretasi suatu tuntutan dalam bentuk tugas atau masalah secara negatif, sehingga menimbulkan ancaman dan rasa tidak nyaman bagi individu. Kondisi psychological distress ditandai dengan munculnya gejala depresi, kecemasan, dan stress yang diukur dengan Depression, Anxiety,
and Stress Scale (DASS) adaptasi Indonesia. Jumlah item dalam DASS
sebanyak 42. Skala DASS menggunakan skala Likert, mulai dari angka 0 (tidak pernah) sampai 3 (sangat sering).
2. Expressive Writing
Expressive writing merupakan kegiatan menuliskan pikiran dan perasaan
terdalam mengenai suatu peristiwa yang paling emosional ketika subjek memiliki sangat banyak tugas atau masalah dalam hidup. Kegiatan ini dilakukan dengan durasi 20 menit selama 5 hari berturut-turut. Dalam
(46)
27
kata, penulisan tanda baca, dan ejaan. Subjek dapat memilih topik yang sama atau berbeda setiap hari.
a. Kelompok Eksperimen
Kelompok eksperimen mendapat perlakuan expressive writing dengan instruksi tematik selama 5 hari (lihat lampiran)
b. Kelompok Kontrol
Kelompok kontrol tidak diberi perlakuan.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sampel dari populasi yang dianggap mewakili atau mempunyai karakteristik yang mencerminkan populasi asalnya (Supratiknya, 2014). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester 6 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di Student Residence Paingan dan Mrican. Seluruh subjek adalah mahasiswa non Psikologi yang berasal dari berbagai daerah, seperti Flores, Ende, dan Papua. Subjek dipilih atas dasar keterjangkauan.
Menurut wawancara dengan pamong Student Residence (SR), mahasiswa semester 6 yang tinggal di SR merupakan mahasiswa yang mendapat beasiswa dari pemerintah daerah maupun gereja. Pamong SR mengatakan bahwa mahasiswa semester 6 memiliki tingkat distress karena tanggung jawab yang mereka miliki. Subjek harus menyelesaikan studinya sebelum masa beasiswa habis, yaitu selama 4 tahun. Selain itu, ketimpangan pendidikan antara daerah asal dan Jawa membuat subjek kesulitan untuk memahami materi perkuliahan,
(47)
28
sehingga IP yang didapatkan kurang dari 3,00. Subjek juga mempunyai beban berupa keadaan ekonomi keluarga. Subjek yang mendapat beasiswa berasal dari keluarga kurang mampu.
Mahasiswa di masing-masing Student Residence dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, kontrol dan eksperimen. Peneliti menggunakan random
sampling atau pengundian subjek secara acak (Supratiknya, 2014). Random sampling digunakan pada populasi dengan karakteristik serupa. Teknik
sampling acak memberi peluang yang sama kepada masing-masing anggota populasi untuk menjadi bagian eksperimen (Solso, 2008).
E. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini melibatkan dua tempat berbeda, yaitu Student Residence Mrican dan Paingan. Oleh karena itu, peneliti melaksanakan eksperimen dengan dua waktu yang berbeda, yaitu pukul 19.00 WIB di Mrican dan pukul 21.00 WIB di Paingan. Pelaksanaan eksperimen dibantu oleh seorang asisten peneliti.
1. Alat dan Bahan Penelitian
a. Informed consent untuk kelompok eksperimen b. Daftar absen
c. Skala pre-post test
d. Kertas HVS ukuran A4 disertai dengan instruksi e. Ballpoint
(48)
29
2. Langkah Eksperimen
a. Peneliti mengurus perizinan ke Campus Ministry dan menindaklanjuti surat disposisi ke pamong Student Residence.
b. Peneliti memaparkan proposal penelitian kepada pamong Student
Residence.
c. Peneliti memilih subjek penelitian secara random sampling.
d. Pada hari pertama, asisten peneliti menjelaskan prosedur penelitian dan memberikan inform consent serta membuat kesepatakan bersama kelompok.
e. Pada hari pertama dilakukan pre-test dengan memberikan skala DASS untuk mengukur tingkat psychological distress masing-masing individu dalam kelompok.
f. Dari hari kedua hingga keenam, asisten peneliti memberikan perlakuan berupa expressive writing pada kelompok eksperimen selama 20 menit, sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan apapun.
g. Pada hari ketujuh, asisten peneliti melakukan post-test dengan skala DASS untuk melihat tingkat psychological distress subjek setelah diberi perlakuan.
F. Alat Pengumpul Data
Untuk melaksanakan penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah The
Depression, Anxiety, Stress Scale (DASS) yang telah diadaptasi menjadi
(49)
30
mengukur psychological distress pada subjek non-klinis. Penelitian yang baik harus menggunakan skala yang teruji reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas adalah keajegan yang dimiliki sebuah skala. Skala yang realiabel menampilkan hasil yang konstan atau ajeg jika diujikan pada populasi berbeda dengan karakter yang sama dengan sampel populasi (Supratiknya, 2014).
