Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2009

(1)

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Oleh :

I R A W A T I

057023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas / Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh : I R A W A T I 057023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

Nama Mahasiswa : Irawati Nomor Induk Mahasiswa : 057023006

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si) (Ir. Evi Naria, M.Kes)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 14 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr.Retno Widhiastuti, M.Si Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes

2. dr. Surya Dharma, M.P.H 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA

MALARIA DI KECAMATAN JULI KABUPATEN BIREUEN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Juli 2009


(6)

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.

Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.


(7)

ABSTRACT

Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.

The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.

It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Faktor Kejadian Relaps Pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2009”.

Penulisan tesis ini juga dapat terlaksana berkat dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini izinkanlah penulis untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

3. Dr.Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Ketua dan Prof. Dr.Dra. Ida Yustina, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S, Ketua Komisi pembimbing, dan Ir. Evi Naria, M.Kes sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.


(9)

5. dr. Surya Dharma, M.P.H, dan dr.Taufik Ashar,M.K.M selaku dosen pembanding tesis ini.

6. Para Dosen dilingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. dr. Mukhtar, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen. 8. dr. Elli Fonna, selaku Kepala Puskesmas Juli Kabupaten Bireuen.

9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda dan suami serta ananda tercinta serta seluruh keluarga yang telah memberi dorongan dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terbatas kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Akhirnya penulis menyadari masih banyak kelemahan dan kekurangan tesis ini, oleh karenanya kritik dan saran semua pihak sangat penulis harapkan sehingga tesis ini dapat bermanfaat bagi Puskesmas Juli dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen umumnya.

Medan, Juli 2009 Penulis


(10)

Irawati RIWAYAT HIDUP

Irawati dilahirkan di Bireuen pada tanggal 29 Oktober 1966, merupakan anak ke enam dari enam bersaudara dari pasangan ayahanda Muhammad Noor dengan Ibunda Ainulmardhiah. Telah menikah dengan Azwary Asyek dan dikaruniai satu orang putri bernama Azzuhra Azwary. Saat ini menetap di Jln. Sultan Malikussaleh no.24 Bireuen.

Menamatkan Sekolah Dasar Negeri No. 20 Pekanbaru tahun 1979, SMP Negeri 1 Bireuen tahun 1982, SMA Negeri 1 Bireuen tahun 1985, dan FK- Unsyiah Darussalam, Banda Aceh tahun 1996.

Pengalaman bekerja, tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 sebagai staf RSU. Datu Beru Takengon. Tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 sebagai staf Puskesmas Jeumpa Kabupaten Bireuen. Tahun 2000 sampai sekarang sebagai staf Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1.Penyakit Malaria ... 7

2.1.1. Definisi... 7

2.1.2. Gejala Malaria... 7

2.1.3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria ... 9

2.1.4. Diagnosis Malaria ... 16

2.1.5. Malaria Relaps ... 17

2.1.6. Karakteristik Penderita... 23

2.2.Perilaku Kesehatan... 25

2.2.1. Bentuk Perilaku... 27

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan... 28

2.2.3. Perilaku Penderita dalam Pemberantasan Malaria... 33

2.3.Landasan Teori... 34

2.4.Kerangka Konsep Penelitian... 36

BAB 3. METODE PENELITIAN... 37

3.1.Jenis Penelitian... 37

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.2.1. Lokasi Penelitian... 37

3.2.2. Waktu Penelitian ... 37

3.3.Populasi dan Sampel ... 38

3.3.1. Populasi... 38


(12)

3.4.Metode Pengumpulan Data... 38

3.4.1. Alat Pengumpul Data ... 38

3.4.2. Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 38

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 39

3.5.Variabel dan Definisi Operasional... 41

3.6.Metode Pengukuran ... 43

3.6.1. Tingkat Pengetahuan... 43

3.6.2. Sikap ... 43

3.6.3. Tindakan Penderita ... 44

3.6.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 45

3.6.5. Lingkungan Luar Rumah ... 45

3.6.6. Kejadian Malaria Relaps... 46

3.7.Metode Analisa Data... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 47

4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47

4.1.1. Kondisi Geografis ... 47

4.1.2. Demografi ... 47

4.1.3. Sarana dan tenaga Pelayanan Kesehatan ... 49

4.1.4. Kondisi Kesehatan ... 50

4.1.5. Distribusi Penderita Malaria ... 51

4.2.Distribusi Karakteristik Responden Penelitian ... 52

4.2.1. Umur dan Jenis Kelamin... 52

4.2.2. Pendidikan... 52

4.2.3. Pekerjaan... 53

4.3.Distribusi Perilaku Responden Penelitian... 53

4.3.1. Pengetahuan ... 53

4.3.2. Sikap ... 54

4.3.3. Tindakan ... 55

4.4.Distribusi Faktor lingkungan Responden Penelitian... 56

4.4.1. Lingkungan Dalam Rumah ... 56

4.4.2. Lingkungan Luar Rumah ... 56

4.4.3. Kejadian Malaria Relaps... 57

4.5.Analisis Bivariat... 57

4.5.1. Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Relaps ... 57

4.5.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps ... 58

4.5.3. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59

4.5.4. Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps... 59

4.5.5. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Malaria Relaps... 60


(13)

4.5.6. Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps ... 61

4.5.7. Hubungan Tindakan dengan Kejadian Relaps ... 62

4.5.8. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 62

4.5.9. Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps... 63

4.6.Analisis Multivariat ... 64

4.6.1. Pemilihan Variabel ... 64

4.6.2. Penentuan Variabel yang Dominan... 65

BAB 5. PEMBAHASAN... 67

5.1.Karakteristik Penderita Malaria ... 67

5.1.1. Pengaruh Umur terhadap Kejadian Malaria Relaps... 67

5.1.2. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 68

5.1.3. Pengaruh Pendidikan terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 69

5.1.4. Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Relaps... 70

5.2.Pengaruh Perilaku terhadap Kejadian Malaria Relaps... 70

5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Malaria Relaps 71 5.2.2. Pengaruh Sikap terhadap Kejadian Malaria Relaps... 72

