Bab IV TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY PERUSAHAAN PUBLIKEMITEN
A. Latar belakang dan Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan CSR
Corporate social responsibility CSR atau di Indonesia lebih dikenal sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan sangat berkaitan erat
dengan prinsip good corporate governance GCG. Prinsip GCG yang berkaitan erat dengan CSR adalah prinsip responsibilitas yang merupakan aspek
pertanggungjawaban dari setiap kegiatan perusahaan untuk melaksanakan prinsip corporate social responsibility karena dalam berusaha, sebuah perusahaan tidak
akan lepas dari masyarakat sekitar, ditekankan juga pada signifikasi filantrofik yang diberikan dunia usaha kepada kepentingan pihak-pihak eksternal dimana
perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholder perusahaan, menciptakan nilai tambah value added dari produk dan jasa, dan memelihara
kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya.
176
Menurut Erman Radjagukguk, istilah tanggung jawab sosial perusahaan pertama kali lahir pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Pada waktu itu, posisi
dominan perusahaan–perusahaan maupun akademisi menolak corporate social responsibility yang tercermin dalam undang–undang perusahaan Amerika Serikat
176
http:rosita.staff.uns.ac.id20100723corporate-social-responsibility, diakses tanggal 23 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
yang lebih mengutamakan kepentingan pemegang saham.
177
Hal ini dikarenakan waktu itu Amerika Serikat masih menganut teori pendekatan yang tradisional
yaitu shareholder theory. Dalam pandangan klasik dan tradisional ini, satu– satunya tujuan berdirinya sebuah perusahaan adalah melayani kepentingan
pemilik modal shareholder. Dalam hal ini, kepentingan utama para pemilik modal adalah mendapatkan keuntungan sebesar–besarnya.
178
Keutamaan shareholder ini ditentang oleh pandangan stakeholder theory.
179
A. Prasetyantoko mengatakan pada dasarnya teori ini mendefinisikan perusahaan sebagai tempat
atau wilayah tidak selalu dalam pengertian geografis adalah ajang interaksi antar berbagai pihak secara luas. Interaksi tidak sekedar melibatkan pengelola
perusahaan dan pemilik modal tetapi juga pihak–pihak lain seperti pekerja, pemasok, konsumen, masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan sebagainya.
180
Fokus dari teori ini terletak pada dua wacana utama. Pertama, apa yang menjadi tujuan dari perusahaan. Kedua, apa tugas yang diemban oleh manajer atau
pengelola perusahaan terhadap stakeholder
181
Sir Adrian Cadbury mengindentifikasikan 3 tiga tingkatan tanggung jawab perusahaan yaitu :
. Teori ini secara garis besar menyatakan bahwa tujuan dari suatu perusahaan adalah mendatangkan manfaat
bagi stakeholder.
177
Erman Radjagukguk, “Konsep dan Pengembangan Pemikiran tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, http: ermanhukum.com, hlm 1, diakses 15 Oktober 2010.
178
A. Prasetyantoko, Corporate Governance Pendekatan Institusional, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008, hlm 88.
179
Erman Radjagukguk, op.cit, hlm 1.
180
A. Prasetyantoko, Corporate Governance Pendekatan Institusional, op.cit, hlm 90.
181
Stakeholder dibagi atas stakeholder internal dan stakeholder eksternal. Yang termasuk stakeholder internal yaitu para pemegang saham dan karyawan perusahaan. Sedangkan yang
termasuk stakeholder eksternal yaitu adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam pengurursan perusahaan seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat pertama, yaitu tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi kewajiban materialnya kepada para pemegang saham, para karyawan, para
langganan, penyalur dan para kreditor, serta membayar pajak dan memenuhi kewajibannnya berdasarkan hukum yang berlaku. Sanksi terhadap tidak
dipenuhinya tanggung jawab ini disesuaikan dengan ruang lingkup kompetisi dan hukum yang berlaku.
