Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara Dalam Ruang dan Faktor Demografi terhadap Kejadian Gejala Fisik Sick Building Syndrome (SBS) pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA

FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh:

Morrys Antoniusman 109101000040

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1425 H / 2013


(2)

(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040

Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara Dalam Ruang dan Faktor Demografi terhadap Kejadian Gejala Fisik Sick Building Syndrome (SBS) pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

(xxii+ 126 halaman, 16 tabel, 3 bagan, 3 diagram, 4 lampiran) ABSTRAK

Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi yaitu bakteri ditengarai menjadi salah satu penyebab kejadian SBS. Kondisi gejala fisik SBS yang terjadi dalam ruangan bersifat akut dan mengganggu penghuni dalam ruangan khususnya karyawan yang dapat menurunkan produktivitas kerja dan penurunan konsentrasi kerja.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013, yang terdiri dari variabel jumlah koloni bakteri patogen udara, jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan pada bulan November-Desember 2013. Kemudian digunakan penarikan sampel secara accidental sampling lalu untuk melihat adanya pengaruh variabel, digunakan analisis multivariat.

Berdasarkan hasil análisis yang telah dilakukan, didapatkan sebesar 43,5% (20 orang) mengalami keluhan SBS, kemudian didapatkan faktor yang paling berpengaruh terhadap SBS adalah Jenis Kelamin (PR = 9,124) maka keluhan gejala fisik SBS dapat diperkirakan dengan variabel jenis kelamin.

Oleh karena itu, responden penelitian dengan jenis kelamin perempuan dianjurkan untuk bebas dari paparan AC yang berlebih, dekat dengan fasilitas dalam bangunan yang mengeluarkan polutan, dan jauh dari asap rokok di dalam gedung atau ruang kerja. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabel-variabel lain yang diduga berhubungan dengan keluhan SBS yang tidak diteliti pada penelitian ini, dan melakukan penelitian dengan menggunakan cara lain dalam mengukur SBS, sehingga diharapkan dapat diperoleh perbandingan gambaran keluhan SBS.

Kata kunci : Sick Building Syndrome, Responden Penelitian Gedung X. Daftar bacaan : 45 (1987-2011)


(4)

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040

The Relationship of Pathogenic Bacteria Colonies of Indoor Air and Demographic Factors with The Incidence of Physical Symptoms of Sick Building Syndrome upon Research Respondents of X Building Year 2013

(xxii+ 126 pages, 16 tables, 3 charts, 3 diagram, 4 attachments) ABSTRACT

Poor indoor air quality due to the presence of biological contaminants like bacteria is being suspected as one of the cause that affect the occurrence of SBS. Physical symptoms of Sick Building Syndrome that occur indoors are acute and disturbing to the occupants of the room, especially employees which will lead to a decreasing of work productivity and concentration level.

The aim of this study was to determine factors assosiated with the symptoms of Sick Building Syndrome upon research respondents of X building, which consisted of a variable number of airborne pathogenic bacteria colonies, sex, age, nutritional status, smoking habits, and cigarette fumes sensitivity. This study used a cross sectional design and conducted in November-December 2013. Samples were collected using accidental sampling, which then followed by multivariate analysis in order to see the influence of those variables.

Based on the analysis results, approximately 43,5% (20 people) had complained of SBS. Afterward, the most influential of all SBS related factors was obtained, which was sex or gender factor (PR = 9.124). Thus, complaints of physical symptoms of SBS can be estimated with this variable.

Therefore, female respondents of X building are advised to limit their activity in the area that may have been exposed to a prolonged run time of air conditioners, pollutants that being emitted from some building facilities, and cigarette fumes that circulated in the building or work space. For further research is expected to include other variables that were related to the complaints of SBS that has not been examined in this study, and conduct research using other ways of measuring the SBS also needed, in the aim of obtaining a comparison pictures of SBS complaints.

Keyword : Sick Building Syndrome, Research Respondents of X Building Reading list : 45 (1987-2011)


(5)

(6)

(7)

DAFTAR RIWAYAT PENULIS

Nama : Morrys Antoniusman

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 12 Mei 1991

Alamat : Jl.H.Bantong, Perumahan Lembah Ciliwung No.60, Desa Pasir Gunung Selatan , Depok-Jawa Barat

Agama : Islam

Golongan Darah : AB

No.Telp : 08811390768

Email : morrys_antoniusman@yahoo.com

Riwayat Pendidikan

1996 - 1997 TK Kartika Chandra XII 1997 - 2003 SDN 06 Petang Kalisari Jaktim 2003 - 2006 SMPN 179 Jakarta

2006 - 2009 SMAN 98 Jakarta

2009 - 2014 S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberi kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis curahkan kepada Rosul tercinta, Nabi Muhammad saw yang telah membawa kebenaran yaitu Islam dan telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.

Skripsi ini disusun dalam rangka sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan Skripsi ini, penulis selalu mendapat motivasi, bantuan dan dukungan selama melaksanakan penyusunan Skripsi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Skripsi ini, diantaranya.

Dibalik rasa syukur,dalam penulisan Skrispi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan tulus atas bimbingan serta dukungan kepada:

1. Orang tua yang membesarkan dan membimbing serta selalu memberikan doa, semangat dan motivasi untuk semua kelancaran dalam menempuh semua jejang pendidikan penulis sampai saat ini.

2. Beloved sister and brother, Jeshy Antoniusman, Gonzales Antoniusman dan Jhonny Antoniusman, yang telah rela mengalah dalam segala hal demi kelancaran perkuliahan penulis.


(9)

3. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes. selaku ketua Peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima kasih atas semua nasihat, saran, dan motivasinya terhadap penulis.

6. Ibu Ela Laelasari, SKm, M.Kkes, selaku dosen pembimbing skripsi I. 7. Ibu Dewi Utami Ultari, SKM, M.Kes, Ph.D, Selaku dosen pembimbing II.

8. Ibu Catur Rosidati, S.KM, Bapak dr. Gatot Sudiro Hendarto, Sp.P , dan Ibu Hoirunissa, Ph.D selaku penguji skripsi.

9. Ibu Yulianti S.Si, M.Biomed selaku kepala Pusat Laboratorium Terpadu UIN, Bu Dewi selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN, dan Ka Novi selaku laboran Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN.

10.Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima kasih atas semua kesempatan untuk mengenal dunia industri yang sebenarnya. 11.Seluruh staf Gedung X yang telah menerima dan membantu penulis selama

penelitian berlangsung dan Bapak Andre selaku yang bertanggung jawab atas penelitian penulis di Gedung X. Terima kasih banyak atas bantuannya.

12.Bapak Deni yang telah menemani penulis saat turun lapangan sehingga penulis dapatkan kemudahan dalam pengambilan data. Terimakasih untuk segala bantuannya.


(10)

13.Sahabat-sahabat Kesmas 2009 khususnya KL’09 (Nita, Ratna, Dilla, Fauziah, Ersa, Rudi, Agung, Morrys, Rahmi, Risma, Fauziah, Maya, Cita, Reni, Aan, Nisa, Tary, Yudi, dan Udin), Kimia’09 serta ENVIHSA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

14.Teman-teman di organisasi IPPA Edelweis 98, khususnya angkatan XIX; Ame, Alm. Indra, Iki, Ardo, Kipay, Frendy, Retno, Onny, Lina dan semuanya. Terimakasih atas segala support dan bantuannya selama ini. Kita saudara untuk selamanya.

