Dampak Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama Dalam

BAB IV PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN BERAGAMA YANG

BERAKIBAT TINDAK PIDANA

A. Dampak Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama Dalam

Pendirian Rumah Ibadah Kaitannya Dengan Tindak Pidana Yang Berlatar Belakang Diskriminasi Menjalankan Ibadah Yang Menyebabkan Tindak Pidana Tujuan pembuatan undang-undang adalah ketertiban dan legitimasi yang juga mempertimbangkan kompetensi. 45 Pada kajian ilmu hukum paling tidak ada 3 faktor yang menjadi parameter sebuah undang-undang dapat berlaku secara baik, yakni: mempunyai dasar keberlakuan Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis. 46 Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat: 47 1. Undang-undang dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang membuat undang-undang. 2. Ada kesesuaian dari setiap undang-undang yang berlaku. 3. Mengikuti tata cara tertentu.. 45 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 37. 46 Sirajuddin Dkk, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang Corruption Watch MCW dan YAPPIKA, Jakarta, 2008, hlm. 11. 47 Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Pusat Studi Hukum PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001,hal. 229 31 4. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Mengenai keberlakuan yuridis, Hans Kelsen, sebagaimana yang dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat bahwa setiap kaidah hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. 48 Adapun menurut W. Zevenbergen, setiap kaidah hukum harus memenuhi syarat- syarat pembentukannya. Sementara itu menurut Logemann, suatu kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila di dalam kaidah hukum tersebut terdapat hubungan sebab akibat atau kondisi dan konsekuensi. 49 Berdasarkan penjelasan di atas, hukum yang sah adalah apabila ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang dan ditentukan menurut kriteria yang berlaku.Berkenaan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 Dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala DaerahWakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat Peraturan Bersama 2 Menteri, dapat dilihat dari pembentukannya. Pembentukan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 dilakukan sudah melalui poses dan prosedur yang ditetapkan sebagai mekanisme pembentukan peraturan bersama. Dibentuk oleh lembaga atau instansi yang berwenang membuat dengan mengacu pada uandang-undang yang ada diatasnya maka peraturan 48 Soerjono Soekanto Dkk, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88-89 49 Ibid. bersama memiliki kekuatan hukum yang jelas. Pembentukan Peraturan Bersama 2 Menteri berdasarkan kewenangannya tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Perundang- Undangan diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 merupakan pedoman bagi seluruh umat beragama yang ada di Indonesia demi kerukunan umat beragama. Menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif yang berlaku di daerah di mana rumah ibadat tersebut akan dibangun. Persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk membangun rumah ibadat adalah perizinan. Urusan penerbitan perizinan merupakan salah satu urusan otonomi daerah. Pendirian-pendirian gereja sebagai tempat ibadah yang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dapat menyebabkan aksi protes masyarakat itu sendiri yang kemudian memunculkan kekerasan. Adanya organisasi masyarakat yang ikut dalam aksi protes, adanya penggunaan kekerasan, penyegelen sepihak menyebabkan kepala daerah sebagai pelaksana pemeliharaan kerukunan umat beragama, yang berpedoman pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 harus mengambil sikap dan keputusan. Adapun tindakan masyarakat yang mengarah pada perbuatan pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama menurut KUHP, yaitu merintangi pertemuanupacara agama Pasal 175 KUHP, mengganggu pertemuanupacara keagamaan Pasal 176 KUHP, dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan Pasal 503 ke-2 KUHP. Dalam menyikapi permasalahan pendirian rumah ibadah yang kemudian memunculkan konflik horizontal antar pemeluk agama menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dalam praktiknya, pendirian rumah ibadah yang tidak mendapat dukungan mayoritas masyarakat sekitar, memicu konflik dengan tindak kekerasan, intimidasi sehingga berakibat pada terjadi tindak pidana yang mengatasnamakan agama dalam hal pendirian rumah ibadah pada akhirnya jemaat juga mensiasati dengan memenuhi persyaratan melalui sebuah perbuatan pidana juga. Namun hal ini tidak dapat mengurangi keberlakuan yuridis dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, dengan bentuk dan proses pembuatan yang telah ditetapkan serta tidak memuat materi yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Para tokoh agama ataupun tokoh masyarakat yang kurang bijak bahkan cenderung provokatif menjadi pendorong tersendiri konflik yang terjadi di masyarakat. Faktor ketidak tegasan pemerintah daerah dalam melakukan penegakan aturan dan penyelesaian konflik diakibatkan juga oleh kepentingan pemerintah yang tidak mau dikatakan tidak demokratis sehingga memunculkan sikap dan langkah yang disebut sebagai posisi aman atau tidak mau mengambil resiko. Akibat dari sikap itulah sehingga pada akhirnya konflik yang terjadi terus berkepanjangan dan tidak kunjung berakhir. Konflik yang melibatkan masyarakat akan dapat segera terselesaikan jika ada ketegasan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini ketegasan pimpinankepala dari pemerintahan sesuai dengan levelnya. Ketegasan itu akan muncul apabila pejabat publiknya dapat melepaskan kepentingan politik dan kepentingan pencitraan, belenggu lumbung suara dalam mengambil keputusan untuk kepentingan penegakan aturan. Termasuk didalamnya penegakan aturan SKB 2 Menteri. Berkaitan dengan banyaknya kasus pendirian rumah ibadah yang ditentang masyarakat sekitar, penegak hukum tidak boleh berpihak. Hak untuk beribadat sesuai agama dan kepercayaan merupakan non-derogable rights hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun, maka siapapun tidak dapat menuntut secara hukum orang lain karena beribadat sesuai agama dan kepercayaannya tersebut. Tapi, jika ada perselisihan terkait pendirian rumah ibadat, maka perselisihan tersebut diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006.

B. Perlindungan Hukum Kebebasan Beragama Dihubungkan Dengan Pasal 175 jo 176 KUHP