Menurut analisis statistik yang dilakukan oleh Damanik (2006), skala
DASS mempunyai relibilitas sebesar α = 0.9483. Hal ini berarti skala DASS
dapat diandalkan, akurat, dan konsisten untuk mengukur psychological
psychological distress. Damanik (2006) menguji validitas DASS dengan
mengkorelasikan skor item dengan skor total dalam tiap skala DASS. Hasil dari pengujian validitas menyatakan bahwa rit 41 item > 0.3, yang berarti bahwa 41 item ini valid atau tepat mengukur konstruk psychological distress. Satu item pada skala ini, yaitu item nomor 2 memiliki rit yang rendah (rit <
0.3) sebesar 0,2017.
G. Metode Analisis Data
Efektivitas expressive writing untuk mereduksi psychological distress diukur dengan uji beda (t-test). Uji t digunakan untuk menguji perbedaan dua kelompok berdasarkan perbedaan mean sebelum dan sesudah diberi perlakuan (Santoso, 2012;2014). Teknik t-test yang digunakan untuk menguji between
subject design adalah independent sample t-test. Independent sample t-test
digunakan untuk melihat perbedaan kepemilikan atribut psychological distress antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang tidak berhubungan
(50)
31
(Santoso, 2012;2014). Untuk menguji perbedaan tingkat psychological
distress sebelum dan sesudah diberi expressive writing (within subject design),
(51)
32 BAB IV
PERSIAPAN PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian 1. Uji Coba Alat
Alat penelitian adalah skala Depression Anxiety Stress Scale (DASS) yang diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Damanik (2006). Skala DASS adaptasi Indonesia telah diujicobakan pada sampel klinis dan non klinis. Sampel klinis yang digunakan sejumlah 72 orang di Yogyakarta, sedangkan sampel non klinis sejumlah 72 orang di Jakarta dan Bogor. Kedua kelompok sampel memiliki rentang usia 20 hingga 60 tahun (Damanik, 2006). Uji coba adaptasi skala DASS ke bahasa Indonesia menghasilkan nilai reliabilitas α = 0.948. Validitas item pada skala DASS ditentukan berdasarkan nilai item-total correlation. Dari 42 item pada skala DASS, terdapat 41 item yang valid dan 1 item yang memiliki nilai
item-total correlation sebesar 0.20 (Damanik, 2006). Dari hasil penelitian
sebelumnya, peneliti memutuskan untuk melakukan revisi pada kalimat item 2. Jadi, skala DASS yang peneliti uji cobakan kembali berjumlah 42 item yang terdiri atas 14 skala yang mengukur depresi, 14 skala yang mengukur kecemasan, dan 14 skala mengukur kondisi somatik dari stress. Pelaksanaan uji coba skala DASS dilaksanakan pada hari Selasa, 5 April 2016 dan hari Kamis, 7 April 2016. Subjek uji coba adalah
(52)
33
Subjek uji coba skala sebanyak 82 orang, yang terdiri atas 40 laki-laki dan 42 perempuan. Subjek berasal dari jurusan Pendidikan Fisika, Pendidikan Matematika, Teknik Informatika, dan Teknik Mesin. Rentang usia subjek antara 20 hingga 21 tahun.
Reliabilitas skala DASS diuji menggunakan Cronbach Alpha. Skala dianggap reliabel apabila nilai Cronbach Alpha (α) ≥ 0.50 (Supratiknya,
2014). Uji coba skala DASS, menghasilkan α= 0.92 > 0.50. Hal ini berarti skala DASS dapat diandalkan dan konsisten untuk mengukur
psychological distress.
Skala penelitian juga harus valid. Validitas skala DASS diperoleh dari nilai item-total correlation (Rit) per item. Sebuah item dinyatakan memiliki validitas yang baik apabila memiliki Rit ≥ 0.30 (Supratiknya, 2014). Dari 42 item dalam skala DASS, terdapat 2 item yang memiliki nilai Rit < 0.30, yaitu item 1 sebesar 0.29 dan item 15 sebesar 0.20. Peneliti memutuskan untuk tetap memakai item 1 dalam skala penelitian dengan melakukan revisi pada kalimat item, sedangkan item 15 digugurkan karena nilai korelasi item-totalnya jauh dari 0.30. Jadi, skala DASS yang digunakan dalam penelitian berjumah 41 item yang terdiri atas 14 item depresi, 13 item kecemasan, dan 14 item kondisi somatik terkait stress.