5.2.3. Pengaruh Tindakan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 73

5.3.Pengaruh Lingkungan terhadap Kejadian Malaria Relaps... 76

5.3.1. Pengaruh Lingkungan Dalam Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 76

5.3.2. Pengaruh Lingkungan Luar Rumah terhadap Kejadian Malaria Relaps ... 77

5.4.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Relaps pada Penderita Malaria di Kecamatan Juli ... 78

5.4.1. Pekerjaan... 79

5.4.2. Pengetahuan ... 80

5.4.3. Tindakan ... 81

5.4.4. Lingkungan Dalam Rumah ... 83

5.5.Keterbatasan Penelitian... 84

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 85

6.1. Kesimpulan ... 85

6.2. Saran ... 86


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 3.1. Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 40 3.2. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran Variabel Penelitian... 41 4.7. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

di Kecamatan Juli... 49 4.8. Distribusi Penduduk Menurut Pekerjaan di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 49 4.9. Jenis dan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 50 4.10.Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51 4.11.Sepuluh Penyakit Utama Rawat Jalan di Puskesmas Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 51 4.12.Distribusi Penderita Malaria Menurut Waktu Penemuan (Bulan)

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 52 4.13.Distribusi Responden Menurut Kelompk Umur dan Jenis Kelamin

Di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53 4.14.Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan di

Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 53 4.15.Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 54 4.16.Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 55 4.17.Distribusi Responden Menurut Sikap terhadap Penanggulangan Malaria


(15)

4.18.Distribusi Responden Menurut Tindakan Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 56 4.19.Distribusi Faktor Lingkungan Dalam Rumah Responden Di Kecamatan 57

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 4.20.Distribusi Faktor Lingkungan Luar Rumah Responden Di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 57 4.21.Distribusi Responden menurut Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 58 4.22.Hubungan Umur dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 59 4.23.Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 59 4.24. Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Relaps di Kecamatan Juli

Kabupaten Bireuen Tahun 2008 ... 60 4.25.Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61 4.26.Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 61 4.27.Hubungan Sikap dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62 4.28.Hubungan Tindakan dengan Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan

Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 62 4.29.Hubungan Lingkungan Dalam Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 63 4.30.Hubungan Lingkungan Luar Rumah dengan Kejadian Malaria Relaps

di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen Tahun 2008... 64 4.31.Hasil Uji Bivariat Untuk Identifikasi Variabel yang Perlu


(16)

4.32.Hasil Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli

Tahun 2008 ... 65 4.33.Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Paling

Berpengaruh Terhadap Kejadian Malaria Relaps di Kecamatan Juli


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

3.1. Kuesioner Penelitian ... 92

3.1. Uji validitas dan reliabilitas ... 98

3.1. Hasil Analisis Univariat ... 101

3.1. Hasil Analisis Bivariat ... 103

3.1. Hasil Analisis Multivariat dengan Uji regresi Logistik ... 113


(18)

ABSTRAK

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan ditularkan lewat gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah dunia, terutama di negara sedang berkembang yang beriklim tropis, termasuk Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk daerah endemis malaria dengan AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23 ‰ pada tahun 2007, sementara AMI Kabupaten Bireuen 2007 sebesar 18.15 ‰. Kecamatan Juli merupakan daerah rawan malaria di Kabupaten Bireuen dengan kategori Medium Incidence Area dan AMI tahun 2007 adalah 32.42 ‰. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24.2 % tahun 2006 menjadi 33.8 % pada tahun 2007.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain Cross Sectional yang bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. Sampel penelitian adalah penderita malaria terdaftar dan mendapat obat malaria di Puskesmas Juli pada Januari-Juli 2008 yang berjumlah 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi lingkungan rumah dengan check list, di analisis dengan menggunakan regresi logistik berganda pada α=0.05.

Dari hasil penelitian ini diketahui ada empat variabel yang secara statistik berpengaruh terhadap kejadian relaps yaitu pekerjaan (p-value = 0,011, OR = 3,2), pengetahuan (p-value = 0,001, OR = 9,4), tindakan (p-value = 0,001, OR = 7,1) dan lingkungan dalam rumah (p-value = 0,001, OR = 8,3). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa tindakan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian relaps.

Disarankan kepada Dinas Kabupaten Bireuen untuk merencanakan pemasangan kawat kasa pada ventilasi rumah dan melakukan survey entomologi untuk mengetahui jenis dan bionomik vektor malaria di Kecamatan Juli. Kepada petugas puskesmas agar meningkatkan penyuluhan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria serta memotivasi penderita untuk mengikuti penyuluhan tersebut dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki tindakan dalam pengendalian malaria. Kepada penderita malaria agar selalu menghindari gigitan nyamuk dan minum obat malaria sesuai petunjuk.


(19)

ABSTRACT

Malaria is an infections disease caused by the protozoa of genus plasmodium and spread out through mosquito bite. This disease is still a global problem especially in the tropical developing country such as Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam is one of the Indonesian provinces included in the malaria endemic area with AMI (Annual Malaria Incidence) 27.23‰ in 2007, while the AMI of Bireuen district in 2007 was 18.15‰. The subdistrict of Juli in Bireuen district which belongs to the Medium Incidence Area category was a malaria endemic area with AMI 32.42‰ in 2007. The high prevalence of malaria in this area was not only caused by new cases but also by increasing the number of relapse cases from 24,2% in 2006 to 33,8% in 2007.