15.Keluarga dari saudara seperjuangan Teguh Arifianto. Pakde, Bukde, Okoy, Mas Kelik, dan Mas Fendi. Terima kasih telah banyak membantu dan menemani penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

16.Teman-teman naik gunung RAMPASER yang sering duduk dan saling bertukar pikiran Cako, Mbek, Jono, Tile, Anis, Babel, Nunu, dan Noeng, dan lain-lain.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan waktu, pengetahuan, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, 30 April 2014


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT PENULIS ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8


(12)

1.4.2. Tujuan Khusus ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1. Bagi Peneliti ... 9

1.5.2. Bagi Institusi Akademik ... 9

1.5.3. Bagi Pengelola Gedung ... 9

1.6. Ruang Lingkup ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sick Building Syndrome (SBS) ... 11

2.1.1. Gejala-Gejala SBS ... 12

2.1.2. Penyebab Kejadian SBS ... 15

2.1.3. Pencegahan SBS ... 16

2.1.4. Pencemaran Udara ... 17

2.2. Kualitas Udara dalam Ruang ... 19

2.2.1. Kualitas Fisik ... 21

2.2.2. Kualitas Kimia ... 25

2.2.3. Kualitas Mikrobiologi ... 29

2.2.3.1. Bakteri ... 30

2.3. Morfologi Bakteri ... 41

2.4. Konstruksi Bangunan ... 47

2.5. Kondisi Fisik Ruangan ... 47

2.5.1. Sistem HV AC ... 47

2.5.2. Kebersihan Ruang ... 50

2.6. Faktor Karakteristik Individu ... 51

2.6.1. Jenis Kelamin ... 51

2.6.2. Usia ... 51


(13)

2.6.4. Kebiasaan Merokok ... 53

2.6.5. Sensitifitas Karyawan Terhadap Asap Rokok ... 54

2.7. Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran ... 55

2.8. Kerangka Teori ... 58

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOSESIS 3.1. Kerangka Konsep ... 59

3.2. Definisi Operasional ... 61

3.3. Hipotesis ... 65

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 66

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 66

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 66

4.3.1. Rancangan Sampel ... 68

4.3.1.1. Perhitungan Jumlah Sampel ... 68

4.3.1.2. Teknik Sampling ... 69

4.3.1.3. Penentuan Kasus Gejala Fisik SBS...70

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 71

4.4.1. Sumber Data ... 71

4.4.2. Instrumen Penelitian ... 72

4.5. Pengolahan Data ... 78

4.5.1. Pengkodean ... 78

4.5.2. Pengeditan Data ... 79

4.5.3. Pembuatan Struktur Data dan File ... 80


(14)

4.5.5. Pembersihan Data ... 80

4.6. Analisis Data ... 80

4.6.1. Analisis Univariat ... 80

4.6.2. Analisis Bivariat ... 81

4.6.3. Analisis Multivariat ... 81

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Gedung X... 82

5.2. Analisa Univariat ... 83

5.2.1. Gambaran Gejala Fisik SBS ... 83

5.2.1.1. Penentuan Kasus Sick Building Syndrome ... 92

5.2.2. Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X ... 93

5.2.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 95

5.3. Analisa Bivariat ... 97

5.3.1. Hubungan Antara Jumlah Bakteri Patogen Udara dalam Ruang Kerja dengan Gejala Fisik SBS ... 98

5.3.2. Hubungan Antara Karaktristik Responden dengan Gejala Fisik SBS ... 99

5.3.2.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS ... 100

5.3.2.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS ... 100

5.3.2.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS ... 101

5.3.2.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS ... 101


(15)

5.4. Analisa Multivariat ... 103

BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Keterbatasan Penelitian ... 107

6.2. Gejala Fisik SBS pada Responden di Gedung X Tahun 2013 ... 108

6.3. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara dalam Ruang Kerja dengan Gejala Fisik SBS ... 111

6.4. Faktor Demografi ... 112

6.4.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS .... 113

6.4.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS ... 114

6.4.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS... 115

6.4.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala Fisik SBS ... 116

6.4.5. Hubungan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS ... 118

6.5. Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS ... 120

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan ... 125

7.2. Saran ... 126

7.2.1. Manajemen Gedung ... 126

7.2.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan ... 127


(16)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I. Analisis Statistik

Lampiran II. Kuisioner Lampiran III. Dokumentasi Lampiran IV. Surat Perizinan


(17)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Kerangka Teori ... 58 Bagan 3.1. Kerangka Konsep ... 59 Bagan 4.1. Langkah-Langkah Penentuan Responden ... 68


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tabel Indeks Masa Tubuh ... 52

Tabel 2.2. Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal ... 56

Tabel 2.3. Parameter Gas Pencemar ... 57

Tabel 3.1. Definisi Operasional ... 61

Tabel 5.1. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Jumlah Responden yang Mengeluhkan Gejala Fisik SBS ... 84

Tabel 5.2. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Lantai dan Perusahaan Tempat Responden Bekerja ... 86

Tabel 5.3. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Perusahaan Responden ... 87

Tabel 5.4. Gejala Fisik yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Saat Bekerja di Dalam Gedung ... 89

Tabel 5.5. Gejala yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Terakhir ... 90

Tabel 5.6. Frekuensi Responden yang Masih Merasakan Gejala-gejala SBS Setelah Keluar Gedung, Ketika Berlibur/Cuti, dan Waktu Dimana Gejala-gejala SBS Dirasakan Karyawan ... 91

Tabel 5.7. Kapabilitas (Kemampuan/Kualitas) Responden yang Berkurang dan Responden yang Meninggalkan Pekerjaan Dalam Satu Bulan Terakhir Karena Gejala-Gejala Fisik SBS ... 91

Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gejala Fisik SBS ... 92


(19)

Tabel 5.10.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Jenis Kelamin Karyawan ... 95 Tabel 5.10.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan

Sesuai Kebiasaan Merokok dalam Ruangan ... 96 Tabel 5.10.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan

Sesuai Umur dalam Ruangan ... 96 Tabel 5.10.4. Gambaran Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Status Gizi dalam Ruangan ... 97 Tabel 5.11. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang

Kerja Dengan Gejala Fisik SBS ... 98 Tabel 5.12. Hubungan Antara Karakteristik Responden (Jenis Kelamin, Status Gizi,

Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan Gejala Fisik SBS ... 99 Tabel 5.13. Hasil Analisis Bivariat antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis

Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok dan Sensitivitas

terhadap Asap Rokok dengan SBS ... 104 Tabel 5.14. Hasil Analisis Multivariat Pembuatan Model Variabel Independen dengan

Keluhan SBS ... 105 Tabel 5.15. Hasil Akhir Analisis Permodelan Independen ... 106 Tabel. 5.16. Hasil Akhir Multivariat dengan Gejala SBS ... 104


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bentuk-Bentuk Bakteri Basil ... 45 Gambar 2.2. Bentuk-Bentuk Bakteri Kokus ... 46 Gambar 2.3. Bentuk-Bentuk Bakteri Spiral ... 46


(21)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Udara bersih merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan vital untuk bernapas akan tetapi juga udara yang memenuhi syarat kesehatan berpijak pada kebutuhan masyarakat akan udara bersih sehat ini, program pengendalian pencemaran udara menjadi salah satu dari sepuluh program unggulan dalam pembangunan kesehatan Indonesia 2010 (Esi, 2010).

Bangunan gedung bertingkat merupakan sarana yang vital sebagai tempat melakukan segala aktivitas baik untuk sebagai kantor, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, gedung bertingkat yang ada saat inipun dibuat semakin modern dengan berbagai fasilitas yang lengkap demi menunjang pesatnya laju pertumbuhan pembangunan. Berbagai kelengkapan fasilitas yang ada terkadang dibuat tanpa mengindahkan kesehatan dan kenyamanan para pekerja yang ada di dalamnya. Studi tentang pengukuran kualitas udara di dalam gedung dan sarana tranportasi telah menunjukan bahwa konsentrasi pencemar udara dalam ruangan cenderung lebih tinggi dibandingkan di luar ruangan. Udara di dalam ruangan terdiri dari campuran yang kompleks (NRC, 1991; Spengler dan Sexton, 1983; Samet dan Spengler, 2003; Gold, 1992).


(22)

Ruangan merupakan suatu tempat aktifitas manusia, hampir 90% waktu yang dihabiskan manusia di dalam ruangan, jauh lebih lama dibandingkan di udara terbuka. Beberapa penelitian telah menunjukan di mana udara dalam ruangan sering kali lebih kotor atau lebih tinggi zat pencemarnya dibandingkan udara di luar (Codey, 2004). Menurut US. EPA (1995), udara dalam ruangan 5 kali lebih kotor daripada di luar ruangan.

Suatu lingkungan kerja dengan kualitas udara dalam ruangan yang tidak terawat dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang akan berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatkan absen kerja serta peningkatan biaya perawatan kesehatan bagi perusahaan (Splenger et al., 2004; Brightman dan Moss, 2004). Menurut Badan Kependudukan Nasional (BAKNAS) pada tahun 2001, di seluruh dunia diperkirakan 2,7 juta jiwa meninggal diakibatkan indoor pollution atau polusi udara di dalam ruangan.

Kualitas udara dalam ruang selain dipengaruhi oleh keberadaan agen abiotik juga dipengaruhi oleh agen biotik seperti partikel debu, dan mikroorganisme termasuk di dalamnya bakteri, jamur, virus dan lain –lain (Salo, et al 2006 dalam Esi, 2010). Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya dalam bentuk spora jamur terdapat pada tempat-tempat seperti sistem ventilasi, karpet yang bisa menimbulkan kesakitan pada beberapa orang yaitu menyebabkan alergi. Selain itu kelembaban sebagai pemicu tumbuhnya bakteri dan jamur juga berhubungan secara


(23)

signifikan terhadap kejadian alergi pada anak-anak usia prasekolah (Bornehag, 2005 dalam Esi, 2010).

Berbagai keluhan dan gejala yang timbul saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisinya membaik setelah keluar dari gedung, kemungkinan karena menderita Sick Bulding Syndrome (SBS). Kasus SBS tidak menunjukan gejala yang khas dan secara obyektif tidak dapat diukur. Gejalanya berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai masalah pernapasan. Keluhan lain yang sering dijumpai adalah batuk kering, migrain, sakit kepala, mata memerah, kembung pada bagian perut dan lain sebagainya. Gejala tersebut sulit dicari penyebab yang nyata dan akan dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004).

Empat faktor utama yang mempengaruhi SBS adalah faktor fisik seperti suhu, kelembaban, ventilasi, pencahayaan dan ergonomik. Faktor kimia seperti merokok dalam ruangan, gas-gas CO2, CO, NO2 dan SO2, bau. Faktor biologi ialah bakteri dan jamur. Faktor psikologis seperti kondisi kejiwaan (stres, hubungan antara atasan dan rekan kerja dan kesiapan bekerja/pribadi) (European Concerted Action, 1989 dan Utomo, 1995).

SBS yaitu kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara ruangan. Gejala-gejala tersebut seperti pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, rongga mulut sakit, rongga mulut kering, badan panas dingin, mual, tidak nafsu makan, lesu,


(24)

kelelahan, pegal-pegal anggota tubuh dan kulit gatal. Penilaian Indoor Air Quality (IAQ) pada beberapa perkantoran menggunakan pendingin ruangan (AC) di Hongkong (Ooi, 1998) menyebutkan bahwa kontribusi terbesar yang menyebabkan ketidaknyamanan adalah Total Volatile Organic Compounds (TVOC), Indoor airbone fungi count diidentifikasi terdapat pada beberapa ruang publik pada penelitian di Taiwan yaitu dari beberapa jenis bakteri Staphylococcus spp., Micrococcus spp., Corynebacterium spp., dan Aspergillus spp (Li, 2009). Meskipun dari jumlah koloni yang berhasil ditemukan masih berada di bawah ambang batas, akan tetapi keberadaan jenis bakteri dan jamur di udara ini perlu diwaspadai untuk mengantisipasi kejadian SBS.

Bakteri patogen yang menjadi salah satu faktor penyebab gejala SBS sering menyebabkan rinitis alergi dan asma bronkial. Mikroorganisme bermacam tipe bakteri patogen dapat mengkontaminasi sistem pendingin atau pemanas udara sentral dan dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas dan humidifier fever. Pneumonitis hipersentivitas menyebabkan inflamasi di alveoli dan bronkiolus akibat dari respons imun terhadap organisme tersebut. Pajanan dalam waktu lama dapat menyebabkan fibrosis paru. Humidifier fever menyebabkan gejala demam, nyeri sendi dan nyeri otot. Sering terjadi pada musim dingin dan hilang ketika orang tersebut tidak terpajan organisme tersebut kembali (Lyles et al., 1991).

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia/Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (IAKMI/KFMUI) melakukan penelitian terhadap 350


(25)

karyawan dari 18 perusahaan di wilayah DKI Jakarta selama Juli-Desember 2008. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 50% karyawan yang bekerja di dalam gedung perkantoran mengalami SBS (Guntoro, 2008).

Beberapa penelitian tentang SBS menunjukan bahwa faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, status gizi serta gaya hidup berpengaruh terhadap kejadian SBS. Penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya (NIOSH, 1989). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Esi Lisyastuti tahun 2010 menyatakan bahwa jenis kelamin wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria. Sebanyak 70% dari jumlah karyawan wanita mengalami SBS (Esi, 2010).

Gedung X merupakan gedung perkantoran bertingkat yang didesain dengan jendela tertutup dan ventilasi buatan (air conditioning) yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara dan tidak sehatnya udara dalam gedung. Halaman gedung yang digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor dapat dikatakan relatif dekat dengan sumber polusi udara luar gedung.

Menurut Heimlich (2008), pada bangunan yang tertutup udara tidak dapat bergerak secara bebas dan polutan dapat terakumulasi di dalam ruangan. Kondisi tersebut dapat memicu kuman dan zat kimia beracun yang ada dalam gedung untuk


(26)

bereaksi, sehingga kualitas udara dalam ruangan menjadi buruk dan dapat menimbulkan kejadian SBS.

Untuk itu, pada penelitian ini peneliti bermaksud untuk meneliti hubungan antara jumlah koloni mikroorganisme di udara dalam ruangan dan faktor demografi dengan kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X tahun 2013.

1.2Perumusan Masalah

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi antara lain kondisi bangunan, elemen interior, fasilitas pendingin ruangan, pencemar kimia dan pencemar biologi. Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi yaitu bakteri yang ditengarai menjadi salah satu sebab kejadian SBS. Kondisi kesakitan akibat mikroba udara dalam ruangan bersifat akut akan tetapi bisa mengganggu penghuni dalam ruangan khususnya responden penelitian.