2. Pilot study
Pilot study dilaksanakan pada hari Kamis s.d Jumat, 28 s.d. 29 April
(53)
34
Universitas Sanata Dharma. Subjek pilot study terdiri atas 6 laki-laki dan 6 perempuan. Subjek pilot study berasal dari jurusan non Psikologi Universitas Sanata Dharma dan sedang menempuh kuliah semester 6. Pilot
study bertujuan untuk melihat efektivitas instruksi expressive writing
(EW). Peneliti menyiapkan dua jenis intruksi. Instruksi pertama adalah instruksi umum yang dikembangkan oleh Pennebaker (1986), sedangkan intruksi kedua adalah instruksi tematik yang dikembangkan oleh King (2001) (lihat lampiran). Subjek untuk masing-masing kelompok instruksi berjumlah 6 orang, yang terdiri atas 3 laki-laki dan 3 perempuan.
Di hari pertama, asisten peneliti membagi subjek ke dalam dua kelompok dengan cara mengundi. Subjek yang mendapat nomor undian 1 menulis dengan instruksi umum selama 2 hari, sedangkan kelompok 2 menulis menggunakan intruksi tematik selama 2 hari. Setelah kelompok terbagi, asisten peneliti membagikan kertas dan pena lalu meminta subjek untuk membaca instruksi. Dari 12 peserta, ada 1 peserta yang bertanya mengenai waktu penelitian yang tertulis 5 hari. Setelah dijelaskan oleh asisten peneliti, subjek tersebut dapat memahami instruksi yang diberikan. Durasi EW pada pilot study selama 15 menit. Akan tetapi, ketika waktu 15 menit habis, masih ada 3 orang yang belum menyelesaikan tulisannya. Setelah semua subjek pulang, peneliti dan asisten peneliti mengecek hasil EW subjek dan menemukan bahwa sebagian besar subjek tidak menyelesaikan kalimat terakhir dari tulisan mereka karena waktunya
(54)
35
sudah habis. Hal ini menjadi evaluasi bagi pelaksanaan pilot study hari pertama.
Pada hari kedua, asisten peneliti kembali memberikan kertas, pena, dan instruksi sesuai kelompok kepada subjek. Mereka kembali diminta membaca intruksi dan menulis selama 15 menit. Setelah waktu 15 menit habis, subjek diminta menyelesaikan kalimat terakhir yang ingin mereka tulis. Setelah itu, asisten peneliti meminta subjek memberikan nilai dengan rentang 1-10 untuk kejelasan instruksi. Asisten peneliti juga meminta subjek untuk menuliskan perasaan dan pikiran mereka terkait kegiatan yang dilakukan selama 2 hari tersebut.
Dari hasil pilot study, peneliti memutuskan untuk menggunakan instruksi tematik. Keputusan ini diambil karena semua subjek yang mendapat instruksi tematik menuliskan peristiwa yang membuat mereka berada dalam kondisi psychological distress sekaligus pemecahan masalah atau coping yang dilakukan. Di sisi lain, subjek yang mendapatkan instruksi umum menuliskan berbagai peristiwa, seperti peristiwa traumatis, peristiwa menyenangkan, dan beberapa menuliskan peristiwa ketika mereka kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup mereka. Peneliti memilih instruksi tematis karena instruksi ini lebih spesifik dan efektif untuk memunculkan peristiwa psychological distress.
Peneliti menemukan bahwa durasi penulisan 15 menit belum cukup untuk menyelesaikan cerita mengenai satu pengalaman. Berdasarkan jurnal yang ada, durasi EW adalah selama 15 hingga 20 menit dan peneliti
(55)
36
memutuskan durasi penulisan EW untuk penelitian adalah selama 20 menit.
3. Deskripsi Konteks Penelitian
Penelitian melibatkan mahasiswa semester 6 Universitas Sanata Dharma di Student Residence Mrican dan Paingan. Mahasiswa yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 45 mahasiswa, yang terdiri atas 11 laki-laki dan 34 perempuan. Subjek penelitian seluruhnya berasal dari luar Jawa, yaitu dari Flores, Ende, dan Papua. Subjek merupakan mahasiswa yang mendapat program beasiswa kerjasama universitas dengan pemerintah daerah atau gereja. Pamong dari kedua Student
Residence mengatakan bahwa mahasiswa semester 6 memiliki banyak
kegiatan dan kebanyakan memiliki IPK < 3.00. Performansi akademik yang kurang baik menurut pamong merupakan cermin dari ketimpangan pendidikan yang mereka dapatkan di daerah asal.
B. Hasil Penelitian
1. Pemaparan Pengumpulan Data
Pengambilan data penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu di Student
Residence (SR) USD Paingan dan Student Residence (SR) USD Mrican.