The purpose of this analytic study with cross-sectional design is to analyze the factors that have caused the incident of relapse in those suffering from malaria in Sub-district of Juli, Bireuen district in 2008. The samples for this study were 60 malaria patients who were registered in and treated by malarial drugs in Juli Health Center from January to July 2008. The data were obtained through questionnaire, and observation of house environment by check list. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression test at α = 0.05.

The result of this study shows that there are four variables such as occupation (p-value = 0,011, OR = 3,2), knowledge (p-value = 0,001, OR = 9,4), action (p-value = 0,001, OR = 7,1), indoor environment (p-value = 0,001, OR = 8,3) which statistically have influence on the incident of relapse. The result of multivariate analysis shows that action is the factor with the most dominant influence on the incident of relapse.

It is suggested that the Bireuen District Health Office have planning to install wire netting on home ventilation and do an entomology survey to find out the kind and bionomic of malaria vector in July sub-district. The staff of Health Center is suggested to increase the number of extention on the malaria prevention and motivated malaria patients to take part in the that programme. The malaria patients is suggested to prevent themselves from mosquito bite and take malarial drugs due to the health staff instruction.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria sebagai salah satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO dalam Murphy (2005), malaria menduduki ranking 5 dari 10 penyakit utama penyebab kecacatan dan kematian di negara-negara paling miskin di dunia. Penyakit ini tidak hanya menimbulkan gangguan kesehatan di masyarakat, tetapi telah menimbulkan kematian, di samping menurunkan produktivitas kerja dan dampak ekonomi lainnya.

Angka kesakitan malaria di Indonesia sejak empat tahun terakhir belum menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Angka kesakitan di Jawa dan Bali yang diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) sedikit naik dari 0,15‰ tahun 2004 menjadi 0,16 ‰ pada tahun 2007. Sementara angka kesakitan di luar Jawa dan Bali yang di ukur dengan Annual Malaria Incidence (AMI) telah menurun dari 21,2 ‰ tahun 2004 menjadi 19,67 ‰ pada tahun 2007, namun angka tersebut masih sangat jauh dari target nasional menuju Indonesia Sehat 2010 yang dicanangkan Depkes RI yaitu AMI 5‰ (Depkes RI, 2003).

Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam angka kesakitan malaria dalam empat tahun terakhir juga telah menurun dengan AMI 5,23 ‰ tahun 2000 menjadi 4,94 ‰ pada tahun 2003. Namun seiring dengan terjadinya bencana gempa bumi dan


(21)

gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, angka kesakitan malaria kembali menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 32,12 ‰ pada tahun 2005 menjadi 36,02 ‰ tahun 2006 kemudian turun menjadi 27,23‰ pada tahun 2007 (Dinkes NAD, 2007).

Kabupaten Bireuen merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan kategori Low Incidence Area (LIA). Gambaran situasi penyakit malaria menunjukkan adanya peningkatan dengan AMI 12,79 ‰ pada tahun 2003 menjadi 14,05 ‰ pada tahun 2004 (Dinkes. Kabupaten Bireuen 2007).

Bencana tsunami 26 Desember 2004 berdampak langsung baik fisik maupun non fisik terhadap masyarakat kabupaten Bireuen yang tinggal di 9 Kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada . Dampak turunan dari kejadian tersebut dikhawatirkan akan terjadi kenaikan kasus penyakit menular di antaranya malaria. Kekhawatiran akan terjadinya kenaikan kasus malaria antara lain disebabkan tingginya mobilitas penduduk dan banyaknya terjadi perubahan lingkungan yang diduga kuat akan memperluas atau menjadi tempat perindukan nyamuk penular malaria dan di wilayah tersebut yang kemungkinan ada sumber penular.

Untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, pada tahun 2005 pemerintah pusat dan daerah Kabupaten Bireuen bekerja sama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik lokal maupun asing telah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kesakitan malaria, antara lain dengan melakukan penemuan penderita secara aktif (Active

Case Detection) menggunakan alat diagnostik cepat Rapid Diagnostic Test (RDT) dan


(22)

pendistribusian kelambu berinsektisida permethrin, dan penyemprotan rumah dengan menggunakan alpha cypermethrin (fendona 5 wp) dengan dosis 0,03 gr/m2.

Untuk meningkatkan kualitas kemampuan manajemen pemberantasan malaria, juga dilakukan pelatihan tenaga pengelola malaria kabupaten dan puskesmas. Kegiatan penanggulangan malaria dan monitoring yang terus-menerus dilakukan menjadikan kekhawatiran akan terjadinya kejadian luar biasa malaria di wilayah Kabupataen Bireuen terutama di daerah-daerah yang terkena tsunami tidak menjadi kenyataan, meskipun masih ada kenaikan kasus malaria di beberapa tempat.

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali. Seorang penderita malaria bisa

mengalami serangan ulang sebanyak 35 – 40 kali selama periode 3 – 4 tahun (Barnas, 2003).

Serangan ulang malaria antara lain berkaitan dengan eliminasi parasit fase eritrosit yang tidak sempurna karena pengobatan yang tidak adekuat dengan obat-obatan skizontisida darah, reaktifasi bentuk hipnozoit, rendahnya respon imun atau adanya reinfeksi dengan plasmodium baru (Cogswell, 1992).

Masih tingginya angka kejadian relaps pada penderita malaria di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang masih rendah serta sikap pencegahan dan pencarian pengobatan yang kurang baik pada saat kejadian malaria (Zega, 2006).


(23)

Hasil penelitian Ludji (2005) di Kecamatan Kupang Timur Nusa Tenggara Timur, mengatakan bahwa faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan dan sikap mempengaruhi kesembuhan penderita malaria melalui keteraturan menelan obat.

