Perbedaan Self-Efficacy Antara Siswa Etnis Tionghoa Dan Non Tionghoa Di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa (Studi Kasus SMA Sutomo 1 Medan)

(1)

PERBEDAAN SELF-EFFICACY ANTARA SISWA ETNIS

TIONGHOA DAN NON TIONGHOA DI SMA MAYORITAS ETNIS

TIONGHOA (STUDI KASUS SMA SUTOMO 1 MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

REGINA OPHELIA NEFELIN MANURUNG

081301071

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Perbedaan Self-Efficacy Antara Siswa Etnis Tionghoa Dan Non Tionghoa Di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa (Studi Kasus SMA Sutomo 1 Medan)

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013

REGINA OPHELIA NEFELIN MANURUNG NIM 081301071


(3)

Perbedaan Self-Efficacy antara siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa

(studi kasus SMA Sutomo 1 Medan)

Regina Ophelia Nefelin Manurung dan Dian Ulfasari

ABSTRAK

Salah satu sekolah di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 sebagai sekolah pembauran adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan dengan mayoritas siswa etnis Tionghoa sekitar 80% dan sisanya sekitar 20% etnis Non Tionghoa. Sekolah dengan satu budaya mayoritas seringkali menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada diri siswa kelompok minoritas. Salah satunya adalah pada perkembangan self-efficacy di siswa minoritas. Self-efficacy merupakan suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997).

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA Sutomo 1 Medan. Penelitian ini melibatkan 106 siswa sebagai subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Quota sampling. Alat ukur self-efficacy disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Validitas isi berdasarkan professional judgement dan reliabilitas sebesar 0.914.

Data diuji dengan menggunakan Independent t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar .001, p > .05. Hasil analisa data menunjukkan adanya perbedaan self-efficacy yang signifikan antara kelompok Tionghoa dan Non Tionghoa.


(4)

Comparison of Self-efficacy between the Chinese and Non-Chinese students in the majority of Chinese high school

(case study of SMA Sutomo 1 Medan)

Regina Ophelia Nefelin Manurung and Dian Ulfasari

ABSTRACT

One of the schools in North Sumatera that also follow the Presidential Instruction No. 37/U/In/G/1967 as an integrated school is the Sutomo 1 High School with the majority of 80% of Chinese ethnic students and 20% of Non-Chinese ethnic. A school with one culture as majority often creates problems especially on the students of the minority group. One of the problems on the students in the minority group is the development of their self-efficacy. Self-efficacy is the belief in one’s self that one is able to do any specific task (Bandura, 1997).

This research using comparative quantitative study, aimed to find out the comparison in self efficacy between the students of Chinese and Non-Chinese in SMA Sutomo 1 Medan. This research involved 106 students as samples. The Sampling method used was the quota sampling technique. The measurement of self-efficacy developed by the researcher was based on the theory of aspects of self-efficacy by Bandura (1997). Content validity was based on professional judgment and reliability value of .914.

Data were examined by the Independent t-test with a significance value .001, p > .05. The results of data analysis showed there is a significant difference in self-efficacy between the Chinese and Non-Chinese students.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhanku Yesus Kristus yang telah memberikan karunia dan kekuatan serta tuntunan kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi pada bidang Psikologi Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini peneliti persembahkan kepada orang tua peneliti, Bapak Ir. Raya Timbul Manurung, M.Sc dan Mama Herlina Silalahi yang selalu memberi doa, cinta, kasih sayang, semangat, perhatian, dan pengorbanan. Semoga Tuhan Yesus selalu memberikan kebahagian selalu kepada bapak dan mama.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada masa penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Dian Ulfasari Emir, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi saya yang selalu meluangkan banyak waktu untuk membantu saya dalam merampungkan penelitian ini hingga selesai.

3. Ibu Filia Dina, S.Sos, M.Pd. selaku dosen penguji yang banyak memberikan saran serta kritikan sehingga peneliti dapat menyempurnakan skripsi ini.


(6)

4. Pak Eka Danta Jaya Ginting, S.Psi, M.A, psikolog selaku dosen penguji yang banyak membantu peneliti dan telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Kak Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa mendukung, membimbing, dan memotivasi peneliti.

6. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

7. Opung doli dan Opung boru tersayang yang selalu mengingatkan aku dan memberikan dukungan penuh untuk segera menyelesaikan penelitian ini secepat mungkin.

8. Bapak Koe Tjok Tjin selaku Kepala Sekolah SMA Sutomo 1, Bapak Johan Makmur, terima kasih atas izin dan masukan kepada peneliti dalam pengerjaan penelitian ini.

9. Teman-temanku tersayang udiq Elka Putri Tarigan, S.Psi, Puti Nilam Suri, S.Psi, Vivi Fransiska Panjaitan, S.Psi, Anastasia Purba, S.Psi, Dinda Hasni, S.Psi, Sabethia Sihombing, S.Psi atas berbagai bantuan yang diberikan mulai dari koreksi laporan dan aitem, penggunaan excel dan SPSS.

10.Abangku Bonardo Manurung dan adik-adikku Fanny Manurung dan Jufri Manurung beserta teman-temannya yang selalu membantu dalam penelitian ini.

11.Teman-teman angkatan 2008 yang selalu terhubung dalam berbagai keceriaan, kekompakan yang kita jalani secara luar biasa selama diperkuliahan.


(7)

12.Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini, khususnya selama pengambilan data, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.

Peneliti juga menyadari bahwasanya skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu peneliti memohon kritik dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini agar lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Akhir kata, peneliti berharap Tuhan berkenan membalas segala kebaikan saudara semua, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Agustus 2013


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER HALAMAN DEPAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Self-efficacy ... 11

1. Pengertian Self-efficacy ... 11

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy ... 12

3. Aspek-aspek Self-efficacy ... 14

4. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah ... 16

B. Konsep Mayoritas dan Minoritas ... 18

1. Pengertian Mayoritas ... 18

2. Pengertian Minoritas ... 19

C. Etnis Tionghoa dan Etnis Non Tionghoa ... 20


(9)

2. Etnis Tionghoa ... 21

2.1. Definisi Etnis Tionghoa ... 21

2.2. Stereotip Etnis Tionghoa... 22

2.3. Sosial Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 23

3. Etnis Non Tionghoa ... 24

D. Siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) ... 25

E. Profil SMA Sutomo 1 Medan ... 26

1. Deskripsi Perguruan Sutomo ... 26

2. Visi ... 27

3. Misi ... 27

4. Kurikulum dan Sistem Pendidikan ... 27

F. Perbedaan Self-efficacy pada Siswa Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa ... 28

G. Hipotesa Penelitian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 32

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 33

1. Populasi dan Sampel ... 33

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 34

2. Jumlah Sampel Penelitian ... 34

D. Instrumen yang Digunakan ... 35

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 37

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 40

1. Tahap Persiapan ... 40

2. Tahap Pelaksanaan ... 42

3. Tahap Pengolahan Data ... 42

G. Metode Analisa Data ... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Deskripsi Data Penelitian... 45


(10)

1. Hasil Uji Asumsi ... 48

2. Hasil Utama Penelitian ... 51

3. Kategorisasi Skor Self-efficacy ... 51

C. Pembahasan ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2006 ... 25

Tabel 2 Blueprint Skala Self-efficacy untuk Uji Coba ... 36

Tabel 3 Blueprint Skala Self-efficacy untuk Pengambilan Data ... 40

Tabel 4 Penyebaran Subjek Tionghoa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 45

Tabel 5 Penyebaran Subjek Non Tionghoa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

Tabel 6 Penyebaran Subjek Tionghoa Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 7 Penyebaran Subjek Non Tionghoa Berdasarkan Usia ... 47

Tabel 8 Penyebaran Subjek Tionghoa Berdasarkan Kelasnya ... 47

Tabel 9 Penyebaran Subjek Non Tionghoa Berdasarkan Kelasnya... 48

Tabel 10 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Uji Normalitas ... 49

