TINJAUAN PUSTAKA Analisis Determinan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016
1. Iritas selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair, 2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk
kering, 3. Gangguan neurotoksit gangguan sarafgangguan kesehatan secara umum,
4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat didada,
5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal, 6. Gangguan saluran pencernaan, seperti diare,
7. Gangguan lainnya, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll Aditama, 2002.
Sedangkan menurut Hedge dkk 1995, eksekutif kesehatan dan keselamatan 1992, Stenberg 1980 dan Finnegan dkk 1984 di dalam Wahab
2011 menyatakan bahwa Sick Building Syndrome dapat menyebabkan gejala kesehatan, seperti berikut ini:
1. Gangguan pernafasan, seperti hidung berair, bersin, sakit tenggorokan kering, hidung mampet, perdarahan hidung, rhinitis alergi bersin berulang-
ulang dan hidung meler, sinusitis, pilek, gejala seperti influenza, batuk kering, iritasi tenggorokan, mengi saat bernafas, sesak nafas, suara serak
karena radang tenggorokan dan laring, sensitivitas terhadap bau, dan serangan asma.
2. Iritasi mata, seperti mata kering, mata gatal, mata berpasir, mata panas, gangguan visual, sensitivitas cahaya.
3. Iritasi kulit, seperti ruam kulit, kulit yang gatal, kulit kering, eritema kemerahan atau peradangan, Iritasi atau kekeringan pada bibir, Dermatitis
seboroik, eksim periorbital, rosacca, utitcaria, folikulitis gatal.
4. Keluhan kognitif, seperti sakit kepala yang mempengaruhi kinerja seseorang, migraine, sinus yang menyebabkan sakit kepala karena
pembengkakan selaput lendir, kebingungan mental, 5. Kelesuan, seperti lesu, kesulitan dalam berkonsentrasi, kelelahan mental,
kelelahan umum yang dimulai dalam beberapa jam setalah datang ketempat kerja dan berhenti setalah meninggalkan tempat kerja, tidak dapat berfikir
jernih dan mengantuk. 6. Gangguan gastrointestinal, seperti mual.
7. Gejala lainnya, seperti pusing, reaksi hipersensitivitas, perubahan kepribadian yang mungkin disebabkan oleh stress atau sakit dan eksaserbasi
penyakit yang sudah ada sebelumnya, seperti asma, sinusitis atau eksim Wahab, 2011.
C. Kualitas Udara Dalam Ruangan Kualitas udara dalam ruangan adalah istilah yang mengacu pada kualitas
udara di dalam ruangan, di sekitar bangunan dan struktur bangunan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. Menurut Mujdem
Vural dalam Wahab 2011 kualitas udara dalam ruangan dapat dicemari oleh agen alami maupun agen buatan. Polutan ini berupa partikel dan gas serta uap. Gas dan uap
meliputi hasil pembakaran karbon monoksida, oksida nitrogen, sulfur dioksida dll, senyawa organik volatile benzene, toluene, formalin, dll, gas alam beracun ozon,
radon. Sedangkan partikel meliputi aerosol asbes, serbuk sari, debu dll, dan organisme bakteri, jamur, virus. Polutan tersebut dapat membahayakan kualitas
udara dalam ruangan dan pencemaran udara dalam ruangan dapat menyebabkan masalah kesehatan biologis dan psikologis Wahab, 2011.
Sedangkan menurut EPA 1995 ada empat elemen yang berpengaruh dalam indoor air quality
yaitu : 1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar dan dari sumber operasional
mesin yang berada dalam ruangan, 2. Heating Ventilation and Air Conditioning System HVAC
3. Media yaitu berupa udara 4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut dan memiliki riwayat alergi
atau pernafasan EPA, 1995. Menurut Wahab 2011 polutan udara dalam ruangan dapat diklasifikasikan
dalam berbagai cara, yaitu: 1. Menurut sifat fisik
a. Gas dan uap b. Partikel
2. Menurut sifat kimia a. Organik
b. Non organik 3. Menurut efek yang merugikan kesehatan
a. Polutan beracun b. Polutan berbahaya dan iritasi
c. Polutan karsinogenik d. Polutan mutagenik
4. Menurut sumber a. Lingkungan luar bangunan
b. Penggunaan bangunan c. Produk bangunan
Sick Building Syndrome dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan, seperti yang dijelaskan dalam Indoor Air Quality Handbook John D.
Spengler dkk., 2001. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Suhu dan kelembaban
2. Konsentrasi pertikulat 3. Konsentrasi VOC
4. Konsentrasi mikroorganisme jamur dan bakteri 5. Konsentrasi Gas NO
2
, CO
2
, CO, dll D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sick Building Syndrome
Teori yang paling umum mengenai Sick Building Syndrome adalah penyakit tersebut disebabkan beberapa faktor Wahab, 2011, yaitu :
1. Bahan bangunan. Bahan bangunan memungkingkan organisme mikro tumbuh atau bahan bangunan tersebut mengandung bahan kimia atau zat
lainnya atau juga mengandung gas yang dapat menyebabkan iritasi kulit atau mencemari udara didalam gedung pada saat orang bernafas.