Berdasarkan laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen (2008) situasi penyakit malaria di Kabupaten Bireuen setelah bencana gempa dan tsunami terlihat berfluktuasi. Insiden malaria turun dari 14,05‰ tahun 2004 menjadi 13,82 ‰ pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 17,30 ‰ tahun 2006 dan 18,15‰ tahun 2007.

Insidens malaria tertinggi di Kabupaten Bireuen terjadi di Kecamatan Juli yang termasuk kategori Medium Insiden Area, dengan AMI sebesar 36,27 ‰ pada tahun 2005 meningkat menjadi 37,40 ‰ pada tahun 2006, kemudian turun menjadi 32,42 ‰pada tahun 2007 (DinkesKab. Bireuen ).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang penulis lakukan di 7 desa dengan kategori Medium Insiden Area di Kecamatan Juli terlihat bahwa tingginya jumlah penderita di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena terjadinya serangan ulang/kekambuhan atau relaps pada penderita lama. Jumlah penderita relaps meningkat dari 24,2% pada tahun 2006 menjadi 31,4% tahun 2007. Dari laporan kasus malaria per desa di Puskesmas Juli selama periode Januari sampai dengan Desember 2007 diketahui bahwa sebagian besar kasus relaps


(24)

terjadi pada laki-laki berumur antara 25-40 tahun (82,2%) dan bekerja sebagai petani (61,7%).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli tahun 2008.

1.2Permasalahan

Meskipun kejadian malaria telah menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya namun Kecamatan Juli masih merupakan daerah rawan malaria dengan kategori Medium Insiden Area. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini tidak hanya disebabkan oleh penderita baru, tetapi juga karena meningkatnya penderita relaps dari 24,2% tahun 2006 menjadi 33,8% pada tahun 2007.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli. 1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008.

1.4Hipotesis

1. Ada pengaruh karakteristik penderita yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.


(25)

2. Ada pengaruh perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.

3. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli.

1.5Manfaat Penelitian

1. Memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada penderita malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen tahun 2008. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dalam

perencanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit malaria di Kabupaten Bireuen khususnya di kecamatan Juli.

3. Menjadi bahan masukan bagi pembuat kebijakan untuk pengambilan keputusan dalam program penanggulangan malaria di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Malaria

2.1.1 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal. (Prabowo, 2004)

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus Plasmodium. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu (Depkes, 2005):

1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian).

2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana. 3) Plasmodium malariae,penyebab malaria quartana

4) Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang dijumpai.

2.1.3 Gejala malaria

Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang intermiten, anemia sekunder dan splenomegali. Gejala didahului oleh keluhan


(27)

prodromal berupa, malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan ini sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan P.falciparum dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak ( Harijanto, 2000).

Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon matang (sporolasi). Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan schizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas 3 (tiga) stadium yang berurutan, yaitu (Depkes, 2005): 1. Stadium dingin (Cold stage)

Penderita akan merasakan dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.

2. Stadium demam (Hot stage)

Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih,

3. Stadium berkeringat (Sweating stage)

Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Hal ini berlangsung 2-4 jam. Meskipun demikian, pada dasarnya gejala tersebut tidak dapat dijadikan rujukan


(28)

mutlak, karena dalam kenyataannya gejala sangat bervariasi antar manusia dan antar Plasmodium.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil. Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena P.falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time) dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (Mansjoer, 2001).

Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2000).

Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan oleh P.falciparum. Pada infeksi P.falciparum dapat menimbulkan malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciprum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi (Harijanto, 2000).


(29)

2.1.4 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria 1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)

Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan 2 macam siklus, yaitu:

1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)

Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000 merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P. malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).

2)Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)

Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit (tergantung spesies). Pertumbuhan ini membutuhkan waktu 48 jam untuk malaria


(30)

tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P. malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular penyakit bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).

2. Vektor Malaria

Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria. Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2005).

Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria (Depkes RI, 1999).

Menurut Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu: a) Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.

b) Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.


(31)

d) Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan. e) Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.

f) Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan. g) Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.

Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus, A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2005).

Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Depkes, 2003).

3. Faktor Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006), manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan menularkan kepada orang lain.

Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental (Anies, 2006).


(32)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000). 4. Faktor Lingkungan

Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :

1) Lingkungan fisik

Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada suhu 26,7°C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11 hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.


(33)

b. Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.

c. Hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.

d. Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.

e. Ketinggian

Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria.


(34)

Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia).

f. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.

g. Arus air

A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat,sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai air tergenang.

2) Lingkungan biologik

Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.

3) Lingkungan kimiawi

Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya


(35)

12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.

4) Lingkungan sosial budaya

Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).

Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.

2.1.5 Diagnosis Malaria

Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada gejala klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium darah dan uji imunoserologis. Ada 2 cara diagnostik yang diperlukan untuk menentukan seseorang


(36)

itu positif malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dengan mikroskop dan deteksi antigen (Harijanto, 2000).

Meskipun sangat sederhana pemeriksaan darah tepi dengan mikroskop merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan terpenting yang tidak boleh dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil pemeriksaan darah tepi adalah jenis dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).

Deteksi antigen digunakan apabila tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa preparat darah tepi atau pada daerah yang sulit dijangkau dan keadaan darurat yang perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi antigen adalah immunokromatografi dengan kertas dipstick yang dikenal dengan Rapid Diagnostic Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi antigen dari P. falciparum dan non falciparum terutama P. vivax (Tjitra, 2005).

2.1.6 Malaria Relaps

Istilah relaps telah digunakan secara luas dalam dunia kedokteran yang berarti kambuh atau adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah serangan pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit malaria, namun sedikit lebih spesifik (Cogswell,1992).

Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat :

1) Rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan pertama hilang.


(37)

2) Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).

1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps

Marchoux dalam Cogswell (1992) menjelaskan mekanisme terjadinya relaps pada penyakit malaria sebagai berikut:

1) Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu ( beberapa bulan hingga 5 tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau rekurens ( recurrence).

2) Dalam perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Pada malaria falciparum, rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan awal dan ini mungkin menunjukkan adanya suatu resistensi terhadap chloroquine.


(38)

Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai pada P. malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan. 2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps

Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan dengan keadaan berikut:

1) Tidak efektifnya respon imun dari penderita

Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).

2) Pengobatan yang tidak sempurna

Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Karena merasa sudah sehat penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus P. vivax dan P. ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan relaps jangka panjang (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).


(39)

3) Reinfeksi atau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang

Penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan nyamuk yang infektif (Omunawa, 2002).

3. Dampak Malaria Relaps terhadap Pembangunan Kesehatan

Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan fisik bagi penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif yang terkena, mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama.

Dalam jangka pendeknya, kerugian mudah diperhitungkan dengan hilangnya hari produktif dari seseorang yang menderita malaria. Bila seorang pekerja terkena malaria, paling tidak dia akan kehilangan hari kerja 3 sampai 5 hari. Bila nilai hari produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang biasanya memperoleh penghasilan Rp25.000 per hari, saat menderita malaria akan kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp75.000 sampai Rp125.000. Belum lagi kalau diperhitungkan dengan biaya pengobatan dan jumlah serangan


(40)

ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss penderita tadi (Sahli, 2004).

Menurut Gani (2000), kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa Kabupaten/Kota.

Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata (Achmadi, 2005).

4. Pencegahan

Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam penanggulangan malaria. Menurut Barnas (2003) cara terbaik untuk mencegah terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah malaria.

Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang perlu dilakukan adalah:

1) Mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu


(41)

saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau keluar rumah di malam hari.

Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada rumah yang tidak dipasang kawat kasa 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan repellent malam hari kemungkinan risiko 3,2 kali dibandingkan masyarakat dengan kebiasaan menggunakan repellent malam hari.

Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Piyarat (1986), ditemukan bahwa penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara kontinu cenderung mempunyai risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu secara kontinu.

2) Pengobatan yang adekuat

Penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primakuin. Pengobatan radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes, 2006).

Pemberian primakuin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat menghancurkan bentuk hipnozoit dan untuk sterilisasi gametocyt P.falciparum


(42)

diberikan primakuin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatan secara lengkap (Guerin, 2002).

2.1.7 Karakteristik Penderita 1. Umur

Penyakit malaria pada umumnya dapat menyerang semua golongan umur, dan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit malaria. Namun bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental. Telah diamati bahwa ada pengaruh spesies Plasmodium terhadap penyebaran malaria pada berbagai kelompok umur, yaitu : P. vivax lebih banyak dijumpai pada kelompok umur muda, kemudian diikuti oleh P. malaria dan P. falciparum (Harijani, 1992).

2. Jenis Kelamin

Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pekerjaan, pendidikan, migrasi penduduk dan kekebalan (Depkes RI, 1999).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko untuk terjadinya infeksi malaria (Harijanto, 2000).

3. Pendidikan

Cuming et al (Azwar, 2002) mengemukakan bahwa pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan


(43)

individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi suatu informasi-informasi atau masalah yang dihadapi.

Penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin (2004), di Kabupaten Bireuen, menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar terjadi pada kelompok umur 15–49 tahun (36,4%), menyerang lebih banyak laki-laki (56,8%), dan terbanyak berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan pendidikan responden dengan kejadian malaria.

4. Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang (Depdikbud, 1999).

Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan tersebut serta besarnya resiko menurut sifat pekerjaan juga akan berpengaruh pada lingkungan kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu (Notoatmodjo, 2003a).

Hal ini sesuai dengan penelitian Piyarat (1986) yang menyatakan bahwa orang yang tempat bekerjanya di hutan mempunyai risiko untuk tertular penyakit


(44)

malaria karena dihutan merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi.

Dibuktikan juga oleh hasil penelitian Budarja (2001) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan kejadian malaria.

2.2. Perilaku Kesehatan

Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2003b).


(45)

Becker dalam Notoatmodjo (2005) membedakan perilaku kesehatan sebagai berikut:

1) Perilaku sehat (healthy behavior)

Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain makan dengan menu seimbang, melakukan kegiatan fisik secara teratur dan cukup, tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba, istirahat yang cukup, mengatasi atau mengendalikan stres dan memelihara gaya hidup positif untuk kesehatan.

2) Perilaku sakit (Illness behavior).

Perilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus perilaku sakit adalah faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala (menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi gejala dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit (Sarwono, 2004).

3) Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)

Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan lingkungannya. Jika penyakit itu membutuhkan ketrampilan khusus maka bantuan ini dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse. Untuk mencapai kesembuhan maka harus minum obat sesuai dengan anjuran dokter, periksa laboratorium, diet makanan dan lain-lain. Penyebab kegagalan untuk


(46)

mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak pelayanan kesehatan jauh, sulitnya transport, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya masyarakat dan minimnya informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).

2.2.1. Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam, yakni ( Notoatmodjo, 2005):

1) Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak terlihat secara langsung oleh orang lain seperti berfikir, tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi. Dari contoh tersebut tampak bahwa ibu telah tahu manfaat imunisasi meskipun ia belum melakukannya secara konkret. Perilaku seperti ini disebut covert behavior (perilaku terselubung).

2) Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada contoh diatas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut overt behavior.


(47)

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan

Notoatmodjo (2005) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas.

Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:

1) Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)

2) Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi yang diberikan (attitude) 3) Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan

materi pendidikan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung


(48)

menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap. 1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yang sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo (2005) mengungkapkan pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

2) Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

3) Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

4) Trial, dimana subyek telah mulai mencoba perilaku baru.

5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.


(49)

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut di atas.