Tingkat yang kedua adalah tanggung jawab yang terkait dengan akibat langsung dari kegiatan atau operasional perusahaan terhadap masyarakat.
Tanggung jawab ini mencakup mampu secara maksimal mendayagunakan sumber daya manusia dalam masyarakat serta menghindari terjadinya kerusakan terhadap
lingkungan environmental damages.
182
Tingkat ketiga adalah berbentuk pertanyaan yaitu sampai sejauh manakah perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan kerangka
masyarakat framework of the society dalam mana ia berkegiatan dan sampai sejauh manakah perusahaan lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat
dibandingkan kepentingan komersialnya.
183
Tujuan utama perusahaan pertama–pertama adalah hidup terus sustain dalam suatu kesinambungan jangka panjang. Salah satu prasyarat agar perusahaan
bisa hidup terus adalah memperoleh keuntungan.
184
182
Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholders Perusahaan” , op.cit, hlm 5.
Profit atau keuntungan adalah sebagai sarana bukan tujuan, seperti yang dikatakan Peter Drucker, “profit is like
oxigen, you need it, and it is not the goal”. Karena itu menurut Jimly Asshiddiqie, keuntungan memang harus dicari, tetapi manfaatnya tidak dimaksudkan untuk
183
Ibid, hlm 6.
184
A. Prasetyantoko, Corporate Governance Pendekatan Institusional, op.cit, hlm 90.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan pemegang saham shareholders melainkan untuk kepentingan yang lebih luas stakeholders.
185
Dengan demikian dalam perkembangannya, perusahaan tidak lagi dilihat sebagai entitas yang hanya mencari keuntungan semata, tapi juga sebagai agen
moral yang diperhitungkan terhadap perlakuan mereka kepada pegawai, investor, pemasok, dan konsumen. Menurut Ferrel, Fraedrich, dan Ferrel, perusahaan diberi
hak sebagai warga negara, mereka secara umum mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama sebagai individu. Melalui proses hukum dan pengadilan,
masyarakat menuntut perusahaan bertanggung jawab accountable atas perbuatan dari pegawai mereka sebagaimana terhadap keputusannya dan konsekuensi dari
keputusan itu. Publikasi di pemberitaan media tentang isu–isu yang spesifik seperti keuntungan pegawai, kompensasi eksekutif, kerusakan produk, praktek
yang kompetitif, dan laporan finansial berkontribusi pada reputasi perusahaan sebagai agen moral.
Sebagai agen moral, perusahaan disyaratkan untuk mematuhi hukum dan peraturan yang mendefinisikan perbuatan bisnis yang dapat diterima.
Bagaimanapun, penting untuk mengakui bahwa perusahaan bukanlah manusia yang bisa berpikir melalui isu–isu moral. Karena perusahaan bukan manusia,
hukum dan peraturan yang diperlukan untuk memberikan pembatasan struktural formal dan pedoman tentang isu–isu etis. Meskipun jelas bukan manusia,
perusahaan dapat dianggap sebagai agen moral masyarakat yang diciptakan untuk melakukan fungsi spesifik dalam masyarakat dan karenanya bertanggung jawab
185
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, hlm 331.
Universitas Sumatera Utara
kepada masyarakat atas tindakannya. Karena perusahaan mempunyai karakteristik dari agen, tanggung jawab responsibility atas perilaku etis ditugaskan kepada
perusahaan sebagai badan hukum serta individu. Kebiasaan perusahaan corporate culture tanpa nilai–nilai dan komunikasi yang sesuai tentang etika
dapat mempermudah kesalahan individual.
186
Dalam perkembangannya, teori stakeholders ini juga merupakan bentuk penolakan terhadap teori pemisahan
separation thesis yang menggariskan bahwa etika dan ekonomi dapat dipisahkan secara tegas.
187
Konsekuensi logis dari teori stakeholder adalah perusahaan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility CSR
untuk mengambil bagian dalam kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan bertindak sebagai bagian dari masyarakat.
