Peternakan Berkelanjutan TINJAUAN PUSTAKA

10 1. Kepadatan maksimum, yang menunjukkan jumlah maksimum individu yang dapat didukung per satuan luas. Jumlah individu yang maksimum pada dasarnya akan menyebabkan makanan tidak cukup. Meskipun suatu individu pada kondisi ini dapat bertahan hidup namun keadaannya tidak sehat, kurus dan lemah sangat rentan terhadap serangan penyakit. Secara umum lingkungan menjadi rusak dan apabila berlangsung terlalu lama, kerusakan itu bisa bersifat tak terbalikkan. 2. Kepadatan yang subsisten, yaitu kepadatan yang maksimum yang dapat ditampung oleh satuan luas lingkungan dan sumberdaya. 3. Kepadatan optimum, dimana populasi akan mendapatkan segala keperluan hidupnya dengan cukup sehingga pada keadaan ini terdapat pertumbuhan populasi yang banyak dan sehat. 4. Kepadatan normal, yaitu populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama antara kepadatan optimum dan subsisten. Sapi perah membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak karena sebagian besar komponen penyusun susu 87 adalah air sehingga perlu diperhatikan kecukupan air untuk digunakan dalam proses budidaya. Selain itu juga diperhatikan pengaruh limbah peternakan terhadap kualitas air. Soeratmo 2009 menyatakan bahwa penetapan baku mutu akan lebih baik apabila tidak hanya dipertimbangkan berdasarkan faktor ekonomis dari penggunaan manusia saja tetapi juga dimasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk pelestarian ekologi yang meliputi pelestarian flora, fauna ataupun ekosistem. Baku mutu limbah haruslah dikaitkan dengan keadaan kualitas ambien dan baku mutu ambien.

2.5 Peternakan Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan yang dalam hal ini sub sektor peternakan, merupakan implementasi dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang pada saat ini telah diterima sebagai agenda politik –ekonomi pembangunan untuk semua negara di dunia. Pengertian bakunya pertama kali dipopulerkan dalam Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan World Commission on Environment and Development tentang Masa Depan Bersama Our Common Future, bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa 11 mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka Mitchell et al, 2000. Munasinghe 1993 menyatakan bahwa konsep pertanian yang berkelanjutan yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar utama yang saling terintegrasi yaitu dimensi ekologi yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam, dimensi ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi dan pertumbuhan dan dimensi sosial yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan keadilan. Menurut Budinuryanto 2010, setidaknya terdapat lima kriteria untuk mengelola suatu sistem peternakan berkelanjutan a kelayakan ekonomis economic viability, b Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi ecologically sound and friendly, c Diterima secara sosial social just, d Kepantasan secara budaya culturally approciate dan e Pendekatan sistem holistik system and hollistic approach. Cakupan dimensi peternakan dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi jauh lebih luas dan komprehensif dibandingkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Beberapa terminologi dalam bidang peternakan berubah dan berorientasi pada sistem agribisnis berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Peternakan didefinisikan sebagai: segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit danatau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya. Definisi tersebut akan berimplikasi pada strategi dan program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Dimensi dan perspektif yang terkandung dalam bab, pasal dan ayat-ayat dalam peraturan perundangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dengan sendirinya akan berdampak pada strategi pembangunan berkelanjutan khususnya bagaimana merumuskan sistem integrasi antara subsektor peternakan dengan subsektor lainnya, mengingat bahwa input utama untuk proses produksi usaha peternakan sapi rakyat biasanya sangat tergantung pada sektorsubsektor lainnya. Budinuryanto 2010 mengutarakan bahwa dalam perspektif sosio- ekonomik usaha peternakan rakyat, sebagian ilmuwan melihat bahwa pengembangan sistem dan usaha agribisnis belum tentu cocok untuk diterapkan di semua kondisi. Pembangunan peternakan tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan rural development yang menekankan pada upaya- upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya 12 peternak. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian pada peternak kecil, gurem, dan buruh-buruh tani-ternak yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Bahkan lebih dari itu, pakar-pakar agribisnis lebih memikirkan bisnis pertanianpeternakan, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian dan peternakan di Indonesia semestinya berarti pembaruan penataan pertanian dan peternakan yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurut Sofyan dan Pambudy 2004, pembangunan sistem agribisnis persusuan harus berdasarkan pada 1 berdaya saing, artinya mampu bersaing dengan produk lain sejenis darimanapun datangnya 2 berkerakyatan, artinya dilakukan oleh masyarakat banyak, tidak dikelola oleh segelintir pihak saja, 3 terdesentralisasi, artinya tidak menumpuk pada satu tempat saja, tapi merupakan suatu kesatuan dari mulai hulu on farm hingga hilir off farm dan menyebar di seluruh tanah air 4 berkelanjutan, artinya aktivitas tersebut harus memperhatikan sumberdaya alam dan lingkungan agar kegiatan usaha tersebut dapat terus berjalan dan sumberdaya alam serta lingkungan dapat terjaga sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus. Putri 2003 menyatakan bahwa konsep kawasan merupakan suatu pendekatan pengembangan sistem ternak lahan livestock-land use system yang mengintegrasikan ternak dengan lahan tanaman sehingga ternak lebih berbasis lahan land-based yang sasarannya adalah pada pemanfaatan lahan dan sumberdaya secara lebih baik, pelestarian lingkungan, ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan kesehatan masyarakat.

2.6 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan