Kaitan Prinsip Responsibilitas dalam Pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik.

Lingkungan Hidup. Di mana yang diamanatkan Undang–Undang Lingkungan Hidup ini untuk mengatur selanjutnya dari penerapan pendekatan secara ekonomi yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Kelima, yaitu membuat ketentuan yang melarang emiten atau perusahaan publik melakukan pernyataan yang menyesatkan berkaitan dengan keterbukaan lingkungan hidup. 136 Dengan demikian peraturan perlindungan lingkungan hidup serta tanggung jawab sosial dan lingkungan terhadap masyarakat yang berlaku di luar peraturan pasar modal harus diterapkan secara bersamaan dengan peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di pasar modal oleh emiten atau perusahaan publik terutama terkait dengan keterbukaan masalah– masalah lingkungan hidup.

B. Kaitan Prinsip Responsibilitas dalam Pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik.

Prinsip responsiblitas yang merupakan salah satu prinsip GCG selalu terkait dengan pengelolaan emiten atau perusahaan publik. Hal ini dikarenakan prinsip GCG selalu terkait dengan kinerja perusahaan, maka untuk mencapai kinerja perusahaan yang sesuai dengan prinsip GCG maka harus didahului dengan pengelolaan emiten atau perusahaan publik yang baik dan sesuai dengan penerapan GCG termasuk penerapan prinsip responsibilitas. Jadi, pengelolaan emiten atau perusahaan publik harus dilaksanakan dengan kesadaran bahwa emiten atau perusahaan publik mempunyai responsibilitas terhadap publik. Hal ini tidak bisa lepas dari peran publik pada 136 Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, op.cit, hlm 213. Universitas Sumatera Utara dunia usaha mendapat tempatnya di dalam industri pasar modal, karena perusahaan–perusahaan yang telah go public mendapatkan dananya dari masyarakat. Walaupun pengendali perusahaan biasanya masih tetap dipegang oleh segelintir orang, kepentingan masyarakat tetap merupakan bagian integral yang harus dipenuhi, mengingat mereka juga merupakan stakeholder dari perusahaan. 137 Ada beberapa peranan yang dapat dilakukan masyarakat, menjadi pemegang saham perusahaan publik atau emiten, atau menjadi konsumen yang menggunakan produk barang dan jasa dari suatu perusahaan. Pada saat berbicara tentang keterlibatan masyarakat sebagai pemegang saham perusahaan publik, pembicaraan akan difokuskan pada kepentingan pemegang saham minoritas. Prinsip–prinsip GCG yang harus diimplementasikan tidaklah jauh berbeda dengan prinsip GCG yang diterapkan bagi para pemegang saham. Akan tetapi, ada beberapa tambahan yang harus dipenuhi berkaitan dengan pemenuhan kepentingan masyarakat, yaitu: 1. Prinsip keterbukaan sebagai responsibilitas emiten atau perusahaan publik terhadap publik diimplementasikan, terutama pada saat suatu perusahaan melakukan penawaran sahamnya kepada publik. Hal ini penting karena masyarakat biasanya merupakan orang–orang awam yang belum tentu menguasai benar bidang pasar modal. Oleh karena itu, informasi yang akan diberikan harus dalam bentuk yang sederhana dan mudah dimengerti. Dalam kaitannya dengan informasi tersebut, maka yang terutama harus diberitahukan 137 Indra Surya et al, op.cit, hlm 101. Universitas Sumatera Utara adalah bagaimana penggunaan dana yang sudah dikumpulkan dari masyarakat, mengingat dana tersebut tidak boleh diselewengkan untuk kepentingan oknum–okmun perusahaan. 2. Prinsip keterbukaan juga memiliki korelasi yang kuat dengan pemberian informasi material yang harus segera dilaporkan kepada masyarakat. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana kondisi perusahaan secara lugas dan jelas, karena masyarakat berhak untuk memperoleh keamanan dana yang telah diinvestasikan dalam suatu perusahaan. Jika informasi tidak diberikan, tentunya mereka juga akan mengalami kerugian yang tidak sedikit. 