5.1.4. Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Malaria Relaps
Secara statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian malaria relaps p= 0,011. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa kejadian relaps terjadi pada sebagian besar responden yang bekerja yaitu sebesar 51,4 dan mayoritas pekerjaannya adalah petaniburuh tani yaitu
sebanyak 38,3. Sedangkan pada responden yang tidak bekerja hanya 16 yang mengalami relaps.
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktifitas utama yang dilakukan manusia. Dalam kaitannya dengan suatu penyakit pekerjaan lebih banyak dilihat dari
kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan. Pekerjaan responden sebagai petaniburuh tani yang bekerja
di ladang atau kebun-kebun kelapa sawit yang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles, memungkinkan mereka selalu terpapar
dengan gigitan nyamuk yang infektif sehingga peluang terjadinya infeksi lebih besar. Ini sesuai dengan hasil penelitian Piyarat 1986 yang menyatakan bahwa
seseorang yang bekerja di hutan mempunyai risiko untuk tertular penyakit malaria karena dihutan merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk
Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi.
2. Pengaruh Perilaku terhadap Kejadian Malaria Relaps
Perilaku mempunyai peran yang sangat penting dan berpengaruh dalam penularan malaria. Perilaku yang kurang menguntungkan dalam pemutusan mata
Universitas Sumatera Utara
rantai penularan malaria lebih banyak disebabkan oleh tingkat pengetahuan yang rendah tentang penyakit malaria. Perubahan perilaku memerlukan proses waktu yang
panjang dan lama, dengan demikian masyarakat perlu mendapat pengetahuan dalam rangka mencegah terjadinya penyakit malaria.
5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Malaria Relaps
Secara statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian malaria relaps p= 0,001. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa responden yang berpengetahuan kurang sedikit lebih banyak 51,7 bila dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya baik, namun
kejadian malaria relaps dialami oleh sebagian besar 67,9 responden yang pengetahuannya kurang. Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan baik
tentang malaria yang mengalami relaps hanya 6,9. Dari hasil pengumpulan data di lapangan ditemukan 51,7 responden belum
mengetahui dengan benar tentang cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk, 60 responden tidak tahu dengan benar cara penyembuhan
penyakit malaria dan hanya 38,3 responden yang tahu bahwa bila obat malaria tidak diminum secara teratur sampai habis akan berakibat penyakit kambuh atau
relaps. Ketidaktahuan akan hal-hal tersebut memungkinkan responden tidak melaksanakan dengan baik upaya-upaya pencegahan terhadap terjadinya relaps, dan
hal ini mungkin disebabkan kurangnya penyampaian informasi kepada responden
Universitas Sumatera Utara
tentang malaria khususnya tentang perjalanan penyakit malaria yang bisa menimbulkan serangan ulangrelaps.
Pengetahuan sangat menentukan seseorang dalam berperilaku, misalnya tindakan pencegahan health prevention behavior terhadap malaria, yaitu setiap
tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mencegah terjadinya penyakit malaria antara lain, tidur menggunakan kelambu, penggunaan anti nyamuk, pemasangan kasa
nyamuk dan minum obat secara teratur sesuai petunjuk serta pembersihan rumah dan lingkungan dari tempat istirahatperkembangbiakan nyamuk Anopheles.
Hasil penelitian Maulana 2003 di Kecamatan Simeulue Timur menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang rendah terbukti secara statistik berpengaruh
terhadap angka kejadian penyakit malaria. Begitu juga dengan Lozano et al 1999 yang meneliti tentang faktor-faktor risiko malaria yang berhubungan dengan perilaku
dan pengetahuan, mengatakan bahwa masyarakat yang berpengetahuan rendah tentang penularan, pencegahan, dan pengobatan malaria mempunyai risiko terkena
malaria sebasar 2,3 kali. 5.2.2.