Pengambilan data di SR Paingan dimulai pada hari Minggu, 15 Mei 2015 sampai dengan Sabtu, 21 Mei 2016, sedangkan pengambilan data di SR Mrican dimulai pada hari Senin, 16 Mei 2016 sampai dengan Minggu, 22 Mei 2016. Jumlah subjek di SR Paingan sebanyak 17 mahasiswa yang
(56)
37
terdiri atas 11 mahasiswa laki-laki dan 6 mahasiswa perempuan. Mahasiswa SR Mrican berjumlah 28 orang perempuan. Subjek di dua tempat tersebut dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen secara acak.
Pelaksanaan penelitian di SR Mrican dan SR Paingan dilakukan dengan membagikan skala pre test kepada dua kelompok penelitian. Setelah itu pada hari kedua sampai dengan keenam, kelompok eksperimen diminta melakukan EW sesuai intruksi tematik. Pada hari ketujuh, kelompok kontrol dan kelompok eksperimen diberikan skala post test. Untuk kelompok kontrol dan eksperimen, skala yang digunakan sama dengan skala pre test. Peneliti hanya membedakan judul skala dan urutan subskala untuk kelompok kontrol dan eksperimen. Kelompok kontrol
mendapat skala berjudul “Skala Penelitian 2” dengan urutan subskala
kondisi somatik, depresi kemudian kecemasan. Kelompok eksperimen mendapat skala berjudul “Skala Penelitian 1” dengan urutan subskala sama seperti aslinya, yaitu skala depresi, kecemasan, kemudian kondisi somatik.
Pengambilan data di SR Paingan dilaksanakan pukul 21.00 WIB setiap hari selama 1 minggu di ruang doa SR Paingan. Di SR Mrican, subjek sepakat untuk menulis secara mandiri selama 20 menit. Setelah pre test yang dilaksanakan pukul 19.00 WIB di ruang rapat SR Mrican, kelompok eksperimen memilih partner yang menemani mereka selama menulis.
Partner berasal dari kelompok ekperimen dan bertugas untuk menjadi time keeper agar waktu penulisan tepat 20 menit. Untuk memastikan bahwa
(57)
38
subjek menulis pada satu pengalaman setiap hari, peneliti meminta subjek untuk mengirimkan foto tulisan mereka melalui Whats Up atau Line maksimal pukul 23.00 WIB setiap hari. Pelaksanaan pre-test dilakukan hari ketujuh pada pukul 19.00 WIB di ruang rapat.
Dari 45 subjek, 8 subjek gugur dalam penelitian. Berikut adalah tabel ditribusi subjek dari awal hingga akhir penelitian:
Tabel 2. Distribusi Subjek di Awal dan Akhir Penelitian Tempat Eksperimen ∑ Subjek Awal ∑ Subjek Akhir
Mrican
Kontrol L : 0 L : 0
P : 14 P : 12
Eksperimen L : 0 L : 0
P : 14 P : 13
Paingan
Kontrol L : 5 L : 3
P : 3 P : 2
Eksperimen L : 6 L : 4
P : 3 P : 3
Jumlah Subjek
Kontrol 22 17
Eksperimen 23 20
2. Proses dan Hasil Analisis Data
Peneliti menggunakan gain score tiap subjek pada masing-masing kelompok untuk mengetahui efektivitas EW terhadap penurunan
psychological distress. Nilai gain score diperoleh dengan rumus berikut:
Cara ini digunakan untuk melihat gain score subjek sesuai dengan base
line masing-masing. Dengan memperhitungkan skor base line, gain score
(58)
39
Dalam analisis utama, peneliti menggunakan uji beda independent sample
t-test untuk membedakan tingkat distress kelompok kontrol dan
eksperimen. Terdapat dua asumsi dasar yang harus dipenuhi untuk melakukan independent sample t-test, yaitu uji normalitas dan homogenitas data (Santoso, 2014).
a. Uji Normalitas
Uji normalitas data gain score dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk karena subjek penelitian kurang dari 50 orang.
Tabel 3. Uji Normalitas
Data Kelompok Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Gain Score Kontrol .906 17 .087
Eksperimen .957 17 .584
Nilai Shapiro-Wilk (Sig.) mencerminkan data yang normal apabila p > 0.05. Dari hasil penghitungan menggunakan SPSS 16.0, data gain
score pada kelompok kontrol dan eksperimen normal (Sig.kontrol =
0.087 < 0.05; Sig.eksperimen = 0.584 > 0.05). b. Uji Beda Independent Sample t-test
Untuk melihat perbedaan mean psychological distress pada kelompok kontrol dan eksperimen, peneliti menggunakan uji beda Independent
(59)
40
Tabel 4. Uji Beda Independent Sample T-test Independent Samples Test
Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed ) Mean Differ ence Std. Error Differ ence 95% Confidence Interval of the Difference Lowe
r Upper Gain
Score
Equal variances assumed
.804 .376 .51 9
35 .607 5.188 02 9.992 47 -15.09 778 25.47 381 Equal variances not assumed .50 3 26. 983 5.188 02 10.32 389 -15.99 546 26.37 150
Homogenitas data gain score dalam penelitian dilihat melalui nilai Levene test. Nilai Levene‟s test (Sig.) dianggap menunjukkan nilai signifikan apabila Sig. > 0.05. Dari perhitungan SPSS, nilai Levene‟s test yang diperoleh sebesar 0.376 > 0.05, artinya varian dari sample bersifat homogen atau mempunyai variasi yang sama.