188
Bila dilihat dari sejarah, konsep corporate social responsibility bukanlah konsep yang baru karena konsep ini telah dijumpai dalam Kode Hammurabi
1700-an SM yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian warga
bagi pelanggannya.
189
Agama-agama yang besar yang ada di dunia termasuk Kristen, Islam, Hindu, Yahudi, Buddha, Taoisme, dan yang lainnya. Menurut Al Gore, semua
agama menunjukkan pentingnya dan sangat konsisten mengajarkan tentang nilai dari melindungi dan melestarikan keberlangsungan lingkungan dan bertindak
186
O.C. Ferrel, John Fraedrich, Linda Ferrel, Business Ethics Ethical Decision Making And Cases, Mason: South-Western Cengage Learning, 2008, hlm 207.
187
Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholders Perusahaan” , op.cit, hlm 13.
188
Ibid, hlm 15.
189
http:csrjatim.org2datasejarah-csr.pdf, diakses tanggal 10 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelayan yang baik dari dari kebajikan yang memberikan kepada kita. Diantara banyaknya peranan yang diambil agama-agama dalam hidup manusia,
tradisi-tradisi agama mengharuskan untuk meningkatkan nilai kebersamaan sebagai faktor yang membimbing penganut yang mengharapkan hidup secara
etis.
190
Nilai-nilai ini dapat, jika mereka memilihnya sebagai suatu yang prioritas, memiliki peranan krusial dalam mempertahankan komitmen multigenerasi
terhadap perubahan iklim yaitu pemanasan global global warming yang selama ini diingatkan oleh Al Gore di mana hal ini diperlukan untuk memenuhi peran kita
sebagai pelayan yang baik di planet bumi ini.
191
Isu tanggung jawab sosial corporate social reponsibility adalah topik yang berkenaan dengan etika bisnis.
192
Juga merupakan salah satu implikasi serta terkait erat dengan pendekatan stakeholder.
193
Menurut CEO Group Lippo, James T Riady, bisnis diinginkan hanya untuk dirinya sendiri atau bisnis hanya untuk
bisnis itu sendiri maka kelihatannya ada yang janggal. Perusahaan melakukan bisnis bukan demi bisnis, namun demi kualitas-kualitas hidup yang akan diperoleh
melalui bisnis seperti kenyamanan, kemampuan bertahan hidup dan kebahagiaan.
194
Sehingga dunia bisnis berbeda sekali dengan ilmu–ilmu eksak di mana dunia bisnis sangat banyak bersentuhan dengan etika dan masyarakat.
195
190
Al Gore, op.cit, hlm 308.
Selain itu, perusahaan harus memahami bahwa tanpa keseimbangan dan
191
Ibid.
192
Bismar Nasution, “Aspek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, Disampaikan pada “Semiloka Peran dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Masyarakat Lokal Wilayah
Operasional Perusahaan Perspektif Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Riau Pekanbaru tanggal 23 Februari 2008, hlm 1.
193
A. Prasetyantoko, Corporate Governance Pendekatan Institusional, op.cit, hlm 93.
194
James T Riady, “Bisnis dan Teologi Reformed”, 50th Years Festschrift in honor Stephen Tong, Jakarta : Reformed Center for Religion and Society STEMI, 2007, hlm 604.
195
Ibid, hlm 608 – 609.
Universitas Sumatera Utara
pemenuhan kepentingan dari berbagai pihak terkait, perusahaan tidak akan memiliki keberlangsungan hidup yang panjang.
196
Oleh karena itu, berkaitan dengan moralitas yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Di sini etika
bisnis mengatur secara khusus mengenai moral, benar dan salah. Fokusnya kepada standar-standar moral yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan bisnis, institusi
dan tingkah laku. Maka, etika bisnis adalah bentuk etika terapan yang tidak hanya menyangkut analisis norma-norma moral dan nilai-nilai moral, tetapi juga
menerapkan konklusi analisis ini terhadap lembaga-lembaga, teknologi, transaksi, aktivitas-aktivitas yang kita sebut bisnis.
