Analisis Hukum Prinsip Transparansi Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 (Studi Pada Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya)

(1)

ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN

KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28

TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN

PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)

TESIS

Oleh

IRMA FATMAWATI

077005077/HK

FAKULTAS HUKUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN

KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28

TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN

PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRMA FATMAWATI

077005077/HK

FAKULTAS HUKUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM PRINSIP TRANSPARANSI PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 (STUDI PADA YAYASAN PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA)

Nama Mahasiswa : Irma Fatmawati Nomor Pokok : 077005077 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH. M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi. A. SH. CN. M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) (Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 20 November 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum


(5)

ABSTRAK

Yayasan dalam menjalankan kegiatannya bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan umumnya menerima pendapatan (income) yang berlebih (surplus) setelah dikurangi biaya-biaya. Maka kelebihan pendapatan tersebut bukan merupakan keuntungan organ yayasan, tetapi merupakan kekayaan yayasan yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh organ yayasan.

Akhir-akhir ini banyak yang mendirikan yayasan dengan mengutamakan profit atau mengejar/mencari keuntungan dan/atau penghasilan sebesar-besarnya. Padahal pada rumusan Pasal 3 ayat (2) dikatakan dengan jelas bahwa “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas”. Dengan rumusan yang demikian, maka hasil keuntungan yayasan tidak dapat dipergunakan oleh organ yayasan termasuk pembina, pengurus dan pengawas yayasan untuk memperkaya diri pribadi.

Yayasan sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri. Maka kebanyakan kegiatan yang diselenggarakan para pendiri yayasan lebih condong mengembangkan yayasan ke dunia usaha pendidikan karena pendidikan adalah merupakan tonggak kehidupan masyarakat menuju ke depan dan tidak berlaku surut bahkan semakin banyak manusia semakin meningkatnya masyarakat membutuhkan pendidikan sehingga yayasan yang berstatus pendidikan tidak tertutup kemungkinan usahanya akan menurun, bahkan keberadaan yayasan oleh pemerintah juga mendorong peningkatannya dengan jalan pemerintah menyalurkan bantuan dana untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan, tapi para pendiri yayasan selalu mencoba-mencoba untuk mencari keuntungan dengan tidak menyalurkan dana bantuan tersebut secara keseluruhan demikian juga sebagai hasil keuntungan yayasan yang selalu dimanfaatkan pendiri yayasan sebagai mata pencahariannya sehingga hasil keuntungan yayasan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk keperluan merehabilitasi yayasan. Bahkan pendiri yayasan sama sekali tidak menerapkan prinsip keterbukaan (full disclosure) secara akuntabilitas yang tujuannya agar semua transaksi keuangan yayasan dan semua dana yang ada dilaporkan sesuai yang diterapkan dalam undang-undang yayasan baik dalam pelaporan keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Karena semua yang dilaksanakan oleh pengurus yayasan berarti pengurus yayasan sebagai peran kunci bagi jalannya yayasan.

Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi dari yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ kepercayaan yayasan sebagai pengemban (fiduciary duty) bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.

Kata Kunci: Pendirian Yayasan Sesuai Anggaran Dasar, Dalam Pencapaiannya Bersifat Sosial.


(6)

ABSTRACT

In doing social activity, religious and humanity, the foundation take an income after reduced the expenses get the surplus finally, then it is not the profit, but the surplus have to be put as a foundation property which is used for personil interest by foundation organizer.

Recently, there are so many businessmen built the foundation by emphasizing the profit as big as possible. Where as in the rule of chapter 3 text 2 clearly said that “The foundation can not share the result of the activity affort to the founder, organizer, and controller”. With that rule, then the foundation profit can not be used by foundation organ including the foundation founder, organizer and controle to enrich themselves.

Because the foundation as an organization is acknowledge officially as a corporation can organize its own activity with separate property and stand property. Mostly the activity which is organized by the foundation founder is dominate to develop the foundation to education world effort because education is a main people life to progress and not decrease but so much human then so much increasing people need education then the foundation has education status, probably their effort will get down, even the existence of the foundation by government is also to push the increasing by distributing fund contribution to increase education quality, but the foundation founders are always try to look for the profit by not distribute the fund contribution entirely and as the profit result the foundation is always used by the foundation founders as means of their subsistence, then the result of foundation profit can not be used again for the need The foundation rehabilitation.

Even the foundation founders are not make principle of transparency (full disclosure) accountability which is the purpose that all the foundation financial transactions and all the exist funds are reported according to the foundation law in a financial reporting and tax obligation. All of the is done by the foundation founder means the foundation organizer is a main to the foundation procedure.

The foundation can not do its activity without the organizer, thus the existence of the organizer depend on the existence from the foundation. It means the organizer is a foundation organ reliable as fiduciary duty for the foundation interest to get intention and foundation purpose.

Key words: The establishment of foundation based on budget. Government’s contributions in social achievement.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan rahmat dan karunia-Nya jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Analisis Hukum Prinsip Transparansi Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004” (Studi pada Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya).

Tesis ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kehidupan manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. Sp.A(K). selaku Rektor atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH selaku Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;


(8)

5. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A. SH. CN. M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini;

6. Para Guru Besar dan semua Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan;

7. Teman-teman sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sehingga pembuatan tesis;

8. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terutama Ellika Sari, Andoko, Isdiana, Abdillah, Theresia dan Rudi Saut yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi pada penulis sehingga tesis ini dapat selesai;

9. Teman-teman di Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya yang telah banyak memberi informasi kepada penulis;

10.Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda (alm) H.M. Djafar Ali, SH. dan Ibunda yang tercinta Hj. Sri Hayati, SH serta suami tercinta H. Akhmad Taufik, SE. MBA beserta anak-anak Ahmad Yazid dan Ahmad Zulkifli, adik-adik H.M. Isa Indrawan, SE. MM. MBA. Hj. Isma Khaizerani, ST dan H. Ahmad Baqi Arifin, SH. MM. MBA yang telah sangat setia dan tabah mendampingi dan membantu penulis dalam kehidupan; 11.Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tak

dapat penulis cantumkan nama-namanya di sini, yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas sehingga tesis ini dapat selesai.


(9)

Akhirnya penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan segala masukan serta saran untuk penyempurnaan tesis ini saya mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Irma Fatmawati Lahir/Tempat : Medan, 16 April 1966 Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Gatot Subroto Km. 4.5 Medan Telepon : 061- 30106105

Hp : 061- 8459329

Pendidikan :

SD Harapan 1972-1978

SMP Harapan 1978-1982

SMA Panca Budi 1982-1985

Fak. Ilmu Sosial USU 1985-1990

Fak. Hukum Panca Budi 1994-1996

Sekolah Pascasarjana Hukum USU 2007-2009

Suami : Akhmad Taufiq Anak : 1. Ahmad Yazid


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ………... vii

DAFTAR GAMBAR... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Perumusan Masalah……….. 13

C. Tujuan Penelitian……….. 13

D. Manfaat Penelitian……… 14

E. Keaslian Penelitian………... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 15

1. Kerangka Teori……… 15

2. Kerangka Konsepsi………. 18

G. Metode Penelitian... 20

1. Jenis dan Sifat Penelitian………... 20

2. Metode Pendekatan………... 20


(12)

4. Tekhnik Pengumpulan Data……….… 22

5. Analisis Data……… 22

BAB II PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-

UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004... 23 A. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan... 23 1. Pengertian dan Karakteristik Prinsip Transparansi... 23 2. Fungsi Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan

Yayasan... 24

3. Kedudukan Prinsip Transparansi dalam Good

Corporate Governance... 26

B. Pengaturan Prinsip Transparansi dalam UU No. 16

Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004... 35 1. Prinsip Transparansi dalam Pengaturan Yayasan

