Dan ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat Suryadinata
dalam Wibowo, 2000. Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orang-
orang etnis Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan maupun nilai-nilai Negara asalnya yang memberikan mereka cara hidup
dalam kesehariannya untuk menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.
E. PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA
Dalam masyarakat Indonesia etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan wiraswasta yang berhasil. Menurut McClelland Martaniah, 1984 kewiraswastaan ini
merupakan ciri motif berprestasi yang tinggi. Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal,
yaitu : Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan kehormatan keluarga. Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada orang Tionghoa yang sempat
menjadi stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian orang Tionghoa merupakan cambuk untuk menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik sebagai bukti bahwa etnis
Tionghoa tidak seburuk yang dikatakan orang. Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif berprestasi. Akibat mereka mencoba menonjolkan
identitas dirinya dengan menunjukkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya
menunjukkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda Hariyono, 2006.
Crawford Martaniah, 1998 orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja, berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan
dan kegigihan mereka dalam bekerja. Hidayat Martaniah, 1998 berpendapat bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak
dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus mengembangkan kecakapan dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.
Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu memberikan keyakinan bahwa mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi
tingkat hidup kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat supaya tingkat kehidupannya menonjol.
Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan menurut kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu karena orang-orang Batak
dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur Napitupulu dalam Kartika, 2004. Secara kepribadian orang Batak memiliki sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan
terkadang dominan dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri dalam tingkah laku seolah-olah menunjukkan sifat dan ciri khas. Terdorong
oleh keadaan itu menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi berhubungan dengan orang lain.
Sejajar dengan pengaruh Kristen pada pertengahan abad ke-19 yang lalu masuklah sistem pendidikan sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk pengaruh dari luar
dengan kecepatan yang amat besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub suku bangsa adalah bahwa mereka itu memiliki suatu organisasi berdasarkan agama yang
kuat ialah HKBP Huria Kristen Batak Protestan. Organisasi ini mempersatukan semua orang Batak yang beragama Kristen, dapat melakukan penyebarluasan terhadap adat istiadat
Batak, dapat menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang kolot dan menghambat kemajuan serta dapat mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok untuk pembangunan
Koentjaraningrat, 2007. Selanjutnya Koentjaraningrat 2007 mengatakan bahwa konsep dasar kebudayaan
Batak adalah Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi dan definisi terhadap
realitas. Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu dapat menjadi potensi yang didayagunakan untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang
dipahami dan diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada
ihot konsep tiga dalam satu yang mencakup kehidupan spiritual, sosial, moral dan material. Dalihan Nan Tolu tidak hanya dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga
ditengah masyarakat Batak lainnya P.L. Situmeang, 2007 Dari paparan diatas, pada dasarnya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan Etnis
Batak. Namun terdapat faktor –faktor seperti dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa Suryadinata, 1984 yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi
dengan etnis Tionghoa. Menurut Wilmoth Martaniah, 1998 etnis Tionghoa dibandingkan dengan warga pribumi lebih kompetitif, mempunyai usaha yang besar dan sangat
mengusahakan prestasi dan memiliki tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam pengasuhan anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua
turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada anaknya untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar, mereka tidak menekankan
permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar penemuan itu Wilmoth Martaniah,1998 berpendapat bahwa etnis Tionghoa memiliki need achievement yang tinggi.
Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial terdapat kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis
Tionghoa, sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para ahli dan temuan-temuan dalam penelitian dapat dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis
Tionghoa seharusnya tidak memiliki perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti tertarik untuk membuktikan tentang sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di
Citi Fianancial tersebut dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya.
F. HIPOTESIS