2. Sanitasi yang buruk, 3. Ozon, pelarut organik dan formaldehida di atmosfer,
4. Peralatan kantor, perabot dan bahan lainnya dan produk yang terletak atau digunakan di gedung yang dapat menghasilkan asap atau dermatitis kontak,
5. Udara yang berasal dari uap kimia atau gas dari apapun di gedung, 6. Pemasangan AC, ventilasi tidak memadai yang dapat menyebabkan
penumpukan karbon dioksida, karbon monoksida atau gas lainnya dan polutan dari dalam atau diluar gedung yang diedarkan oleh sistem pendingin
udara, 7. Jamur, bakteri, tungau, debu, organisme mikro lainnya; endotoksin dan
produk mikroba lainnya, 8. Buruknya pemeliharaan dan kebersihan bangunan yang mengakibatkan
debu terdapat di udara, 9. Cahaya yang tidak memadai pada ruang-ruang kerja,
10. Faktor lingkungan lainnya yang meliputi suhu bangunan, kelembaban, kurangnya ion negatif di atmosfer, bau bangunan, kebisingan, elektrostatik,
getaran di gedung. 11. Masalah psikososial
12. Prakter manajemen yang buruk. Berikut beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Sick Building
Syndrome , yaitu:
1. Kualitas Fisik a. SuhuTemperatur
Suhu udara sangat berperan penting dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang dihasilkan dari metabolisme. Suhu
udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi, karena pekerja berusaha untuk
menghilangkan rasa dingin. Menurut standar baku mutu sesuai dengan Kepmen Kesehatan No. 1405MenkesSKXI2002, suhu dianggap nyaman
untuk suasana kerja di gedung perkantoran adalah 18-28 C KEPMENKES,
2002. Kualitas udara dalam ruangan tidak hanya dipengaruhi oleh adanya kontaminan tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang
panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang kerja Mølhave,
2011. NIOSH merekomendasikan bahwa suhu tidak boleh melebihi 26
C untuk pria dan 24
C untuk perempuan. Dalam beberapa sumber, suhu yang sesuai direkomendasikan adalah 20-24
C untuk musim dingin dan 22-26 C
untuk musim panas. Prevalensi gejala SBS meningkat secara signifikan pada suhu diatas 22
C Wahab, 2011. b. Kelembaban
Kelembaban dapat diukur dalam beberapa metode, biasanya yaitu kelembaban relatif, wet bulb, rasio kelembaban, kelembaban mutlak juga
dapat digunakan. Apapun metode yang diambil, pengukuran harus diambil secara berkala dan menyebar ke seluruh bangunan untuk memastikan udara
terdistribusi merata dan tingkat kelembaban yang konsisten TSI, 2013. Ruang yang lembab dan dinding yang basah akan sangat tidak nyaman dan
menganggu kesehatan manusia Pudjiastuti dkk., 1998. Kelembaban udara
yang relatif rendah yaitu kurang dari 20 dapat menyebabkan kekeringan di membran selaput lendir, sedangkan kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, kelembaban yang lebih rendah 30 berpengaruh terhadap terjadinya SBS. Berdasarkan
ASHREA kelembaban yang disyaratkan adalah antara 30-60, sementara menurut standar Baku Mutu KEPMENKES No. 1405 Tahun 2002,
kelembaban dalam ruangan kerja adalah 40-60. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rohizan dan Abidin 2015
menemukan bahwa kelembaban OR = 4.05, 95 CI = 1,27-12,9 secara signifikan terkait dengan SBS Rohizan Abidin E.Z, 2015. Sedangkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk pada tahun 2012 menyatakan bahwa kelembaban dan jamur berhubungan dengan peningkatan
kejadian SBS serta peningkatan respon bronkus dan peradangan eosinophilic Zhang dkk., 2012.
c. Laju Angin Laju angin dalam ruangan mempengaruhi pergerakan udara dan
pergantian udara dalam ruangan. Laju angin yang kurang dari 0.1 meterdetik atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada
pergerakan udara. Sebaliknya, bila lajua ngin didalam ruangan terlalu tinggi maka akan menyebabkan kebisingan didalam ruangan tersebut ASHRAE,
2001. Berdasarkan KEPMENKES 1405 Tahun 2002, pertukaran udara
dalam ruangan 0,283 m
3
menitorang dengan laju ventilasi 0,15-0,25mdetik
KEPMENKES, 2002. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin ruangan harus memiliki lubang ventilasi minimal 15 dari luas
lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang ACGIH, 1998. Sedangkan menurut ASHRAE ventilation rate jumlah suplai udara dalam ruangan
minimum 20cfmorang dalam suatu ruangan gedung dan untuk ruangan khusus seperti ruangan merokok, ventilation rate yang disyaratkan sebesar 60
cfmorang ASHRAE, 2011. Ventilation rate berpengaruh terhadap mitigasi kontaminan dalam ruangan, dan sebagai suplai udara segar bagi penghuni
gedung. d. Pencahayaan
Pencahayaan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan berkaitan erat dengan produktivitas
manusia. Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek- objek yang dikerjakannya secara jelas dan cepat. Akibat-akibat penerangan
yang buruk adalah : 1 Kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja.