Sebelum Keluarnya UU No. 16 Tahun 2001 jo

UU No. 28 Tahun 2004……….. 35

2. Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001

jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan... 38 C. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan

Usaha Yayasan... 40 1. Pengelolaan Yayasan………... 40 2. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan

Usaha Yayasan………... 42

3. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan


(13)

BAB III PERAN DAN FUNGSI PENGURUS DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN

2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004... 54

A. Prinsip dalam Pengelolaan Yayasan... 54

B. Peran dan Fungsi Pengurus dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan... 76

C. Tanggung Jawab Pengurus dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan... 79

BAB IV IMPLEMENTASI PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA... 88

A. Profil Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 88

1. Sejarah Berdirinya Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 88

2. Organ-organ Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.... 91

3. Kegiatan Usaha Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 93

B. Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 95

C. Pertanggungjawaban Pengurus Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya... 105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 109

A. Kesimpulan... 109

B. Saran... 111


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Struktur Organisasi YPDKY... 92 2. Kegiatan Usaha YPDKY... 95


(15)

ABSTRAK

Yayasan dalam menjalankan kegiatannya bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan umumnya menerima pendapatan (income) yang berlebih (surplus) setelah dikurangi biaya-biaya. Maka kelebihan pendapatan tersebut bukan merupakan keuntungan organ yayasan, tetapi merupakan kekayaan yayasan yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi oleh organ yayasan.

Akhir-akhir ini banyak yang mendirikan yayasan dengan mengutamakan profit atau mengejar/mencari keuntungan dan/atau penghasilan sebesar-besarnya. Padahal pada rumusan Pasal 3 ayat (2) dikatakan dengan jelas bahwa “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas”. Dengan rumusan yang demikian, maka hasil keuntungan yayasan tidak dapat dipergunakan oleh organ yayasan termasuk pembina, pengurus dan pengawas yayasan untuk memperkaya diri pribadi.

Yayasan sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri. Maka kebanyakan kegiatan yang diselenggarakan para pendiri yayasan lebih condong mengembangkan yayasan ke dunia usaha pendidikan karena pendidikan adalah merupakan tonggak kehidupan masyarakat menuju ke depan dan tidak berlaku surut bahkan semakin banyak manusia semakin meningkatnya masyarakat membutuhkan pendidikan sehingga yayasan yang berstatus pendidikan tidak tertutup kemungkinan usahanya akan menurun, bahkan keberadaan yayasan oleh pemerintah juga mendorong peningkatannya dengan jalan pemerintah menyalurkan bantuan dana untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikan, tapi para pendiri yayasan selalu mencoba-mencoba untuk mencari keuntungan dengan tidak menyalurkan dana bantuan tersebut secara keseluruhan demikian juga sebagai hasil keuntungan yayasan yang selalu dimanfaatkan pendiri yayasan sebagai mata pencahariannya sehingga hasil keuntungan yayasan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk keperluan merehabilitasi yayasan. Bahkan pendiri yayasan sama sekali tidak menerapkan prinsip keterbukaan (full disclosure) secara akuntabilitas yang tujuannya agar semua transaksi keuangan yayasan dan semua dana yang ada dilaporkan sesuai yang diterapkan dalam undang-undang yayasan baik dalam pelaporan keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Karena semua yang dilaksanakan oleh pengurus yayasan berarti pengurus yayasan sebagai peran kunci bagi jalannya yayasan.

Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi dari yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ kepercayaan yayasan sebagai pengemban (fiduciary duty) bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.

Kata Kunci: Pendirian Yayasan Sesuai Anggaran Dasar, Dalam Pencapaiannya Bersifat Sosial.


(16)

ABSTRACT

In doing social activity, religious and humanity, the foundation take an income after reduced the expenses get the surplus finally, then it is not the profit, but the surplus have to be put as a foundation property which is used for personil interest by foundation organizer.

Recently, there are so many businessmen built the foundation by emphasizing the profit as big as possible. Where as in the rule of chapter 3 text 2 clearly said that “The foundation can not share the result of the activity affort to the founder, organizer, and controller”. With that rule, then the foundation profit can not be used by foundation organ including the foundation founder, organizer and controle to enrich themselves.

Because the foundation as an organization is acknowledge officially as a corporation can organize its own activity with separate property and stand property. Mostly the activity which is organized by the foundation founder is dominate to develop the foundation to education world effort because education is a main people life to progress and not decrease but so much human then so much increasing people need education then the foundation has education status, probably their effort will get down, even the existence of the foundation by government is also to push the increasing by distributing fund contribution to increase education quality, but the foundation founders are always try to look for the profit by not distribute the fund contribution entirely and as the profit result the foundation is always used by the foundation founders as means of their subsistence, then the result of foundation profit can not be used again for the need The foundation rehabilitation.

Even the foundation founders are not make principle of transparency (full disclosure) accountability which is the purpose that all the foundation financial transactions and all the exist funds are reported according to the foundation law in a financial reporting and tax obligation. All of the is done by the foundation founder means the foundation organizer is a main to the foundation procedure.

The foundation can not do its activity without the organizer, thus the existence of the organizer depend on the existence from the foundation. It means the organizer is a foundation organ reliable as fiduciary duty for the foundation interest to get intention and foundation purpose.

Key words: The establishment of foundation based on budget. Government’s contributions in social achievement.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yayasan atau stichting merupakan suatu badan usaha yang digunakan masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan, keagamaan, rumah sakit, dan badan sosial lainnya. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, keagamaan, rumah sakit maupun kegiatan sosial lainnya mempunyai tujuan yang bersifat sosial untuk kepentingan masyarakat.1

Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan merupakan alat yang secara fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.2

Dapat disimpulkan bahwa pendirian yayasan atau stichting pada awalnya sebagai wadah hukum untuk kegiatan yang sifatnya bukan untuk mencari keuntungan dari berbagai aktivitas yang diselenggarakannya, tetapi sarat dengan motif sosial dalam rangka membantu kegiatan sosial masyarakat.

1

N. Adnan Amal, Yayasan Sebagai Badan Hukum, Varia Peradilan (Tahun IV, 1989), hal. 20.

2

Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: PT. Abadi, 2003), hal. 1.


(18)

Di Indonesia kegiatan sosial yang dilakukan yayasan diperkirakan muncul dari kesadaran masyarakat kalangan mampu yang memisahkan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang mengalami kesusahan. Dipilihnya yayasan sebagai wadah untuk beraktivitas sosial tentu bukan tanpa alasan. Dibanding dengan bentuk badan hukum lain yang hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan usaha, yayasan dinilai lebih memiliki ruang gerak untuk menyelenggarakan kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan serta keagamaan yang pada umumnya belum ditangani oleh badan-badan hukum lain.3

Pendirian yayasan di Indonesia pada masa itu dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, doktrin dan yurisprudensi dengan tujuan untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.4 Walaupun belum diatur dalam suatu Undang-Undang, tetapi dalam pergaulan hidup yayasan diakui keberadaannya sebagai badan hukum yang dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat yang artinya dapat melakukan jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Sehingga status hukum yayasan sebelum adanya Undang-Undang Yayasan diakui sebagai badan hukum yang menyandang hak dan kewajibannya sendiri yang dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan, serta memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagai subjek hukum dan keberadaannya ditentukan oleh hukum.5

3

Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Op.Cit, hal. 1.

4

Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai

Suatu Badan Hukum Sosial), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 104.

5

Yahya Zein, Status Hukum Yayasan, http://www.kompas.com/lompas-cetak/0811/12/humaniora/3105718.htm, diakses 6 April 2009.