Parameter untuk mengukur kualitas udara dalam ruangan adalah parameter fisik (debu/partikulat), kimia (zat-zat beracun yang terdapat dalam ruangan gedung), dan biologi (jamur dan bakteri). Dari ketiga parameter di atas, faktor biologi yang berupa kontaminasi mikroba di udara berdasarkan penelitian NIOSH dan EPA mempengaruhi 5% pencemaran udara dalam ruangan (NIOSH, 1997).

Gedung X menggunakan pendingin ruangan Air Conditioner (AC) Central yang rawan menjadi faktor penyebarluasan bakteri udara dalam ruang. Selain itu belum pernah dilakukan pengukuran kualitas bakteriologis udara dalam ruangan di gedung


(27)

tersebut dan gedung X tidak memiliki data mengenai kejadian gejala fisik SBS menjadi alasan untuk melakukan penelitian tentang faktor mikrobiologi dikaitkan dengan kejadian gejala fisik SBS.

1.3Pertanyaan Penelitian

1. Berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan kerja responeden penelitian di gedung X

2. Bagaimana distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian di gedung X, yaitu jenis kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sesnitivitas responden terhadap asap rokok.

3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.

4. Bagaimana hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X

5. Bagaimana hubungan faktor demografi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X yaitu jenis kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan merokokdalam ruang, dan sensitivitas terhadap asap rokok.

6. Faktor apakah yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.


(28)

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dan faktor demografi terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan kerja responden penelitian di gedung X

2. Mengetahui distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian di gedung X, yaitu jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas responden terhadap asap rokok 3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada

responden penelitian gedung X

4. Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan gejala fisik SBS pada pekerja di gedung X

5. Mengetahui hubungan faktor demografi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian gedung X, yaitu jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi, kebiasaan merokok dalam ruang, dan sensitivitas terhadap asap rokok.

6. Mengetahui faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.


(29)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti

Peneliti mampu melakukan pengukuran parameter biologi untuk menentukan kualitas udara dalam suatu ruangan gedung perkantoran dan menghubungkannya dengan gejala-gejala fisik SBS pada responden di dalam gedung.

1.5.2 Bagi Institusi Akademik

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keilmuan Kesehatan Lingkungan khususnya dalam topik pengaruh kualitas udara dalam ruangan terhadap kejadian gejala fisik SBS.

1.5.3 Bagi Pengelola Gedung

Memberikan gambaran gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X dalam meningkatkan mekanisme mengkaji dan melakukan evaluasi untuk perbaikan berkelanjutan dalam perencanaan pengelolaan program perbaikan lingkungan bekerja khususnya kualitas udara dalam ruang.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan pada responden penelitian di gedung X. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional. Dari ketiga parameter kualitas udara dalam ruangan (parameter fisika, kimia, biologi) peneliti mengkhususkan pada


(30)

parameter biologi yaitu pengukuran jumlah koloni bakteri patogen dengan pengambilan sampel satu gedung dan hasilnya dibandingkan dengan standar baku mutu yang berlaku secara nasional menurut Kepmenkes No.1405 tahun 2002, dan dihubungkan dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung tersebut. Sebagai pendukung, peneliti menggunakan data primer, yaitu hasil pengukuran jumlah koloni bakteri pada titik pengambilan sampel, wawancara dengan pihak teknisi gedung mengenai yang karakteristik gedung, sistem ventilasi digunakan dan frekuensi pembersihannya, serta kuesioner yang disebarkan ke responden penelitian. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang berupa data hasil observasi dan denah gedung.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sick Building Syndrome (SBS)

SBS adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. SBS adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung serta kualitas udara (Heimlich, 2008). Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. SBS adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan keluhan ketidaknyamanan seperti pusing, mual, dermatitis, iritasi saluran tenggorokan, hidung, mata dan saluran pernapasan, batuk, sulit konsentrasi, mual terhadap bau-bau, sakit/pegal otot-otot dan letih (Nasri, dkk, 1998).

SBS mulai diperkenalkan di era tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan High Building Syndrome (HBS) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS). Dari penelitian yang dilakukan oleh NIOSH pada tahun 1978-1988, SBS dapat ditemukan pada gedung perkantoran ataupun pada gedung-gedung biasa dengan karakteristik kualitas udara yang buruk. SBS identik dengan sindrom gedung tinggi


(32)

(High Building Syndrome) karena kejadiannya terjadi pada gedung-gedung pencakar langit. Namun NIOSH melalui kajian-kajiannya pada rentang waktu tersebut menemukan fakta bahwa kejadian SBS dialami juga oleh gedung perkantoran non pencakar langit yang karakteristik kualitas udara ruangannya buruk (NIOSH, 1989., Perry & Gee, IL., 1995).

2.1.1 Gejala-gejala SBS

Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung besar kemungkinan karena menderita SBS. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur. Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004).

Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi menunjukan standar tertentu, misalnya beberapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat bekerja di gedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur. Keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya (EPA, 1998).


(33)

EPA (1991) membagi keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung.

Menurut Aditama (2002), membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagai berikut:

1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair

2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering

3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi 4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa

berat di dada

5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal 6. Gangguan saluran cerna, seperti diare

7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran saluran kering, dll.

Indikator SBS yang dikutip dari EPA Indoor Air Facts No. 4 (1991): a. Pekerja dalam gedung mengeluhkan gejala-gejala ketidaknyamanan akut

seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan berkonsentrasi, lelah dan bau


(34)

b. Penyebab dari gejala-gejala tidak diketahui

c. Kebanyakan pekerja sembuh setelah meninggalkan gedung

SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30% responden di dalam gedung (WHO, 2005).

Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria WHO terdiri dari: - Iritasi mata, flu tenggorokan

- Kekeringan membran mukosa/bibir - Kulit kering, merah dan gatal-gatal - Sakit kepala dan mental fatigue

Seseorang dikatakan terkena gejala SBS apabila menderita 2/3 dari sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, kulit gatal-gatal, mata pedih, mata kering, mata tegang, pilek, pegal pegal, sakit leher/punggung dalam waktu bersamaan. Seseorang disebut terkena SBS apabila terdapat lebih dari 20%-50% responden mempunyai keluhan tersebut di atas. Akan tetapi apabila hanya 2-3 orang, maka kejadian tersebut hanya diindikasikan flu biasa (Aditama, 1991). Menurut Brinke (1995) orang dikatakan terkena gejala SBS apabila memiliki satu atau lebih gejala yang sedikitnya satu kali dialami dalam satu minggu. Seseorang dikatakan terjangkit SBS apabila gejala muncul lebih dari dua kali per minggu selama jam kerja dan pulih setelah meninggalkan gedung (Finnegan dalam Isyana Dewi, 2005).


(35)

Faktor-faktor pada kondisi ruangan yang potensial menjadi penyebab timbulnya SBS antara lain penurunan kualitas udara dalam ruang, kepadatan manusia, bahan material ruangan, dekorasi interior, sistem ventilasi dan pernapasan, keberadaan jamur dan bakteri, gas berbahaya dan radiasi (Godish, 1989. Moseley, 1990. Roe FJC, 1994).

