Tidak ada hubungan lingkungan luar rumah berupa keberadaan genangan air dan ternak dimungkinkan oleh kondisi air tersebut seperti suhu atau pH air tidak
sesuai dengan kesukaan nyamuk. Sementara keberadaan ternak yang peletakan kandang dekat dengan rumah responden seharusnya mempengaruhi jumlah gigitan
pada manusia, namun hal tersebut juga tergantung dari kesukaan nyamuk menggigit. Hal ini didukung oleh teori Achmadi 2005 dalam bukunya yang berjudul
Manajemen Berbasis Wilayah bahwa ditinjau dari kebiasaan makannya, nyamuk penular malaria ada yang bersifat antropofilik yaitu nyamuk yang lebih suka
menghisap darah manusia daripada darah hewan, dan ada yang bersifat zoofilik yaitu nyamuk yang lebih suka menghisap darah hewan daripada darah manusia.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Relaps pada Penderita
Malaria di Kecamatan Juli
Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan di Kecamatan Juli yang sampai saat ini masih belum dapat ditanggulangi secara optimal. Ini terbukti dari
masih tingginya angka kejadian malaria yang bukan saja disebabkan oleh penderita baru tetapi juga karena banyaknya penderita lama yang kambuhrelaps.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 60 penderita malaria yang berobat pada bulan Januari sampai Juli 2008 di puskesmas Kecamatan Juli,
didapatkan sebanyak 22 orang 36,7 diantaranya mengalami serangan ulang atau relaps. Dari berbagai variabel yang diteliti, setelah dianalisis diketahui ternyata yang
berpengaruh terhadap kejadian relaps tersebut adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
5.4.1. Variabel Pekerjaan
Secara statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian malaria relaps p= 0,011. Dari hasil tabulasi silang
antara pekerjaan dengan kejadian malaria relaps diketahui bahwa kejadian relaps dialami oleh sebagian besar responden yang bekerja yaitu sebesar 51,4, sedangkan
pada responden tidak bekerja yang mengalami relaps hanya 16. Hal ini dimungkinkan mengingat kebiasaan responden di daerah penelitian,
sudah melakukan aktifitas di ladang atau kebun sejak pukul 05.00 pagi sehabis subuh. Kebiasaan lain adalah pada saat menjelang panen responden melakukan
aktivitas malam hari untuk menjaga kebun bahkan menginap di ladang atau kebun. Berdasarkan survey pendahuluan entomologi yang dilakukan Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen 2007 ditemukan 3 vektor potensial dalam transmisi malaria di Kecamatan Juli yaitu A.maculatus, A.sundaicus dan A.vagus. Ke 3 jenis vektor
tersebut mempunyai aktivitas gigitan pada waktu-waktu tersebut, sehingga memungkinkan responden selalu terpapar dengan gigitan nyamuk infektif serta
berpeluang terinfeksi kembali dan menimbulkan relaps. Hal ini di dukung oleh teori yang disampaikan Notoatmodjo 2003a, bahwa
pekerjaan dalam arti luas adalah aktifitas utama yang dilakukan manusia. Dalam kaitannya dengan suatu penyakit pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan
keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
Ini sesuai dengan hasil penelitian Budarja 2001, bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian malaria. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Saifuddin 2004 di Kecamatan Makmur Kabupaten Bireuen, juga mendapatkan penderita malaria pada umumnya adalah bekerja sebagai petani
yaitu sebesar 88,8. 5.4.2.
Variabel Pengetahuan
Terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli juga dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan responden tentang penyakit malaria terutama cara
penularan, pencegahan dan pengobatan malaria serta perkembangan penyakit yang bisa menimbulkan relaps. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden yang
berpengetahuan kurang sedikit lebih banyak 51,7 bila dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik, namun kejadian relaps dialami oleh sebagian
besar 67,9 responden yang pengetahuannya kurang. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang malaria yang mengalami relaps hanya 6,9.
Dari hasil pengumpulan data di lapangan ditemukan 51,7 responden belum mengetahui dengan benar tentang cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghindari
gigitan nyamuk, 60 responden tidak tahu dengan benar cara penyembuhan penyakit malaria dan hanya 38,3 responden yang tahu bahwa bila obat malaria
tidak diminum secara teratur sampai habis akan berakibat penyakit kambuh atau relaps. Ketidaktahuan akan hal-hal tersebut memungkinkan responden tidak
melaksanakan dengan baik upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya relaps, dan
Universitas Sumatera Utara
hal ini mungkin disebabkan kurangnya penyampaian informasi kepada responden tentang malaria khususnya tentang perjalanan penyakit malaria yang bisa
menimbulkan serangan ulangrelaps. Pengetahuan sangat menentukan seseorang dalam berperilaku, misalnya
tindakan pencegahan health prevention behavior terhadap malaria, yaitu setiap tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mencegah terjadinya penyakit malaria
antara lain, tidur menggunakan kelambu, penggunaan anti nyamuk, pemasangan kasa nyamuk dan minum obat secara teratur sesuai petunjuk serta pembersihan rumah dan
lingkungan dari tempat istirahatperkembangbiakan nyamuk Anopheles. Beberapa penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Maulana 2003, di
Kecamatan Simeulue Timur menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang rendah terbukti secara statistik berpengaruh terhadap angka kejadian penyakit
malaria. 5.4.3.