(19)

Pengakuan terhadap kedudukan yayasan dalam suatu perundang-undangan baru ada pada tahun 2001, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dan diberlakukan secara efektif 1 (satu) tahun kemudian, terhitung sejak tanggal diundangkannya pada tanggal 6 Agustus 2001. Azas dari undang-undang ini adalah transparansi dan akuntabilitas, di mana maksud dan tujuan yayasan adalah untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.6

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ternyata belum dapat menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Masih terdapat berbagai penafsiran tentang yayasan, sehingga menimbulkan ketidak-pastian dan ketidak-tertiban hukum yang akhirnya memberi peluang bagi pendiri yayasan untuk tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang tersebut.7

Dalam rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 7 September 2004, telah disetujui dan disahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Yayasan. Dan berdasarkan persetujuan DPR tersebut dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 28

6

Yoseph Suardi Sabda, Yayasan dan Perbuatan Melanggar Hukum, makalah Direktur Perdata Kejaksaan Agung, (Jakarta: 2002).

7


(20)

Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.8

Pada dasarnya tujuan filosofis pendirian yayasan dipahami sebagai badan hukum yang tidak bersifat komersil atau tidak mencari keuntungan (nirlaba atau non-profit). Tetapi pada kenyataannya yayasan sering dipergunakan bukan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan, melainkan untuk memperkaya pribadi pendiri ataupun pengurus yayasan, menghindari pajak, menguasai suatu lembaga pendidikan terus-menerus, menembus birokrasi, memperoleh berbagai fasilitas dari negara atau penguasa dan berbagai tujuan lainnya.9

Banyak hal yang menyebabkan yayasan menyimpang dari tujuan filosofis pendiriannya, antara lain karena sulit untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kegiatan sosial. Yayasan pendidikan yang masuk kategori kegiatan sosial, pada kenyataannya sering dimanfaatkan untuk yang mengejar keuntungan, bahkan sering dikatakan untuk mendapatkan pendidikan yang baik seseorang harus membayarnya dengan mahal.10

Pada umumnya Yayasan sering menjalankan usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek dan manifestasinya, di mana hal ini terjadi karena adanya perbedaan argumentasi antara pihak pertama yang mengemukakan bahwa tidak ada larangan bagi yayasan untuk melakukan kegiatan bisnis sehingga yayasan

8

Ibid.

9

Chatamarrasjid Ais, Op.Cit, hal. 104.

10

Hikmahanto Juwana, Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan, http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=contentExpres /&view=401/hikmahanto%20Juwana.doc, diakses 6 April 2009.


(21)

boleh berbisnis agar dapat meningkatkan kegiatan perekonomian serta membuka kesempatan kerja. Pihak lain mengajukan argumentasi bahwa walaupun tidak ada aturan yang melarang yayasan melakukan kegiatan bisnis, akan tetapi pada hakekatnya tujuan yayasan bukanlah profit-oriented, melainkan social-oriented.11

Terlepas dari pro dan kontra tentang gerak yayasan dalam lapangan bisnis tersebut, pada kenyataannya dewasa ini banyak yayasan yang cenderung dan bahkan nyata-nyata menjalankan usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek dan manifestasinya. Apabila ternyata bahwa yayasan sudah jelas-jelas mengalihkan atau mengubah kegiatannya di bidang usaha, dengan sendirinya bentuk yayasan yang ditetapkan semula juga harus diakhiri, di mana dengan masuknya yayasan ke bentuk usaha yang bersifat bisnis tentunya maksud dan tujuannya sudah untuk mencari laba atau keuntungan.12

Latar belakang keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dikemukakan dalam bagian awal Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang antara lain menyebutkan bahwa pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung karena belum ada undang-undang yang mengaturnya, dan fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk mendirikan yayasan dengan maksud berlindung di balik status badan hukum yayasan yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan

11

Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Op.Cit, hal. 6.

12


(22)

kemanusiaan; melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas.13

Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasar, sengketa para pengurus dengan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai yayasan sebagai landasan yuridis penyelesaiannya.14

Penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi di tubuh yayasan, secara terbuka dan nyata terbukti dengan meningkatnya pendirian yayasan yang melibatkan pendidikan. Hal ini karena banyaknya jumlah masyarakat yang membutuhkan pendidikan, sehingga kesempatan untuk mendirikan yayasan dengan tujuan mencari keuntungan dan bukan lagi mempunyai sifat dan tujuan sosial dalam rangka membantu masyarakat lemah terbuka lebar. Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, yang menentukan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas

13

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

14


(23)

kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.

Reformasi hukum mengenai yayasan pada hakikatnya bersifat sangat mendasar, yaitu meliputi:

1. Aspek organ yayasan, yaitu pembina, pengurus dan pengawas serta wewenangnya masing-masing;

2. Pengelolaan harta kekayaan menjadi jelas, di mana harta menjadi terpisah tanpa mengenal pemiliknya;

3. Pengelolaan yayasan bersifat sukarela, yaitu berdasarkan kesanggupan seseorang untuk menjadi anggota yayasan dan profesional.15

Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan maka untuk mencapai tujuan yayasan tidak hanya diperlukan sejumlah uang, akan tetapi juga dibutuhkan orang-orang yang sanggup dan rela menyumbangkan tenaganya untuk mengurus dan mengelola yayasan serta mewakili yayasan di dalam ataupun di luar pengadilan.16 Sebagai badan hukum yayasan juga memiliki organ perusahaan yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas. Pengurus dalam hal ini dipercaya sebagai pengelola yayasan, maka pengurus berkewajiban melaporkan setiap kegiatan yayasan pada pejabat yang berwenang.17

15

HP Panggabean, Kasus Aset Yayasan dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif

Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 24.

16

Ibid, hal. 121.

17


(24)

Apabila yayasan mendapat bantuan dari pemerintah, maka pengurus wajib melapor pada Instansi Pemerintah yang memberi bantuan. Jika yayasan mendapat bantuan dari masyarakat ataupun pengurus yayasan mempunyai kekayaan dalam jumlah tertentu, maka pengurus berkewajiban untuk mengumumkan ikhtisar laporan yayasan dalam surat kabar. Selain itu ada juga kemungkinan pemeriksaan terhadap yayasan melalui Badan Peradilan yang dapat dilakukan apabila pengurus dianggap lalai dalam tindakannya (mismanagement) atau dalam kebijaksanaan pengelolaannya, ataupun yayasan dianggap melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan anggaran dasar, atau melakukan tindakan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga.18

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 disebutkan bahwa reformasi terhadap konsep yayasan dilakukan dengan latar belakang sebagai berikut:

1. Untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang yayasan.

2. Menjamin kepastian dan ketertiban hukum.

3. Mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.19

Selain itu sesuai dengan Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang

18

HP. Panggabean, Op.Cit. hal. 121.

19

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.


(25)

Yayasan, dikatakan bahwa mengingat peranan yayasan dalam masyarakat dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan pula agar yayasan tetap dapat berfungsi dalam usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.20

Yayasan dapat membentuk badan usaha tersendiri yang mengelola kegiatan komersial; di mana kegiatan usaha dari badan usaha yang dimiliki oleh yayasan dapat berbetuk:

1. Kesenian dan Budaya. 2. Olah Raga.

3. Perlindungan Konsumen. 4. Lingkungan Hidup. 5. Kesehatan.

6. Ilmu Pengetahuan.21

Dalam kegiatan usaha yang dilakukan yayasan, yayasan masih boleh mendapat keuntungan sejauh keuntungan yang diperoleh dipergunakan untuk tujuan yang idealistis yakni yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh keuntungan ini bertujuan agar yayasan tidak bergantung pada bantuan dan sumbangan.22

20

Ibid.

21

HP Panggabean, Op.Cit. hal. 42.