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik). Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan antara lain:

1) Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi. 2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti bahwa orang menerima ide tersebut.


(50)

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu lain untuk menggunakan kelambu pada malam hari agar terhindar dari gigitan nyamuk, atau mendiskusikan bagaimana mencari pengobatan penyakit malaria adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap pencegahan dan pengobatan malaria bagi keluarga atau masyarakat sekitarnya. 4) Bertanggung jawab (Resposible)

Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko, adalah merupakan sikap yang paling tinggi, misalnya seseorang mau menjadi kader malaria desa secara sukarela, meski mendapat tantangan dari keluarganya.

Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaiamana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.(Sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).

3. Tindakan (Practice)

Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Agar sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, dukungan (support) pihak lain dan lain-lain. Praktek atau tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yakni:


(51)

1) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama. Misalnya seorang ibu dapat memilih jenis obat malaria yang tepat untuk pengobatan penyakit malaria. 2) Respon terpimpin (Guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat menggunakan obat malaria dengan benar, mulai dari dosis yang dianjurkan, mengetahui efek samping obat dan sebagainya.

3) Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. 4) Adaptasi (Adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, dan sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo ,2003b).


(52)

2.2.3. Perilaku dalam Pengendalian Malaria

Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku sehat. Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu, perilaku ideal (ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang diharapkan (expected behaviour).

Bentuk perilaku ideal yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain:

1) Perilaku ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah :

a. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup b. Menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu waktu tidur malam hari c. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah

d. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari

e. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah

f. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk

g. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai. h. Menjauhkan kandang ternak dari rumah/tempat tinggal.


(53)

i. Membunuh jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik (kepala timah, gupi, mujair) pada mata air, saluran irigasi tersier, sawah, anak sungai yang dangkal, rawa-rawa pantai dan tambak ikan yang tidak terpelihara

j. Merawat tambak-tambak ikan dan membersihkan lumut yang ada di permukaan secara teratur

2) Perilaku ideal berkaitan dengan pengobatan malaria antara lain: a. Segera ke tempat pelayanan kesehatan bila demam

b. Bersedia diperiksa sediaan darah

c. Minum obat sesuai anjuran petugas kesehatan.

Perilaku sekarang adalah perilaku yang dilakukan saat ini yang dapat diidentifikasi melalui observasi langsung atau wawancara baik langsung atau tidak langsung. Perilaku ini bisa sesuai atau bertentangan dengan perilaku ideal atau perilaku yang diharapkan (Daulay, 2006).

2.3. Landasan Teori

Secara epidemiologis, kejadian malaria ditentukan oleh adanya interaksi antara agen-pejamu-lingkungan yaitu adanya nyamuk yang menjadi vektor malaria, adanya manusia yang rentan terhadap infeksi malaria serta keadaan lingkungan yang mendukung berkembang biaknya vektor, keadaan iklim terutama suhu dan curah hujan dan kontak antara manusia dan vektor. Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap agent malaria diantaranya faktor usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit sebelumnya,


(54)

cara hidup, keturunan, status gizi dan imunitas. Faktor risiko tersebut penting diketahui karena akan mempengaruhi risiko terpapar oleh sumber penyakit malaria (Depkes RI, 1999).

Terjadinya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria sangat dipengaruhi oleh perilaku penderita dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan pada serangan awal. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003b), perilaku secara bersama dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan faktor pendorong (reinforcing factors). Faktor-faktor tersebut digambarkan sebagai berikut:

1) Faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap kesehatan. Faktor predisposisi berkaitan dengan karakteristik individu yang mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan.

2) Faktor pendukung/pemungkin adalah kondisi yang memungkinkan penderita malaria atau keluarganya memanfaatkan fasilitas kesehatan, yang mencakup status ekonomi keluarga dan akses terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada. Dalam Notoatmodjo (1993), dikatakan bahwa faktor pendukung ini termasuk juga aspek lingkungan fisik.

3) Faktor pendorong, merupakan faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau tokoh yang merupakan kelompok panutan dari perilaku masyarakat.


(55)

2.4. Kerangka Konsep

Berdasarkan beberapa kajian teori dan data yang tersedia, maka kerangka konsep penelitian yang disusun adalah sebagai berikut :

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Karakteristik Penderita

Malaria

1. Umur

2. Jenis

Kelamin

3. Pendidikan

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Perilaku Penderita

Kejadian Malaria Malaria

1. Relaps

1. Pengetahua

n 2. Tidak Relaps

2. Sikap

Faktor Lingkungan 1. Lingkungan Dalam

Rumah

2. Lingkungan Luar Rumah


(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan desain sekat silang (Cross Sectional Study), yaitu penelusuran sesaat, artinya subyek diamati hanya sesaat atau satu kali. Untuk memperoleh informasi tentang variabel dependent dan variabel independent, maka pengukurannya dilakukan bersama-sama pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner (Sugiyono, 2005).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah :

a. Kecamatan Juli merupakan salah satu daerah endemis malaria di Kabupaten Bireuen.

b. Angka Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 2007 sangat tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.

c. Jumlah penderita malaria relaps meningkat dalam 2 tahun terakhir dan lebih tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Dinkes Kab. Bireuen 2007). 3.2.2. Waktu penelitian


(57)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah seluruh penderita malaria yang terdaftar, berobat dan mendapatkan pengobatan dengan obat anti malaria di puskesmas Juli, Kecamatan Juli pada Januari – Juli 2008.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah seluruh populasi (total populasi) yang berjumlah 60 penderita malaria terdaftar, berobat dan mendapatkan pengobatan dengan obat anti malaria di puskesmas Juli pada Januari – Juli 2008.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Alat pengumpul data

Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah lembar observasi dan kuesioner (terlampir) yang berisi sejumlah pertanyaan dengan melakukan wawancara langsung dan observasi lingkungan rumah responden.