3. Selain itu, pelaksanaan GCG menyebabkan opini pemegang saham publik menjadi sangat penting untuk didengarkan. Komunikasi yang intensif antara manajemen perusahaan dengan para pemegang saham dapat memberikan bantuan informasi sekunder yang berguna untuk memajukan perusahaan itu sendiri. Adanya kesempatan pemberian opini ini bukanlah berarti bahwa kemudian perusahaan akan terganggu stabilitasnya karena diharuskan untuk senantiasa memerhatikan pendapat para pemegang saham. Prinsip GCG tidak berbicara tentang kekuasaan, melainkan berbicara mengenai langkah yang harus diambil untuk menghasilkan keputusan–keputusan yang efektif dan efisien. 138 Memang secara logis menurut John D Sullivan, mengingat perusahaan pada dasarnya timbul dari perjanjian yang dibuat oleh para pemegang saham sehingga OECD memasukkan kepentingan perusahaan sebagai kepentingan utama 138 Ibid, hlm 101-103. Universitas Sumatera Utara dari pengembangan perusahaan termasuk emiten atau perusahaan publik. Namun, karena bentuk perusahaan berupa badan hukum, maka terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas perusahaan. Maka berdasarkan pemisahan tersebut, kepentingan pemegang saham harus lebih diutamakan. 139 Filosofi dasar yang dipegang oleh para pemegang saham pada saat menanamkan sahamnya dalam suatu perusahaan adalah untuk mendapat keuntungan secara maksimal. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi pemenuhan kepentingan pemegang saham akan kelanjutan usaha dari perusahaan atau corporate sustainability yang biasanya diharapkan oleh para investor jangka panjang. 140 Beberapa studi menunjukkan performa jangka yang paling mempengaruhi nilai yang sebenarnya dari suatu perusahaan. 141 Kajian Einer Elhauge menunjukkan kemungkinan bahwa perusahaan tidak sekedar berdiri untuk mencari keuntungan maksimal belaka dan secara normatif perusahaan tetap bertanggungjawab kepada publik untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. 142 Selama beberapa tahun investor-investor terbaik termasuk Warren Buffet mengerti akan hal ini. Di mana sekarang mayoritas dari komunitas investasi terdiri dari manajer investasi, pengelola perusahaan, manajer dana pensiun dan penjamin, konsultan investasi, dan komunitas penelitian berperan dalam memberi 139 Indra Surya et al, op.cit, hlm 69. 140 Ibid, hlm 70. 141 Heru Subiyantoro Singgih Riphat, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Kompas, 2004, hlm 574. 142 Indra Surya et al, op.cit, hlm 104. Universitas Sumatera Utara kesan bahwa investasi jangka panjang untuk kelanjutan usaha perusahaan secara sederhana bukan menjadi masalah lagi. 143 Walaupun dinyatakan bahwa kepentingan para pemegang saham harus diutamakan, bukan berarti kepentingan stakehoder yang lain akan dikesampingkan. 144 Bagaimanapun juga, pembuatan prinsip–prinsip GCG termasuk prinisp responsibilitas memiliki tujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan hak–hak dan kewajiban mereka. 145 Karena itu dalam kaitannya dengan prinsip responsibilitas dalam pengelolaan emiten atau perusahaan publik maka prinsip responsibilitas diimplementasikan yaitu prinsip responsibilitas yang merupakan perwujudan dari tanggung jawab perusahaan termasuk emiten atau perusahaan publik untuk mematuhi dan menjalankan setiap aturan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang–undangan yang berlaku termasuk peraturan di bidang lingkungan hidup. 146 Peraturan mengenai lingkungan hidup memiliki korelasi yang kuat dengan kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang sehat dan bersih. Kemajuan ekonomi tanpa melestarikan lingkungan bersih dan sehat tidak berarti banyak dalam jangka panjang. Karena biaya pemulihan lingkungan sangat besar. Dengan adanya kondisi tersebut, pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang- 143 Al Gore, Our Choice A Plan To Solve The Climate Crisis, London: Bloomsbury Publishing, 2009, hlm 331. 144 Heru Subiyantoro et al, op.cit,hlm 574. 145 Ibid. 146 Indra Surya et al, op.cit, hlm 81-82. Universitas Sumatera Utara undangan di bidang lingkungan hidup menjadi signifikan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat luas. 147 Peranan perusahaan korporasi dalam tatanan kehidupan masyarakat semakin meningkat sejalan dengan perkembangan korporasi dalam tingkat perekonomian dunia di mana korporasi berkembang menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang unit usahanya menjangkau begitu banyak dalam bidang kehidupan. 148 Kajian Einer Elhauge menunjukkan kemungkinan bahwa perusahaan tidak sekedar berdiri untuk mencari keuntungan maksimal belaka dan secara normatif perusahaan tetap bertanggungjawab kepada publik untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Justru jika manajemen suatu perusahaan mengurangi laba perusahaan demi memenuhi kepentingan umum misalnya dalam hal lingkungan hidup, manajemen tidak melanggar tugasnya dari pemegang saham yang menginginkan keuntungan maksimal. Sebaliknya jika manajemen mengorbankan kepentingan umum, maka yang terjadi adalah maksimalisasi keuntungan secara ilegal. 149 Oleh karena itu, perusahaan yang mencemarkan lingkungan hidup dapat ditutup oleh pemerintah atau menghadapi gugatan ganti rugi dari masyarakat luas, yang dapat mempengaruhi harga saham dan tentu saja hal ini merugikan investor. Keadaan demikian membuat posisi prinsip keterbukaan mengenai lingkungan hidup perusahaan berbeda dengan kebiasaan keterbukaan perusahaan di bidang 147 Ibid, 103-104. 148 Mahmud Mulyadi et al, op.cit, hlm 26. 149 Indra Surya et al, op.cit, hlm 104. Universitas Sumatera Utara lainnya sebab bahaya yang ditimbulkan mempunyai akibat potensil terhadap masyarakat. 150 Dalam perkembangan di pasar modal, penegakan hukum keterbukaan harus sesuai dengan yang diinginkan hukum pasar modal dan penegakannya juga harus sesuai dengan hukum lain di luar pasar modal yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah klausula sosial social clause misalnya perlindungan lingkungan hidup yang berkaitan dengan informasi penting dan relevan bagi perusahaan. Perusahaan atau emiten harus memuat masalah klausula perlindungan lingkungan hidup yang dipersyaratkan hukum misalnya ketentuan mengenai kewajiban dan tanggung jawab perusahaan untuk melakukan keterbukaan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup. 151 Jadi prinsip responsibilitas sangat terkait dengan lingkungan hidup terutama dalam pengelolaan emiten atau perusahaan publik agar usaha perusahaan terus berlanjut karena menurut Bob Reid bahwa tidak ada perusahaan yang memiliki masa depan yang aman kecuali bila perusahaan tersebut peduli terhadap lingkungan hidup. 152 150 Riza Vetri Ferman, “Environmental Disclosures And SEC Reporting Requirements”. Delaware Journal of Corporate Law, Vol. 17, 1992, hlm 483-484. Maka dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa keterkaitan pengelolaan emiten atau perusahaan publik dengan prinsip responsibilitas yaitu tanggung jawab sosial emiten atau perusahaan publik terhadap masyarakat dan investor terutama berkaitan dengan masalah tanggung jawab sosial dan 151 Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, op.cit, hlm 106-107. 152 Thomas Sheriden Nigel Kendall, Pengendalian Perusahaan Corporate Governance, diterjemahkan Anna W. Bangun, Jakarta: Penerbit P.T. Elex Media Komputindo, 1996, hlm 223-224. Universitas Sumatera Utara lingkungan perusahaan serta masalah perlindungan lingkungan hidup yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat. C. Kepatuhan Perusahaan Publik dalam menjalankan Prinsip Responsibiltas menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku Salah satu perwujudan prinsip responsibilitas selain tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan publik atau emiten adalah ketaatan emiten atau perusahaan publik terhadap perundang–undangan di suatu negara. Prinsip responsibilitas ini mengarahkan perusahaan termasuk perusahaan publik atau emiten untuk senantiasa taat terhadap berbagai peraturan perundang–undangan yang ada di suatu negara termasuk Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa di masa kini perusahaan merupakan suatu badan hukum, sanksi yang sering diberikan kepada perusahaan termasuk perusahaan publik atau emiten berupa sanksi administratif dan sanksi denda. 153 Perusahaan yang baik tidak sekadar menjalankan kegiatannya dengan efektif dan efisien, tetapi juga taat hukum. Jika perusahaan termasuk perusahaan publik atau emiten mencari keuntungan sebesar–besarnya dengan menghalalkan segala cara, tentunya hal ini akan menimbulkan masalah besar. Menurut Robert Monks, perusahaan–perusahaan yang ada mulai menunjukkan bahaya pada saat ia tidak lagi menjalankan prinsip responsibilitas itu. Hal ini digambarkan dengan pernyataannya bahwa perusahaan memiliki 4 bahaya: 1. The quest for unlimited life 153 Indra Surya et al, op.cit, hlm 88-89. Universitas Sumatera Utara 2. The quest for unlimited size 3. The quest for unlimited power 4. The quest for unlimited license 154 Menurut Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, 4 bahaya di atas menunjukkan bagaimana perusahaan termasuk emiten atau perusahaan publik berubah menjadi badan yang eksis sekadar untuk mengeruk keuntungan tanpa memedulikan bagaimana efek kegiatannya terhadap masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait. Jika prinsip responsibilitas tidak juga dikembangkan, yang terjadi kerugian di mana–mana. Kini, dengan adanya berbagai peraturan perundang–undangan di bidang persaingan usaha, ketenagakerjaan, dan juga lingkungan yang merupakan bagian–bagian penting yang harus ditaati oleh perusahaan agar tercapai kinerja perusahaan yang efektif. Selain itu, tentunya gerak–gerik perusahaan termasuk perusahaan publik atau emiten menjadi lebih terbatas sehingga tidak dapat berjalan dengan semaunya. 155 Jadi, terkait dengan pelaksanaan good corporate governance oleh perusahaan publik atau emiten, tidak ada alasan sebenarnya bagi perusahaan publik atau emiten untuk tidak taat pada perundang-undangan dan melaksanakan prinsip–prinsip good corporate governance karena di dalam peraturan perundang –undangan seperti peraturan di pasar modal, perseroan terbatas, perbankan, BUMN, persaingan usaha, dan BUMN sudah tercakup di dalamnya pelaksanaan prinsip–prinsip good corporate governance untuk perusahaan publik atau emiten. 154 Ibid, hlm 89 – 90. 155 Ibid, hlm 90. Universitas Sumatera Utara Terkait dengan ketaatan pelaksanaan good corporate governance oleh emiten di Indonesia, walaupun berbagai studi telah dilakukan dengan menunjukkan korelasi yang positif yang kuat antara praktek good corporate governance dengan profitabilitas serta nilai perusahaan. Namun, pemahaman terhadap good corporate governance tidak otomatis berimplikasi bahwa perusahaan–perusahaan publik atau emiten telah menjalankan good corporate governance. 156 Indonesian Insitute for Corporate Directionship IICD sejak 2005 telah melaksanakan tiga kali praktik good corporate governance terhadap hampir semua perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI. Penilaian pertama dilaksanakan dengan menggunakan data tahun 2006, kedua dengan data tahun 2007, dan ketiga dengan data tahun 2008. Praktek GCG dinilai berdasarkan lima prinsip GCG yang diajukan OECD yaitu: 1. Perlindungan terhadap hak–hak pemegang saham, 2. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham, 3. Peran dan kerja sama dengan pemangku kepentingan stakeholders 4. Transparansi dan pengungkapan, 5. Tanggung jawab dewan komisaris dan direksi. 157 Hasil studi menunjukkan rata–rata skor pada tahun 2008 adalah sebesar 66,50 yang menunjukkan bahwa umumnya perusahaan terbuka di Indonesia melaksanakan good corporate governance hanya sekedar untuk menaati kewajiban minimum yang ditetapkan oleh regulator Bapepam-LK dan BEI dan 156 Investor, No. 208XIIOktober 2010, hlm 84. 157 Ibid. Universitas Sumatera Utara belum sepenuhnya menjalankan good corporate governance. 158 Artinya sebagian besar perusahaan publik atau emiten melaksanakan good corporate governance karena dorongan regulasi dan takut terkena sanksi yang ada. Menurut Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, untuk perusahaan publik yang mempunyai kedekatan dengan pemerintah pusat tidak perlu takut akan ancaman sanksi yang ada karena terlindungi. Ini tentu bertentangan dengan konsep awal good corporate governance yang menghendaki perusahaan mampu lebih akuntabel dan transparan kepada stakeholder. Jadi, yang diharapkan dari good corporate governance adalah adanya proses dari dalam perusahaan untuk secara transparan dan bertanggungjawab merealisasikan tujuan perusahaan. 159 Jika diperhatikan untuk tiap prinsip, skor tertinggi adalah pada prinsip perlakuan yang adil terhadap pemegang saham dan yang terendah adalah perlindungan terhadap hak pemegang saham. Menurut Sidharta Utama dan James Simanjuntak, tingginya skor prinsip perlakuan yang adil terhadap pemegang saham karena relatif baiknya pengungkapan transaksi hubungan istimewa dalam laporan keuangan sesuai dengan ketentuan Bapepam–LK , tidak banyaknya kasus –kasus insider trading yang terungkap, dan juga baiknya fasilitas proxy dalam pemberitahuan rapat umum pemegang saham tahunan. Menurut Sidharta Utama dan James Simanjuntak, rendahnya skor prinsip perlindungan hak pemegang saham menunjukkan ketidaktahuan atau kurangnya kesadaran perusahaan untuk menghargai hak–hak pemegang saham terutama dalam hal pengungkapan kehadiran direksi dan komisaris pada RUPS tahunan dan 158 Ibid, hlm 85. 159 Indra Surya et al, op.cit, hlm 61. Universitas Sumatera Utara pengungkapan notulen RUPS tahunan. 160 Praktik yang dijumpai dalam riset, dengan mengambil sampel RUPS tahunan, hanya 34 responden yang menyediakan bahan RUPS pada saat pemanggilan, sedangkan sisanya memberikan pada saat RUPS. 161 Indra Surya dan Ivan Yustiavandana berpendapat hal ini tentu mengurangi hak pemegang saham untuk memperoleh informasi secara tepat waktu serta memberikan waktu yang cukup mempelajari bahan– bahan RUPS. Akibatnya, RUPS hanya menjadi acara seremonial pengesahan agenda–agenda yang sudah disusun berdasarkan keinginan pemegang saham. 162 Padahal untuk meningkatkan kepercayaan investor dalam melakukan investasi di pasar modal, mereka perlu memastikan bahwa hak–hak dan kepentingan mereka sebagai pemegang saham dilindungi. 163 Selain itu, skor prinsip tanggung jawab dewan komisaris dan direksi juga relatif rendah. Hal ini menurut Sidharta Utama dan James Simanjuntak, disebabkan masih rendahnya akuntabilitas dewan komisaris dan direksi dalam menjalankan tugasnya serta belum berfungsinya komite–komite yang membantu pelaksanaan tugas dewan komisaris, terutama dalam hal indepedensi komite– komite tersebut. Secara umum skor good corporate governance selama tiga periode penilaian mengalami peningkatan dari 61,26 pada tahun 2006 menjadi 64,96 pada tahun 2007, dan 66,50 pada tahun 2008. Kenaikan ini terjadi di semua prinsip good corporate governance, dengan peningkatan tertinggi pada praktik– 160 Investor, No. 208XIIOktober 2010, op.cit, hlm 85. 