Tabel 11 Data Uji Homogenitas dengan Levene’s Test ... 50

Tabel 12 Deskripsi Kelompok Statistik Kelompok Tionghoa dan Non Tionghoa ... 51

Tabel 13 Hasil Independent Sample Test ... 52

Tabel 14 Data Hipotetik dan Empirik Self-efficacy ... 53

Tabel 15 Norma Kategorisasi Nilai Self-efficacy... 54


(12)

Perbedaan Self-Efficacy antara siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa

(studi kasus SMA Sutomo 1 Medan)

Regina Ophelia Nefelin Manurung dan Dian Ulfasari

ABSTRAK

Salah satu sekolah di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 sebagai sekolah pembauran adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan dengan mayoritas siswa etnis Tionghoa sekitar 80% dan sisanya sekitar 20% etnis Non Tionghoa. Sekolah dengan satu budaya mayoritas seringkali menimbulkan beberapa permasalahan terutama pada diri siswa kelompok minoritas. Salah satunya adalah pada perkembangan self-efficacy di siswa minoritas. Self-efficacy merupakan suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997).

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa di SMA Sutomo 1 Medan. Penelitian ini melibatkan 106 siswa sebagai subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Quota sampling. Alat ukur self-efficacy disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Validitas isi berdasarkan professional judgement dan reliabilitas sebesar 0.914.

Data diuji dengan menggunakan Independent t-test diperoleh nilai signifikansi sebesar .001, p > .05. Hasil analisa data menunjukkan adanya perbedaan self-efficacy yang signifikan antara kelompok Tionghoa dan Non Tionghoa.


(13)

Comparison of Self-efficacy between the Chinese and Non-Chinese students in the majority of Chinese high school

(case study of SMA Sutomo 1 Medan)

Regina Ophelia Nefelin Manurung and Dian Ulfasari

ABSTRACT

One of the schools in North Sumatera that also follow the Presidential Instruction No. 37/U/In/G/1967 as an integrated school is the Sutomo 1 High School with the majority of 80% of Chinese ethnic students and 20% of Non-Chinese ethnic. A school with one culture as majority often creates problems especially on the students of the minority group. One of the problems on the students in the minority group is the development of their self-efficacy. Self-efficacy is the belief in one’s self that one is able to do any specific task (Bandura, 1997).

This research using comparative quantitative study, aimed to find out the comparison in self efficacy between the students of Chinese and Non-Chinese in SMA Sutomo 1 Medan. This research involved 106 students as samples. The Sampling method used was the quota sampling technique. The measurement of self-efficacy developed by the researcher was based on the theory of aspects of self-efficacy by Bandura (1997). Content validity was based on professional judgment and reliability value of .914.

Data were examined by the Independent t-test with a significance value .001, p > .05. The results of data analysis showed there is a significant difference in self-efficacy between the Chinese and Non-Chinese students.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan sendiri tercantum dalam pembukaaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan negara yakni mencerdaskan bangsa dan mengarahkan kepada mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen IV ayat pertama juga menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak mengenyam pendidikan sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di negara Indonesia ini (Undang-Undang Dasar, 1945).

Berdasarkan pernyataan dari konstitusi di atas, setiap orang siapapun dia, bersuku apapun, beragama apapun, selagi merupakan rakyat Indonesia berhak untuk mengenyam pendidikan di institusi mana pun. Indonesia sebagai negara multikultural tidak akan pernah lepas dengan diversitas sosiokultural di dalam suatu institusi pendidikan. Sebagaimana kultur didefinisikan sebagai pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya (Chun, Organizta, & Marin, 2002; Thomas, 2000 dalam Santrock, 2008).

Indonesia sebagai negara multikultural, salah satu tema penting dalam kerangka persatuan nasional berkaitan dengan persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian


(15)

hasil dari perbedaan ras dan etnik yang merujuk kepada identitas diri seseorang (Mitchell & Salsbury, 1999). Pendidikan di Indonesia sendiri memiliki berbagai keragaman etnis maupun agama. Untuk itu, sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya (Akhmad, 2008). Kesadaran multikulturalisme tersebut dapat berkembang dengan baik apabila dilatihkan dan dididikkan pada generasi penerus melalui pendidikan. Dengan pendidikan multikultural, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain sehingga peran “budaya” merupakan salah satu kekuatan di dalam mempersatukan kehidupan kelompok masyarakat (Yani, 2010).

Pembauran dapat dilihat dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat atas sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan, 1963). Menurut Pelly (2003) melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok tertentu dapat meleburkan (diri dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan. Pada akhirnya muncul kebijakan asimilasi yang merupakan cara agar kelompok minoritas dapat melebur ke dalam kelompok mayoritas (Mendatu, 2010). Peleburan tersebut tidak hanya


(16)

dalam konteks sosial, namun di dalam dunia pendidikan. Pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Intruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Sekolah dilihat sebagai wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan. Pada tahun 1975, SNPK dirubah menjadi Sekolah Nasional Swasta yang kemudian menjadi basis sekolah asimilasi (pembauran).

Pada saat itu, di Sumatera Utara berdiri 32 buah sekolah SNPK untuk tingkat SD, SMP, dan SMA dengan mewajibkan komposisi siswa-siswa 50% non pribumi dan 50% siswa pribumi (Pelly, 2003). Akan tetapi, saat ini salah satu sekolah pembauran di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah pembauran swasta yang mayoritas siswanya terdiri dari non pribumi yakni etnis Tionghoa sekitar 80 % dan sisanya sekitar 20 % etnis non Tionghoa yang terdiri dari Batak, Karo, Jawa, dll.

Berdasarkan penelitian Pelly (2003) mengenai sekolah pembauran di kota Medan, menyatakan bahwa jumlah siswa pribumi dan non pribumi sulit untuk mencapai jumlah yang setara sesuai dengan program pemerintah. Hal ini terjadi dengan SMA Sutomo sebagai sekolah pembauran yang didominasi oleh etnis Tionghoa dengan alasan terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar


(17)

berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi.

Perguruan SMA Sutomo 1 Medan memperlihatkan bahwa etnis Tionghoa menjadi etnis mayoritas, sedangkan etnis non Tionghoa menjadi minoritas di dalam sekolah ini. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam kominitas (Mendatu, 2010), sedangkan kelompok mayoritas merupakan kelompok dominan dalam suatu komunitas yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol (Liliweri, 2005). Oleh karena itu, suatu sekolah dapat dikatakan sebagai sekolah mayoritas etnis Tionghoa ketika terdiri dari pelajar yang memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah yang paling banyak (lebih dari 50%) dibandingkan etnis lainnya di sekolah tersebut.

Sekolah-sekolah yang mayoritas pelajarnya etnis Tionghoa maka kebudayaan yang dominan berlaku di sekolah tersebut adalah nilai-nilai budaya Tionghoa yang mereka anut. Sekolah yang mayoritas satu etnis tidak luput memiliki berbagai macam permasalahan. Salah satu jenis masalah yang muncul menurut Naim dan Sauqi (2008) adanya kesenjangan multidimensional yaitu kesenjangan dalam aspek-aspek kemasyarakatan serta kesenjangan antara mayoritas dan minoritas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumiati (2000) di salah satu SMA di Cirebon, Jawa Barat, ditemukan bahwa siswa Tionghoa hanya melakukan interaksi dengan siswa Non Tionghoa dalam hal belajar (56,7%), siswa Tionghoa cenderung mengurangi komunikasi mereka dengan siswa non Tionghoa dalam hal lainnya seperti pertemanan atau kehidupan sosial.


(18)

Selain itu, permasalahan lainnya yang muncul dimana siswa non Tionghoa sebagai minoritas, sering dilabel dengan julukan anak nakal dan anak-anak sulit masuk peringkat tinggi di kelas. Hal ini terjadi karena prestasi siswa non Tionghoa kerap kali tidak sebaik kelompok siswa Tionghoa (Fachrosi, 2013). Menurut Liliweri (2005) permasalahan yang juga muncul di sekolah yang mayoritas satu etnis yaitu kelompok mayoritas merupakan kelompok yang memiliki kontrol (Liliweri, 2005). Dalam hal ini berdasarkan wawancara pada siswa etnis non Tionghoa sebagai kelompok siswa minoritas SMA Sutomo 1, mereka merasa terasingkan dalam komunitas sekolah dan memiliki kontrol yang kecil dalam hal berdiskusi, karena sebagian siswa mayoritas yang beretnis Tionghoa sering menggunakan bahasa daerah mereka (Hokkien) baik dalam berdiskusi dengan kelompok, maupun berdiskusi dengan guru.

Di sekolah yang di dominasi oleh satu budaya menyebabkan terjadinya culture shock bagi yang minoritas. Fenomena ini akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang memiliki perbedaan baik secara pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Di SMA Sutomo sendiri diperkirakan mengalami fenomena culture shock. Ini bisa dilihat dari kelompok siswa sebagai minoritas di sekolah ini harus hidup dengan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan mereka. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan dan kemungkinan mempengaruhi self-efficacy mereka.

Hal ini sesuai dengan Bandura (1997) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi self-efficacy adalah budaya. Bandura (1997) mengatakan Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses


(19)

pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy. Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu. Keyakinan akan self-efficacy mempengaruhi pemilihan perilaku, usaha, dan ketekunan seseorang. Self-efficacy dapat menentukan bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, dan berperilaku (Bandura, 1997). Menurut Bandura (dalam Barakatu, 2007) individu perlu memiliki self-efficacy dalam menjalankan satu kegiatan, untuk menumbuhkan kepercayaan dalam diri individu bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk berhasil dengan sukses melakukan sesuatu dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang ada di dalam lingkungan sekitarnya, terutama di dunia pendidikan, serta memotivasi individu untuk berusaha mengubah dirinya secara positif menjadi individu-individu yang mampu berprestasi. Individu yang memiliki self-efficacy yang positif akan cenderung meraih kesuksesan dibandingkan kegagalan, dikarenakan semakin tinggi self-efficacy seseorang maka semakin kuat motivasinya untuk berprestasi (Bandura, 1997).

Fenomena yang terjadi di Sutomo sendiri, berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa siswa di non Tionghoa diketahui bahwa mereka ketika suatu tugas diberikan kepada mereka, mereka yakin dan mampu dapat menyelesaikan setiap tugas tersebut, namun pada saat ujian mereka gagal dalam menyelesaikannya memperoleh hasil yang tidak memuaskan dari ujian tersebut, sehingga fenomena sering terjadi di Sutomo setiap tahunnya, yakni banyaknya siswa yang tinggal kelas yang berasal dari etnis non Tionghoa.


(20)

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merasa perlu untuk meneliti mengenai perbedaan self-efficacy pada siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di kota Medan. Dalam penelitian ini, peneliti mengkhususkan suatu sekolah dimana sekolah tersebut memiliki siswa yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa yaitu SMA Sutomo 1 Medan. Oleh karena itu, peneliti mengajukan penelitian dengan judul “Perbedaan Self-efficacy pada siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di SMA Mayoritas Etnis Tionghoa di Kota Medan (studi kasus di SMA Sutomo 1 Medan).

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbedaan self-efficacy siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan self-efficacy antara siswa etnis Tionghoa dan non Tionghoa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini dibagi atas manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan kajian Psikologi secara umum, dan Psikologi Pendidikan secara khusus.


(21)

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan self-efficacy serta kaitannya pada siswa Tionghoa dan non Tionghoa di SMA mayoritas etnis Tionghoa.

2. Manfaat praktis a. Sekolah

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai self –efficacy yang dirasakan siswa-siswa SMA Sutomo 1 baik pada siswa Tionghoa maupun non Tionghoa.

b. Bagi Siswa

Siswa mengetahui self-efficacy yang dimiliki sehingga siswa lebih mampu untuk meningkatkan self-efficacy mereka saat berada di sekolah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BAB I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari atas latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi teori mengenai self-efficacy. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.


(22)

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi, definisi operasional, populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel, alat ukur, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksaan penelitian, serta metode analisa data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan mengenai gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian dan hasil tambahan penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan memuat kesimpulan dan saran penelitian.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SELF-EFFICACY

1. Pengertian Self-efficacy

Self-efficacy adalah keyakinan yang dipegang seseorang tentang kemampuannya dan juga hasil yang akan ia peroleh dari kerja kerasnya mempengaruhi cara mereka berperilaku (Bandura, 1997). Selanjutnya, Bandura (1997) menambahkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.

Selain itu Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.

Baron dan Byne (2000) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Menurut Feist & Feist (2002) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap perisitiwa lingkungan mereka sendiri.


(24)

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan maupun menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mereka mampu mengatasi suatu rintangan dan menghasilkan suatu tujuan yang diharapkannya.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy pada diri individu antara lain :

a. Budaya

Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy.

b. Gender

Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self-efficacy. Hal ini dapat dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya.

c. Sifat dari tugas yang dihadapi

Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya,


(25)

jika individu diharapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut menilai kemampuannya.

d. Insentif eksternal

Faktor lain yang mempengaruhi self-efficacy individu adalah insentif yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingens incentive, yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.

e. Status atau peran individu dalam lingkungan

Individu yang memilki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang memiliki status yang lebih rendah akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah. f. Informasi tentang kemampuan diri

Individu akan memiliki self-efficacy tinggi, jika ia memperoleh informasi positif mengenai dirinya, sementara individu akan memiliki self-efficacy yang rendah, jika ia memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal, status dan peran individu dalam lingkungan, serta informasi tentang kemampuan dirinya.


(26)

3. Aspek-aspek Self-efficacy

Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self-efficacy pada diri manusia, yaitu :

a. Tingkatan (Level)

Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu mengatasinya. Tingkat self-efficacy seseorang berbeda satu sama lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan menentukan self-efficacy. Pada suatu tugas atau aktifitas, jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai self-efficacy yang tinggi pada permasalahan ini. Seseorang dapat memperbaiki atau meningkatkan self-efficacy dengan mencari kondisi yang mana dapat menambahkan tantang dan kesulitan yang lebih tinggi levelnya.

b. Keadaan Umum (Generality)

Dimensi ini mengacu pada variasi situasi dimana penilaian tentang self-efficacy dapat diterapkan. Seseorang dapat menilai dirinya memiliki self-efficacy pada banyak aktifitas atau pada aktifitas tertentu saja. Dengan semakin banyak self-efficacy yang dapat diterapkan pada berbagai kondisi, maka semakin tnggi self-efficacy seseorang.

c. Kekuatan (Strength)

Dimensi ini terkait dengan kekuatan dari self-efficacy seseorang ketika berhadapan dengan tuntutan tugas atau suatu permasalahn. Self-efficacy yang lemah dapat dengan mudah ditiadakan dengan pengalaman yang


(27)

menggelisahkan ketika menghadapi suatu tugas. Sebaliknya orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan tekun pada usahanya meskipun pada tantangan dan rintangan yang tak terhingga. Dia tidak mudah dilanda kemalangan. Dimensi ini mencakup pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.

Berdasarkan hal-hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tiga aspek self-efficacy yaitu level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam menyelesaikan tugas).

4. Karakteristik Individu yang Memiliki Self-Efficacy Tinggi dan Self-Efficacy

Rendah.

