Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank

4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit. 5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi. 6. Penyelesaian sengketa. Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya memberikan pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.

D. Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya menurut UU Pokok Perbankan Indonesia Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, berawal dari pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan.Unsur-unsur pemerataan pembangunan ke arah peningkatan taraf hidup. Secara tanggap perbankan dituntut untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Atas hal-hal tersebut diatas, maka di dalam memberikan kredit, bank dituntut dan wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan Pasal 8 UU Perbankan 1992. 26 Dalam menjalankan penyaluran dana maupun dalam kegiatan usaha lainnya maka bank harus bertindak dengan prinsip kehati-hatian. Sebagaimana 26 Ignatius Ridwan Widyadharma,S.H.,M.S.,Ph.D., Op.Cit, hal. 19. Universitas Sumatera Utara diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, memuat ketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat menetapkan peraturan Batasan Maksimum Pemberian KreditBPMK legal lending limit, yang dapat dilakukan oleh bank. Pelaksanaan ketentuan pembatasan kredit ini wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia. Mengingat pelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat dilakukan segera setelah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut berlaku, karenanya ada ketentuan peralihan, bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap selama lima tahun Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesulitan yang berat bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud, mengingat pada saat itu masih banyak bank yang memberikan kredit melebihi ketentuan batas maksimum yang sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh Pasal 11 tersebut. Pengertian BMPK, yaitu suatu persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank. Dalam kerangka penyediaan dana ini maka ada beberapa yang dikecualikan diantaranya yaitu: penanaman dana pada SBI dan surat hutang yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia; bagian penyediaan dana uang dijamin dengan agunan tunai berupa giro, deposito, tabungan, setoran jaminan yang diblokir disertai dengan surat kuasa pencairan; penempatan sepanjang program penjaminan pemerintah masih berlaku dan bank tersebut memenuhi persyaratan program penjaminan. Universitas Sumatera Utara Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31177KEPDIRtentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, tanggal 31 Desember 1998, maka BMPK dikelompokkan sebagai berikut: a. BMPK untuk pihak tidak terkait ditetapkan setinggi-tingginya 30 tiga puluh persen dari modal bank tersebut berlaku sampai dengan akhir tahun 2001 dan terus dikurangi setiap tahun 5 lima persen dan pada awal tahun 2003 harus tinggal 20 dua puluh persen dari modal bank. b. BMPK untuk pihak terkait ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10 sepuluh persen dari modal. Ketentuan BMPK tersebut di atas, pelanggarannya dapat dikenakan sanksi denda serta berakibat kepada penilaian kesehatan bank yang bersangkutan. Dalam penilaian kesehatan bank sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 3011KEPDIR tanggal 30 April 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan, ditentukan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan BMPK dihitung berdasarkan jumlah kumulatif pelanggaran BMPK kepada debitur individual, debitur kelompok dan pihak terkait dengan bank, terhadap modal bank yang bersangkutan. Selain pembatasan tersebut di atas, bank dalam pemberian kredit juga diatur mengenai administrasinya, misalnya bahwa: a. Bank tidak diperkenankan mempertimbangkan permohonan kredit yang tidak memenuhi persyaratan kewajiban penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan sebagaiman ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Universitas Sumatera Utara Indonesia Nomor 27121KEPDIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan Dalam Permohonan Kredit; b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2370KEPDIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk Pembelian Saham dan Pemilikan Saham Oleh Bank; c. Bank perlu membatasi pemberian untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 3046KEPDIR tanggal 7 Juli 1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit Untuk Pembiayaan Pengadaan dan Atau Pengolahan Tanah; d. dan pembatasan lainnya. Pembatasan seperti tersebut di atas merupakan upaya dalam rangka sikap berhati-hati dan penuh perhitungan yang matang dalam melakukan kegiatan perkreditan. Hal tersebut diperlukan karena pemberian kredit mengandung risiko, dengan demikian dunia perbankan terhindarkan dari laju pertumbuhan pinjaman perbankan yang berlebihan sehingga terjaga kestabilan moneter dan kesehatan perbankan itu sendiri. 27 Pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur berpedoman kepada 2 prinsip, yaitu: a. Prinsip Kepercayaan 27 Drs. Muhamad Djumhana,S.H. Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.421-423. Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukkannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan. b. Prinsip kehati-hatian prudential principle Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah kreditur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan. 28 28 Hermansyah, S.H., M.Hum. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.65-66. Universitas Sumatera Utara

BAB III HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Hak Tanggungan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Sementara dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah : “Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.” Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah : “Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya” Budi Harsono, 1999:24. Universitas Sumatera Utara