161 Mohamad Nur Sodiq, The Essence of Good Corporate Governance, Jakarta: Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia Sinergy Communication, 2002, hlm 65. 162 Indra Surya et al, op.cit, hlm 64. 163 Investor, No. 208XIIOktober 2010, op.cit, hlm 85. Universitas Sumatera Utara praktik dewan tanggung jawab dewan sejak tahun 2006. Sayangnya, peningkatan kualitas praktik – praktik dewan ini tidak diikuti dengan peningkatan kinerja prinsip hak–hak pemegang saham. Prinsip ini memang jalan di tempat karena rata–rata skornya tidak berubah sejak tahun 2006 sampai tahun 2008. 164 Hal ini tidak lain karena perusahaan publik atau emiten di Indonesia memiliki karakteristik konsentrasi dan pengendalian pada sekelompok keluargagrup usaha. Meskipun perusahaan–perusahaan tersebut tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun kontrol tetap dipegang oleh keluarga masih begitu signifikan. 165 Berdasarkan data PDBI misalnya pada tahun 1996, 58 dari 300 perusahaan besar konglomerat di Indonesia merupakan perusahaan yang mempunyai afiliasi pada keluarga family business. Konsentrasi kepemilikan menyebabkan banyak hal seperti lemahnya kontrol perusahaan, karena dominasi tersebut juga terjadi di jajaran direksi dan komisaris; kecenderungan terjadinya conflict of interest antara fungsi kepemilikan dan pengendalian; rendahnya akuntabilitas dan perhatian terhadap pemegang saham minoritas. Konsentrasi kepemilikan bukanlah hal yang dilarang, tetapi dapat mempengaruhi akuntabilitas, transparansi, dan seberapa besar perusahaan dapat mengakomodasi semua kepentingan yang terkait dengan perusahaan. 166 Adanya konsentrasi kepemilikan pada sekelompok keluargagrup bisnis menyebabkan kekuatan pengendalian yang besar pada majority shareholder yang akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan antarpemegang saham. Pemegang saham yang umumnya dirugikan dengan kondisi seperti ini adalah 164 Ibid, hlm 85. 165 Indra Surya et al, op.cit, hlm 56. 166 Mohamad Nur Sodiq, op.cit, hlm 64. Universitas Sumatera Utara pemegang saham minoritas. Lemahnya posisi pemegang saham minoritas ini terkait erat dengan fenomena sentralisasi kepemilikan. Kaitannya dengan peningkatan praktik dewan yang tidak diikuti dengan peningkatan kinerja prinsip hak–hak pemegang saham yaitu saat pemilihan anggota dewan komisarisdireksi. Perusahaan publik atau emiten adalah sebagai suatu legal entity yang berdiri sendiri. Seluruh pemegang saham berhak untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan dengan menempatkan wakilnya dalam jajaran komisaris. Menurut Muhamad Nur Sodiq, pada prakteknya pengangkatan komisaris melalui RUPS masih sangat didominasi oleh kepentingan ataupun usulan pemegang saham mayoritas. Bahkan dalam praktiknya, calon komisaris independen pun masih didominasi oleh usulan pemegang saham mayoritas. 167 Hal ini menunjukkan lemahnya posisi pemegang saham minoritas saat pemilihan anggota dewan komisarisdireksi walaupun praktik–praktik dewan terus dilakukan oleh perusahaan publik atau emiten tetapi tidak diikuti dengan kesadaran untuk melindungi hak – hak pemegang saham dan investor. Sidharta Utama dan James Simanjuntak berpendapat bahwa keadaan ini perlu mandapat perhatian khusus dari regulator Bapepam–LK dan BEI serta emiten bila ingin menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal. 168 Kemudian prinsip peran pemangku kepentingan stakeholder antara lain mencakup tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Skor prinsip ini mengalami peningkatan sejak tahun 2006 sampai 2008 terkait dengan diberlakukannya Undang–Undang No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas 167 Ibid, hlm 64. 