II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Gambut
2.1.1. Pengertian dan Sifat Kimia Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik C-organik 18 dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik
penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya,
lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang atau daerah cekungan yang berdrainase buruk Agus dan Subiksa, 2008
.
Di Indonesia istilah gambut telah umum dipakai untuk padanan peat. Sebagian petani menyebut tanah gambut
dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna
sehingga tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut muck, peat muck, mucky Noor, 2011.
Karakteristik kimia gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan lapisan gambut, jenis tanah mineral pada substratum di dasar
gambut, dan tingkat dekomposisi gambut. Berdasarkan tingkat kesuburannya,
gambut dibedakan menjadi:
a. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
b. Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang. c.
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik,
gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan
Subiksa, 2008.
Gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di
Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang
dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam, di sisi lain kapasitas tukar kation KTK gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan
basa KB menjadi sangat rendah Driessen dan Suhardjo, 1976. Selanjutnya, Tan 1998 menyatakan bahwa pada tanah yang mengandung bahan organik tinggi,
ketersediaan unsur hara mikro seperti Cu, Fe, Mn, dan Zn sangat rendah karena diikat oleh senyawa-senyawa organik.
Kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut di Indonesia adalah rendahnya ketersediaan hara dan tingginya kandungan asam-asam organik
beracun bagi tanaman. Gambut di Indonesia dan di daerah tropis lainnya mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut
yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai
menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik meracuni tanaman dan menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar
dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis menguning dan pada akhirnya tanaman akan mati Driessen, 1978
dalam Rachim, 1995.
2.1.2. Usaha-Usaha Pengelolaan Lahan Gambut