Pengertian Umum Tindak Pidana

perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan beribadah. Pertama, adalah Undang‐undang Nomor 1PNPS1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama. Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial ICERD di Indonesia salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1PNPS1965. Padahal menurut Pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.

B. Pengertian Umum Tindak Pidana

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang yang dinamakan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. 28 Asas legalitas adalah sebagai pijakan dalam penegakan hukum karena tidak satupun perbuatan manusia yang dapat dipidana apabila belum ada ketentuan yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang tersebut beserta ancaman pidananya atas pelanggaran terhadap perbuatan yang diatur tersebut. 28 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 23. 18 Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. 29 Perbuatan pidana delik sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan dapat dihukum. 30 Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. 31 Patut tidak suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pidana dan dapat dipidana tergantung dari ketentuan yang mengatur tentang perbuatan dan pidana itu sendiri. Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata strafbaar feit. Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 32 29 Ibid., hlm. 54 30 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum Delik, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 4. 31 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2009, hlm. 49. 32 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 56. Moeljatno mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai dengan ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 33 Komariah E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam menerjemahkan strafbaar feit. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. 34 Perbedaan pendapat mengenai strafbaar feit terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Menurut Moeljatno, pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan tumpukan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Sedangkan pandangan dualistis membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orangnya. Moeljatno memisahkan antar pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, oleh karena dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana. 35 Selanjutnya menurut Moeljatno, syarat formil itu harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul pada Pasal 1 KUHP. Syarat materiil harus juga ada. 36 33 Moeljatno, op.cit. hlm. 54 34 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 27. 35 Ibid., hlm. 36. 36 Ibid., hlm. 42.

C. Tindak Pidana Berlatar Belakang Agama Berdasarkan KUHP