22


(26)

Dalam menjalankan usahanya, yayasan dapat mendirikan badan usaha, yang kegiatannya tetap harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan; namun pembina, pengurus dan pengawas yayasan tidak diperkenankan merangkap jabatan sebagai direksi, pengurus, komisaris ataupun pengawas dari badan usaha tersebut. Pembagian organ dalam yayasan ini dimaksudkan untuk menghindari konflik intern yayasan yang tidak hanya merugikan kepentingan yayasan melainkan juga pihak lain.23

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yayasan pada hakikatnya merupakan organisasi hybrid di mana sebagian aktivitas yayasan berada dalam domain organisasi non profit, namun sebagian dapat melakukan kegiatan komersial yang bertujuan untuk mencari keuntungan semata. Dengan demikian pengelolaan terhadap harta yayasan juga dipandang perlu dilakukan penataan ulang dan pembenahan diri.

Pengelolaan yayasan secara profesional dan efisien dengan penerapan prinsip transparansi dalam setiap kegiatan operasionalnya sudah merupakan kebutuhan pokok pada masa sekarang ini. Yayasan pada hakekatnya merupakan suatu entitas hukum yang keberadaannya dalam lalu-lintas hukum di Indonesia sudah diakui oleh masyarakat luas berdasarkan realita hukum positif yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Kecenderungan masyarakat memilih bentuk yayasan antara lain karena alasan:

23

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 24.


(27)

a. Proses pendirian sederhana.

b. Tanpa memerlukan pengesahan dari pemerintah.

c. Adanya persepsi dari masyarakat bahwa yayasan bukan merupakan subjek pajak. 24

Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subjek hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya didasarkan antara lain karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu dan didirikan dengan akta notaris. Ciri-ciri demikian memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umunya yaitu adanya kekayaan terpisah, adanya tujuan tertentu, adanya kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur.25 Sebagai suatu lembaga yang diakui secara resmi sebagai suatu badan hukum yang dapat menyelenggarakan sendiri kegiatannya, dengan harta kekayaan yang terpisah dan berdiri sendiri, Yayasan mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan sendiri dokumen-dokumen kegiatannya. Di mana penyelenggaraan dokumen-dokumen tersebut dilaksanakan oleh pengurus yayasan, sehingga pengurus yayasan adalah peran kunci bagi jalannya yayasan. Yayasan tidak mungkin dapat menjalankan kegiatannya tanpa adanya pengurus, demikian juga keberadaan pengurus bergantung sepenuhnya pada eksistensi yayasan. Ini berarti pengurus merupakan organ

24

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 201.

25

Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,


(28)

kepercayaan yayasan sebagai pengemban fiduciary duty bagi kepentingan yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.26

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 pada tanggal 6 Agustus 2001 yang diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya melalui prinsip transparansi atau keterbukaan dalam setiap kegiatan usahanya.

Prinsip transparansi secara umum merupakan bagian dari Good Corporate Governance yang merupakan bentuk upaya motivasi pengurus untuk meningkatkan keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan prilaku pengurus, yang dalam hal ini harus dapat menunjukkan keterbukaan informasi kepada publik mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut kejelasan dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan serta tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat yang diembankan. Keterbukaan tentang segala informasi yang berkaitan dengan aktivitas yayasan adalah karakteristik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap yayasan.27

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 merupakan pencerminan prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan dari sudut manajemen, meliputi pendokumentasian kegiatan usaha serta data pendukung administrasi keuangan,

26

Yahya Zein, Op.Cit.

27


(29)

mekanisme penyusunan laporan tahunan dan pengumuman laporan tahunan di papan kantor dan surat kabar.28

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 mengatur tentang penggunaan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan usaha yayasan?.

2. Bagaimana peran dan fungsi pengurus yayasan dalam penerapan prinsip transparansi pada pengelolaan kegiatan usaha yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004?.

3. Bagaimana penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan usaha pada Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya?.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui pengaturan penggunaan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan usaha yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

28

Darwina Wijayanti, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dan Upaya Tata Laksana


(30)

2. Untuk mengetahui peran dan fungsi pengurus yayasan dalam penerapan prinsip transparansi pada pengelolaan yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

3. Untuk mengetahui penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan kegiatan usaha pada Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu sumbangan pemikiran dalam pengkajian dan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya terkait dengan prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberi informasi sekaligus sosialisasi terhadap masyarakat umumnya dan khususnya kalangan praktisi hukum tentang penerapan prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian tentang: “Analisa Hukum Prinsip Transparansi Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo


(31)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. Kerangka teoritis lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan juga dapat dipergunakan dalam penelitian hukum yaitu pada penelitian hukum sosiologis dan empiris.29

Roscoe Pound dalam teori Sociological Jurisprudence berpendapat bahwa didalam masyarakat terdapat kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum atau positivisme hukum dengan listing law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. Dalam hal ini ada 2

29


(32)

kepentingan yang harus dilindungi yaitu kepentingan publik (negara) dan kepentingan individu (personal).30

Dalam hal ini hukum yang baik dibentuk dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik kepentingan umum (termasuk yang utama adalah kepentingan negara), kepentingan individu dan kepentingan kepribadian.31

Kepentingan umum, individu dan kepribadian membutuhkan kepastian hukum yang harus dapat menjamin hak dan kewajiban setiap manusia. Kepastian hukum tercermin dalam bentuk peraturan berupa perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam masyarakat.

Menurut hukum modern, setiap manusia merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam pergaulan hukum. Bertolak dari mekanisme pergaulan hukum dalam hidup manusia di masyarakat, maka subjek hukum merupakan salah satu yang menjadi faktor dari mekanisme hukum.32

Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam pergaulan hukum dikenal dengan istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum, ada subjek hukum lain yaitu segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban, dan dalam hal ini dinamakan dengan badan hukum (rechtspersoon).33

30

Bismar Nasution, Filsafat Hukum, (Medan: USU/Diktat Mata Kuliah Filsafat Hukum).

31

Ibid.

32

Sudarsono, Op.Cit. hal. 5.

33


(33)

Menurut sifatnya badan hukum ada 2 macam, dan salah satunya adalah yayasan. Utrech menjelaskan bahwa yayasan di sini merupakan tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan, dan yang diberi tujuan tertentu. Dalam pergaulan hukum, yayasan bertindak sebagai pendukung hak dan kewajiban tersendiri.34

Sebagai suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang bersifat sosial, maka untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan tersebut, sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dikatakan bahwa yayasan boleh melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan badan usaha ataupun ikut serta dalam suatu badan usaha.35

Untuk memudahkan masyarakat dalam mengetahui dan mengontrol setiap kegiatan usaha yayasan, maka dibutuhkan adanya prinsip transparansi dalam setiap pelaksanaan kegiatan usaha yayasan pelaksanaan.36

Prinsip transparansi merupakan salah satu dari 4 (empat) prinsip utama dalam Good Corporate Governance yang diartikan sebagai pengelolaan perusahaan yang baik. Good Corporate Governance disingkat dengan GCG merupakan konsep yang menyangkut struktur perusahaan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari masing-masing unsur perusahaan.37

34

Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1.

35

Chatamarrasjid Ais, Op.Cit. hal. 6.

36

Ibid. hal. 95.

37

Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Governance, (Jakarta: FH UI, 2006), hal. 24.


(34)

Prinsip transparansi adalah syarat untuk sempurnanya pertanggungjawaban, di mana dituntut adanya sikap transparansi agar pertanggungjawaban kerja lebih terjamin validitas dan akurasi pembuktiannya.38

Prinsip transparansi menyatakan bahwa kerangka pengelolaan perusahaan, dalam hal ini adalah yayasan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akurat atau tepat berkaitan dengan materi yang menyangkut kegiatan usaha dari yayasan tersebut.39

2. Kerangka Konsepsi

Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti, sedangkan konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan diteliti.

Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini.

Prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir ataupun bertindak dan sering diarikan sebagai dasar.40

38

M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 72.

39

Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta: UI Press, 2001), hal. 21.

40

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 896.


(35)

Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai jasa, produk, dan kebijakan dari institusi atau perusahaan kepada stakeholder dan shareholder, baik yang berhubungan dengan internal maupun eksternal. Transparansi sering juga diidentikkan dengan kesempurnaan atau keutuhan informasi.41

Prinsip transparansi merupakan bentuk keterbukaan dalam setiap kegiatan terutama yang berkaitan dengan masalah keuangan, sehingga perlu adanya suatu laporan tahunan keuangan yang merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pihak ketiga dan jaminan untuk mencegah terjadinya manipulasi.42

Kegiatan adalah aktivitas usaha atau pekerjaan.43

Usaha adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud.44

Yayasan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 diartikan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.45

41

Djokosantoso Moeljono, Good Corporate Culture Sebagai Inti dari Good Corporate

Governance, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 19.

42

Chatamarrasjid Ais, Op.Cit. hal. 95.

43

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit. hal. 362.

44

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 532.

45

Sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.


(36)

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu ”method” yang berarti cara atau jalan. Dan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode adalah menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.46

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya.47

Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yurisidis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.48

2. Metode Pendekatan

Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum yang

46

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 16.

47

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005), hal. 46.

48

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 116-117.


(37)

mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku. Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. 49

3. Alat Pengumpulan Data

Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data sekunder tersebut akan tergambar penerapan peraturan perundang-undangan tentang yayasan.

Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

b. Bahan hukum skunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hasil penelitian para ahli.

49

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis


(38)

c. Bahan hukum tertier berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar Bahasa Indonesia.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Dan untuk melengkapi data yang berasal dari studi kepustakaan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan wawancara terhadap organ-organ yayasan yaitu yang mewakili pembina, pengurus dan pengawas Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir dengan hal-hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan perbandingan penelitian data-data sekunder.


(39)

BAB II

PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGELOLAAN KEGIATAN USAHA YAYASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001

JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004

A. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan 1. Pengertian dan Karakteristik Prinsip Transparansi

Transparansi merupakan suatu prinsip yang sangat penting dalam suatu badan usaha. Prinsip ini menjamin adanya pengungkapan ataupun keterbukaan segala informasi yang berkaitan dengan performance serta berbagai permasalahan yang berkaitan dengan badan usaha secara tepat waktu dan akurat.50

Pengertian transparansi memberikan suatu petunjuk agar pelaku kunci yang terlibat untuk bertanggung jawab dan menjamin kinerja pelayanan publik yang baik. Prinsip transparansi merupakan pelaksanaan keterbukaan dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait atas pelaksanaan kewenangan yang diberikan padanya. Prinsip ini terutama berkaitan erat dengan keterbukaan terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijakan ataupun program yang telah ditetapkan. Transparansi mempunyai karakteristik:

a. Adanya tujuan yang telah ditetapkan;

b. Penentuan standard yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan; c. Mendorong penerapan atau pemakaian standarisasi;

50

Adri Mustiko, Peran Prinsip Transparansi dalam Mewujudkan Good Corporate

Governance pada Perseroan Terbatas Terbuka, dikutip dari buku Corporate Governance oleh Tager I.


(40)

d. Mengembangkan standard organisasi dan operasional secara ekonomis.51

2. Fungsi Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Yayasan

Kehadiran dunia usaha sangat berperan penting dalam menopang kegiatan perekonomian masyarakat dan bangsa. Dunia usaha akan mendorong menguatnya sektor riel masyarakat dan sekaligus akan menyerap tenaga kerja serta mengurangi pengangguran. Perkembangan dunia usaha terutama di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Sehubungan dengan itu, sudah semestinya dunia usaha juga harus memiliki tata kelola usaha yang baik dan tidak merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para konsumen. Salah satu solusinya, perlu diberlakukannya dan ditegakkannya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) bagi dunia usaha dan praktek bisnis pada umumnya, sebagai pedoman dan parameter kinerja dunia usaha dalam menjalankan aktivitasnya. Dalam hal ini kontrol dan pengawasan publik terhadap praktek bisnis dapat melibatkan baik dari unsur pemerintah, masyarakat dan kalangan dunia usaha sendiri. Perkembangan bisnis sekarang menuntut adanya transparansi

51

YB. Sigit Hutomo, “Reformasi Yayasan Perspektif Hukum dan Manajemen, The Jakarta


(41)

manajemen dalam mengelola perusahaan. Pihak manajemen harus menyajikan kondisi perusahaan secara jelas, baik secara finansial maupun operasional. transparansi manajemen ini tidak lepas dari peran independen yaitu audit eksternal. Audit eksternal yang independen adalah akuntan publik dan akuntan pemerintah. Akuntan publik sebagai badan pemeriksa laporan keuangan perusahaan privat, sedangkan akuntan pemerintah dalam hal ini badan Pemeriksa Keuangan sebagai Pemeriksa Perusahaan Publik atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu perusahaan Indonesia dapat dipercaya masyarakat maupun investor jika sudah diperiksa laporan keuangan oleh akuntan dalam tahun-tahun belakangan ini berbagai tuntutan dari masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang baik merupakan suatu gejala yang sulit dihindari baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta.

Suatu badan usaha yang bergerak di sektor publik akan memberikan perhatian yang penuh terhadap prinsip transparansi dalam bentuk prosedur dan penekanan atas nilai-nilai yang direfleksikan pada kebijakan administratif sehingga memungkinkan masyarakat untuk menilai bentuk pertanggungjawaban yayasan dalam setiap aktivitasnya, terutama berkaitan dalam kegiatan usaha yayasan.

Ellwod menjelaskan ada 4 (empat) dimensi transparansi yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik atau badan hukum, yaitu:

a. Transparansi Kejujuran dan Transparansi Hukum

Transparansi kejujuran terkait dengan keterbukaan atas tindakan yang tidak bertentangan dalam bentuk penyalahgunaan jabatan (abuse a power), sedang


(42)

transparansi hukum berkaitan dengan jaminan akan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku;

b. Tranparansi Proses

Transparansi proses terkait dengan prosedur pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kecukupan informasi yang diberikan pada publik;

c. Transparansi Program

Transparansi program terkait dengan pertimbangan atas pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan serta program yang memberikan hasil optimal;

d. Transparansi Kebijakan

Transparansi kebijakan terkait dengan keterbukaan setiap organ terkait atas kebijakan-kebijakan yang diambil dalam rangka pencapaian tujuan.52

3. Kedudukan Prinsip Transparansi dalam Good Corporate Governance

a. Good Corporate Governance (GCG)

Perkembangan konsep Good Corporate Governance (GCG) atau disebut juga tata kelola usaha yang baik sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum isu Corporate Governance menjadi kosa kata yang paling hangat di kalangan eksekutif bisnis. Bersamaan dengan dikembangkannya sistim korporasi di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an), isu Corporate Governance telah muncul ke permukaan meskipun masih berupa saran dan anekdot.53

52

Hamid Abidin, Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan, www.yahoo.com, diakses 20 April 2009.

53

Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam


(43)

Good Corporate Governance pada dasarnya digunakan untuk menentukan arah dan pengendalian kinerja perusahaan seperti monitor dan mengendalikan keputusan serta tindakan yang akan diambil, mempengaruhi implementasi strategi, memberi perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas serta hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).54

Good Corporate Governance merupakan segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat mempertanggung-jawabkan kegiatannya di hadapan pemegang saham dan publik.55

Istilah corporate governance untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Cadbury Committee pada tahun 1992, yang menggunakan istilah tersebut dalam laporan mereka yang kemudian dikenal sebagai Cadbury Report. Laporan ini dipandang sebagai titik balik (turning point) yang sangat menentukan bagi praktek corporate governance di seluruh dunia.56

Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara para pemegang saham,

54

Ibid.