3.4.2. Pelaksanaan pengumpulan data

Pengumpulan data primer dilakukan peneliti dan dibantu oleh 2 orang pewawancara. Sebelum pengumpulan data, peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner kepada pewawancara untuk menyamakan persepsi agar tidak terjadi kegagalan dan data bias. Data sekunder diperoleh dari laporan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen. Kuesioner yang digunakan


(58)

untuk penelitian terlebih dahulu diuji terhadap 15 penderita malaria, untuk memperoleh kuesioner valid dan reliability (Danim, 2004).

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Sebelum dilakukan penelitian kepada responden, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner kepada 15 penderita malaria di Kecamatan Jeunib. Alasan pemilihan responden di Kecamatan Jeunib untuk uji validitas dan reliabilitas kuesioner adalah:

a. Jumlah sampel pada penelitian di Kecamatan Juli total populasi sehingga responden untuk uji validitas dan reliabilitas kuesioner tidak terpenuhi.

b. Daerah Kecamatan Jeunib mempunyai geografi yang hampir sama dengan daerah di Kecamatan Juli.

c. Penderita malaria di Kecamatan Jeunib cukup untuk responden uji validitas dan reliabilitas.

Uji validitas diperlukan untuk mengetahui apakah kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini benar-benar dapat mengukur apa yang ingin diukur dan sejauh mana ketepatan dan kecermatannya dalam mengukur suatu data. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan instrumen penelitian yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dan nilai alpha dengan nilai r tabel. Bila r hitung dan nilai alpha > r tabel, maka pertanyaan dalam kuesioner adalah valid dan reliabel.


(59)

Data yang diperoleh dari uji coba kuesioner diolah dengan menggunakan program komputer dan hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1. Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Variabel r tabel r hitung Alpha Keterangan

Pengetahuan

P1 0,514 0,8146 Valid dan reliabel P2 0,514 0,6682 Valid dan reliabel P3 0,514 0,7428 Valid dan reliabel P4 0,514 0,7154 Valid dan reliabel P5 0,514 0,8636 Valid dan reliabel P6 P7 P8 P9 P10 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,9681 0,8835 0,9064 0,7154 0,6666 0,9517

Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel

Sikap

S1 0,514 0,9577 Valid dan reliabel S2 0,514 0,7990 Valid dan reliabel S3 0,514 0,7609 Valid dan reliabel S4 0,514 0,8868 Valid dan reliabel S5 S6 S7 S8 S9 S10 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,9614 0,9614 0,9169 0,9577 0,7350 0,8868 0,9747

Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel

Tindakan

T1 0,514 0,8929 Valid dan reliabel T2 0,514 0,7889 Valid dan reliabel T3 0,514 0,9020 Valid dan reliabel T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,514 0,7295 0,9236 0,9605 0,8092 0,8929 0,7295 0,7808 0,9647

Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel Valid dan reliabel

Dengan menggunakan rumus df = N-2, diketahui nilai r tabel pada tingkat kemaknaan 5% adalah 0,514. Dari tabel 3.1. diatas terlihat bahwa nilai r hitung dan nilai alpha untuk setiap pertanyaan lebih besar dari pada r tabel. Hal ini bermakna bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian adalah valid dan reliabel.


(60)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel, definisi operasional, cara dan alat ukur, hasil ukur serta skala ukur dari variabel-variabel penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.2. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran dari Variabel Penelitian No Variabel Defenisi Operasional Cara dan

Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur D E P E N D E N

1. Kejadian Malaria relaps

Serangan ulang malaria yang dialami penderita dalam waktu paling sedikit 8

minggu setelah gejala infeksi malaria awal hilang atau sembuh

Wawancara (kuesioner) Kartu penderita 1.Relaps 2.Tidak Relaps Nomina l

I N D E P E N D E N 1. Umur Usia penderita

malaria sesuai data yang tertulis di kartu berobat penderita

Wawancara (kuesioner)

1.Usia ≤ 12 thn 2.Usia >12

thn Ordinal 2. Jenis Kelamin Ciri-ciri gender yang dimiliki penderita malaria sesuai catatan pada kartu penderita Wawancara (kuesioner) 1. Laki-laki 2. Perempuan Nominal

3. Pekerjaan Kegiatan yang dilakukan oleh penderita dengan tujuan mendapatkan imbalan ekonomi Wawancara (kuesioner) 1.Bekerja 2.Tidak bekerja Nominal 4. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan formal yang pernah dilalui responden sampai memperoleh tanda tamat sekolah

Wawancara (kuesioner)

1. Rendah (Tamat SLTP kebawah) 2. Tinggi

(Tamat SLTA -Akademi/PT


(61)

Tabel 3.2. Definisi Operasional dan Aspek Pengukuran dari Variabel Penelitian (Lanjutan)

5. Pengetahuan Pengertian responden tentang penyakit malaria, gejala, cara penularan, tempat perindukan, pencegahan dan penangananpenderita. Wawancara (kuesioner) 1. Kurang 2. Baik Ordinal

6. Sikap Respon dari

responden terhadap pernyataan yang diajukan tentang penyakit malaria meliputi upaya pencegahan dan pengobatan penderita

Wawancara (kuesioner)

1. Kurang Baik 2. Baik

Ordinal

7. Tindakan Perbuatan responden yang berhubungan dengan pencegahan dan pengobatan penyakit malaria

Wawancara (kuesioner)

1.Kurang Baik 2.Baik

Ordinal

8. Lingkungan Dalam rumah

Kondisi dalam rumah responden yang didasarkan atas kebersihan, ventilasi dengan kasa serta celah pada dinding dan lantai rumah.