Pengaruh Sikap terhadap Kejadian Malaria Relaps Dari hasil penelitian diketahui bahwa kejadian relaps terjadi pada sebagian
besar responden yang mempunyai sikap kurang baik yaitu 48,4. Sedangkan responden dengan sikap baik yang mengalami relaps sebesar 24,1. Namun dari
hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,093, artinya secara statistik tidak ada hubungan sikap dengan kejadian malaria relaps.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Zega 2006 di Kabupaten Kulon Progo yang melaporkan bahwa tingginya kejadian relaps pada penderita malaria
antara lain dipengaruhi oleh sikap penderita yang kurang mendukung upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Perbedaan ini mungkin disebabkan karena sikap belum merupakan tindakan, melainkan merupakan salah satu faktor predisposisi mempermudah terjadinya
tindakan. Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar responden menunjukkan sikap yang mendukung terhadap upaya-upaya pencegahan malaria meliputi 71,7
setuju dengan penggunaan kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, 70 responden setuju bahwa pemasangan kawat kasa perlu agar nyamuk tidak masuk ke dalam
rumah. Namun sikap yang baik tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan responden dalam tindakan yang nyata, karena untuk mewujudkan bentuk sikap yang
mendukung upaya pencegahan tersebut dibutuhkan dukungan faktor lain, dalam hal ini adalah faktor ekonomi.
5.2.3. Pengaruh Tindakan terhadap Kejadian Malaria Relaps
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara tindakan penderita dengan kejadian relaps p = 0,001
Kejadian relaps dialami oleh sebagian besar 73,1 responden dengan tindakan yang kurang baik, sedangkan responden dengan tindakan baik yang mengalami relaps
hanya 8,0. Analisis multivariat dengan uji regresi logistik menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
variabel tindakan paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.
Dari hasil pengumpulan data di lapangan ditemukan mayoritas responden tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap gigitan nyamuk dengan baik, seperti
43,3 responden tidak memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, 58,3 responden tidak menggunakan obat nyamuk atau kelambu secara rutin saat tidur malam hari
dan hanya 38,3 responden yang selalu menggunakan pakaian tertutup saat keluar rumah malam hari. Kondisi tersebut sangat mendukung terjadinya kontak penderita
dengan nyamuk semakin sering dan menyebabkan semakin besar peluang penderita yang sudah sembuh terinfeksi kembali reinfeksi dan menimbulkan serangan ulang
atau relaps. Sesuai teori Omunawa 2000, yang menyatakan bahwa terjadinya serangan
ulang pada penderita malaria terutama di daerah endemis seringkali disebabkan oleh adanya infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan
pengobatannya. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan
nyamuk. Data lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 23,3 responden
yang mengikuti penyuluhan kesehatan atau penyuluhan malaria, bahkan 51,7 responden tidak pernah mengikuti penyuluhan malaria yang ada didesa. Hal ini dapat
mengakibatkan rendahnya pemahaman responden terhadap penyakit malaria karena
Universitas Sumatera Utara
kurangnya informasi kesehatan yang mereka dapatkan khususnya tentang penyakit malaria.
Penelitian Ludji 2006 yang dilakukan di Kecamatan Kupang Timur, menyimpulkan bahwa tindakan yang kurang baik dari penderita terutama dalam
mencegah gigitan nyamuk sangat berisiko terhadap terjadinya serangan ulang malaria.
Kejadian malaria hampir seluruhnya terjadi akibat kontak antara manusia sehat dengan nyamuk yang infektif. Salah satu usaha yang sangat dianjurkan dan
mempunyai dampak positif yang besar adalah melakukan tindakan pencegahan perorangan atau personal protected. Namun kejadian malaria relaps selain
disebabkan adanya kontak dengan nyamuk yang infektif juga bisa terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna pada saat penderita mendapat serangan malaria
awal atau serangan pertama. Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 46,7 responden yang tidak
minum obat secara teratur sesuai petunjuk yang bisa menyebabkan hasil pengobatan yang mereka dapatkan tidak cukup adekuat sehingga penyakit malaria yang diderita
tidak sembuh sempurna dan memungkinkan terjadinya serangan ulangrelaps dikemudian hari. Hal ini sesuai dengan teori Depkes 1999 bahwa P.vivax dapat
kambuh berkali-kali sampai jangka waktu 3-4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun apabila pengobatan tidak dilaksanakan dengan baik. Sementara P.
falciparum dapat persisten selama 1-2 tahun dan P. malariae sampai 21 tahun.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengaruh Lingkungan Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps