yang disampaikan oleh penyebar ajaran agama tidak boleh diganggu gugat sehingga pada akhirnya kondisi ini menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan sikap diskriminatif dari para pemeluk agama. Kearifan para pemeluk dan pemuka agama dalam menjalankan
ajaran agama dan merayakan hari besar keagamaan sangat diperlukan. Sikap saling menghormati dari pemeluk agama yang menjalankan
perayaan dengan masyarakat sekitar yang menjadi lingkungan dimana perayaan tersebut dilaksanakan sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga
kamtibmas dan tata kerukunan antar umat beragama.
B. Tindak Pidana yang Terjadi Terkait Pendirian Rumah Ibadah
Hak untuk beribadah dan menjalankan kepercayaan memang telah mendapat jaminan hukum melalui konstitusi dan dasar negara.
Namun begitu, dalam pelaksanaannya kebebasan umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah sebagai wujud nyata jaminan konstitusi masih
sering dihalang-halangi. Keinginan untuk menjalankan ajaran agama dan beribadah sesuai dengan agamanya dari para pemeluk minoritas suatu
agama seringkali mendapat pelarangan dari masyarakat yang jumlah pemeluknya lebih banyak disuatu daerah.
Kesetaraan kesempatan beribadah dari setiap pemeluk agama yang seharunya memiliki kesempatan yang sama menjadi tidak seimbang
karena ada pembatasan dari warga masyarakat lain yang memiliki keyakinan atau agama yang berbeda. Walaupun negara sudah menjamin
melalui konstitusi namun kesadaran masyarakat yang masih rendah 28
memerlukan upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat oleh pemerintah dari pemerintah pusat hingga daerah. Kesenjangan sosial juga
dapat menjadi pemicu larangan-larangan yang terjadi. Misalnya pada suatu daerah dimana masyarakatnya hidup dalam kesederhanaan tiba-tiba di
daerah tersebut akan dibangun sarana ibadah yang megah dengan hiruk pikuk kemegahan jemaahnya, maka sudah dapat dipastikan akan
memunculkan kecemburuan sosial dalam lingkungan tersebut. Dampak dari konflik membuat banyak tindak pidana yang terjadi.
Munculnya dugaan-dugaan tindak pidana merupakan ekses konflik antar pemeluk agama yang berawal dari adanya sikap diskriminasi warga
masyarakat kepada pemeluk agama lainnya. Para tokoh agama kedua pihak yang tidak saling meredakan kemarahan jemaah dan warganya
bahkan cenderung provokatif juga menjadi penyulut kemarahan yang terus berkepanjangan. Campur tangan pihak-pihak diluar kelompok yang
bersengketa karena didorong oleh kesamaan keyakinan juga semakin memperkeruh suasana kebatinan para pihak yang sedang berkonflik.
Banyak kasus pidana terjadi berawal dari adanya konflik antar pemeluk agama yang berbeda seperti halnya konflik antara masyarakat
desa Curugmekar Kota Bogor dengan jemaah Gereja GKI Yasmin. Kasus lain terjadi di Sumedang, yaitu kasus Gereja GPdI Mekargalih dan
Penahanan Pendeta Bernard Maukar di Lapas Sumedang. Ditempat lain seperti di Ciketing Bekasi juga terjadi konflik antar pemeluk agama yang
berbeda bahkan mereka yang bersengketa memanfaatkan Pidana sebagai upaya melakukan penekanan kepada pihak yang mereka anggap lawannya.
Hal ini menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum sehingga membutuhkan kejelasan yang dilindungi dan didasari oleh
undang-undang yang ada untuk melindungi semua hak warga Negara. Hak untuk beribadah terlindungi oleh negara namun dalam menjalankan
haknya juga tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan pidana. Negara menjamin umat bergama untuk mendapatkan kesempatan yang sama
dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Upaya jemaat dalam mengajukan perijinan harus direspon oleh aparat negara dengan segera
memberi kepastian apabila semua prosedur pengajuan ijin sudah terpenuhi. Jemaat juga harus taat hukum, apabila selama proses pengajuan ijin belum
mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang maka tidak boleh melakukan kegiatan peribadatan.
Pemerintah daerah
mempunyai kewajiban
memberikan penyuluhan kerukunan umat beragama dan penyuluhan kepada masyarakat
tentang toleransi antar umat beragama. Keberpihakan pemerintah daerah kepada salah satu umat beragama merupakan preseden buruk dalam
pelayanan kesetaraan terhadap warga masyarakat yang secara jelas dijamin oleh undang-undang dalam menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaannya. 30
BAB IV PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN BERAGAMA YANG