Secara garis besar, self-efficacy terbagi atas dua bentuk yaitu tinggi dan rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih terlibat langsung, sementara individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mengerjakan suatu tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang sulit. Mereka tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Selain itu, mereka mengembangkan minat intrinsik dan ketertarikan yang mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan, dan berkomitmen dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka juga meningkatkan usaha mereka dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Mereka


(28)

yang gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self-efficacy mereka setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki self-efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan. Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self-efficacy yang rendah) akan menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memilik self-efficacy yang rendah tidak berpikir bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali self-efficacy mereka ketika menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).

Dari hal-hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang memiliki self-efficacy tinggi memiliki ciri-ciri, antara lain : dapat menangani secara efektif situasi yang mereka hadapi, yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan, ancaman dipandang sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari, gigih dalam berusaha, percaya pada kemampuan diri yang dimiliki, hanya sedikit menampakkan keragu-raguan. Sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah memiliki ciri-ciri antara lain: lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self-efficacy ketika menghadapi kegagalan, tidak yakin dapat menghadapi rintangan, ancaman dipandang


(29)

sebagai sesuatu yang harus dihindari, mengurangi usaha dan cepat menyerah, ragu pada kemampuan diri yang dimiliki, aspirasi dan komitmen pada tugas lemah.

B. KONSEP MAYORITAS DAN MINORITAS

1. Pengertian Mayoritas

Mayoritas menunjukkan jumlah yang paling banyak sedangkan minoritas menunjukkan jumlah yang paling sedikit. Mayoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant culture. Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri, 2005), konsep ini dipahami sebagai sebuah aspek yang berhubungan dengan interaksi antar manusia. Setiap suku bangsa mempunyai seperangkat nilai dan standar kehidupan yang mempengaruhi semua unsur kehidupan kita. Nilai-nilai seperti persaingan, individualisme, dan kebebasan, mungkin bagi kelompok dominan tidak berarti apa-apa. Kelompok dengan budaya dominan lebih mengutamakan etika kerja sebagai kunci sebuah peran untuk mengartikan norma dari kelompok dominan. Liliweri (2005) mengatakan bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.

Jadi mayoritas merupakan jumlah terbanyak atau dominan yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak


(30)

memperlihatkan ciri tersebut dimana patokan jumlah lebih dari 50% dibanding kelompok lain.

2. Pengertian Minoritas

Minoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas.

Dalam analisis klasik, kelompok minoritas menurut Louis Wirth (dalam Liliweri, 2005), diartikan sebagai kelompok yang memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian ditunjukkan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada. Akibatnya, kelompok itu diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi. Keberadaan minoritas dalam suatu komunitas menunjukkan hubungan mereka dengan eksistensi kelompok mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan. Perilaku dan karakteristik dari kelompok minoritas selalu distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.

Jadi minoritas adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibawah 50% dimana jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas.


(31)

C. ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS NON TIONGHOA 1. Pengertian Etnis

Pengertian etnis adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.

Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin mencakup dari warna kulit sampai asal usul acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa etnis merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga dapat dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini digunakan untuk mengacu pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.


(32)

2. Etnis Tionghoa

2.1 Definisi Etnis Tionghoa

Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi menjadi

“Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina

dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an (Liem, 2000). Etnis

Tionghoa menurut Purcell (dalam Liem, 2000) adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.

Menurut Pan & Lynn (dalam Karsono, 2011) pencampuran budaya Tionghoa dengan budaya masyarakat setempat menghasilkan dua kelompok etnis Tionghoa, yaitu: etnis Tionghoa Totok dan etnis Tionghoa Peranakan. Anggota dari kelompok tersebut biasanya digolongkan melalui penggunaan bahasa dan adaptasi dengan budaya setempat. Tionghoa Totok adalah mereka yang berdarah etnis Tionghoa murni dan etnis Tionghoa yang lahir di Tiongkok (China-born Chinese). Sementara itu Tionghoa Peranakan adalah orang Tionghoa yang kedua orang tuanya berasal dari Tiongkok yang lahir di Indonesia; atau salah satu orang tuanya yaitu ayah dari Tiongkok dan ibu orang Indonesia (seemed not very Chinese or even not Chinese at all).

Dalam perkembangan selanjutnya etnis Tionghoa diartikan sebagai bangsa Indonesia yang orang tuanya berasal dari keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia


(33)

dan sudah memiliki kewarganegaraan Indonesia. Mereka dapat kedua orang tuanya berasal dari Tiongkok atau salah satu dari orang tuanya berasal dari Tiongkok (Karsono, 2011)

2.2 Stereotip Etnis Tionghoa

Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, memiliki spekulasi tinggi, namun dengan mudah menghambur-hamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat manusia Tionghoa dan akan dengan mudah dilihat sisi negatifnya. Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial) disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan dapat dipahami. Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan ciri khas manusia Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006).

2.3 Sosial Etnis Tionghoa di Kota Medan

Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data dari penelitian Lubis (1995), Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian (82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku,


(34)

namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa (Lubis, 1999).

Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat homogenitas yang tinggi (Lubis, 1999).

Etnis Tionghoa di kota Medan pada umumnya kurang mampu berbicara bahasa Indonesia, sebab dari kecil mereka hidup di lingkungan etnisnya dan bersekolah di lingkungannya juga (Manurung dan Lina, 2005). Hal ini juga diperkuat dengan data yang diperoleh dalam penelitian Lubis (1995) yang menyebutkan bahwa Etnis Tionghoa di Medan masih dominan menggunakan bahasa Cina (67-77%), baik di rumah maupun di luar rumah dengan sesama etnis Tionghoa.

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Lubis (1995) menyebutkan bahwa motif sosial etnik Tionghoa di kota Medan hanya dominan pada motif berprestasi. Jika pun mereka memiliki motif persahabatan itu adalah dalam rangka memenuhi motif berprestasi. Motif persahabatan lebih diarahkan pada sesama etnik Tionghoa sendiri. Hal ini terlihat melalui interaksi etnis Tionghoa di kota Medan. Interaksi etnis Tionghoa hanya berputar pada teman sesama etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pergi dan mengelompok di tempat duduk tertentu hanya dengan teman-teman sesama etnis Tionghoa, baik di pusat-pusat belajar maupun di keramaian (Lubis, 1995).

3. Etnis Non Tionghoa

Etnis non Tionghoa adalah kelompok etnis yang mempunyai daerah mereka sendiri (Suryadinata, 2003). Menurut Sanjatmiko (1999) membagi masyarakat


(35)

Indonesia dalam dua golongan besar yaitu golongan etnis Pribumi dan etnis pendatang (Eropa, India, Cina).

Menurut Arief (1997) golongan Pribumi adalah golongan mayarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Hal senada diberikan oleh Issamudin (2002), yang menyatakan etnis Pribumi adalah warga negara Indonesia yang tidak berkulit putih, dan bukan merupakan golongan Timur asing atau golongan Eropa.

Dari pengertian etnis non Tionghoa di atas dapat disimpulkan bahwa etnis non Tionghoa di kota Medan adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di kota Medan.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Propinsi Sumatera Utara tahun 2006, penduduk kota Medan terdiri dari :

Tabel 1.

Persentase Penduduk Kota Medan Tahun 2006

Suku Persentase

Melayu 6,59

Karo 4,10

Simalungun 0,69

Tapanuli/Toba 19,21

Mandailing 9,36

Pak-pak 0,34

Nias 0,69

Jawa 33,03

Minang 8,60

Cina 10,65

Aceh 2,78

Lainnya 3,95

Catatan : - Melayu mencakup semua suku Melayu di pulau Sumatera (Melayu Deli, Melayu Langkat, Melayu Asahan, Melayu Riau dll)


(36)

- Termasuk dalam suku Jawa adalah suku lain yang ada di pulau Jawa (Betawi, Banten, Sunda, Jawa dan Madura)

- Warga negara asing tercakup dalam lainnya

Berdasarkan tabel 1 (BPS, 2006), dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud etnis

Non Tionghoa di kota Medan adalah suku Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli, Mandailing, Jawa, Minang, Aceh, dan Warga Negara asing.