Selanjutnya, independent sample t-test digunakan untuk melihat perbedaan penurunan tingkat distress antara kedua kelompok. Nilai Sig. 2-tailed (p) dianggap signifikan atau menunjukkan perbedaan antara dua kelompok apabila p < 0.05. Tabel di atas menunjukkan nilai p sebesar 0.607 > 0.05, maka tidak ada perbedaan perubahan penurunan tingkat distress antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
(60)
41
Karena hasil uji beda (independent sample t-test) gain score kelompok kontrol dan eksperimen tidak menunjukkan perbedaan penurunan tingkat distress yang signifikan, maka peneliti melanjutkan analisis dengan melakukan uji beda terhadap skor pre test dan post test masing-masing kelompok.
c. Uji Beda Pre-Test dan Post-Test (Wilcoxon)
Sebelum melakukan uji beda pre-test dan post-test, peneliti melakukan uji normalitas pada data masing-masing kelompok.
Tabel 5. Uji Normalitas Pre-test dan Post-test
Kelompok Data Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Kelompok Kontrol
Pre-test .910 17 .099 Post-test .748 17 .584 Kelompok
Eksperimen
Pre-test .884 20 .021 Post-test .924 20 .120
Nilai Shapiro-Wilk (Sig.) menunjukkan data yang normal apabila p > 0.05. Hasil penghitungan SPSS 16.0 menunjukkan bahwa data pre-test kelompok eksperimen tidak terdistribusi normal (p = 0.021 < 0.05). Karena salah satu data tidak memenuhi uji normalitas, maka data harus diuji menggunakan analisis non parametrik (Santoso, 2003; 2014).
Dalam statistik non parametrik, uji beda Wilcoxon mempunyai kegunaan yang sama dengan uji paired sample t –test pada analisis
parametrik. Kegunaannya adalah menguji data yang saling berhubungan (Santoso, 2014), yaitu data pre-test dan post-test dari setiap kelompok.
(61)
42
Berikut adalah hasil dari uji beda pre-test dan post-test kelompok kontrol dan eksperimen :
Tabel 6. Uji Beda Wilcoxon Test Statisticsb
PostKontrol - PreKontrol
PostEks – PreEks
Z -1.615a -2.724a
Asymp. Sig. (2-tailed)
.106 .006
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Dua kelompok data dianggap berbeda apabila nilai p < 0.05. Hasil penghitungan SPSS 16.0 menunjukkan nilai p pada kelompok kontrol sebesar 0.106 > 0.05, artinya tidak ada perbedaan tingkat psychological
distress pada kelompok kontrol yang tidak diberi expressive writing. Di
sisi lain, nilai p pada kelompok eksperimen sebesar 0.006 < 0.05, artinya ada perbedaan tingkat psychological distress sebelum dan sesudah diberi
expressive writing pada kelompok eksperimen.
3. Pembahasan
a. Pembahasan Uji Beda Independent Sample t-test
Penelitian ini bertujuan menguji efektivitas expressive writing (EW) sebagai reduktor psychological distress (PD) pada mahasiswa semester 6. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa expressive
writing (EW) efektif untuk mengurangi tingkat psychological distress
(Baikie & Wilhem, 2002; Pennebaker, 1997; Tavakolli, 2009). Hasil analisis menggunakan uji beda gain score kelompok kontrol dan eksperimen tidak menunjukkan perbedaan tingkat psychological
(62)
43
distress yang signifikan (p = 0.607 > 0.05). Artinya, perlakuan EW
tidak efektif untuk menurunkan tingkat psychological distress.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya walaupun peneliti menemukan kecenderungan subjek kelompok eksperimen mengalami penurunan kategori tingkat psychological
distress lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan
kategori dialami 50% dari total 20 subjek. Di sisi lain, hanya 11,76% subjek dari kelompok kontrol yang mengalami penurunan kategori
psychological distress (lihat lampiran). Peneliti juga sudah melakukan
pengetatan metode dengan melakukan analisis statistik parametrik. Analisis parametrik lebih ketat dan rinci dibandingkan statsitik non-parametrik (Santoso, 2013), sehingga ketika membandingkan hasilnya, perbedaan tingkat penurunan psychological distress kedua kelompok makin jauh.
Ketidaksesuaian hasil penelitian disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, subjek yang digunakan kurang tepat. Penelitian ini menguji efektivitas exspressive writing (EW) untuk mereduksi psychological
distress. Bootzin (1997) menemukan bahwa EW tidak efektif ketika
tidak menemukan subjek yang tepat. Ketika tidak menemukan subjek yang tepat, maka EW menjadi tidak efektif. Peneliti menyimpulkan bahwa subjek dalam penelitian ini tidak peka terhadap perlakuan EW karena tidak memiliki psychological distress yang cukup tinggi.
(63)
44
Kedua, Bootzin (1997) juga mengungkapkan bahwa EW tidak efektif ketika subjek dengan tingkat psychological distress sudah memiliki strategi coping yang efektif. Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengontrol variabel berupa strategi coping individu, sehingga muncul kemungkinan bahwa subjek kedua kelompok mengalami penurunan tingkat psychological distress karena kemampuan mereka dalam melakukan coping.
Ketiga, penelitian ini menggunakan metode self-report untuk mengukur tingkat psychological distress. Smith (1996 dalam Pennebaker, 1997) menemukan inkonsistensi efek EW terhadap penurunan tingkat psychological distress. Inkonsistensi tersebut muncul pada penelitian yang menggunakan metode self-report. Metode self-report memang memiliki keterbatasan berupa besarnya kemungkinan subjek untuk melakukan faking. Dalam penelitian, subjek dari kedua kelompok mungkin melakukan faking dalam memberikan jawaban, sehingga hasil penelitian ini menjadi tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya.
b. Pembahasan Hasil Uji Beda Wilcoxon
Karena hasil uji beda independent sample t-test tidak mendukung hipotesis, maka peneliti melanjutkan dengan uji beda pre test post
-test masing-masing kelompok. Hasil uji statistik Wilcoxon
(64)
45
mengurangi tingkat psychological distress pada kelompok eksperimen yang diberi EW selama 5 hari (peks=0.006 < 0.05; pkontrol = 0.106>05).
Keefektivan EW untuk mereduksi PD sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa EW efektif untuk mengurangi PD pada ibu yang anaknya dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) (Barry & Singer,2001). Dalam penelitian, PD berkurang karena timbulnya kesadaran subjek bahwa dirinya pernah berhasil melalui suatu peristiwa dengan baik (King, 2001; Pennebaker dan Seagal, 1999). Teori ini mendukung pernyataan subjek yang mengatakan bahwa beberapa dari mereka menjadi sadar atas tindakan dan respon mereka terhadap suatu peristiwa.
Keberhasilan penelitian sejalan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan keberhasilan EW untuk mereduksi PD melalui media blog (Baker & Moore, 2008; Nissim & Barak, 2013). Davidson et al (2000) dan Major et al (2002) menjelaskan bahwa EW merupakan proses katarsis atau melepaskan emosi negatif yang ada dalam diri individu. Dengan terlepasnya emosi negatif, maka seseorang menjadi lebih lega. Hal ini didukung oleh temuan peneliti pada saat pilot study. Beberapa subjek penelitian mengatakan bahwa mereka merasa lega karena dapat mengungkapkan beban atau permasalahan mereka dengan tulisan.
Peneliti menemukan bahwa instruksi penelitian memengaruhi tingkat keberhasilan. Penelitian ini menggunakan instruksi tematik yang mendorong subjek untuk menuliskan peristiwa secara runtut dan
(65)
46
terpernci. King (2001) mengembangkan instruksi tematik untuk mengatasi permasalahan yang lebih spesifik. Peneliti sebelumnya beranggapan bahwa semakin spesifik instruksi yang diberikan, semakin mudah subjek mengingat dan merekognisi peristiwa yang dialami (King, 2001; Pennebaker dan Seagal, 1999). Dengan memberikan instruksi tematik yang terperinci, subjek menjadi lebih mudah mengingat dan merekognisi pengalaman distress yang dihadapi.
Penelitian sebelumnya berlangsung selama 3-4 hari dengan durasi 20 menit/hari (Baikie & Wilhem, 2005; Leopoore & Greenberg, 2002; Synder et al, 2004; Tavakoli, 2009). Penelitian ini berlangsung selama 5 hari berturut-turut dan hasilnya signifikan. Hasil ini sesuai dengan teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa interval pemberian EW merupakan prosedur yang sangat fleksibel (Chung & Pennebaker, 2008). Fleksibilitas EW dibuktikan dengan beragamnya interval pemberian EW serta kebebasan waktu dan tempat yang diberikan pada subjek untuk menulis (Berry, 2001).
Penelitian ini membuktikan teori sebelumnya bahwa salah satu kekuatan EW terletak pada prosedur yang bebas bias budaya (Pennebaker dan Graybell, 2011; Pennebaker, 2004; Pennebaker, 1997; Sherlock dan Pennebaker, 2003). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian terkait EW yang melibatkan subjek dari berbagai suku dan ras dengan hasil yang signifikan (Tavakoli, 2009). Teori ini
(66)
47
mendukung hasil penelitian yang melibatkan mayoritas subjek yang berasal dari daerah Indonesia timur (Flores, Ende, dan Papua).
Penelitian ini melibatkan mahasiswa USD dari berbagai prodi dan menunjukkan hasil signifikan. Hasil penelitian sejalan dengan teori sebelumnya menyebutkan bahwa EW efektif untuk mereduksi PD dari berbagai kalangan, seperti penderita penyakit kronis (Rossenberg et al, 2002; Stanton & Burg, 2002 dalam Baikie & Wilhem, 2005; Harris, 2006; Rivikin et al dalam King, 2001), siswa Sekolah Dasar (Regan, 2005), mahasiswa baru (Tavakoli, 2009), dan ibu dengan bayi yang dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) (Berry et al, 2001). 4. Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penelitian sebelumnya. Pertama, sejauh pencarian peneliti, eksperimen menggunakan
expessive writing (EW) sebagai reduktor psychological distress belum
pernah dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini berpotensi menjadi sumbangan bagi upaya preventif, kuratif, dan promotif dalam peningkatan kesehatan mental di Indonesia, terutama pada subjek mahasiswa.
Kedua, subjek dalam penelitian ini merupakan mahasiswa non psikologi mulai dari try out skala sampai dengan penelitian. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang kebanyakan menggunakan mahasiswa psikologi sebagai partisipan (Baikie & Wilhem, 2002; Pennebaker, 1997; Tavakolli, 2009). Pemilihan mahasiswa non psikologi
(67)
48
dilakukan untuk meminimalisir ekspektasi subjek terhadap hasil penelitian karena pengetahuan yang mereka miliki. Pemilihan subjek non Psikologi dapat menjadi peluang generalisasi penelitian ke populasi mahasiswa yang lebih besar.
Ketiga, kelompok kontrol dalam penelitian tidak diberi perlakuan apapun. Langkah ini merupakan bentuk perbaikan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang memberikan tugas pada kelompok kontrol. Pemberian tugas pada kelompok kontrol dikhawatirkan dapat menimbulkan variabel ekstra. Keempat, subjek penelitian tidak diberi
reward berupa poin atau uang, tetapi diberikan jaminan kerahasiaan dan
penjelasan mengenai manfaat penelitian setelah penelitian selesai sebagai motivasi mengikuti penelitian.
Keterbatasan lain dalam penelitian adalah jumlah jumlah subjek yang minim karena mortalitas subjek. Dalam pelaksanaan penelitian, subjek gugur karena tidak mengikuti penelitian dari awal sampai akhir atau tidak memenuhi syarat penelitian. Komposisi gender pada penelitian ini juga tidak seimbang. Dari 45 subjek di awal penelitian, hanya terdapat 6 mahasiswa laki-laki. Walaupun penelitian ini tidak berfokus pada perbedaan gender, komposisi subjek penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan penelitian selanjutnya karena mempunyai kemungkinan memengaruhi hasil penelitian.
Perbandingan jumlah kelompok kontrol dan eksperimen kurang seimbang. Subjek pada kelompok kontrol berkurang dibanding kelompok
(68)
49
eksperimen karena mortalitas subjek. Kelompok kontrol sejumlah 17 mahasiswa dan kelompok eksperimen sejumlah 20 mahasiswa, sehingga terdapat selisih 3 subjek.
Keterbatasan lain adalah perbedaan tempat penelitian. Dua tempat digunakan untuk penelitian, yaitu Student Residence Mrican dan Student
Residence Paingan. Meskipun sama-sama dikelola oleh lembaga yang
sama, masih terdapat perbedaan pola pengasuhan pamong di kedua tempat tersebut. Selain itu, aturan asrama yang agak berbeda dapat menjadi variabel ekstra dalam penelitian ini.
Dari segi metode penelitian, menempatkan subjek secara acak (random
assignment) menjadi suatu kelemahan apabila peneliti hendak melakukan
uji beda. Dengan menempatkan subjek secara acak, maka kemungkinan subjek yang memiliki tingkat psychological distress tinggi atau rendah mengumpul di satu kelompok menjadi lebih besar. Memasangkan subjek sesuai dengan tingkat psychological distress yang dimiliki dan membaginya sama rata ke dalam kelompok kontrol dan eksperimen (matching subject) dapat meminimalisir kelemahan tersebut.