2 Kelelahan mental 3 Keluhan-keluhan pegal didaerah mata, dan sakit kepala sekitar mata
4 Kerusakan alat penglihatan 5 Meningkatkan kecelakaan Jack Rostron, 2005
Menurut KEPMENKES No. 1405 tahun 2002, standar pencahayaan di ruangan lingkungan kerja minimal 100 lux. Adapun pencahayaan yang kurang
bisa memaksa mata untuk berakomodasi maksimum sedangkan pencahayaan
yang terlalu kuat juga bisa menimbulkan glare dan memaksa mata untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk kedalamnya. Kedua kondisi ini
pada akhirnya bisa menimbulkan kelelahan dan memicu gejala-gejala SBS lainnya.
e. Kebisingan Berdasarkan PERMENAKERTRANS No. 13 Tahun 2011 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat Kerja, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi
dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan KEPMENLH No. 48 Tahun
1996 tentang baku mutu kebisingan, Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
American Occupational Medicine Association AOMA komite
mendefinisikan gangguan pendengaran yang di sebabkan oleh kebisingan di tempat kerja sebagai gangguan pendengaran secara berlahan, yang
berkembang selama periode waktu yang lama beberapa tahun akibat paparan terus menerus atau suara keras yang intermiten Robert T. Sataloff Joseph
Sataloff, 2005. ACGIH telah menetapkan nilai ambang batas NAB untuk kebisingan yaitu 85 dbA untuk durasi pajanan 8 jam kerja ACGIH TLVs and
BEIs, 2012. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika
dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, NAB kebisingan 85 desibel. Untuk kebisingan yang melampaui NAB waktu pemaparan ditetapkan pada tabel 2.1
sebagai berikut.
Tabel 2.1 NAB Kebisingan Berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 Waktu Pemaparan per Hari
Intensitas kebisingan dalam dBA
Jam 24
80 16
82 8
85 4
88 2
91 1
94 Menit
30 97
15 100
7.50 103
3.75 106
1.88 109
0.94 112
Detik 28,12
115 14.06
118 7.03
121 3.52
124 1.76
127 0.88
130 0.44
133 0.22
136 0.11
139
Catatan: tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA walaupun hanya sesaat Sumber : Permenakertrans No. 13 Tahun 2011
Kebisingan yang melampaui nilai ambang batas yang diizinkan dapat mempengaruhi kesehatan manusia termasuk mengganggu keseimbangan.
Kebisingan bisa menimbulkan sakit kepala, dan kesulitan berkonsentrasi. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan berbagai keluhan termasuk gejala-gejala
SBS. Kebisingan dalam tingkat yang lebih rendah juga bisa mempengaruhi kondisi psikis manusia Robert T. Sataloff Joseph Sataloff, 2005.
Berikut tabel 2.2 mengenai baku tingkat kebisingan berasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996.
Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan Berdasarkan KEPMENLH No. 48 Tahun 1996 Peruntukan Kawasan Lingkungan Kegiatan
Tingkat Kebisingan bBA
a Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan Jasa 70
3. Perkantoran dan perdangangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintah dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus Bandar udara
Stasiun kereta Api Pelabuhan Laut
70 Cagar Budaya
60 b
Lingkungan Kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya
55 2. Sekolah atau sejenisnya
55 3. Tempat ibadah atau sejenisnya
55
f. Bau Tujuan dilakukannya pengujian bau adalah untuk mengkaji
kenyamanan yang berhubungan dengan bau. Bau sering menunjukkan indikator tentang buruknya kualitas udara dalam ruangan. Bau yang tidak
sedap biasanya timbul karena senyawa-senyawa organik dan sulfur. Karakteristik bau dapat diterangkan menggunakan deskriptor bau yang dapat
diterima. Konsentrasi bau umumnya dikenal sebagai olfaktory threshold atau ambang bau Pudjiastuti dkk., 1998.
2. Kualitas Kimia a. Partikulat
Partikulat adalah substansi yang berada dalam atmosfer pada kondisi normal berukuran lebih besar daripada molekul a angstrom, tetapi lebih kecil
daripada 500 um 1 u =1 mikron =10
-4
. Partikulat di udara tidak hanya dihasilkan dari emisi langsung berupa partikulat , tetapi juga dari emisi-emisi
gas-gas tertentu yang mengalami kondensasi dan membentuk partikulat, sehingga terdapat partikulat primer dan partikulat sekunder Tati Alfiah,
2009. Ukuran partikulat yang dapat masuk kedalam sistem respirasi adalah
kurang dari 10 µm dengan spesifikasi sebagai berikut: 1 Ukuran 5-10 µm akan mudah tersaring secara fisik oleh rambut-rambut
halus dalam rongga hidung, 2 Ukuran 2-5 µm akan terendap di alveoli,
3 Ukuran 2 µm akan mudah masuk kedalam saluran respirasi dan akan mudah keluar kembali bersama udara respirasi Zannaria dkk., 2009.
Paparan partikulat berkontribusi terhadap peningkatan risiko terkena penyakit kardiovaskuler dan gangguan pernafasan. Kadar PM dalam ruangan
berdasarkan ACGIH TLVs-BEIs harus dibawah 3 mgm3 untuk partikel terhirup dan 10 mgm3 untuk partikel inhalable ACGIH TLVs and BEIs,
2012. Sedangkan menurut KEPMENKES 1405 Tahun 2002, konsentrasi maksimal debu total adalah 0,15 mgm
3
, dan asbes bebas adalah 5 seratml udara dengan panjang serat 5µ.
b. Karbon Monoksida CO Karbon monoksida CO adalah zat yang tidak berwarna, tidak berbau,
gas beracun yang merupakan hasil produk sampingan dari pembakaran yang tidak sempurna. Ketika dihirup, CO sangat mudah bercampur dengan
hemoglobin dalam darah, sehingga menghambat kemampuan darah untuk membawa oksigen dan pertukaran oksigen. CO tidak mudah meninggalkan
tubuh setelah masuk dan dalam beberapa kasus untuk pengobatan memerluakan transfusi darah. Paparan berlebihan terhadap CO dapat
menyebabkan kekurangan oksigen tubuh dan menyebabkan kematian TSI, 2013.