55

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Jakarta: Books Terrace & Library, 2007), hal. 241.

56

Cadbury Report adalah sebutan lazim untuk The Report of Cadbury Committee on

Finansial Aspects of Corporate Governance: The Code of Best Practice, sebuah laporan yang

dikeluarkan oleh Cadbury-Schweppes tahun 1992. Komite ini dibentuk pada bulan Mei 1991 oleh London Stock Exchange dan profesi akuntan yang diketuai oleh Sir Adrian Cadbury untuk membahas aspek-aspek finansial corporate governance. Komite ini menghasilkan Code of The Best Practice yang kemudian wajib dilaksanakan oleh semua perusahaan terbuka di Kerajaan Inggris (Sumber: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Memahami Good Government Governance dan Good


(44)

manajer, kreditur, pemerintah, karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung-jawab mereka.57

Pembahasan mengenai Good Corporate Governance (GCG) tidak dapat dipisahkan dengan konsep dan sistim korporasi itu sendiri, serta keterkaitan hubungan antara manajemen, direksi, dewan komisaris, shareholders dan stakeholders dalam suatu korporasi. Hal ini mengakibatkan Good Corporate Governance (GCG) berkembang pesat.

Setiap negara atau lembaga internasional memiliki definisi yang berbeda berkenaan dengan Good Corporate Governance (GCG), antara lain:

1. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) menyatakan bahwa corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka. Atau dengan kata lain suatu sistim yang mengendalikan perusahaan;

2. World Bank

World Bank menyatakan bahwa corporate governance merupakan suatu gabungan daripada hukum, peraturan serta praktek-praktek usaha yang diterapkan dalam dunia korporasi, dengan tujuan untuk menarik masyarakat

57


(45)

pemodal melaksanakan efisiensi serta untuk eksistensi daripada usaha yang dimaksud;

3. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.KEP-117/MMBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Keputusan Menteri BUMN tersebut menyatakan bahwa corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.58

Banyak pendapat lain yang dikemukakan oleh negara-negara dan lembaga internasional tentang definisi corporate governance, di mana masing-masing mempunyai konsep dan tujuan tersendiri. Tetapi pada dasarnya semua memiliki suatu persamaan dalam hal ingin dicapainya suatu kinerja perusahaan yang baik sehingga memberi keuntungan bagi para pemegang saham dan stakeholder lainnya. Oleh karena banyaknya pendapat dari berbagai negara dan lembaga internasional, akhirnya Organization for Economic Corporation and Development (OECD) membuat suatu rumusan mengenai Good Corporate Governance sehingga terdapat kesamaan formulasi yang diberlakukan di setiap yurisdiksi hukum masing-masing negara. Organization for Economic Corporation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai suatu struktur yang olehnya para pemegang saham,

58


(46)

komisaris dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.59

Pada dasarnya pemahaman mengenai corporate governance dapat dibagi menjadi 2 (dua) unsur, yaitu:

1. Unsur yang berasal dari dalam perusahaan

Unsur yang berasal dari dalam perusahaan terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris, manajer, pekerja atau serikat pekerja, sistim remunerasi berdasarkan kinerja dan komite audit;

2. Unsur yang berasal dari luar perusahaan

Unsur yang berasal dari luar perusahaan terdiri dari kecukupan undang-undang dan perangkat hukum lainnya, investor baik dari dalam maupun luar negeri, institusi penyedia informasi, akuntan publik, konsultan hukum, institusi yang memihak kepentingan publik bukan golongan, pemberi pinjaman dan pengesah legalitas.60

Corporate governance mensyaratkan adanya struktur dan perangkat untuk tercapainya tujuan dan pengawasan atas kinerja. Dalam hal ini corporate governance harus dapat menjadi rangsangan atau pendorong bagi manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan atau badan hukum, dan dapat

59

Ibid.

60


(47)

memfasilitasi pemonitoran atau pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan atau badan hukum untuk menggunakan sumber daya dengan efisien.61

Dalam hal pengembangan badan hukum seperti yayasan, diharapkan GCG dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik. Kerangka corporate governance harus menjadi pedoman strategik dari suatu badan usaha seperti halnya yayasan, mencakup pemonitoran manajemen yang efektif oleh pengawas yayasan dan transparansi pengurus dalam setiap kegiatan usaha yayasan berkaitan dengan pengungkapan yang tepat waktu dan akurat.62

Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan rangkain hubungan antara manajemen perusahaan, shareholder dan stakeholder sehingga terbentuk sistim dan struktur yang memungkinkan organ-organ yayasan atau stakeholder untuk mengendalikan yayasan; mencakup proses pengambilan keputusan, pemantauan dan pengawasan yayasan mendukung terakomodasinya aspirasi mereka dalam perumusan tujuan yayasan serta pemantauan atas proses pencapaian tujuan tersebut berikut kinerja yang telah dicapai.63

b. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance

Dalam konteks tumbuhnya kesadaran akan pentingnya corporate governance, Organization for Economic Corporation Development (OECD) sebagai organisasi internasional di bidang ekonomi dan pembangunan yang didirikan pada April 1998 telah mengembangkan seperangkat prinsip-prinsip yang dapat diterapkan secara

61

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.

62

Ibid.

63


(48)

fleksibel sesuai dengan keadaan, budaya dan tradisi masing-masing negara. Prinsip-prinsip ini diharapkan menjadi titik rujukan bagi pemerintah (regulator) dalam membangun framework bagi penerapan corporate governance.64

Prinsip-prinsip OECD menyangkut 5 (lima) bidang utama, yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the right of shareholder); 2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham (the equitable

treatment of shareholders);

3. Peran para pemegang kepentingan yang terkait dengan perusahaan (the rule of stakeholders);

4. Keterbukaan dan transparansi (disclosure and transparency); 5. Akuntabilitas para dewan (the responsibilities of board).65

Prinsip-prinsip OECD terkait langsung dengan permasalahan yang dihadapi dunia usaha pada umumnya yakni masalah korupsi dan ketidakjujuran, tanggung jawab sosial dan etika korporasi, tata kelola sektor publik dan reformasi hukum.66

Dalam usaha pencapain tujuan korporasi, terdapat 4 (empat) prinsip utama dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh Organization for Economic Corporation Development (OECD), yaitu:

64

I Nyoman Tager, Op.Cit. hal. 30.

65

Ibid.

66


(49)

1. Keadilan atau kewajaran (fairness);

Prinsip ini tercermin melalui keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang- undangan yang berlaku dengan memberi perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam.67 Keadilan di sini merupakan keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan yayasan, baik para donator, masyarakat maupun pemerintah untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk penipuan oleh yayasan dalam bentuk informasi ataupun praktek tidak sehat lainnya; 68

2. Transparansi atau keterbukaan (transparency)

Prinsip ini menekankan pada keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Dalam hal ini hak-hak para pemegang saham harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya serta dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari

67

Ibid, hal. 49.

68


(50)

keuntungan perusahaan.69 Transparansi di sini merupakan peningkatan keterbukaan atas informasi yang akurat dan tepat waktu atas kinerja yayasan;70 3. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban (accountability)

Prinsip ini menekankan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif berdasarkan balance of power antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris dan auditor. Akuntabilitas merupakan bentuk tanggung jawab manajemen terhadap perusahaan dan para pemegang saham.71 Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban manajemen melalui pengawasan efektif berdasarkan kesetaraan dan keseimbangan kekuasaan antara organ-organ yayasan;72

4. Tanggung jawab (responsibility)

Prinsip ini tercermin dalam bentuk pengakuan atas peranan pemegang saham sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerja sama yang aktif antara perusahaan serta pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dalam aspek keuangan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yang tunduk kepada hukum dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.73 Tanggung jawab adalah merupakan bentuk tanggung jawab

69

I Nyoman Tager, Op.Cit. hal. 49.