D. SISWA SMA (Sekolah Menengah Atas)

Sardiman (2003) menyebutkan bahwa dalam kegiatan belajar – mengajar di sekolah, siswa menempati posisi sentral karena siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita - cita, memiliki tujuan dan ingin mencapainya secara optimal sehingga siswa diharapkan lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar.

Pada umumnya di Indonesia, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki usia berkisar 15/16- 18/19. Pada usia tersebut, individu berada pada tahapan masa remaja. Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada masa remaja ini, individu berada pada tahap operasional formal yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan untuk berpikir abstrak dan menggunakan cara berpikir ilmiah dalam mengatasi suatu masalah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa siswa Sekolah Menengah Atas termasuk temaja pertengahan yang berada antara usia 15-18 tahun. Pada usia ini remaja sudah mampu untuk berpikir abstrak dalam mengatasi suatu masalah.


(37)

E. PROFIL SMA SUTOMO 1 MEDAN 1. Deskripsi Perguruan Sutomo

Perguruan Sutomo adalah nama sekolah swasta di Medan yang dikelola Yayasan Perguruan Sutomo. Kelompok ini mencakup Sutomo 1 yang terdiri dari play group, TK, SD, SMP, dan SMA, dan Sutomo 2 yang terdiri dari TK, SD, SMP, dan SMA. Di antara keduanya, Sutomo 1 merupakan sekolah yang lebih dominan dan luas dikenal. Play group, TK, dan SD Sutomo 1 terletak di Jalan Jambi, Medan Perjuangan sementara SMP dan SMA Sutomo 1 terletak di Jalan Letkol Martinus Lubis, Medan Kota. Sutomo 2 terletak seluruhnya di Pulo Brayan, Medan Timur.

Lebih dari 15 ribu siswa bersekolah di Perguruan Sutomo. Mayoritas siswanya adalah warga keturunan Tionghoa (sekitar 80%), sedangkan etnis Tionghoa mewakili 40% komposisi guru. Kebanyakan guru di SD Sutomo 1 adalah masyarakat etnis Tionghoa, sedangkan kebanyakan guru di SMP / SMA Sutomo 1 adalah masyarakat etnis Batak.

2. Visi

Menjadikan Perguruan Sutomo sebagai Lembaga Pendidikan yang Cerdas dan Unggul dalam mentransformasikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kepada seluruh masyarakat dan membangun karakter bangsa.

3. Misi

Membentuk siswa yang unggul, kreatif, cerdas, terampil, bertanggung jawab, dinamis dan berbudi pekerti luhur, serta bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.


(38)

4. Kurikulum dan Sistem Pendidikan

Pendidikan di sekolah ini berbasis kurikulum Nasional KTSP yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Siswa juga dibekali dengan kemampuan berbahasa asing yakni bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Fasilitas laboratorium bahasa sebagai media pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu siswa dibekali kemampuan teknologi informatika yang bekerja sama dengan BINUS Center dengan adanya laboratorium komputer. Dalam praktikum pelajaran IPA (Biologi, Fisika, Kimia) dan Elektronik dilakukan secara berkala sesuai dengan materi pelajaran melalui fasilitas Laboratorium IPA dan elektronik.

Sejak tahun pelajaran 1995/96, dibuka "kelas plus" (kelas unggulan) yang bertujuan menampung siswa-siswi paling berprestasi, dimana penyajian materi pelajaran lebih cepat dibandingkan dengan kelas umum. Pada tahun 2001 SMA Sutomo 1 diberikan izin oleh Dirjen Pendidikan Pusat untuk membuka Kelas Akselerasi di mana pendidikan SMA dapat diselesaikan dalam jangka waktu 2 tahun. Pada tahun 2005 dibuka Kelas Internasional yang masih dalam tahap "rintisan" sebelum dioperasikan sepenuhnya pada tahun 2007/2008. Kelas Internasional menggunakan materi pelajaran yang disajikan dalam bahasa inggris.

F. PERBEDAAN SELF-EFFICACY PADA SISWA TIONGHOA DAN NON

TIONGHOA DI SMA MAYORITAS ETNIS TIONGHOA

Sekolah pembauran atau pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya (Akhmad, 2008).


(39)

Pemerintah memunculkan satu kebijakan asimilasi yang merupakan cara agar minoritas dapat melebur ke dalam kelompok mayoritas (Mendatu, 2010). Pada tahun 1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran (berdasarkan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967). Sekolah dilihat sebagai salah satu wadah pembauran (melting pot) antara kelompok pribumi dengan kelompok non pribumi, agar generasi muda non pribumi dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan. Pada tahun 1975, SNPK dirubah menjadi Sekolah Nasional Swasta yang kemudian menjadi basis sekolah asimilasi (pembauran).

Sekolah pembauran mewajibkan komposisi siswa-siswa 50% non pribumi dan 50% siswa pribumi (Pelly, 2003). Salah satu sekolah pembauran di Sumatera Utara yang ikut serta melaksanakan Instruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 adalah Yayasan Perguruan SMA Sutomo 1 Medan. Di sekolah ini terdapat siswa pribumi (non pribumi) yaitu sekitar 80 % dan sisanya sekitar 20 % etnis non Tionghoa yang terdiri dari Batak, Karo, Jawa, dll, dengan komposisi tidak mencapai 50%.

Dengan adanya suatu budaya yang mayoritas tentu akan berefek terhadap kelompok minoritas yakni siswa etnis non Tionghoa salah satunya terjadinya culture shock. Fenomena ini akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang memiliki perbedaan baik secara pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009).


(40)

Culture shock ini bisa dilihat dari kelompok siswa sebagai minoritas di sekolah ini harus hidup dengan nilai-nilai dan budaya yang berbeda dengan mereka. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan dan kemungkinan mempengaruhi self-efficacy mereka. Hal ini sesuai dengan Bandura (1997) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi self-efficacy adalah budaya. Bandura (1997) mengatakan Budaya mempengaruhi self-efficacy melalui nilai (values), kepercayaan (beliefs), dan proses pengaturan diri (self-regulatory process) yang berfungsi sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self-efficacy. Bandura (1997) mengungkapkan bahwa budaya individu di suatu sekolah memberi peran penting dalam self-efficacy individu tersebut. Di Sutomo sendiri, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyelesaikan suatu tugas baik dalam tugas sehari-sehari maupun saat ujian dan juga performa yang dihasilkan oleh setiap siswa berbeda-beda dimana fenomena yang terjadi di Sutomo setiap tahunnya banyak siswa yang berasal dari etnis mayoritas yakni etnis Tionghoa memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan siswa dari etnis non Tionghoa.

Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai suatu keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan tugas tertentu. Aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level, generality, dan strength.

Hal inilah yang menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis Tionghoa dan etnis non Tionghoa.


(41)

G. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan self-efficacy antara kelompok siswa etnis

Tionghoa dengan kelompok siswa etnis non Tionghoa di SMA Sutomo 1 Medan”.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kuantitatif, di mana kualitas diskor ke dalam angka kuantitatif dalam pengumpulan dan analisa datanya (Purwanto, 2008). Menurut Purwanto (2008), penelitian kuantitatif menganut prinsip untuk lebih baik menjawab sedikit masalah namun dapat dipertanggungjawabkan, yang penjelasannya lewat tiga kemungkinan, yaitu mendeskripsikan (deskriptif), menghubungkan (kolerasional) atau membedakan (komparasi). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode membedakan atau disebut komparasi, yang mana penelitiannya dimaksudkan untuk membedakan satu kelompok atau lebih dalam satu variabel (Purwanto, 2008).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian (Azwar, 2010).

Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain: 1. Variabel Tergantung (Dependent Variable)

Dalam hal ini yang bertindak sebagai variabel tergantung adalah self-efficacy. 2. Variabel Bebas (Independent Variable)

Dalam hal ini yang bertindak sebagai variabel bebas adalah kelompok etnis siswa, yakni kelompok etnis Tionghoa dan non Tionghoa.


(43)

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Self-efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dihadapi sehingga dapat mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya.

Self-efficacy diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Bandura (1997). yaitu :

a. Tingkatan (Level)

Menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu untuk dapat diselesaikan. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan menentukan self-efficacy.

b. Keadaan umum (Generality)

Menunjukkan sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam menghadapi berbagai situasi tugas, apakah self-efficacy akan berlangsung dalam satu tugas saja atau juga dalam tugas-tugas yang lain.

c. Kekuatan (Strength)

Suatu keyakinan dan kemantapan terhadap kemampuan di diri individu yang dapat diwujudkan dalam meraih performa tertentu.

2. Kelompok Etnis Siswa

Kelompok etnis siswa pada penelitian ini terdiri dari kelompok etnis Tionghoa dan Non Tionghoa.


(44)

a. Tionghoa

Etnis Tionghoa diartikan sebagai bangsa Indonesia yang kedua orang tuanya atau salah satunya berasal dari keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia dan sudah memiliki kewarganegaraan Indonesia.

b. Non Tionghoa

Etnis non Tionghoa adalah kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki suatu sifat yang sama (Hadi, 2002). Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian bahwa sampel harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat digeneralisasikan terhadap populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas X SMA Sutomo 1 Medan.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti mengumpulkan data dari sebagian populasi yang dikenal dengan istilah sampel (Field, 2009; Kerlinger, 1986). Menurut Bordens & Abbozt (2001) sampel merupakan bagian kecil dari kelompok yang dipilih dari populasi yang besar. Supangat (2007) mendefinisikan sampel adalah bagian dari populasi untuk dijadikan sebagai bahan penelaah dengan harapan contoh yang diambil dari populasi tersebut dapat mewakili


(45)

(representative) terhadap populasinya. Sampel yang representatif adalah sampel yang statistiknya identik ataupun sesuai dengan parameter populasi yang diinginkan (Tropper, 1998).

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa dari SMA Sutomo 1 Medan. Peneliti memilih siswa etnis Tionghoa dan Non Tionghoa di tingkat X SMA dan XI SMA di sekolah SMA Sutomo 1 Medan sebagai subjek penelitian.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik quota sampling. Menurut Hadi (2002) dalam quota sampling, jumlah sampel yang akan diteliti ditetapkan terlebih dahulu.

Peneliti memilih teknik ini dikarenakan jumlah siswa yang diizinkan oleh pihak sekolah SMA Sutomo 1 Medan untuk diteliti hanya sebanyak 8 kelas yang tersebar di kelas X sebanyak 4 kelas dan XI sebanyak 2 kelas IPA dan 2 kelas IPS.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel (Siegel, 1997). Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Menurut Azwar (2010) statistik menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak.

Adapun sampel penelitian yang digunakan peneliti adalah keseluruhan jumlah populasi, hal ini dikarenakan jumlah populasi yang masih terjangkau oleh peneliti. Jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 106 siswa yang tersebar di 8


(46)

kelas, 4 kelas X dan 4 kelas XI. Sedangkan jumlah subjek yang digunakan untuk uji coba alat ukur sebanyak 78 orang.

D. INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN

Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang relevan, akurat, dan memadai (Hadi, 2002). Pengumpulan data penelitian kuantitatif dilakukan dengan mengukur dengan menggunakan alat ukur atau instrumen. Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah melalui metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2010).

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur self-efficacy adalah skala yang berdasarkan aspek-aspek self-efficacy yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu level, generality, dan strength yang akan disesuaikan dengan subjek penelitian yang adalah siswa.

Tabel 2

Blueprint Skala Self-efficacy untuk Uji Coba

No. Aspek Aitem Jumlah

F UF

1. Level (tingkatan tugas yang dikerjakan)

1, 2, 7, 13, 23, 28, 38

10, 18, 21,

26, 34, 35 13

2. Generality (keadaan umum

dalam menyelesaikan tugas)

3, 4, 6, 8, 14, 16, 22, 29

11, 19, 32,

37, 39 13

3. Strength (kekuatan dalam

menghadapi masalah

5, 9, 15, 25, 30, 33, 40

12, 17, 20, 24,

27, 31, 36 14


(47)

Model skala ini menggunakan model skala Likert. Aitem-aitem dalam skala ini merupakan pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), STS (sangat tidak sesuai). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable dan unfavourable. Bobot penilaian untuk pernyataan favourable adalah 4 untuk Sangat Sesuai, 3 untuk Sesuai, 2 untuk Tidak Sesuai, dan 1 untuk Sangat Tidak Sesuai, sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavourable adalah 1 untuk Sangat Sesuai, 2 untuk Sesuai, 3 untuk Tidak Sesuai, dan 4 untuk Sangat Tidak Sesuai.

Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy berarti semakin tinggi pula self-efficacy yang dimilki dan sebaliknya semakin rendah nilai yang diperoleh dari skala self-efficacy menunjukkan semakin rendah pula self-efficacy yang dimiliki.

E. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Validitas dan reliabilitas alat ukur yang digunakan dalam sebuah penelitian sangat menentukan keakuratan dan keobjektifan hasil penelitian yang dilakukan. Suatu alat ukur yang tidak valid dan tidak reliabel akan memberikan informasi yang tidak akurat mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai suatu tes (Azwar, 2009).

1. Uji Validitas

Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2009). Validitas alat ukur dalam penelitian ini dikaji berdasarkan arah isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi.


(48)

Validitas isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Ukuran sejauh mana ini ditentukan berdasarkan derajat representatif alat ukur bagi hasil yang akan diukur. Validitas isi ditentukan melalui pendapat professional dalam proses telaah aitem. Professional judgement disini adalah dosen pembimbing. Analisa logis akan dilakukan dengan menggunakan spesifikasi alat ukur yang telah ada untuk menentukan apakah aitem-aitem yang telah dikembangkan representatif terhadap apa yang dimaksudkan untuk diukur.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2009).

Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks diskriminasi aitem (Azwar, 2010). Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala, maka semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan, yang juga berarti semakin tinggi daya bedanya, begitu pula sebaliknya (Azwar, 2010).


(49)

3. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat kekonsistenan atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2009). Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh faktor error (kesalahan) daripada faktor perbedaan yang sesungguhnya. Reliabilitas alat ukur dapat dilihat dari koefisien reliabilitas yang merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan fungsi ukurnya bersama-sama (Azwar, 2007).

Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan Internal Consistency yang mana prosedurnya hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subyek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2009). Teknik yang digunakan adalah teknik koefisien reliabilitas Alpha Cronbach.

Penghitungan daya beda aitem dan koefisien reliabilitas dalam uji coba ini dilkukan dengan menggunakan program SPSS version 16.0 for Windows. Dari hasil uji coba pada skala self-efficacy ini, didapat corrected item-total correlation yang bergerak dari rxx = 0.317 hingga rxx = 0.670 dengan nilai reliabilitas akhir terhadap aitem yang terseleksi sebesar 0.914.