Salah satu keluhan yang biasanya muncul adalah kulit kering, khususnya terjadi pada pekerja perempuan. Keluhan ini dapat dimasukkan ke dalam gejala SBS apabila pekerja merasa sembuh setelah libur atau tidak masuk gedung dalam jangka waktu yang lama. Penyebab kekringan pada kulit biasanya adalah udara kering yang panas atau AC yang berlebihan sehingga menyebabkan beberapa macam dermatitis/penyakit kulit. Selain kekeringan, iritasi atau kulit keriput pun dapat terjadi dikarenakan pajanan/kontaminasi dari bahan-bahan tertentu. Selain itu, SBS juga dapat memperburuk penyakit dan masalah kesehatan yang telah ada, seperti sinusitis dan eczema, tetapi kedua penyakit tersebut tidak dimasukkan dalam gejala-gejala SBS yang umum terjadi (Burroughts, 2004). 2.1.2 Penyebab Kejadian SBS

Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan bahan kimia di dalam gedung merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya SBS (Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan AC yang tidak terawat dengan baik (Apter et al., 1994).

European Concerted Action (1989) membagi ke dalam 4 faktor utama penyebab SBS yaitu;


(36)

a. Faktor fisik meliputi suhu, kelembaban, ventilasi, pencahayaan, kebisingan, dan getaran, ion-ion dan debu (partikel atau serta).

b. Faktor kimia meliputi merokok dalam ruangan, formaldehid, volatile organic compounds, bioaerosol, gas-gas seperti CO, NO2, O3, SO2 dan bau

c. Faktor biologi meliputi keberadaan jamur dan bakteri di udara dalam ruang. d. Faktor psikologis meliputi stress dan beban kerja.

2.1.3 Pencegahan SBS

Pencegahan SBS harus dimulai sejak perencanaan sebuah gedung, penggunaan bahan bangunan mulai pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, bahan, perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata letak peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar gedung didesain berdinding tipis serta memiliki ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas, partikel dan mikoorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali mejadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di dalam ruangan (Anies, 2004).

Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan yang sumbernya berada dalam ruangan seperti bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan lain sebagainya sebaiknya diletakkan di dalam ruangan khusus yang berventilasi atau


(37)

lantai secara rutin harus dibersihkan dengan penyedot debu apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian, demikian juga untuk pembersihan AC harus secara rutin dibersihkan (Anies, 2004). Hindari pula menyalakan AC secara terus menerus. AC perlu dimatikan supaya kuman tidak berkembang biak di tempat lembab. Ketika AC mati, jendela-jendela perlu dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panas matahari akan membunuh sebagian besar kuman (Hidayat, 2005).

Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak terkait dengan jarak pajanan peralatan yang menghasilkan radiasi elektromagetik tidak hanya dipandang dari segi ergonomik, tetapi juga kemungkinan dapat menimbulkan SBS (Anies, 2004).

2.1.4 Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Definisi lain dari pencemaran udara adalah peristiwa pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan udara akibat kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan karakeristik udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik. Atau dengan singkatan dapat dikatakan bahwa nilai lingkungan udara tersebut telah menurun (Hutagalung, 2008).


(38)

Bedasarkan Peraturan Pemerintah RI No.40 tahun 1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimaksudnya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya.

a. Sumber Pencemar Udara

Industri dianggap sebagai sumber pencemar karena aktivitas industri merupakan kegiatan yang sangat tampak dalam pembebasan berbagai senyawa kimia ke lingkungan. Sebagian jenis gas dapat dipandang sebagai pencemar udara apabila konsentrasi gas tersebut melebihi tingkat konsentrasi normal dan dapat berasal dari sumber lain sperti gunung api, rawa-rawa, kebakaran hutan, dan nitrifikasi dan denitrifikasi biologi serta berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources) seperti pengangkutan, transportasi, kegiatan rumah tangga, industri, pembangkitan daya yang menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran sampah, pembakaran sisa pertanian, pembakaran hutan, dan pembakaran bahan bakar (Hutagalung, 2008).

Pengelompokan ini sesuai dengan klasifikasi sumber pencemar udara yang ditetapkan oleh WHO tahun 2005, yaitu:

1. Sumber berupa titik (point sources) yang berasal dari sumber individual menetap dan dibatasi oleh luas wilayah kurang dari 1x1 km2


(39)

2. Garis (lines sources) adalah sumber pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan kereta;

3. Area (area sources) adalah sumber pencemaran yang berasal dari sumber titik tetap maupun sumber garis.

Pencemar udara dilepaskan sebagai polutan primer, maupun polutan sekunder yang terbentuk akibat reaksi yang terjadi di udara. Polutan primer adalah polutan yang dilepaskan ke udara dari sumbernya seperti cerobong pabrik atau kenalpot kendaraan bermotor, yang termasuk polutan primer adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon monoksida, senyawa volatile organik, partikel karbon dan nonkarbon. Polutan sekunder terbentuk di udara akibat reaksi dari polutan primer, yang dapat melibatkan unsur alami di alam yaitu oksigen dan air. Yang termasuk polutan skunder adalah ozon, oksida nitrogen dan bahan partikel sekunder (WHO, 2005).

Berdasarkan tempat karakteristik pencemaran udara dibedakan menjadi pencemaran udara di luar ruangan dan di dalam ruangan. Pencemaran udara di dalam ruangan dapat terjadi di dalam rumah, sekolah maupun tempat kerja (Sudrajat, 2005).

2.2 Kualitas Udara Dalam Ruang

Kualitas udara dalam ruangan adalah istilah yang mengacu pada kualitas udara di dalam dan di sekitar bangunan dan struktur, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. Kualitas udara dalam ruang dapat


(40)

dipengaruhi oleh gas (karbon monoksida, radon, senyawa organik yang mudah menguap), partikulat, kontaminan mikroba (jamur, bakteri) atau massa atau energi stressor yang dapat menimbulkan kondisi yang merugikan kesehatan. Penggunaan ventilasi untuk mencairkan kontaminan merupakan metode utama untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruangan gedung (EPA, 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah aktivitas penghuni ruangan, material bangunan, furnitur dan peralatan yang ada di dalam ruang, kontaminasi pencemar dari luar ruang, pengaruh musim, suhu dan kelembaban udara dalam ruang serta ventilasi (Hardin dan Tinlley, 2003).

Sedangkan menurut US-EPA (1995) ada empat elemen yang berpengaruh dalam indoor air quality yaitu:

1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar atau dari sistem operasional mesin yang berada dalam ruangan

2. Heating Ventilation and Air Conditioning System (HVAC) 3. Media yaitu berupa udara

4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut mempunyai riwayat pernapasan atau alergi.

Dalam Indoor Air Quality Handbook (Spengler, et al 2000), SBS dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Suhu dan kelembaban 2. Konsentrasi partikulat


(41)

4. Konsentrasi gas (NO2, CO2,CO, dll)

5. Jumlah mikroorganisme (jamur dan bakteri). 2.2.1 Kualitas Fisik

a. Suhu Udara

Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan muskeler. Suhu udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi di mana karyawan tidak bekerja dengan tenang karena berusaha untuk menghilangkan rasa dingin (Prasasti, dkk, 2005). Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan. Menurut Standar Baku Mutu sesuai Kepmenkes No.261, suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 18-26 o

C.

Kualitas udara dalam ruang tidak hanya dipengaruhi oleh adanya pencemaran tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang tersebut (Pudjiastuti, dkk, 1998).

Peningkatan suhu di atas 230 C dengan gejala SBS juga merupakan penemuan yang konsisten. Terdapat hubungan antara peningkatan temperatur, overcrowding, dan ventilasi yang tidak memadai dengan gejala


(42)

SBS pada studi Burge tahun 2004, tetapi kompleksitas ini dapat menyebabkan hubungan suhu dengan SBS menjadi rumit untuk ditarik sebagai faktor penyebab.