Penelitian ini juga memiliki keterbatasan dari segi etika penelitian. Hasil analisis uji beda Wilcoxon menunjukkan bahwa EW efektif untuk mereduksi PD pada kelompok eksperimen. Keefektifan ini membawa manfaat (meningkatkan well-being) bagi subjek, sehingga peneliti disarankan membuat waiting list group. Waiting list group adalah kelompok kontrol yang menerima perlakuan sama dengan kelompok
(69)
50
eksperimen ketika sebuah perlakuan selesai diterapkan dan membawa hasil yang positif.
(70)
51 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan expressive writing (EW) tidak efektif mereduksi psychological distress (PD). Kesimpulan diperoleh dari hasil uji beda independent sample t-test pada gain score kelompok kontrol dan eksperimen. Analsis statistik menghasilkan nilai p = 0.607 > 0.05. Jika diuji menggunakan metode yang lebih longgar, efektivitas expressive writing untuk mereduksi psychological distress terbukti dengan uji beda skor pre test dan
post test kelompok eksperimen yang menghasilkan nilai p = 0.006 < 0.05.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil uji beda pre-test dan post-test pada kelompok kontrol yang menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat
psychological psychological distress (p= 0.106 > 0.05).
B. Saran
Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penambahan jumlah subjek eksperimen menjadi paling sedikit 30 per kelompok. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi mortalitas subjek. Peneliti selanjutnya juga perlu memperhatikan komposisi gender subjek penelitian.
2. Penelitian di satu tempat. Peneliti berpendapat bahwa melakukan penelitian di dua tempat akan menimbulkan variabel ekstra.
(71)
52
3. Pengembangan instruksi tematik expressive writing di berbagai bidang, seperti relasi, performansi kerja, atau akademik.
4. Pemilihan subjek dengan tingkat psychological distress yang tinggi atau pada klien dengan kasus klinis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
expressive writing efektif untuk mereduksi psychological disttress pada
subjek yang memiliki tingkat psychological disttress tinggi. Tingkat
psychological disttress dapat dilihat melalui skor skala pre-test.
5. Melakukan teknik matching pada subjek berdasarkan hasil pre-test.
Matching dilakukan agar kategori psychological disttress pada
masing-masing kelompok seimbang.
6. Pengetatan metode eksperimen dari eksperimen lapangan menjadi eksperimen di tempat tertutup, misalnya sekolah berasrama.
(1)
(2)
Explore
Case Processing Summary
Kelompok Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Skor pre eksperimen 20 100.0% 0 .0% 20 100.0%
post eksperimen 20 100.0% 0 .0% 20 100.0%
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
Skor pre eksperimen Mean 38.20 3.528
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 30.82
Upper Bound 45.58
5% Trimmed Mean 37.39
Median 33.00
Variance 248.905
Std. Deviation 15.777
Minimum 21
Maximum 70
Range 49
Interquartile Range 23
Skewness .841 .512
Kurtosis -.474 .992
post eksperimen Mean 31.25 2.791
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 25.41
Upper Bound 37.09
5% Trimmed Mean 31.11
Median 28.00
Variance 155.776
Std. Deviation 12.481
Minimum 6
Maximum 59
Range 53
(3)
Skewness .591 .512
Kurtosis .881 .992
Tests of Normality
Kelompok Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Skor pre eksperimen .205 20 .027 .884 20 .021
post eksperimen .253 20 .002 .924 20 .120
(4)
(5)
Lampiran 13 . Tabel Uji Beda Independent Sample T-test
T-Test
Group Statistics
kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
GainScore gainkontrol 17 -10.3221 36.33567 8.81269
gaineksperimen 20 -15.5101 24.04957 5.37765
Independent Samples Test Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed) Mean Differe nce Std. Error Differe nce 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Gain Scor e Equal variances assumed
.804 .376 .519 35 .607 5.1880 2 9.9924 7 -15.097 78 25.473 81 Equal variances not assumed
.503 26.9 83 5.1880 2 10.323 89 -15.995 46 26.371 50
(6)
Lampiran 14 . Tabel Uji Beda Wilcoxon
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
postkontrol - prekontrol Negative Ranks 12a 9.21 110.50
Positive Ranks 5b 8.50 42.50
Ties 0c
Total 17
posteks - preeks Negative Ranks 14d 10.57 148.00
Positive Ranks 4e 5.75 23.00
Ties 2f
Total 20
a. postkontrol < prekontrol b. postkontrol > prekontrol c. postkontrol = prekontrol d. posteks < preeks e. posteks > preeks f. posteks = preeks
Test Statisticsb
postkontrol -
prekontrol posteks - preeks
Z -1.615a -2.724a
Asymp. Sig. (2-tailed) .106 .006
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test