197
Di samping itu dapat dipahami bila perusahaan melakukan kegiatan bisnis tidak hanya demi mencari keuntungan dan juga ikut memikirkan kebaikan,
kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat dengan ikut melakukan berbagai kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Kegiatan sosial tersebut sangat
beragam, misalnya menyumbangkan dana untuk membangun rumah ibadah, membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat seperti listrik, air,
jalan, tempat rekreasi, melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran atau ikut membersihkan sungai dari polusi, melakukan pelatihan cuma-cuma bagi
pemuda yang tinggal di sekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya, dan seterusnya.
198
Maka seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat semakin sadar akan pentingnya perlindungan atas hak-hak mereka. Masyarakat menuntut
196
A. Prasetyantoko, Corporate Governance Pendekatan Institusional, op.cit, hlm 93.
197
Bismar Nasution, “Aspek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, op.cit, hlm 2.
198
Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya, op.cit, hlm 123.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan untuk lebih peduli pada masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas mereka yaitu menuntut tanggung jawab sosial perusahaan. Bagi
pengusaha, ini harus diperhatikan dengan baik. Hal ini dikarenakan semakin baiknya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka dan kepedulian mereka
terhadap lingkungan mereka maka pengusaha harus mewujudkan tanggung jawab sosialnya.
199
Memang pada awalnya kelahiran CSR adalah bentuk sogokan dari perusahaan kepada masyarakat yang sering dirugikan oleh praktek bisnis
perusahaan. Biasanya praktik ini dilakukan perusahaan yang tidak ingin mendapat perlawanan lebih massif dari masyarakat, apalagi jika sampai perusahaannya
berhenti beroperasi gara-gara demonstrasi.
200
Karena itu, dalam perkembangannya dunia usaha semakin sadar bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada
tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan corporate value yang direfleksikan dalam kondisi keuangan saja, tapi juga harus
memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Demikian, dunia usaha bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan
usahanya, melainkan juga tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya.
201
Menurut Martono Anggusti, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya cost centre, melainkan sentra laba profit centre di masa mendatang. Karena
199
Gunawan Widjaja Yeremia Ardi Pratama, Resiko Hukum Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta: Penerbit Forum Sahabat, 2008, hlm 18.
200
Ibid.
201
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep Aplikasi CSR, Gresik: Fasco Publishing, 2007, hlm xxiv.
Universitas Sumatera Utara
melalui hubungan yang harmonis dan citra yang baik, timbal-baliknya masyarakat juga akan ikut menjaga eksistensi perusahaan.
202
CSR juga sering disalahartikan hanya sebagai kegiatan donasi perusahaan atau sekadar ketaatan perusahaan pada hukum dan aturan yang berlaku. Padahal
kegiatan donasi philanthropy dan ketaatan perusahaan pada hukum tidak dapat diartikan sebagai CSR. Karena jika dilihat dari pengertiannya, philanthropy
adalah, “the act of donating money, goods, time, or effort to support a charitable cause, usually over an extended period of time and in regard to a defined
objective”. Dari definisi tersebut, dapat dilihat tujuan philanthropy adalah kegiatan yang bersifat amal charity. Menurut Gunawan Widjaja, kegiatan amal
tidak memerlukan komitmen berkelanjutan dari perusahaan. Tanggung jawab perusahaan terhadap sebuah kegiatan philanthropy berkahir bersamaan dengan
berakhirnya kegiatan amal yang dilakukan perusahaan tersebut.
203
Maka dalam melakukan CSR, komitmen dan tanggung jawab perusahaan ini dibuktikan dengan adanya keterlibatan langsung dan kontinuitas perusahaan
dalam setiap kegiatan CSR yang dilakukannya. Keterlibatan langsung dan Sedangkan,
CSR adalah suatu komitmen bersama dari seluruh stakeholders perusahaan untuk bersama-sama bertanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial. CSR bukan
merupakan sumbangan dari salah satu atau lebih stakeholder misalnya berupa penyisihan keuntungan dari pemegang saham untuk kegiatan sosial, tetapi
menjadi tanggungan seluruh stakeholders. Dalam melakukan CSR, setiap stakeholders berkomitmen dan bertanggung jawab atas pelaksanaan CSR.