US EPA telah menetapkan standar nasional primer ambient kualitas udara untuk udara luar yang akan digunakan dalam ventilasi untuk bangunan.
Batas paparan CO rata-rata adalah 35 ppm selama satu jam, tidak lebih dari satu kali per tahun, atau 9 ppm selama periode waktu delapan jam kerja.
ACGIH dan OSHA juga telah menetapkan batas paparan maksimum di tempat kerja Industri TSI, 2013. Sedangkan nilai ambang batas untuk CO
berdasarkan PERMENAKERTRANS No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat Kerja adalah 29
mgm
3
. Mekanisme bagaimana karbon monoksida mengakibatkan efek
keracunan belum sepenuhnya dimengerti. Umumnya rute keterpajanan gas karbon monoksida adalah melalui jalan pernapasan atau rute terhirup atau
inhalasi inhalation route. Gas ini dikelompokkan sebagai bahan kimia
asfiksia asphyxiate. Dan mengakibatkan racun dengan cara meracuni hemoglobin Hb darah. Hb berfungsi mengikat darah dalam bentuk HbO.
Setelah CO mengikat hemoglobin darah terbentuk ikatan: HbCO maka otomatis oksigen akan terusir. Dengan mekanisme ini, tubuh mengalami
kekurangan oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan oksigen akan terjadi. Sebab afinitas atau sifat pengikatan atau daya lengket karbon monoksida ke
hemoglobin darah dibandingkan dengan oksigen jauh lebih besar sebanyak 200
–3000 kali lipat. Dalam jumlah sedikit pun gas karbon monoksida jika terhirup dalam waktu tertentu dapat menyebabkan gejala racun terhadap tubuh
Utami dkk., 2013. c. Karbon Dioksida CO
2
CO
2
dalam gedung bisa diemisikan dari pembakaran mesin-mesin seperti genset, namun mayoritas CO2 diemisikan oleh para penghuni gedung.
Konsentrasi CO
2
di dalam ruangan tergantung pada jumlah orang, lama ruangan dipergunakan, kegiatan dalam ruangan, pertukaran udara, dan polutan
dari luar. Treshold Limit Value – Time Weighted Average TLV-TWA CO
2
yang diperkenankan adalah sampai 1000 ppm ACGIH TLVs and BEIs, 2012. Namun mayoritas konsentrasi CO
2
dalam gedung adalah 350-2500 ppm. Berdasarkan hasil survey dan evaluasi BASE dataset, konsentrasi CO
2
di udara dalam ruangan secara statistik memiliki hubungan positif dengan kejadian SBS. 70 bangunan dengan ventilasi mekanik dan menggunakan air
conditioner dalam studi menunjukkan hubungan yang signifikan antara CO
2
dan SBS CA Erdmann dkk., 2002.
d. Volatile Organik Compound VOC Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar
dari aerosol yang ada dalam ruangan. Dikarenakan jumlah spesies bahan kimia hadir di udara dalam ruangan. Formaldehida adalah salah satu salah
satu senyawa organik yang termasuk kedalam senyawa polutan yang mudah menguap VOC, dan merupakan salah satu dari polutan udara di ruangan
yang dapat diukur. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi dan jika mungkin menghapus sumber formaldehida dan jika
tidak dapat mengurangi eksposur dengan menggunakan poliuretan atau sealant pada lemari dan perabotan lainnya EPA, 1995,
e. Sulful Dioksida SO
2
Sulfur Dioksida SO
2
berasal dari sisa pembakaran bahan bakar fosil baik minyak tanah atau bahan bakar premium dari kendaraan bermotor.
Keberadaannya di udara dapat berbentuk SO
3
atau SO
2
, di mana bentuk- bentuk tersebut dapat mengalami perubahan, sehingga sering dinamakan
sebagai SO
x
. Pada kategori nyaman parameter tersebut tidak memberikan dampak yang berarti, sedangkan pada kategori baik dan sedang keberadaan
SO
2
mampu memberikan luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan O
3
selama 4 jam. Penambahan konsentrasi SO
2
pada lingkungan akan merubah kepada kondisi tidak sehat disamping menimbulkan
bau yang menyengat juga akan menyebabkan peningkatan kerusakan tanaman. Pada kategori sangat tidak sehat akan berpengaruh pada peningkatan
sensitifitas pasien berpenyakit asma dan bronchitis, sedangkan pada kategori
berbahaya akibat yang ditimbulkan adalah ancaman bagi seluruh makluk hidup. SO
2
adalah pencemar dari sumber industri yang berperan sebagai prekursor asam sulfat H
2
SO
4
, komponen partikel aerosol yang mempengaruhi deposisi asam, iklim global, dan lapisan ozon global. Sumber
utama dari SO
2
adalah pembangkit listrik tenaga batu bara, pembakaran bahan bakar fosil, dan gunung berapi Cahyono, 2011. NAB untuk sulfur dioksida
berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 adalah 0,25 mgm
3
. f. Nitrogen Oksida NO
2
Gas NO
2
adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO
2
bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas nitrogen
oksida adalah paru-paru. Paru-paru terkontaminasi oleh gas NO
2
akan menyebabkan pembengkakan sehingga sulit bernafas dan dapat
mengakibatkan kematian.
Pengaruhnya terhadap
kesehatan yaitu
terganggunya sistem pernafasan, bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi bronchitis serta akan terjadi penimbunan nitrogen oksida dan dapat
merupakan sumber karsinogenik Tossin Alamsyah dkk., 2012. Sedangkan nilai ambang batas untuk NO
2
berdasarkan Permenakertrans No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat
Kerja adalah 3 mgm
3
. 3. Kualitas Biologi
Menurut Davies 1960 dalam Wahab 2011 jamur dan bakteri spora dapat ditemukan dalam debu di lingkungan dalam ruangan yang dianggap
sebagai debu aktif atau sebagai elemen pasif. Jika konsentrasi jamur atau bakteri spora dengan jenis yang sama melebihi 2-300 CFUmg, maka mereka
tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang normal, karena hal itu telah dihasilkan oleh lingkungan didalam ruangan. Perkembangan spora diudara
dalam ruangan biasanya berkaitan dengan kondisi cuaca, seperti kecepatan angin, curah hujan dan fluktuasi suhu harian yang memainkan peran dalam
penyebaran dilingkungan ruangan Wahab, 2011. Standar parameter biologi udara dalam ruangan kerja mengacu pada
KEPMENKES No. 1405 tahun 2002, yaitu 700 kolonim
3
. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zhang pada tahun 2012 menyatakan bahwa jamur di
udara dalam ruangan berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS serta peningkatan respon bronkus dan peradangan eosinophilic Zhang dkk., 2012.
4. Psikososial Psikososial mengacu pada hubungan yang erat antara aspek
pengalaman psikologis manusia dan pengalaman sosial yang lebih luas ARC, 2009. Sebagian besar literatur menunjukkaan bahwa faktor psikososial di
tempat kerja berkonstribusi dalam berbagai gangguan kesehatan. Sebagian besar bukti memiliki akumulasi pada hubungan antara non-spesifik psikologis,
perilaku dan syndrome somatik dan stres atau kondisi pekerjaan yang tidak menguntungkan. Faktor psikososial yang positif bisa bertindak sebagai hal
yang dapat menjaga kesehatan dan agen meningkatkan kesehatan Medicine, 1997.
.
Berbagai faktor yang berhubungan dengan faktor psikososial seperti stress kerja, beban kerja yang tinggi, kurangnya dukungan sosial, konflik di
tempat kerja, pola komunikasi yang buruk, manajemen yang buruk dan perubahan organisasi berkaitan dengan pelaporan gejala khas Sick Building
Syndrome Wahab, 2011. Adanya otomatisasi kantor dan teknologi komputer
dapat meningkatkan efisiensi kerja, namun dengan kondisi ini pekerja dituntut untuk lebih memaksimalkan performa kerjanya. Pekerja harus meningkatkan
kemampuannya dan dapat mengatasi beban kerja yang lebih berat yang dapat menimbulkan stress pada pekerja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di afrika selatan pada tahun 1995 menemukan bahwa tekanan psikologis menyumbang 15 dan 19 dari
varians dalam gejala SBS Bachmann MO Myers JE, 1995. Dalam penelitian yang dilakukankan oleh Laila Tahun 2011 menyatakan bahwa
faktor psikososial dengan jenis kelamin memiliki hubungan dengan kejadian SBS, dimana responden yang memiliki jenis kelamin perempuan dengan
kondisi psikososial baik berpeluang 5.500 kali untuk mengalami keluhan SBS dibandingkan dengan laki-laki.
5. Karakteristik Individu a. Umur
Umur berpengaruh pada daya tahan tubuh, semakin tua usia maka semakin menurun pula stamina tubuh. Paparan pada suatu zat yang bersifat
toksik akan menimbulkan dampak yang lebih serius pada mereka yang berusia tua dari pada yang berusia lebih muda dengan kata lain udara yang buruk
lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua Anies, 2004. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Laila tahun 2011 menyatakan bahwa ada
perbedaan yang signifikan rata-rata umur antara pegawai yang mengalami keluhan SBS dengan yang tidak mengalami SBS. Dan berdasarkan hasil
penelitian mulitivariat didapatkan bahwa umur berpeluang untuk menyebabkan terjadinya keluhan SBS pada pegawai adalah sebesar 1,074 kali
pada pegawai yang memiliki umur dibawah 37, setelah dikontrol oleh variabel pencahayaan dan psikososial Laila, 2011. Berbeda dengan hasil dari
penelitian Nur Habibi Rahman dkk 2013 mengenai studi tentang keluhan Sick Building Syndrome
SBS pada pegawai di gedung rektorat Universitas Hasanuddin Makassar, menyatakan bahwa persentase variabel lebih besar
mengalami keluhan SBS yaitu umur tua 40 tahun yakni sebanyak 44. b. Jenis Kelamin
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nur Najmi Laila tahun 2011 menyatakan bahwa responden yang memiliki jenis kelamin perempuan
berpeluang 4.262 kali untuk mengalami keluhan SBS dibandingkan dengan responden laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rohizan dan Abidin
2015 menemukan bahwa jenis kelamin perempuan secara signifikan terkait dengan kejadian SBS dengan OR 6,52 yang menyatakan bahwa jenis kelamin
perempuan merupakan kontributor yang signifikan terhadap terjadinya SBS Rohizan Abidin E.Z, 2015. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh
Sun dkk 2013 tentang pengaruh jenis kelamin dan lingkungan asrama digedung dengan gejala Sick Building Syndrome dikalangan mahasiswa di
Tianjin, Cina menyatakan bahwa siswa dengan jenis kelamin perempuan mengalami lebih sedikit gejala Sick Building Syndrome daripada siswa dengan
jenis kelamin laki-laki Sun dkk., 2013. Dan pada penelitian Jafari dkk 2015 menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan tinggi badan p0,05 dengan kejadian SBS Jafari dkk., 2015.