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dari hasil uji coba alat ukur yang dilakukan terhadap 78 siswa yang memiliki karakteristik sama dengan subjek alat ukur, dari 40 aitem yang diujicobakan, didapatkan 32 aitem yang bisa dipakai untuk pengambilan data terhadap subjek penelitian yang


(50)

sebenarnya. Adapun blueprint dari skala self-efficacy yang telah direvisi adalah sebagai berikut:

Tabel 3

Blueprint Skala Self-efficacy untuk Pengambilan Data

No. Aspek Aitem Jumlah

F UF

1. Level (tingkatan tugas yang dikerjakan)

1, 2, 6, 19, 22, 30

9, 14, 17,

26, 27 11

2. Generality (keadaan umum

dalam menyelesaikan tugas)

3, 4, 5, 7, 13, 18, 23

10, 15, 24,

29, 31 12

3. Strength (kekuatan dalam

menghadapi masalah 8, 12, 25, 32

11, 16, 20,

21, 28 9

Total 17 15 32

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Tahap Persiapan

Berikut akan dijabarkan tahap-tahap persiapakan yang dilakukan oleh peneliti yang terdiri dari:

a. Survey Awal

Untuk memulai suatu penelitian, pada tahap ini peneliti melakukan wawancara awal untuk mencari data yang terkait dengan variabel penelitian dengan kepala beberapa siswa, baik siswa etnis Tionghoa maupun Non Tionghoa.

b. Pengumpulan Literatur

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan teori yang berkaitan dengan variabel penelitian mengenai self-efficacy dan kelompok siswa mayoritas yakni etnis Tionghoa dan siswa minoritas yakni etnis non Tionghoa, sekolah pembauran, dan profil sekolah.


(51)

c. Pengurusan Perizinan

Sebelum peneliti melakukan pengambilan data, terlebih dahulu peneliti melakukan pengurusan izin kepada pihak Yayasan Sekolah Sutomo 1 Medan sebagai bagian dari prosedur resmi yang harus dilakukan peneliti. Peneliti meminta surat izin dari pihak Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Selanjutnya peneliti meminta izin kepada Kepala Sekolah SMA Sutomo 1 Medan untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di sekolah ini. Peneliti juga meminta izin untuk meminta daftar jumlah siswa dari kelas X dan XI SMA kepada bagian administrasi pendidikan.

d. Pembuatan Alat Ukur

Setelah peneliti mengumpulkan cukup banyak informasi mengenai self-efficacy, kemudian peneliti membuat alat ukur berupa skala Self-efficacy. Skala-skala

self-efficacy disusun berdasarkan pada aspek-aspek self-efficacy yang

dikemukakan oleh Bandura (1997). Skala self-efficacy yang disusun oleh peneliti berjumlah 32 aitem.

e. Uji Coba Alat Ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 8 Mei 2013 kepada 78 siswa SMA.

f. Revisi Alat Ukur

Setelah aitem skala Self-efficacy diperiksa oleh professional judgement, dan telah diujicobakan pada subjek try-out, maka peneliti mengadakan sedikit


(52)

perubahan atas bahasa yang digunakan dalam skala. Aitem-aitem tersebut kemudian disusun kembali dalam bentuk booklet yang diprint di kertas A4.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah skala penelitian lulus dalam uji validitas dan reliabilitas, maka aitem dalam skala tersebut disusun kembali. Selanjutnya, aitem-aitem yang lulus penyaringan dijadikan alat pengumpulan data pada sampel yang sesungguhnya.

Pengambilan data dilakukan pada hari Kamis, tanggal 16 Mei 2013 di SMA Sutomo 1 Medan dengan memberikan skala sebanyak 120. Penyebaran skala diberikan kepada subjek yang sesuai dengan karakteristik penelitian dimana subjek yang berpartisipasi dalam penelitian adalah subjek yang berbeda dari subjek pada uji coba alat ukur. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik kuota sampling, dimana peneliti memilih teknik ini dikarenakan jumlah siswa yang diizinkan oleh pihak sekolah SMA Sutomo 1 Medan untuk diteliti hanya sebanyak 8 kelas yang tersebar di kelas X sebanyak 4 kelas dan XI sebanyak 2 kelas IPA dan 2 kelas IPS.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh hasil skor prestasi akademik pada masing-masing subjek penelitian, maka pengolahan data dapat dilakukan, dimana dalam pengolahan data peneliti menggunakan aplikasi komputer SPSS version 16.0 for windows dan dan Microsoft Office Excel 2007. Hasil pengolahan data kemudian dianalisa dan diinterpretasikan. Selanjutnya membuat laporan dengan menggunakan sistematika yang telah ditentukan.


(53)

G. METODE ANALISA DATA

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik. Pertimbangan penggunaan statistik dalam penelitian ini adalah (Hadi, 2002):

1. Statistik bekerja dengan angka-angka. 2. Statistik bersifat objektif.

3. Statistik bersifat universal, artinya dapat digunakan hampir pada semua bidang penelitian.

Azwar (2009) menyatakan bahwa pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan sebagai suatu cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca (readable) dan dapat ditafsirkan (interpretable).

Data dalam penelitian ini akan dianalisa dengan analisa statistik, yang dapat bekerja dengan angka-angka, bersifat objektif dan universal (Hadi, 2002). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik t-test (independent t-test) untuk melihat perbedaan self-efficacy siswa Tionghoa dan Non Tionghoa di sekolah mayoritas etnis Tionghoa.

Sebelum dilakukan uji statistik t-test (independent t-test) terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yang meliputi:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian kedua variabel terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS version 16.0. for Windows. Data dikatakan terdistribusi normal jika nilai p > 0,05.


(54)

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi dan sampel penelitian adalah homogen atau tidak. Uji homogenitas menggunakan Levene’s Test dengan bantuan SPSS version 16.0 for Windows. Pendekatan Levene menggunakan mean sebagai ukuran tendensi sentral, oleh karena itu lebih peka terhadap ketidaknormalan data.


(55)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini, akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian dan analisa data sampai pembahasan hasil sesuai dengan data yang diperoleh.

A. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 106 siswa SMA Sutomo 1 Medan, yang terdiri dari 53 siswa Tionghoa dan 53 siswa non Tionghoa. Berdasarkan hal tersebut, didapatkan gambaran subjek penelitian menurut jenis kelamin, usia, dan kelas.

1. Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Berdasarkan 106 subjek penelitian, 53 siswa Tionghoa terdiri dari 22 laki-laki (41.51%) dan 31 perempuan (58.49%).

Tabel 4.

Penyebaran Subjek Tionghoa Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis

Kelamin

Etnis Tionghoa Mean

Skor Jumlah Persentase

Laki-laki 22 41.51 89.5

Perempuan 31 58.49 86.548

Total 53 100

Sementara itu, 53 siswa non Tionghoa terdiri dari 26 laki-laki (49.06%) dan 27 perempuan (50.94%).

Tabel 5.

Penyebaran Subjek Non Tionghoa Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis

Kelamin

Etnis Non Tionghoa Mean Skor Jumlah Persentase

Laki-laki 26 49.06 81.269

Perempuan 27 50.94 81.185


(56)

2. Deskripsi Data Berdasarkan Usia Subjek Penelitian

Subjek-subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMA Sutomo 1 Medan dengan usia yang terentang dari 14 tahun sampai 17 tahun. Rata-rata usia subjek Tionghoa adalah 15.547 tahun, sedangkan rata-rata usia subjek non Tionghoa adalah 15.6 tahun.

Tabel 6.

Penyebaran Subjek Tionghoa Berdasarkan Usia

Usia Etnis Tionghoa Mean

Skor Jumlah Persentase

14 tahun 1 1.89 87

15 tahun 22 41.51 89.454

16 tahun 30 56.60 86.567

17 tahun 0 0 0

Total 53 100.0

Dilihat dari Tabel.6, menunjukkan bahwa siswa berusia 14 tahun berjumlah 1 orang (1.89%), siswa berusia 15 tahun berjumlah 22 orang (41.51%), siswa berusia 16 tahun berjumlah 30 orang (56.60%), dan siswa berusia 17 tahun berjumlah 0 orang (0%).

Tabel 7.