202
Martono Anggusti, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Bandung: Book Terrace Library, 2010, hlm 29.
203
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 20 dan 21.
Universitas Sumatera Utara
kontinuitas kegiatan inilah yang menjadi ciri khas dari CSR.
204
Dengan demikian CSR dilakukan oleh perusahaan maupun pelaku bisnis yang menjunjung tinggi
etika bisnis dengan tidak hanya mengejar profit semata tapi juga mempertimbangkan dan berkomiten memberikan kontribusi terhadap aspek sosial
dan lingkungan serta komunitas masyarakat secara kontinuitas dan berkelanjutan.
B. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan CSR dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, corporate social responsibility menjadi kegiatan yang wajib
dilaksanakan oleh perusahaan karena diwajibkan oleh undang-undang. Martono Anggusti mengatakan bahwa jauh sebelum UUPT mewajibkan CSR, perusahaan-
perusahaan di Indonesia sudah melaksanakan CSR. Hanya saja pelaksanaannya lebih merupakan tuntutan dalam menjalankan bisnis daripada kewajiban
hukum.
205
Artinya pelaksanaan corporate social responsibility yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi bersifat mandatory. Jadi sejak diundangkannya Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menurut Eric Lyon, Indonesia menjadi negara pertama yang mewajibkan pelaksanaan CSR yang
bersifat mandatory sejak diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
206
Martono Anggusti mengatakan bahwa secara umum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah mengakomodir ke empat jenjang tanggung jawab yaitu
204
Ibid, hlm 21.
205
Martono Anggusti, op.cit, hlm 41.
206
http:www.csr-asia.comindex.php?id=13245, diakses tanggal 12 Januari 2010.
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab ekonomis, hukum, etis, dan filantropis. Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba untuk berkemban dan
mempertahankan eksistensinya. Namun dalam mencari laba, sebuah perusahaan harus bertanggung jawab secara hukum dengan menaati ketentuan hukum yang
berlaku. Secara etis, perusahaan juga bertanggung jawab untuk mempraktekkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma-norma
kemasyarakatan. Tanggung jawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan
dengan operasi bisnisnya. Keunikan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengelaborasi keempat jenjang
tanggungjawab perusahaan tersebut dalam Pasal 74 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan sehingga terlihat adanya kompromi antara tanggung jawab
hukum, etis dan filantropis dari perseroan terbatas.
207
Dalam rumusan Pasal 74 ayat 1 UUPT disebutkan bahwa perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan
dengan sumber daya alam diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.
208
Jadi, Pasal 74 ayat 1 menetapkan dua kriteria perusahaan yang wajib CSR yakni perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam atau
perusahaan yang tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapai aktivitas usahanya berpengaruh terhadap daya dukung sumber daya alam.
209
Menurut Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, penjelasan pasal 74 tersebut jelas disebutkan bahwa kewajiban pelaksanaan CSR bagi perusahaan
207
Martono Anggusti, op.cit, hlm 83.
208
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 95.
209
Martono Anggusti, op.cit, hlm 83.
Universitas Sumatera Utara
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya melihat pada bisnis inti core business dari
perusahaan tersebut. Walaupun perusahaan tersebut secara tidak langsung melakukan eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama kegaitan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, maka perusahaan tersebut wajib melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Demikian jelaslah bahwa konsep
CSR yang semula hanya merupakan kewajiban moral, dengan berlakunya pasal 74 ayat 1 UUPT menjadi kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum, tetapi khusus hanya bagi perusahaan yang menjalankan kegaiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam.