70

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.

71

I Nyoman Tager, Op.Cit, hal. 49.

72

Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, Op.Cit. hal. 102.

73


(51)

yayasan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi ketentuan yang berlaku di suatu negara atau lingkungan masyarakat.74

Prinsip transparansi (transparency) mempunyai peranan dan kedudukan yang penting dalam penerapan Good Corporate Governance (GCG). Pelaksanaan prinsip transparansi perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan agar suatu badan hukum seperti yayasan menjadi lebih efisien dan mampu memberikan pelayanan atau perbaikan pola kerja sehingga kinerja yayasan akan menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.

B. Pengaturan Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004

1. Prinsip Transparansi dalam Pengaturan Yayasan Sebelum Keluarnya UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004

Yayasan di masa lalu, sebelum negara Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Yayasan Tahun 2001, landasan hukumnya tidak begitu jelas, karena belum ada aturannya secara tertulis. Yayasan yang didirikan pada waktu itu menggunakan hukum kebiasaan yang ada dalam praktik. Demikian pula dalam menjalankan kegiatannya, mendasarkan pada hukum kebiasaan. Meskipun demikian, selama itu yayasan dikehendaki berstatus badan hukum. Belum adanya peraturan tertulis mengenai yayasan, berakibat tidak ada keseragaman hukum yang dijadikan dasar bagi sebuah yayasan dalam menjalankan kegiatan untuk dapat mencapai tujuan yang

74


(52)

dicita-citakan. Keadaan yang demikian tidak luput dari kelemahan yang dialami oleh yayasan.

Ada beberapa kelemahan yang dapat dijumpai dalam praktik, antara lain bahwa yayasan bersifat tertutup, status hukumnya tidak jelas, dan pengelolaannya belum ke arah profesional. Dengan belum adanya ketentuan tertulis tentang yayasan, menjadikan yayasan yang ada di negara kita pada waktu itu tampak bersifat tertutup. Sifat tertutup tersebut terasa di masyarakat, karena masyarakat pada umumnya tidak mengetahui tentang struktur organisasi suatu yayasan. Orang luar tidak mengetahui apa saja yang menjadi organ yayasan itu. Kemudian dari segi administrasi pendaftaran, tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk melakukan pendaftaran ke salah satu instansi pemerintah, sehingga pihak pemerintah tidak dapat melakukan pengawasan terhadap kegiatan yayasan yang telah berdiri. Di samping itu juga tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk mengumumkan dalam Berita Negara sehingga masyarakat tidak mengetahui secara resmi tentang adanya yayasan. Dari segi keuangan, tidak ada kewajiban bagi yayasan untuk mengumumkan laporan tahunan dengan menempel di papan pengumuman yayasan atau diumumkan melalui surat kabar, sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui kondisi suatu yayasan. Selain sifatnya tertutup, yayasan juga berstatus tidak jelas, apakah sebagai badan hukum atau tidak. Seperti yang dikemukakan oleh Scholten, yang menghendaki bahwa yayasan sebagai badan hukum. Namun masalahnya, suatu organisasi dapat dikatakan sebagai badan hukum, harus melalui suatu proses yaitu adanya pengesahan dari pemerintah. Dengan tidak adanya peraturan tertulis tentang yayasan pada waktu itu,


(53)

mengalami kesulitan untuk dapat mengatakan bahwa yayasan itu adalah badan hukum.

Sebagaimana di atas tadi disebutkan bahwa sebelum lahirnya Undang-Undang Yayasan Tahun 2001, struktur organisasi yayasan tidak jelas. Jika dalam suatu perseroan terbatas organnya berupa RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), direksi dan komisaris. Direksi yang kerjanya mengurus perseroan diawasi oleh komisaris dan RUPS sebagai wadah untuk mengatasi persoalan yang ada dalam perseroan. Dalam organisasi yayasan pada waktu itu tidak jelas, apakah ada lembaga pengawasan seperti komisaris yang bertugas mengawasi pekerjaan pengurus yayasan. Di samping itu apakah ada lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam yayasan seperti RUPS? yang dapat mengangkat dan memberhentikan pengurus jika melakukan kesalahan yang merugikan yayasan. Kemudian tidak jelas pula bagaimana caranya yayasan mencari dana untuk kepentingan yayasan dan bagaimana cara penggunaan dana tersebut, apakah sebagian dapat dibagikan kepada pengurus maupun personel organ yayasan lainnya? selanjutnya tidak pula dapat diketahui dengan jelas tentang bagaimana pengurus mempertanggungjawabkan keuangan yayasan untuk setiap tahunnya. Dengan tidak jelasnya struktur organisasi dan masalah mengurus keuangan yayasan, merupakan salah satu alasan untuk mengatakan bahwa pengelolaan yayasan belum secara profesional alias secara tradisional.


(54)

2. Prinsip Transparansi dalam UU No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan

Sebelum tahun 2001, peraturan tertulis tentang yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata tidak dijumpai ketentuan mengenai yayasan. Demikian pula dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak mengaturnya. Di Belanda telah memiliki KUH Perdata yang baru dan berlaku mulai tahun 1977, tampak bahwa yayasan diatur secara khusus bersama-sama dengan Rechtpersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 285 sampai Pasal 305. Pengaturan yayasan dalam pasal-pasal tersebut dilakukan secara sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kedudukannya, kewenangan pengurusnya, perubahan anggaran dasarnya, pembubarannya dan sebagainya. Di Indonesia setelah 56 tahun merdeka baru mempunyai peraturan mengenai yayasan, yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 112 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002.

Pemberlakuan Undang-Undang Yayasan satu tahun setelah tanggal pengundangan, dimaksudkan agar masyarakat mengetahui dan memahami peraturannya dan dapat mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan yayasan. Lambatnya membentuk Undang-Undang Yayasan dapat berakibat lambatnya masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap undang-undang tersebut terutama bagi yayasan yang telah berdiri sebelumnya, karena masyarakat telah terbiasa mengelola yayasan secara tradisional yang norma-normanya telah


(55)

internalized atau mendarah daging. Sedangkan Undang-Undang Yayasan dibentuk dengan tujuannya digunakan untuk melakukan perubahan masyarakat (agent of change),75 agar yayasan dapat sebagai lembaga yang dikelola secara profesional dan mampu berperan maksimal di masyarakat. Setelah Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001 tersebut berjalan kurang lebih dua tahun, diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 115 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 4430, dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005, satu tahun setelah diundangkan.76

Perubahan Undang Yayasan sesuai dengan konsideran Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 disebabkan karena Undang-Undang-Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 dalam perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Tujuan diubahnya undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dari 73 pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2001, sebanyak 21 pasal yang diubah, dan tiga alinea dalam penjelasan umum yang diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004. Oleh karena itu,

75

Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 8.

76


(56)

pasal-pasal yang tidak diubah dan penjelasan yang tidak diubah dalam undang tersebut masih berlaku. Dengan adanya perubahan tersebut, kedua undang-undang itu saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Undang-Undang Yayasan pada prinsipnya menghendaki yayasan bersifat terbuka dan pengelolaannya bersifat profesional. Dengan adanya Undang-Undang Yayasan sangat menggembirakan masyarakat, karena sudah ada kaidah hukum yang menjadi pegangan bagi mereka yang berkecimpung dalam yayasan dan sebagai pegangan bagi masyarakat pada umumnya. Masyarakat dapat melihat bagaimana kehidupan yayasan di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Yayasan.