Penyebaran Subjek Non Tionghoa Berdasarkan Usia

Usia Etnis Non Tionghoa Mean

Skor Jumlah Persentase

14 tahun 4 7.55 84.5

15 tahun 18 33.96 80.889

16 tahun 28 52.83 82.143

17 tahun 3 5.66 70.333

Total 53 100.0

Dilihat dari Tabel.7, menunjukkan bahwa siswa berusia 14 tahun berjumlah 4 orang (7.55%), siswa berusia 15 tahun berjumlah 18 orang (33.96%), siswa berusia 16


(1)

b. Peneliti selanjutnya menggunakan jumlah sampel yang proporsional jumlahnya baik dari kelompok siswa etnis Tionghoa maupun kelompok siswa etnis non Tionghoa, agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih representatif.

2. Saran Praktis

a. Saran untuk sekolah

- Pihak sekolah dapat memberikan orientasi kepada siswa-siswa baru sebelum masuk sekolah, diharapkan nantinya siswa Tionghoa sebagai minoritas dapat lebih beradaptasi di lingkungan sekolah yang merupakan mayoritas Tionghoa

- Pihak sekolah, terutama guru, diharapkan dapat lebih memahami karakteristik setiap siswa, hal ini agar guru-guru memberikan pendekatan atau perlakuan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa (terutama siswa minoritas).

- Pihak sekolah juga memberikan pendekatan terhadap siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah sehingga siswa tersebut mendapatkan hasil belajar yang lebih optimal untuk mencapai prestasi akademik yang lebih baik. b. Saran untuk siswa

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi siswa tentang self-efficacy yang mereka miliki. Diharapkan siswa tidak menutup diri terhadap lingkungan di sekolahnya, terutama terhadap etnis yang berbeda dengan dirinya, sehingga siswa tersebut dapat beradaptasi dengan berbagai etnis yang ada di sekolahnya. Siswa juga diharapkan lebih menghargai dan terbuka terhadap perbedaan-perbedaan budaya


(2)

yang ada di sekolah dan lebih mengenali karakteristik budaya mayoritas yang ada di sekolahnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, S. (2008). Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia. Available FTP: http:// www.akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia. Diakses tanggal 21 Februari 2013.

Arief, R. (1997). Persepsi terhadap perlakuan diskriminasi di dalam kondisi minoritas dan kecenderungan berinteraksi pada gogolongan pribumi dan golongan nonpribumi Cina. Skripsi strata satu (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi (Cetakan XIII). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan Validitas (Cetakan IX). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2010). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya (Edisi ke- 2, Cetakan XIV). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Balmer, Starr. (2009). Experiencing Culture Shock in College. Participation Helps Students Adapt to an Unfamiliar Lifestyle. Available FTP: http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_cult ure_shock. Diakses tanggal 3 Maret 2013

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman and Company.

Barakatu, A.R. (2007). Membangun Motivasi Berprestasi: Pengembangan Self-efficacy dan Penerapannya dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Lentera Pendidikan. Edisi X, No 1. Hal 36-51. Universitas Islam Negeri.

Fachrosi, E. (2013). Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR. Supratman 2 Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Field, A. (2009). Discovering Statistic Using SPSS (3rd edition). London: Sage Publication Inc.

Glazer, N. & Moynihan, D.P. (1963). Beyond the Melting Pot. Cambridge: MIT Press Hadi, Sutrisno. (2002). Metodologi Research (Jilid I). Yogyakarta: Andi Offset.


(4)

Issamudin, (2002). Antara Imlek dan diskriminasi. Harian Umum Suara Merdeka. Available FTP: http://www.suaramerdeka.com/harian. Diakses tanggal 24 Februari 2013.

Karsono, Ong Mia Farao. (2011). Penggunaan Bahasa oleh Anak dalam Keluarga Pernikahan Antara Etnis Tionghoa dan Suku Jawa. Fakultas Sastra, Universitas Kristen Petra Surabaya.

Kerlinger, F.N. (1986). Asas-Asas Penelitian Behavioral (L.R.Simatupang, Trans). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. (Original work published 1964). Kingsley Richard S. and J. Oni Dakhari. (2006). Culture Shock. Available FTP:

http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=studenthealthzone&lic=180&cat_id= 20313&article_set=51180&ps=604. Diakses tanggal 3 Maret 2013.

Koentjaraningrat. (2007). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Komandyahrini, E., Reni, A., & Hawadi. (2008). Hubungan Self-Efficacy dan

Kematangan dalam Memilih Karir Siswa Program Percepatan Belajar. Gifted Reviews (Jurnal Keterbakatan & Kreatifitas). Vol 02 No. 01 : 1-12.

Liem, Y. (2000). Prasangka terhadap etnis cina: Sebuah intisari. Jakarta: Djambatan. Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat

Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Littlejohn, Simone. (2004). Culture shock management: when you move to a new place, you are likely to experience a certain degree of culture shock. Though it can be very difficult for some, it is a worthwhile experience. Publication in Swiss News.

Available FTP:

http://www.thefreelibrary.com/Culture+shock+management%3a+when+you+m

ove+to+a+new+place%2c+you+are…-a0119267612). Diakses tanggal 3 Maret

2013.

Lubis, M. R. (1995). Pribumi di mata orang Cina. Medan : Pustaka Widyasarana. Lubis, Suwardi. (1999). Komunikasi antarbudaya : Studi kasus etnik Batak Toba dan

etnik Cina. USU PRESS. Medan.

Manurung, Ria dan Lina Sudarwati. (2005). Realitas pembauran etnis Cina di kota Medan. Jurnal Komunikasi Penelitian. Volume 17 (1). Hal 23-28. Universitas Sumatera Utara.


(5)

Mitchell, B. M., & Salsbury, R.E. (1999). Encyclopedia of Multicultural Education. USA: Greenwood Press.

Myers, D. G. (1996). Social Psychology. USA: McGraw Hill,Inc.

Naim, Ngainum dan Achmad Sauqi. (2008). Pendidikan Multikultural, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Papalia, D.E., Old, S.W. & Feldman, R.D. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana.

Pelly, U. (2003). Murid pri dan nonpri pada sekolah pembauran: kebijakan asimilasi orde baru di bidang pendidikan dan dampaknya terhadap masyarakat multikultural. Jurnal Antropologi Indonesia: Universitas Negeri Medan.

Purwanto. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sanjatmiko, P. (1999). Orang keturunan Cina di Tangerang: Suatu kajian tentang faktor-faktor yang mendorong dan menghambat asimilasi antara penduduk golongan etnik pribumi. Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia, No. 3 seri C, Agustus 1999. ISSN 1410-2595.

Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sardiman. (2003). Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Schunk, D.H. (1995). Self-efficacy and Education and Instruction. New York: Plenum. Siegel, S. (1997). Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia. SP2006, BPS Propinsi Sumatera Utara.

Sumiati, ety (2000). Studi kasus: Prasangka sosial pelajar keturunan Cina dan kecenderungannya pada tingkat interaksi sosial. Abstrak. Bogor: Institute Pertanian Bogor.

Supangat, A. (2007). Statistika, Dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan Nonparametik. Jakarta: Kencana.

Suryadinata, Leo. (2003). Etnik Tionghoa, pribumi Indonesia dan kemajemukan: Peran negara, sejarah, dan budaya dalam hubungan antaretnis. [on-line]. Available FTP: http://jai.or.id/jurnal/2003/. Diakses tanggal 22 Januari 2013.


(6)

Tropper, R. (1998). The Interpretation of Data: An Introduction to Statistics for the Behavioral Sciences. United States of America: Brooks/Cole Publishing Company.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 31 Amandemen IV tentang Pendidikan dan Kebudayaan, ayat 1. Jakarta: Visimedia.

Woolfolk, A. (2004). Educational Pychology 10th ed. USA: Pearson.

Yani Kusmarni. (2010). Pendidikan multikultural suatu kajian tentang pendidikan alternatif di Indonesia untuk merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan dan berbangsa di era global. (Online). Available FTP: http://files.distrodocs.com/content/pdf/2012-06-01/pendidikan-multikultural-suatu-kajian-tentang-pendidikan-alternatif-di-indonesia.pdf. Diakses tanggal 21 Februari 2013.