210
Bagi perseroan yang tidak menjalankan kegiatan usaha di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak diwajibkan melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
211
Meskipun dalam UUPT, kewajiban CSR bagi perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau
berkaitan dengan sumber daya alam hanya sebatas kewajiban moral, dalam pelaksanaannya khususnya terkait dengan peraturan perundang-undangan lainnya
kewajiban moral ini dapat berubah menjadi kewajiban hukum sebagai konsekuensi logis bahwa pelaksanaan CSR umumnya diatur dalam berbagai
macam peraturan perundang-undangan secara terpisah.
212
Kemudian, Pasal 74 ayat 2 memerintahkan bahwa perseroan harus menganggarkan dan memperhitungkan tanggung jawab sosial dan lingkungan
210
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 95-96.
211
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm 301.
212
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 96.
Universitas Sumatera Utara
sebagai biaya perusahaan.
213
Biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan ini seharusnya diperhitungkan sebagai
salah satu pengeluaran perusahaan.
214
Selain itu, Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama berpendapat dengan memperhatikan ketentuan pajak yang berlaku, biaya tanggung jawab
sosial dan lingkungan haruslah merupakan biaya yang dikeluarkan perseroan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Hal ini tidak berarti
keuntungan perusahaan setelah pajak, dipotong lagi untuk kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jadi, biaya pelaksanaan tanggung jawab
sosial dan lingkungan seharusnya tidak menjadi pajak tambahan bagi perusahaan. Menurut Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, keuntungan bersih
perusahaan setelah dipotong untuk dana cadangan perusahaan adalah hak sepenuhnya dari para pemegang saham. Jadi tidak dapat digunakan untuk biaya
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Maka rencana tanggung jawab sosial dan
lingkungan yang akan dilaksanakan dan anggaran yang dibutuhkan wajib untuk dimuat atau dimasukkan ke dalam renacana kerja tahunan.
215
Mengenai besarnya anggaran pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan disebutkan bahwa pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran. Namun, menurut Martono Anggusti, UUPT tidak memberikan standar yang jelas mengenai ukuran kepatutan dan kewajaran maka
sebaiknya diberikan fleksibilitas bagi perusahaan untuk menentukan sendiri
213
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm 301.
214
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 96.
215
Ibid, hlm 96-97.
Universitas Sumatera Utara
ukuran kepatutan dan kewajaran pada saat perseroan terbatas merencanakan penganggaran CSR dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran perusahaan.
216
Jadi, pelaksanaan CSR dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran harus dilakukan dengan pengertian biaya-biaya pelaksanaan CSR harus diatur
besarnya sesuai dengan manfaat yang hendak dituju dari pelaksanaan CSR itu sendiri berdasarkan kemampuan keuangan perusahaan dan potensi resiko dan
besarnya tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perusahaan sesuai dengan kegiatan usahanya tersebut.
217
Selanjutnya Pasal 74 ayat 3 menyebutkan perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan padahal
memenuhi kriteria sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang sumber daya alam danatau yang berkaitan dengan sumber daya alam, dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut penjelasan pasal ini, yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.
218
Maka menurut Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, sanksi yang dikenakan bukan sanksi karena perusahaan tidak melakukan CSR menurut UUPT,
melainkan sanksi yang karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga perusahaan tersebut melanggar aturan-aturan terkait di bidang sosial dan lingkungan yang
berlaku.
219
216
Martono Anggusti, op.cit, hlm 84.
Seperti Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman
217
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 97.
218
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm 301.
219
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 98.
Universitas Sumatera Utara
modal, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Kemudian dalam Pasal 74 ayat 4 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 74 ayat 1, 2 dan 3 UUPT adalah peraturan yang memayungi pelaksanaan CSR di Indonesia.
220
Hanya saja yang peraturan pelaksana dari Pasal 74 tersebut, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 ayat 4 belum diterbitkan oleh pemerintah.
221
Dengan demikian sesuai dengan amanah yang diberikan oleh UUPT tersebut, pemerintah perlu membuat aturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah.
222
Selain Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tanggung jawab sosial dan lingkungan juga diatur dalam Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 tentang penanaman modal. Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 menetapkan kewajiban bagi setiap perusahaan penanaman modal
untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
223
220
Ibid, hlm 98.