Variabel Tindakan
Variabel ini terbukti secara statistik berhubungan dengan kejadian relaps p = 0,001. Berdasarkan analisis multivariat dengan uji regresi logistik diketahui
bahwa tindakan merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar kejadian relaps dialami oleh responden yang tidak melakukan tindakan pencegahan relaps dengan baik terutama
tindakan dalam pengobatan dan tindakan dalam menghindari gigitan nyamuk seperti
Universitas Sumatera Utara
tidak memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, tidak menggunakan obat nyamuk atau kelambu secara rutin saat tidur malam hari dan tidak menggunakan pakaian
tertutup saat keluar rumah malam hari. Tindakan responden yang tidak baik selama masa pengobatan terbukti dari
adanya responden yang tidak pernah minum obat secara teratur sesuai petunjuk meskipun seluruh responden dalam penelitian ini sudah mendapatkan obat yang
sesuai dengan dosis yang tepat dari puskesmas yaitu pengobatan radikal dengan primakuin. Namun kemungkinan penderita berhenti minum obat sebelum seluruh
dosis obat habis karena biasanya setelah 2 – 3 hari minum obat gejala-gejala penyakit berkurang sehingga penderita merasa sudah sehat. Keadaan ini menyebabkan tidak
semua stadium parasit dapat dihancurkan yang memungkinkan parasit tersebut aktif kembali dan menimbulkan serangan ulang atau relaps.
Menurut Depkes 2006 bahwa pada umumnya obat-obat anti malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit sehingga
mengurangi gejala klinis seperti demam, sakit kepala, mual dan muntah. Pada infeksi dengan P.vivax dan P.ovale serangan ulang terjadi karena adanya
reaktifasi bentuk hipnozoit dan memulai proses skizogoni eksoeritrosit sekunder. Sedangkan pada P.falciparum dan P.malariae yang tidak memiliki fase eksoeritrosit
sekunder, terjadinya relaps didebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik. Parasit dapat tetap berada dalam darah selama berbulan-bulan bahkan sampai beberapa tahun
dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu Cogswell, 1992.
Universitas Sumatera Utara
Sementara responden yang tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan baik, seperti tidak memasang kawat kasa pada ventilasi
rumah, tidak menggunakan obat nyamuk atau kelambu secara rutin saat tidur malam hari tidak menggunakan pakaian tertutup saat keluar rumah malam hari akan sangat
mendukung terjadinya kontak dengan nyamuk semakin sering dan menyebabkan semakin besar peluang terinfeksi kembali dan menimbulkan serangan ulang atau
relaps. Hal ini didukung teori Omunawa 2002, bahwa penyebab terjadinya
serangan ulang yang paling sering terutama di daerah endemis adalah karena reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi setelah penderita menyelesaikan
pengobatannya. Data lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang mengikuti
penyuluhan kesehatan atau penyuluhan malaria masih kurang, bahkan 51,7 responden tidak pernah mengikuti penyuluhan kesehatan yang ada didesa. Hal ini
mengakibatkan rendahnya pemahaman responden terhadap penyakit malaria karena kurangnya informasi yang mereka dapatkan khususnya tentang penyakit malaria.
5.4.4. Lingkungan Dalam Rumah
Secara statistik terbukti bahwa lingkungan dalam rumah berpengaruh terhadap terjadinya relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli, dimana kejadian
relaps terjadi pada sebagian besar responden yang mempunyai lingkungan dalam rumah yang kurang baik.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini lingkungan dalam rumah yang kurang baik adalah kondisi rumah dengan ventilasi tidak terpasang kawat kasa serta adanya celah pada
dinding atau lantai yang memungkinkan nyamuk keluar masuk dengan mudah. Kondisi seperti itu menyebabkan kontak yang sering antara penderita dengan
nyamuk sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ulang akan sangat besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Russel et al dalam Subki 2000, bahwa rumah modern dan
higienis tidak mempengaruhi kejadian malaria, justru yang berpengaruh apakah rumah tersebut terlindung dari nyamuk misalnya penggunaan kawat kasa pada pada
jendela dan ventilasi.
5. Keterbatasan Penelitian