Suma’mur (1997) menyatakan bahwa suhu dingin dapat mengurangi

efisiensi dengan timbulnya keluhan kaku ataupun kurangnya koordinasi otot sedangkan kondisi udara yang panas dapat menurunkan prestasi kerja, kualitas udara dalam ruangan dan mempengaruhi kenikmatan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruangan tersebut.

Menurut Walton (1991), suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Lennihan dan Fletter (1989), mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran napas oleh agen yang menular.

Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambien dan meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relatif, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman. Dengan kata lain udara kering pada temperatur rendah sampai dengan


(43)

normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi (Pudjiastuti, 1998).

b. Kelembaban Udara

Air bukan merupakan polutan, namun uap air merupakan pelarut berbagai polutan dan dapat mempengaruhi konsentrasi polutan di udara. Uap air dapat menumbuhkan dan mempertahankan mikroorganisme di udara dan juga dapat melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal dari bahan bangunan seperti formaldehid, amonia dan senyawa lain yang mudah menguap, sehingga kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa kimia lain lalu menjadi uap dan akan terpajan pada pekerja (Fardiaz, 1992). Ruang yang lembab dan dinding yang basah akan sangat tidak nyaman dan mengganggu kesehatan manusia (Pudjiastuti, dkk, 1998).

Kelembaban dan suhu yang ekstrim juga menjadi media pertumbuhan beberapa jenis bakteri dan jamur. Sebagai contoh jamur dapat tumbuh dalam suasana anaerob dengan kelembaban udara lebih dari 65%

(Suma’mur, 1997).

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 2002). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu:

1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada


(44)

Secara umum penilaian kelembaban dalam ruang dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam ruang kerja adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <40% atau >60% (Depkes RI, 2002).

Kelembaban yang relatif tinggi antara 25%-75% langsung mempengaruhi tingkat spora jamur, dan terjadi pula peningkatan pertumbuhan pada permukaan penyerapan air (Pudjiastuti, dkk, 1998). Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Prasasti, dkk, 2005).

Kelembaban udara dalam ruangan sangat tergantung pada suhu udara luar. Kelembaban udara yang sesuai standar kualitas udara dalam ruangan tidak terbukti menunjukkan hubungan SBS (Burge, 2004). Terdapat banyak faktor yang menentukan kelembaban baik atau buruk. Baik humidifiers, maupun dehumidifiers ternyata dapat juga menjadi potensi masalah, yaitu air yang terbuang dapat menjadi stagnant sehingga dapat menjadi penyebab peningkatan gejala SBS. Pada banyak gedung, chillers terdapat di roof top sehingga perawatannya menjadi sulit (Burge, 2004).

Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban


(45)

Baku Mutu kelembaban udara menurut Kepmenkes No. 261 adalah 40-60% (Mukono, 2005).

2.2.2 Kualitas Kimia

a. Konsentrasi Partikulat

Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam komponen. Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan yang mengendap dalam partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari pemecahan unsur hidrokarbon dan proses oksidasi setelahnya. Dalam debu tersebut terkandung debu sendiri dan beberapa kandungan metal oksida. Dalam proses ekspansi selanjutnya di atmosfir, kandungan metal dan debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction), debu, SO4, dan H2O. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah butiran-butiran halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan menjadi partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh molekul sulfur. (Bapedal, 2002).

Particulate Matter (PM) terdiri dari berbagai jenis komponen termasuk diantaranya nitrat, ammonia, karbon, air, debu mineral, dan garam. PM terdiri dari campuran kompleks antara padatan dan cairan baik organik maupun anorganik. PM berefek negatif terhadap lebih banyak


(46)

orang dibandingkan polutan lainnya. Partikulat dikategorikan berdasarkan ukuran diameter aerodinamisnya. Pembagian tersebut diantaranya adalah PM10 (Partikulat dengan diameter aerodinamis <10 μm) dan PM 2,5 (Partikulat dengan diameter aerodinamis <2,5 μm). PM 2,5 memiliki bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan PM 10. Hal ini disebabkan karena PM 2,5 dapat berpenetrasi dan memberikan efek sampai dengan daerah bhronkiolus pada paru-paru.

Paparan terhadap partikulat berkontribusi terhadap peningkatan resiko terkena peningkatan resiko terkena penyakit kardiovaskular dan pernafasan, bahkan berkontribusi terhadap peningkatan resiko kanker paru. Kadar PM 10 dalam ruangan berdasarkan OSHA PEL-TWA ( Occupational Safety and Health Administration; Permissible Exposure Limit-Total Weight Average) dan ACGIH TLV-TWA (American Conference of Governmental Industrial Hygienists; Threshold Limit Values – Total Weight Average) berturut-turut adalah 0,15 mg/m³ dan 0,10 mg/m³. Di Indonesia khususnya di Jakarta Per Gub DKI Jaya No 54/2008 mensyaratkan kadar PM 10 maksimal dalam ruangan sebesar 90 μg/m³. Sedangkan EPA (1997)

menetapkan batasan PM 2,5 15 μg/m³.

b. Volatile Organic Compound (VOC)

Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar dari aerosol yang ada di dalam ruang. Dikarenakan jumlah spesies bahan


(47)

kuantifikasi dari kimia organik yang tercampur, maka kontaminasi senyawa organik (VOC) di dalam ruangan belum dapat diketahui dengan baik sampai saat ini. Menurut Bortoli dari senyawa-senyawa yang telah dilakukan studi, senyawa paling banyak teridentifikas meliputi toluene, xylene dan apinene. (Pudjiastuti, 1998).

Beberapa senyawa organik volatile yang ditemukan di dalam ruangan telah menunjukkan adanya hubungan dengan sejumlah gejala penyakit. Beberapa gejala penyakit yang ada di dalam ruang yang banyak dijumpai yaitu sakit kepala, iritasi mata dan selaput lendir, iritasi sistem pernapasan, drowsiness (mulut kering), fatigue (kelelahan), malaise umum.

c. Konsentrasi Gas (NO2, CO2, CO, dll) 1. Nitrogen Oksida (NO2)

Gas ini adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO2 bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru terkontaminasi oleh gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas dan mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernafasan, bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Sunu, 2001).


(48)

2. Karbon Dioksida (CO2)

Karbon dioksida (CO2) dalam gedung bisa diemisikan dari pembakaran mesin-mesin seperti genset, namun demikian mayoritas CO2 diemisikan oleh para penghuni gedung. Umumnya konsentrasi CO2 dalam gedung adalah antara 350-2500 ppm. Treshold Limit Value-Time Weighted Average (TLV-TWA) CO2 yang diperkenankan adalah sampai 1000 ppm. Di Indonesia khususnya DKI Jakarta Per Gub DKI Jaya no. 54 tahun 2008 dapat dijadikan sebagai acuan dengan kadar maksimal CO2 yang diperkenankan dalam ruangan sebesar 0,1%. Berdasarkan studi BASE konsentrasi CO2 di udara dalam ruangan secara statistik memiliki hubungan positif dengan kejadian SBS. 70% bangunan dengan ventilasi mekanik dan menggunakan airconditioner dalam studi menunjukkan hubungan yang signifikan antara CO2 dan SBS. (EPA, 2002).