C. Prinsip Transparansi dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Yayasan 1. Pengelolaan Yayasan

Keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pertimbangan hakikinya adalah bahwa sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang mau tidak mau harus atau setidaknya mempunyai keinginan untuk memperhatikan nasib kehidupan sosial mereka, atau dalam arti kata memberikan cinta kasih dan menambah arti dan kualitas hidup yang positif bagi sesamanya. Yayasan dipandang sebagai bentuk ideal (philantropic) untuk mewujudkan keinginan manusia, dan karena itu keberadaannya dirasakan membawa manfaat positif dari sisi sosial kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena yayasan


(1)

down approach untuk penetapan kebijakan sehingga tidak ada unsur yayasan yang tidak paham terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan pengurus yayasan (fairness). Setiap aktivitas yayasan memiliki sistim dan prosedur standard untuk menjaga kualitas pencapaian sesuai rencana strategi dan menjaga kinerja sumber daya manusia sesuai dengan visi dan misi yayasan, serta senantiasa dilakukan evaluasi secara periodik dengan sistem pembinaan bagi pencapaian hasil yang belum maksimal (transparancy). Dalam menjaga akuntabilitas (accountability) yayasan, setiap tahun diadakan rapat tahunan yang dihadiri oleh pengurus yayasan serta pelaksana kegiatan usaha dalam bidang pendidikan dan pelayanan jasa. Agenda utama dari rapat tahunan yayasan adalah pertanggungjawaban pengurus yayasan serta pertanggung- jawaban dari pelaksana kegiatan usaha baik bidang pendidikan maupun pelayanan jasa.

B. Saran

1. Agar prinsip transparansi dalam kegiatan usaha yayasan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, hendaknya setiap organ yayasan tidak memiliki kepentingan terhadap usaha yayasan (tidak terafiliasi), sehingga setiap organ yayasan dapat melaksanakan tugasnya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Hendaknya pemerintah secara berkala melakukan pelatihan-pelatihan bagi organ-organ yayasan agar lebih


(2)

mendukung terlaksananya penerapan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

2. Sesuai dengan Pasal 5 Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang melarang dialihkan atau dibagikan secara langsung maupun tidak langsung kepada pembina, pengurus dan pengawas, maka setiap organ yayasan harus memiliki dukungan finansial sendiri untuk menjaga kesinambungan dan transparansi dari kegiatan usaha yayasan. Hal ini berkaitan dengan bentuk kejujuran dan iktikad baik dari masing-masing organ yayasan.

Setiap pengurus yayasan hendaknya merumuskan sistem dan prosedur standard untuk mendukung penerapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

3. Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya walaupun sudah berusaha untuk menerapkan prinsip transparansi dalam setiap kegiatan usaha tetapi hendaknya dapat dengan segera merumuskan pola pengawasan dan laporan pertanggungjawaban yang lebih komprehensif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Ais, Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002. Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.

Amal N. Adnan, Yayasan Sebagai Badan Hukum, Varia Peradilan, 1989.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.

Budi, Untung, Hukum Yayasan tentang Beberapa Aspek Perubahan Anggaran Dasar, The Jakarta Consulting Group (Editor) pada Approach On Foundation, Yogyakarta: Andi, 2002.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Daniri, Mas Ahmad, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia, Jakarta: Ray Indonesia, 2005.

Hartani, Rahayu, Hukum Komersial, Malang: UMM Press, 2005.

Hutomo, YB Sigit, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum dan Manajemen, The Jakarta Consulting Group (Editor) pada Approach On Fondation, Yogyakarta: Andi, 2002.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media Publishing, 2005.

Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan- Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1977. Moeljono, Djokosantoso, Good Corporate Culture Sebagai Inti dari Good Corporate


(4)

Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.

---, Hukum Kegiatan Ekonomi I, Jakarta: Books Terrace & Library, 2007.

Panggabean, HP, Kasus Aset Yayasan dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Rai Widjaya, I.G., Hukum Perusahaan, Jakarta: Megapoin, 2007.

Rido, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 1987.

Reinier Sondakh, Teddy, Implementasi Prinsip Transparansi dalam Praktek Penanaman Modal di Indonesia, Malang: Bayu Media Publishing, 2009.

Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1989.

Syahrin, Alvin, Beberapa Masalah Hukum, Medan: Sofmedia, 2009.

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Sj. Sumarto, Hetifah, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Sopandi, Eddi, Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya-Jawab Hukum Bisnis, Bandung: Refika Aditama, 2003.

Suhardiadi, Arie Kusumastuti Maria, Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: PT Abadi, 2003.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Supramono, Gatot, Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, Jakarta: Kencana, 2008.


(5)

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Tager, I Nyoman, Corporate Governance, Jakarta: Prehalindo, 2003.

Widjaja, Gunawan, Yayasan di Indonesia Suatu Panduan Komprehensif, Jakarta: PT Elexmedia Komputindo, 2001.

---, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Jakarta: Niaga Swadaya, 2008.

Widiyono, Try, Direksi Perseroan Terbatas Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung-Jawab, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, Memahami Good Government Governance dan Good Corporate Governance, Yogyakarta: YPAPI, 2004. ---, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat (Suatu Tinjauan

Mengenai Yayasan Sebagai Bdan Hukum dalam Menjalankan Kegiatan Sosial), Medan: Fa Hasmar, 1991.

B. MAKALAH/NASKAH AKADEMIS

Bachtiar, Rafika, Kajian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 terhadap Aktivitas Notaris pada Pendirian Yayasan Sebagai Badan Hukum, Tesis: 2007.

Mustiko, Andi, Peran Prinsip Transparansi dalam Mewujudkan Good Corporate Governance pada Perseroan Terbatas Terbuka, Tesis: 2005.

Nasution, Bismar, Filsafat Hukum, Diktat Mata Kuliah Filsafat Hukum Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan: 2008.

Sabda Suardi, Yoseph, Yayasan dan Perbuatan Melanggar Hukum, makalah Direktur Perdata Kejaksaan Agung RI, Jakarta: 2002.

Sirait, Ningrum Natasya, Hukum Bisnis, Diktat Mata Kuliah Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan: 2008.

Susanto, Yayasan yang Nirlaba, Jakarta: Bisnis Indonesia.

Wijayanti, Darwina, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dan Upaya Tata Laksana Lembaga Nirlaba, makalah pada seminar Good Governance NGO UU RI 16/2001, kerjasama dengan Yayasan Tifa, Jakarta: 2003.


(6)

C. INTERNET

Abidin, Hamid, Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan, www.yahoo.com, diakses 20 April 2009.

Hikmahanto, Juwana, Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan, http://www.bappenas.go.id/index.php?module=filemanager&func=download &pathext=Contentexpress/&view=401/hikmahanto%20Juwana.doc,diakses 6 April 2009.

Pramono, Nindyo, Kedudukan Yayasan di Indonesia, http://www.mail-archive.com/rantau-net@groups.or.id/msg03892.html, diakses 6 April 2009. Zein, Yahya, Status Hukum Yayasan,

http://www..kompas.com/kompas-cetak/0811/12/humaniora/3105718.htm, diakses 6 April 2009.

D. KAMUS

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Jhon M.Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986. Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

E. UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

7 121 117

Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

1 41 100

Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

0 60 257

Tinjauan Hukum Yayasan Keagamaan Hindu Sikh Di Sumatera Utara Sebagai Badan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 44 174

Suatu Tinjauan Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Oleh Yayasan AFTA sebagai Badan Hukum.

0 0 6

undang undang nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas uu nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan

0 0 22

BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang

0 0 31

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 11

Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

0 0 26