168 Investor, No. 208XIIOktober 2010, op.cit, hlm 85. Universitas Sumatera Utara yang mewajibkan perusahaan melaporkan kegiatan tanggung jawab sosialnya di laporan tahunan. 169 Menurut hasil studi IICD, dari 330 perusahaan yang disurvei, 275 perusahaan atau 83,33 sudah memenuhi persyaratan minimum lokal praktik– praktik good corporate governance mereka. Namun demikian, 55 perusahaan atau 16,67 masih memperoleh skor buruk yaitu di bawah 60. 170 Jadi, kunci utamanya agar adanya proses dari dalam perusahaan publik atau emiten untuk secara transparan dan bertanggungjawab merealisasikan tujuan perusahaan seperti yang diharapkan dari good corporate governance adalah niat perusahaan untuk berubah. Beberapa perusahaan yang telah sukses menerapkan good corporate governance kuncinya terletak pada keberanian untuk mengubah diri. Dari hasil studi tersebut, kita dapat melihat tidak semua emiten atau perusahaan publik mau berkomitmen menaati perundang–undangan yang berlaku dan melaksanakan good corporate governance. 171 169 Ibid, hlm 85. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan salah satu praktik yang diharapkan good corporate governance. Artinya, untuk dapat merasakan manfaat dari good corporate governance, perusahaan tidak hanya dituntut untuk menaati peraturan saja tetapi lebih dari itu bagaimana perusahaan bisa mentransformasikan konsep-konsep good corporate governance ke dalam operasional perusahaan sehari-hari. Transformasi harus dilakukan secara menyeluruh melalui pola kerja, 170 Ibid. 171 Mohamad Nur Sodiq, op.cit, hlm 64. Universitas Sumatera Utara sikap mentalitas, dan kebiasaan–kebiasaan yang ada di dalam perusahaan corporate culture. 172 Hal inilah yang belum terjadi pada sebagian besar perusahaan publik di Indonesia. Penerapan good corporate governance dianggap menyebabkan cost baru bagi perusahaan dan perusahaan merasa terbebani. Memang dalam jangka waktu singkat, hal ini secara ekonomis kurang menguntungkan tetapi hasil penerapan good corporate governance baru dirasakan dalam jangka waktu yang lama. 173 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketaatan sebagian perusahaan publik atau emiten di Indonesia hanya didasarkan pada ketakutan sanksi yang dapat diberikan oleh pihak otoritas dan bukan didasarkan komitmen perusahaan untuk melaksanakannya sebagai bagian dari budaya perusahaan. Inilah yang menyebabkan adanya perhitungan ekonomi oleh pihak manajemen tentang keuntungan dan kerugian melanggar ketentuan yang ada. Apabila ada kesempatan untuk melanggar ketentuan peraturan di mana akan menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar, maka manajemen pasti akan melakukannya. Indra Surya dan Ivan Yustiavandana berpendapat hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena pelaku usaha memang mencari keuntungan yang maksimal, tetapi metode– metode yang dilakukan untuk mencapai keuntungan maksimal harus sesuai dengan peraturan yang ada. 174 Ketaatan terhadap peraturan saja tidak cukup untuk membuat perusahaan publik atau emiten menjadi good corporate governance. Yang dibutuhkan adalah 172 Indra Surya et al, op.cit, hlm 61. 173 Ibid, hlm 61. 174 Indra Surya et al, op.cit, hlm 62. Universitas Sumatera Utara kemauan dan komitmen kuat dari perusahaan publik atau emiten untuk menerapkan budaya tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan pedoman good corporate governance yang ada dalam perusahaan. 175 175 Ibid, hlm 62. Universitas Sumatera Utara

Bab IV TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN CORPORATE