Observasi (Check list)

1.Kurang Baik 2.Baik Ordinal 9. Lingkungan luar rumah Kondisi halaman rumah responden yang didasarkan atas keberadaan ternak, adanya tempat perindukan seperti genangan air atau kolam.

Observasi (Check list)

1. Kurang Baik 2. Baik


(62)

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Tingkat pengetahuan

Untuk mengukur tingkat pengetahuan digunakan skala ordinal dengan dua kategori yaitu baik dan kurang. Untuk memperoleh kategori baik dan kurang digunakan sistem pembobotan (skoring) atau disebut skala Likert (Riduwan, 2005).

Jumlah pertanyaan yang diajukan sebanyak 10 pertanyaan dengan total skor sebesar 20. Setiap pertanyaan memiliki 3 pilihan jawaban yaitu sebagai berikut :

a. Jawaban a diberikan skor 2 (dua) b. Jawaban b diberikan skor 1 (satu) c. Jawaban c diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor yang diperoleh dari 10 pertanyaan yang diajukan, maka tingkat pengetahuan responden diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu :

1. Kurang, apabila jawaban responden memiliki skor < 12 atau dapat menjawab <60% dari 10 pertanyaan yang diajukan.

2. Baik, apabila responden memiliki nilai (skor ) ≥ 12 atau dapat menjawab ≥ 60% dari 10 pertanyaan yang diajukan.

3.6.2. Sikap

Pengukuran sikap dilakukan dengan mengajukan 10 pernyataan dengan total skor sebesar 30. Kriteria pilihan jawaban sikap adalah sebagai berikut :

a. Sangat Setuju diberikan skor 3 (tiga) b. Setuju diberikan skor 2 (dua)


(63)

c. Kurang Setuju diberikan skor 1 (satu). d. Tidak Setuju diberikan skor 0 (nol).

Berdasarkan total skor yang diperoleh responden dari 10 pernyataan yang diajukan, maka sikap responden digolongkan dalam 2 kategori yaitu :

1. Kurang baik, bila total skor < 17 atau dapat menjawab < 60% dari 10 pernyataan.

2. Baik, apabila jawaban responden memiliki total skor ≥ 17 atau dapat menjawab ≥ 60% dari 10 pernyataan yang diajukan.

3.6.3. Tindakan Penderita

Tindakan responden diukur dengan mengajukan 10 pertanyaan yang telah diberi skor. Setiap pertanyaan diberikan 3 (tiga) pilihan jawaban dengan total skor 20. Kriteria pilihan jawaban tindakan adalah sebagai berikut :

1. Jawaban a diberikan skor 2 (dua) 2. Jawaban b diberikan skor 1 (satu) 3. Jawaban c diberikan skor 0 (nol)

Berdasarkan total skor yang diperoleh dari 10 pertanyaan tersebut, maka tindakan responden diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu :

1. Kurang baik, bila responden dapat menjawab benar < 60% dari 10 pertanyaan yang diajukan atau memiliki total skor < 12.

2. Baik, bila responden dapat menjawab benar ≥ 60% dari 10 pertanyaan yang diajukan atau memiliki total skor ≥ 12.


(1)

Omnibus Tests of Model Coefficients

8.384 1 .004

8.384 1 .004

8.384 1 .004

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

70.475 .130 .178

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation

1.715 .642 7.142 1 .008 5.559 -1.773 .869 4.161 1 .041 .170 KERJA

Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: KERJA. a.

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

.449 1 .503

.449 1 .503

.449 1 .503

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

78.410 .007 .010

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation


(2)

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

23.979 1 .000

23.979 1 .000

23.979 1 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

54.880 .329 .450

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

3.862 1 .049

3.862 1 .049

3.862 1 .049

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

74.997 .062 .085

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation

1.081 .563 3.678 1 .055 2.946

-1.016 .840 1.464 1 .226 .362

SIKAPKAT Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: SIKAPKAT. a.


(3)

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

17.117 1 .000

17.117 1 .000

17.117 1 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

61.742 .248 .339

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation

2.730 .812 11.290 1 .001 15.333

-3.018 1.005 9.015 1 .003 .049

TINDAKAN Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: TINDAKAN. a.

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

28.276 1 .000

28.276 1 .000

28.276 1 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.


(4)

Variables in the Equation

3.334 .749 19.810 1 .000 28.048

-4.332 1.071 16.357 1 .000 .013

LDR Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: LDR. a.

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

.156 1 .693

.156 1 .693

.156 1 .693

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

78.703 .003 .004

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation

.223 .568 .154 1 .694 1.250

.247 .805 .094 1 .759 1.280

LLR Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: LLR. a.

ANALISIS MULTIVARIAT

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

53.216 5 .000

53.216 5 .000

53.216 5 .000

Step Block Model Step 1


(5)

Model Summary

25.643 .588 .804

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Variables in the Equation

2.405 1.126 4.565 1 .033 11.080

2.585 1.342 3.709 1 .054 13.266

.061 1.105 .003 1 .956 1.063

3.066 1.194 6.595 1 .010 21.454

2.929 1.116 6.890 1 .009 18.711

-14.724 4.143 12.629 1 .000 .000 KERJA

TAHU SIKAPKAT TINDAKAN LDR Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: KERJA, TAHU, SIKAPKAT, TINDAKAN, LDR. a.

Logistic Regression

Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

53.213 4 .000

53.213 4 .000

53.213 4 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

25.646 .588 .804

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square


(6)

135

Variables in the Equation

2.414 1.117 4.670 1 .031 11.175

2.568 1.303 3.887 1 .049 13.045

3.069 1.192 6.628 1 .010 21.512

2.936 1.107 7.030 1 .008 18.840

-14.644 3.854 14.437 1 .000 .000

KERJA TAHU TINDAKAN LDR Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: KERJA, TAHU, TINDAKAN, LDR. a.