c. Perilaku Merokok Sebagai pencemar dalam ruang, asap rokok merupakan bahan
pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktivitas
merokok didalam ruangan yang sering dilakukan oleh pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang dikeluarkan dari seorang
perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat
menganggu kesehatan, seperti mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya Pudjiastuti dkk., 1998.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Rahman 2011 pada pegawai administrasi gedung rektorat Universitas Hassanudin, Makassar menemukan
bahwa
kategori yang memiliki kebiasaan tidak merokok dalam ruangan yang lebih banyak mengalami keluhan SBS yakni 31 responden 39,2 dibanding
responden yang memilki kebiasaan merokok dalam ruangan yakni 7 responden 53,8, yang memilki keluhan SBS.
d. Lama Kerja Redlich dkk 1997 dalam Wahab 2011 menemukan bahwa durasi
waktu yang dihabiskan bekerja di gedung dapat mempengaruhi terjadinya gejala Sick Building Syndrome Wahab, 2011. Masa kerja dengan keluhan
Sick Building Syndrome semakin lama pegawai bekerja disuatu tempat,
semakin besar kemungkinan mereka terpapar oleh faktor-faktor lingkungan kerja baik fisik maupun kimia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
atau penyakit akibat kerja khususnya SBS yang pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya produktifitas kerja seorang pegawai atau pekerja.
Dari hasil penelitian Rahman dkk 2013 menyatakan bahwa pekerja dnegan masa kerja ≥ 5 tahun memiliki risiko lebih terhadap Sick Building Syndrome
Rahman dkk., 2013 e. Riwayat Alergi dan Riwayat Atopi
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imonologis, yaitu akibat induski oleh IgE yang spesifik terjadap
alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak
ditemukan dalam lingkungan, disebut allergen Baratawidjaja Rengganis I, 2009. Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi
silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti
histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Penyakit tersebut berhubungan erat
dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau
suntikan. Kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat jumlah alergen meningkat Wistiani Harsoyo Notoatmojo, 2011.
Dalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah diketahui bahwa individu mempunyai kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah
besar terhadap paparan bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus
gen. Individu atopi mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian juga level eosinofil jika dibandingkan orang normal. Individu
atopi mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan alergi serbuk bunga. Faktor genetik dan lingkungan masing-masing
berkontribusi 50 pada kejadian penyakit alergi seperti asma Rifai, 2011. Seorang anak yang berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit alergi akan
berisiko mengalami penyakit alergi dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak punya riwayat penyakit alergi di keluarganya
Koning H dkk., 2000. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 tentang
Sick Building Syndrome pada pekerja kantoran di Universitas Malaysia,
hubungan dengan atopy, FeNO dan lingkungan kantor, didapatkan hasil bahwa lingkungan kantor seperti suhu, kelembaban udara relative RH,
karbon monoksida CO dan karbon dioksida CO
2
dapat menjadi faktor
risiko terjadinya SBS di lingkungan kantor terutama bagi pekerja yang memiliki riwayat alergi dermatophagoides farinae Der f 1 Lim dkk., 2015.
E. Upaya Pencegahan Sick Building Syndrome
Solusi penanganan dan pencegahan Sick Building Syndrome, antara lain: 1. Memperbaiki sistem tatanan udara dan AC didalam gedung yang dapat
menjadi salah satu cara mengurangi polutan yang terdapat didalam gedung. Mesin pendingin ruangan AC dan sistem ventilasi harus dirancang untuk
memenuhi syarat minimum dari sistem tata udara yang baik dalam satu gedung. Pastikan bahwa sistem tata udara telah beroperasi dan dipelihara
dengan baik. Harus ada saluran pembuangan yang langsung mengarah keluar bangunan apabila diketahui adanya sumber polutan berbahaya yang
dikeluarkan oleh AC. 2. Memindahkan atau memperbaiki sumber polutan dalam gedung. Cara ini
termasuk dengan pemeliharaan rutin terhadap sistem pendingin ruangan HVAC, membersihkan tempat-tempat yang dapat menjadi tempat
genangan air, pelarangan merokok didalam ruangan gedung, atau menyediakan tempat khusus merokok dengan ventilasi yang langsung
mengarah ke luar bangunan. 3. Memasang penjaring ruangan,
4. Mengendalikan tingkat pemajanan dengan pendekatan administratif,
misalnya merelokasi individu yang rentan terhadap gejala Sick Building Syndrome.
Menurut Kusnoputrato 2000, ada beberapa faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya pencegahan Sick Building Syndrome Kusnoputranto, 2000, yaitu :
1. Pemilihan lokasi gedung Polusi udara dapat berasal dari sumber yang dekat atau jauh dari lokasi
gedung. Oleh karena itu, sebelum mendirikan bangunan harus diperhatikan hal-hal berikut:
a. Data tentang tingkat polusi udara daerah b. Analisis sumber polusi di sekitar lokasi
c. Tingkat polusi air dan tanah, meliputi gas radon dan komponen radioaktif lainnya.
d. Informasi tentang cuaca dan iklim yang dominan di lokasi 2. Desain arsitektur
Dalam merancang sebuah gedung harus memperhitungkan faktor kelembaban dalam ruang, perubahan suhu, pergerakan udara, radiasi,
serangan bahaya kimia, dan agen biologi atau bencana alam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan hal berikut ini:
a. Bagian gedung yang terbuka harus terletak jauh dari sumber polusi dan tidak terletak pada posisi yang berlawanan dengan arah angin
b. Perlu diperhatikan tentang pembuangan air c. Tempat parkir kendaraan harus jauh dibangun dan tidak terletak pada
sumber intake udara gedung.
3. Pengaturan Jendela Dalam membangun sebuah gedung, pengaturan jendela termasuk
dalam perencanaan proyek arsitektur. Keuntungannya adalah untuk menyediakan ventilasi tambahan untuk daerah-daerah yang membutuhkan.
Selain itu keuntungan kedua adalah bersifat psikososial yaitu memberikan pemandangan keluar ruangan untuk para karyawan.
4. Perlindungan kelembaban Hal ini termasuk penting dalam melakukan pengendalian terhadap
kejadian Sick Building Syndrome, dengan cara penurunan kelembaban pada pondasi bangunan dimana mikroorganisme terutama jamur dapat menyebar
dan berkembang. Isolasi dan pengendalian area yang paling rawan kelembaban perlu dipertimbangkan karena kelembaban dapat merusak bahan-
bahan perlengkapan gedung dan biasanya bahan yang rusak tersebut menjadi sumber kontaminan mikroorganisme.
5. Perencanaan jarak dalam ruangan Untuk menghindari efek SBS perlu diketahui berbagai aktivitas yang
dapat menjadi sumber kontaminasi. Contoh aktifitas yang dapat menjadi sumber kontaminan yaitu bagian penyiapan makanan, percetakan,
pembangunan mesin fotocopy dan merokok. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membatasi dan mengendalikan sumber-sumber potensial polusi.
6. Pemilihan Bahan Karakteristik bahan yang digunakan untuk konstruksi, dekorasi, dan
perabotan, aktivitas kerja sehari-hari serta cara gedung dibersihkan harus
diperhatikan dalam rangka mencegah timbulnya masalah polusi udara dalam gedung.
F. Instrumen Pengukuran Sick Building Syndrome
Pada saat ini telah berkembang banyak penelitian mengenai Sick Building Syndrome yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan pun menggunakan berbagai macam jenis
instrument yang telah distandarisasi dan diuji validitas maupun realibilitasnya. Berikut tabel 2.2 adalah beberapa macam instrument pengukuran Sick Building
Syndrome dengan kelebihan dan kekurangan pada setiap instrument.
37
Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran No
Nama instrument Diterbitkan
Kelebihan Kekurangan
1 Gabungan 3 kuesioner yaitu:
a. The National Institute of Occupational
Safety and Health NIOSH indoor air quality survey questionnaire,
b. American Industrial Hygiene Association
AIHA occupational health and comfort questionnaire,
dan c.
Danish Building Research Institute building diagnostic human resource questionnaire
Godish 1995
a. Memiliki pertanyaan terbuka dan dapat digunakan pada sebagian
besar bangunan dan pekerjaan. b. Dapat digunakan secara proaktif
untuk pekerja
baru untuk
menentukan apah
bangunan tersebut sehat.
c. Dapat digunakan sebagai survey tahunan.
Pengukuran gejala Sick Building Syndrome
SBS yang lebih kronis lagi atau Building Related
Illnesses BRI
dibutuhkan konsultasi bersama petugas medis
2 SBARS The Sick Building
Assessment and Rehabilitation System Environmental
Management Intelligent
Systems Ltd., EMIIS Ltd
1994 a. SBARS dapat menghasilkan satu
set informasi yang berisi rekomendasi , tetapi dalam khasus
tertentu akan dapat merujuk pekerja untuk dating pada dokter
spesialis tertentu.
b. Dapat mengidentifikasi faktor risiko terbesar yang menyebabkan
SBS. c. Rekomendasi hasil SBARS
merupakan cara yang paling praktis untuk menetapkan
prosedur dengan cara menghilangkan
Penggunaannya harus dilakukan dengan disertai konsultasi pada
dokter atau data medis
3 Indoor Air Quality and Work Symptoms Survey
EPA 1991 a. Dapat
digunakan untuk
menanggualngi faktor risiko SBS yang
berhubungan dengan
pekerjaan. b. Faktor risiko yang diukur berasal
dari faktor kontaminan dan faktor individu pekerja.
Menyediakan informasi yang sedikit untuk melakukan
intervensi pencegahan
Sick Building Syndrome
38
Tabel 2.3 Lanjutan No
Nama instrument Diterbitkan
Kelebihan Kekurangan
4 The
MiljoMedicin 040
Questionnaires MM040EA
Kjell Andersson
1998 a. Kuesionernya
sederhana dan
singkat, validitasnya sudah terukur dan dapat diandalkan.
b. Pertanyaan disesuaikan dengan tempat penelitian, an terapat juga
pertanyaan mengenai psikososial yang berkaitan dengan iklim
dalam ruangan kerja. Hasil
survei kuesioner
dipengaruhi oleh banyak faktor dan kondisi,
termasuk cara yang survei diselenggarakan dan masalah
yang terlibat.
Sumber : Wahab, 2011, Jack Rostron, 2005, dan Andersson, 1998. Dari hasil penjelasan pada tabel diatas, peneliti menggunakan
The MiljoMedicin 040 Questionnaires MM040EA
, dengan
alasan karena kuesioner tersebut telah digunakan oleh banyak penelitian secara luas Takigawa dkk., 2009, pertanyaan pada setiap kuesioner sudah divalidasi dan diperiksa untuk dapat dipercaya Andersson, 1998; Andersson dkk., 1999. Sebagian besar
pertanyaan relevan dan dapat digunakan untuk sebagian besar bangunan dan sebagian besar pekerjaan, serta memiliki pertanyaan terbuka untuk memudahkan dalam analisis data untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala dan
penyebab Sick Building Syndrome.
39 G. Uji Statistik
Statistik adalah disiplin ilmu yang mempelajari metode dan prosedur pengumpulan, penyajian, analisa, dan penyimpulan suatu data mentah, agar
menghasilkan informasi yang lebih jelas untuk keperluan suatu pendekatan ilmiah scientific interferences, dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu statistik
deskriptif dan statistik inferensial Chandra, 1995. Data dapat diperoleh dari sutau pengukuran dan untuk mendapatkan data yang akurat, diperlukan suatu alat ukur
instrument yang valid dan reliabel. Tujuan dari statistik adalah untuk menjawab permasalahan dan membuktikan sesuatu dugaan yang belum terbukti Sabri
Hastono, 2011. Pemilihan uji statistik yang tepat akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang tepat pula. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan
uji adalah sebagai berikut, yaitu tujuan uji, jenis data, sampel yang diuji, dan jumlah sampel Fajar dkk., 2009.
Skala pengukuran variabel dibagi menjadi kategorik nominal-ordinal dan numerik rasio-interval. Variabel nominal dan variabel ordinal disebut sebagai
variabel kategorik karena variabel tersebut mempunyai kategori variabel misalnya jenis kelamin, ―jenis kelamin‖ sebagai variabel, sedangkan ―laki-laki‖ dan
―perempuan‖ adalah kategori variabel. Variabel rasio dan interval disebut variabel numerik karena variabel tersebut tidak memiliki kategori variabel misalnya, skala
celcius Dahlan, 2008. Berikut adalah tabel 2.3 yang akan menunjukkan pemilihan uji statistik sesuai dengan jenis variabel independen dan dependen pada penelitian
yang dilakukan.
Tabel 2.4 Pemilihan Uji Statistik Variabel
Uji Statistik Independen
Dependen
NominalKategorik NominalKategorik
Chi Square NominalKategorik
dikotom Numerik
Uji T-Independen, Berpasangan
NominalKategorik 2 Nilai
Numerik Anova
Numerik Numerik
Regresi Kolerasi
Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi square untuk variabel kategorik dan kategorik, serta menggunakan uji T-Independen untuk menghubungkan
variabel numerik dengan kategorik Fajar dkk., 2009. Uji statistik chi square
Uji chi square dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel kategorik dengan variabel kategorik.
Adapun rumus uji chi square adalah sebai berikut: �
2
=
�
−�
�
�
�
df = k-1 b-1 Keterangan :
o
i
= nilai observasi e
i
= nilai ekspektasi harapan k = jumlah kolom
b = jumlah baris Uji chi square hanya dapat mengetahui ada atau tidaknya perbedaan
proporsi antara kelompok atau hubungan dua variabel kategorik. Uji chi square tidak dapat menentukan proporsi yang memiliki risiko lebih besar dibandingkan kelompok
lain. Untuk melihat kekuatam hubungan antara variabel dependen dan independen maka dilihat nilai odds rasio OR Chandra, 1995.
Uji T-Independen Uji T- Independen merupakan ujia statistik terhadap signifikan tidaknya
perbedaan nilai rata-rata dari dua sampel yang berbeda. Dalam pengujian statistik, hipotesis yang akan diuji h0 dan hipotesis alternative h1 sering dilambangkan
dalam notasi, H0 : µ1 = µ2 dan H1 : µ1 ≠ µ2. Analisis ini cocok digunakan untuk
data yang meneliti skala interval dan rasio M, 2011. Rumus perhitungan t independen sebagai berikut:
� = �
1
− �
2 1
− 1 �1
2
+
2
− 1 �2
2 1
+
2
− 2 1
1
+ 1
2
Apabila data yang disajikan tidak memenuhi asumsi normalitas data, maka data selanjutnya akan dilakukan uji dengan menggunakan uji Mann Wtitney Dahlan,
2008.
H. Kerangka Teori Beberapa sumber menyebutkan bahwa terdapat faktor yang dapat
menyebabkan Sick Building Syndrome antara lain:
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : ASHRAE, 2001; EPA, 2010; Lim dkk., 2015; P S Burge, 2003; Wahab,
2011 Kualitas Fisik :
Suhu Kelembaban
Laju Angin Pencahayaan
Kebisingan
Kualitas Kimia : Partikulat
CO, CO
2
, NO
2
, SO
2
VOCs Formaldehyde HCHO
Kualitas Biologi : Bakteri, jamur, serbuk
sari Psikososial
Karakteristik Individu : Jenis Kelamin
Umur Perilaku Merokok
Lama Kerja Riwayat Alergi
Riwayat Atopi
Keluhan Sick Building
Syndrome SBS
43