Menurut HS. Salim dan Budi Sutrisno, kewajiban perusahaan penanam modal adalah untuk tetap menciptakan
221
Martono Anggusti, op.cit, hlm 15.
222
Gunawan Widjaja et al, op.cit, hlm 98.
223
Martono Anggusti, op.cit, hlm 14.
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang serasi dan seimbang antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Hubungan yang serasi dan seimbang ini harus sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
224
Dalam Pasal 34 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 juga sudah diatur sanksi-sanksi terperinci
terhadap perusahaan yang melalaikan CSR.
225
Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang mewajibkan untuk mengalokasikan
anggaran guna melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diharapkan perseroan terbatas akan meningkatkan tanggung jawab perusahaan dan
memberi ukuran citra good corporate governance.
226
Di lingkungan BUMN, tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Tanggung jawab
sosial dan lingkungan bagi BUMN adalah implementasi fungsi BUMN sebagai agent of development.
227
Pasal 2 jo Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 telah mengatur penerapan CSR.
228
Selain itu Pasal 88 ayat 1 ayat 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 secara imperatif menegaskan bahwa
BUMN dapat menyisihkan sebagian labanya untuk keperluan pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
229
224
HS. Salim Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2008, hlm 379.
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal 88 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 diatur dalam Permeneg BUMN No. PER-
05MBU2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu
225
Warta Ekonomi, No. 15XXII26 Juli – 8 Agustus 2010, op.cit, hlm 50.
226
Martono Anggusti, op.cit, hlm 74.
227
Ibid, hlm 13.
228
Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholders Perusahaan” , op.cit, hlm 26.
229
Martono Anggusti, op.cit, hlm 13.
Universitas Sumatera Utara
pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan
keuangan negara. Adapun bentuk penerapan tanggung jawab sosial perusahaan BUMN
seperti diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri tersebut adalah dalam bentuk program kemitraan dan program bina lingkungan yang bersumber dari penyisihan
laba setelah pajak maksimal sebesar 2 dua persen. Besaran dana tersebut ditetapkan oleh Menteri untuk Perum dan RUPS untuk Persero dan dalam kondisi
tertentu dapat ditetapkan lain dengan persetujuan MenteriRUPS. Dana program kemitraan diberikan dalam bentuk pinjaman untuk membiayai modal kerja,
pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha mitra binaan, beban pembinaan untuk membiayai pendidikan, pelatihan,
pemasaran, promosi dan lain-lain yang menyangkut peningkatan produktivitas mitra binaan. Sedangkan ruang lingkup bantuan program bina lingkungan BUMN
berupa antara lain bantuan korban bencana alam, bantuan pendidikan dan atau pelatihan, bantuan peningkatan kesehatan, bantuan pengembangan prasaranaatau
sarana umum, bantuan sarana ibadah, bantuan pelestarian alam serta tata caramekanisme penyaluran, kriteria untuk menjadi mitra BUMN dan pelaporan
telah diatur dalam peraturan ini.
230
230
Bismar Nasution, “Pengelolaan Stakeholders Perusahaan” , op.cit, hlm 26-27.
Menurut Martono Anggusti, peraturan CSR bagi BUMN bersifat terbatas, karena hanya berlaku pada BUMN dan
Universitas Sumatera Utara
pembiayaannya dialokasikan dari perusahaan BUMN. Dengan demikian BUMN wajib melaksanakan CSR jika BUMN tersebut mendapatkan laba.
231
Jadi, dengan adanya pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Maka diharapkan perusahaan dalam menjalankan
bisnisnya tetap memperhatikan keberlangsungan perusahaan, aspek sosial dan lingkungan di samping memperhatikan aspek profit sehingga perusahaan dapat
secara berkelanjutan sustainable dalam menjalankan bisnisnya. Selain itu kualitas hidup masyarakat dan lingkungan dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan
tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
C. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan PublikEmiten