3. Karbon Monoksida (CO)

Karbon Monoksida (CO), komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5% dari berat air dan tidak dapat larut dalam air. CO yang terdapat di alam terbentuk dari satu proses sebagai berikut pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon, reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi. Pada suhu tinggi karbon dioksida terurai menjadi karbon monoksida dan atom O (Wardhana, 2004). CO dapat menyebabkan masalah pencemaran


(49)

bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang berada di tengah lalu lintas. CO dalam gedung bisa didapatkan dari pembakaran tidak sempurna seperti genset dan asap rokok, selain juga dari kontaminan luar yang masuk malalui sistem ventilasi. Karena CO merupakan gas yang tidak berbau dan memiliki afinitas lebih tinggi terhadap hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen. Dengan demikian apabila terhirup, CO akan menggantikan oksigen Hb, sehingga dapat mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan pengurangan kemampuan kerja sampai dengan kematian. Kadar CO dalam ruangan berdasarkan ASHRAE, OHSA PEL-TWA dan ACGIH TLV-TWA berturut turut adalah 9 ppm, 50 ppm, dan 25 ppm. Di Indonesia Kep. Men Kes. No 1405/2002 dan Per. Gub DKI Jaya No 54/2008 berturut-turut mensyaratkan kadar CO maksimal dalam ruangan sebesar 25 ppm dan 8 ppm untuk pengukuran 8 jam.

4. Ozon (O3)

Menurut Burkin et.al (2000) dalam Seganda (2010), sumber utama ozon dari kegiatan manusia dalam ruangan berasal dari mesin fotokopi, pembersih udara elektrostatis, dan udara luar. Ozon dapat menyebabkan iritasi pada mata dan bersifat toksik terhadap saluran pernafasan, paparan ozon secara akut mengakibatkan sakit kepala, kelelahan dan batuk. Kadar O3 dalam ACGIH TLV-TWA berturut-turut adalah 0,05 ppm (untuk jerka keras), 0,08 ppm (untuk kerja moderat) dan 0,10 ppm (untuk kerja ringan).


(50)

2.2.3 Kualitas Mikrobiologi

Mikroorganisme dapat muncul dalam waktu dan tempat yang berbeda. Pada penyebaran lewat udara, mikroorganisme harus mempunyai habitat tumbuh dan berkembang biak (Brown, 2006). Seringkali mikroorganisme ditemukan tumbuh pada air yang menggenang atau permukaan interior yang basah. Selain itu mikoorganisme juga dijumpai pada sistem ventilasi atau karpet yang terkontaminasi (Flannigan, 1992). Standar parameter bilogi udara dalam ruangan mengacu pada Kepmenker No.1405 Tahun 2002, yaitu 700 koloni/m3.

Mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan luar seperti serbuk sari, jamur dan spora, dapat pula berasal dari dalam ruang seperti serangga, jamur, kutu binatang peliharaan dan bakteri. Mikroorganisme dapat menyebabkan alergi pernapasan seperti infeksi pernapasan dan asma. Mikroorganisme tersebar bersama-sama dengan aerosol yang ada di udara dikenal dengan istilah bioaerosol. Kebanyakan dari bioaerosol adalah non patogen dan hanya dirasakan oleh orang-orang yang sensitif. Setiap mikroorganisme dengan dapat menulari hanya pada keadaan panas tertentu (Pudjiastuti, dkk, 1998).

Walaupun kebanyakan ruangan yang tercemar merupakan akibat dari sumber-sumber di luar ruangan, situasi ruangan dapat menjadi tercemar berat oleh unsur biologi. Ruangan yang dibangun dengan adanya bioaerasi dapat mengakibatkan dua proses utama yaitu; material akan mengalir dan menumpuk dalam ruangan dan pertumbuhan nyata pada interior (Pudjiastuti, 1998).


(51)

2.2.3.1 Bakteri

Bakteri merupakan mahluk hidup yang kasat mata, dan dapat juga menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serta efek deteriorasi bagi gedung apabila tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan indoor (Sephen 2006, Setzenbach 1998). Gangguan kesehatan yang muncul dapat bervariasi tergantung dari jenis dan rute pajanan. Bakteri dalam gedung datang dari sumber luar (misalnya dari kerusakan tangga, endapan kotoran, dan sebagainya) serta dapat memberikan pengaruh bagi manusia seperti saat bernapas, batuk, bersin. Selain itu, bakteri juga didapati pada sistem cooling towers (seperti Legionella), bahan bangunan dan furniture, wallpaper, dan karpet lantai (Stephen, Bates 2000). Di dalam gedung, bakteri tumbuh dalam standingwater tempat water spray dan kondensasi AC.

Bakteri masuk melalui udara dalam suatu ruangan, khususnya yang menggunakan sitem Air Conditioning (AC). Sistem AC menyediakan lingkungan yang hangat dan basah bagi bakteri untuk berkembang biak. Selain itu, kondensasi atau penggunaan water spray juga akan menujang pertumbuhan bakteri dan menyediakan lingkungan yang lembab (Indoor Air Quality Handbook). Pekerja dalam ruangan tersebut akan terpajan oleh bakteri melalui aktifitas yang dilakukan secara langsung seperti bernapas dan bersin. Organisme ini masuk ke udara yang dibawa oleh sistem AC dalam ruangan tersebut. Sistem AC menyediakan kondisi yang hangat dan


(52)

panas bagi bakteri yang digunakan untuk berkembang biak. Sebagai bagian dari proses conditioning, udara yang lembab juga menjadi faktor pemicu bagi tumbuhnya bakteri (Indoor Air Quality in Australia a Strategy for Action).

Banyak bekteri, yang sebagian besar sebagai penyebab penyakit pada manusia, berasal dari reservoir di luar lingkungan yang sangat terkenal adalah legionella (Pudjiastuti, dkk, 1998). Legionella yang sering ditemukan pada sitem AC biasanya berasal dari timbunan semprotan pada cooling towers, terutama jika sistem AC tersebut kurang perawatan atau baru dinyalakan setelah beberapa waktu tidak dipakai. Bakteri ini akan memasuki ruangan apabila sistem AC berada dekat dengan cooling towers.

A. Bakteri Patogen (Todar, 2008)

Bakteri patogen adalah jenis-jenis bakteri yang menjadi biang penyakit pada makhluk hidup. Bakteri patogen ini bekerja dengan cara menginfeksi organisme dan sebagai akibatnya, muncul gejala-gejala abnormal yang kita kenali sebagai tanda-tanda penyakit. Sebagian dari bakteri patogen ini tidak terasa di tubuh, namun tak jarang pula yang menyebabkan penyakit serius semacam HIV, SARS, Flu Burung dan masih banyak lagi lainnya.

Dalam kajian ilmu biologi, dikenal kecenderungan karakteristik organisme yang sangat patogen sajalah yang bisa menyebabkan


(53)

mengakibatkan apa-apa. Bakteri yang jarang menyebabkan pemyakit tersebut dikenal dengan istilah patogen oportunis, yakni jenis bakteri yang tidak menyebabkan atau menimbulkan penyakit pada makhluk hidup dengan kompetensi umun atau daya tahan tubuh yang baik. Sebaliknya, jenis bakteri ini bisa memicu penyakit bagi mereka yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah. Jadi bisa disumpulkan bahwa bakteri patogen oportunis ini mengambil kesempatan dari menurunnya sistem pertahanan di dalam tubuh sang inang yang diinfeksi.

Mekanisme Bakteri Patogen

Invasi host oleh patogen dapat dibantu oleh produksi zat ekstraselular bakteri yang bertindak melawan tuan rumah dengan memecah pertahanan primer atau sekunder dari tubuh. Mikrobiologi medis disebut sebagai invasins. Kebanyakan invasins adalah protein (enzim) yang bertindak secara lokal untuk merusak sel inang dan/atau memiliki efek langsung memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran patogen. Kerusakan host sebagai akibat dari kegiatan invasif ini dapat menjadi bagian dari patologi penyakit menular.

Spreading factor adalah istilah deskriptif untuk keluarga bakteri yang mempengaruhi sifat matriks jaringan antar sel, sehingga meningkatkan penyebaran patogen.


(54)

Hialuronidase adalah faktor penyebaran asli. Hal ini dihasilkan oleh streptococci dan clostridia.

Kolagenase diproduksi oleh Clostridiumperfringens dan Clostridiumhistolyticum. Itu merusak kolagen,dan kerangka otot.

Neuraminidase yang dihasilkan oleh patogen usus seperti Vibriocholerae dan Shigella dysentriae. Ini mendegradasi asam neuraminic (asam sialic), sebuah antar sel dari jaringan sel-sel epitel mukosa usus.

Streptokinase dan staphylokinase diproduksi oleh streptokokus dan staphylococci. Enzim kinase mengkonversi plaminogen menjadi plasmin aktif yang mencerna fibrin dan mencegah pembekuan darah. Ketiadaan fibrin dalam menyebarkan lesi bakteri memungkinkan difusi yang lebih cepat dan infeksi.

Enzim-enzim ini biasanya bekerja pada membran sel hewan membentuk pori yang mengakibatkan lisis sel, atau dengan serangan enzimatik pada fosfolipid, yang membuat tidak stabilnya membran. Mereka disebut sebagai lecithinases atau phospholipases, dan jika mereka melisiskan sel darah merah maka mereka disebut hemolysins. Leukocidins, diproduksi oleh staphylococcus dan streptolysin diproduksi oleh streptokokus khusus melisiskan fagosit dan granular mereka. Kedua enzim ini juga dianggap exotoxins bakteri.


(55)

Phospholipases, Clostridium perfringens diproduksi oleh (yaitu, alpha toksin), menghidrolisis fosfolipid dalam membran sel dengan menghilangkan kelompok kepala kutub.

Lecithinases, juga diproduksi oleh Clostridium perfringens, menghancurkan lesitin (fosfatidilkolin) di membran sel.

Sifat Hemolysin pada bakteri adalah melisiskan atau melarutkan sel-sel darah merah. Hemolysins diproduksi oleh strain bakteri, termasuk staphylococci dan streptokokus. Bakteri Hemolysin disaring dan yang mengelompok di sekitar koloni bakteri pada medium kultur yang mengandung sel-sel darah merah. Hemolysins muncul untuk membantu kekuatan invasif bakteri.

Hemolysins, terutama yang diproduksi oleh staphylococci (yaitu, alpha toksin), streptokokus (yaitu, streptolysin) dan berbagai clostridia, mungkin akan membentuk saluran protein atau phospholipases atau lecithinases yang menghancurkan sel darah merah dan sel-sel lain (misalnya, fagosit) oleh lisis.

Bakteri Hemolisin dapat dipisahkan oleh berbagai jenis bakteri seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli atau Parahemolyticus Vibrio di antara patogen lain. Kita bisa melihat pada bakteri Staphylococcus aureus untuk mempelajari lebih tepatnya pembentukan pori-pori ini. Staphylococcus aureus adalah patogen


(56)

yang menyebabkan banyak penyakit infeksi seperti pneumonia dan sepsis.

Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran urogenital seperti:

1. Klebsiella

Klebsiaella pnewniniae kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan baktermia dengan lesi fokal pada pasien yang lemah.

2. Enterobacter Aerogenes

Menyerang saluran kemih menyebabkan infeksi nosokomial. 3. Proteus

Bakteri ini menyebabkan infeksi saluran kemih atau kelainan bernanah seperti asbes, infeksi luka, infeksi telingan atau saluran napas.

Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pernapasan seperti:

1. Pseudomonas Aeroginosa

Batang gram negatif 0,5-1,0 x 3,0-4,0 um. Mempunyai flagel polar kadang-kadang 2-3 flagel. Bakteri ini menyebabkan infeksi


(57)

pada saluran pernapasan bagian bawah, saluran kemih, mata, dan lain-lain

P. Aeroginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahanannya abnormal, mislanya selaput mukosa, kulit telinga dan menimbulkan penyakit sistemik.

2. Streptococcus pneumoniae

Streptococcus pneumoniae adalah sel gram positif berbentuk bulattelur seperti bola,secara khas terdapat berpasangan atau rentai pendek. Bakteri ini penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkhitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya.

Penularan penyakit ini dapat melalui berbagai cara, antara lain: ihalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar, aliran darah, dari infeksi di organ tubuh yang lain. Migrasi(perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-paru. Dapat menular pula melalui percikan air ludah.

3. Corybaterium diphtheriae

Corybaterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tidak bergerak.

Corybaterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang terinfeksi, atau orang normal yang


(58)

membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui doplet atau kontak langsung dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai mebghasilkan toksin.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri ini.

Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pencernaan yaitu:

1. Shigella sp.

Pendek, gram negatif, tunggal, tidak bergerak, tidak membentuk spora, aerobik atau anaerobik fakultatif.

Patogenesis Shigella sp.

Shigella mempenetrasi intraseluler epitel usus besar, terjadi perbanyakan bakteri, mengasilkan edoktoksin yang mempunyai kegiatan biologis, S.Dysenteriae menghasilkan eksotoksin yang mempunyai sifat neotoksik dan enterotoksik.

Infeksi Shigella sp. dapat diperoleh dari makanan yang sudah terkontaminasi, walaupun makanan itu terlihat normal. Air juga dapat menjadi salah satu hal yang terkontaminasi dengan bakteri ini.


(59)

2. Salmonella sp.

Ciri-ciri bakteri Salmonella sp. adalah berupa bakteri gram negatif, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, memiliki flagela bertipe peritrikus, dan anaerobik fakultatif. Masuk ke tubuh orang melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan adalah peradangan pada saluran pencernanaan sampei rusaknya dinding usus.

Patogenesis Salmonella sp. - Menghasilkan toksin LT. - Invasi ke sel mukosa usus halus

- Tanpa berproliferasi dan tidak mengahansurkan sel epitel

- Bakteri ini langsung masuk ke lamina propia yang kemudian menyebabkan infiltrasi sel-sel radang.

3. Vibrio colerae

Ciri-ciri bakteri ini adalah bakteri gram negatif, batang lurus dan agak lengkung, terdapat tunggal dan dalam rantai berpilin, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, bergerak dengan flagella bertipe tunggal polar, anaerobik fakultatif. Bakteri ini menyebabkan penyakit kolera yang menginfeksi saluran usus, bakteri ini masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin


(60)

(racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare disertai muntah yang akut.

4. Clostridium botulinum

Bakteri ini sering menimbulkan keracunan makanan, hal ini karena bakteri tersebut tumbuh dalam makanan dan menghasilkan toxin yang berbahaya bagi manusia. Gejala penyakitnya berupa tenggorokan terasa kering, penglihatan menjadi kabur,gangguan akomodasi, gangguan suara, kelumpuhan otot, gangguan jantung. Pencegahan dengan menjaga kebersihan makanan dan memasaknya sampai matang.

Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi kulit seperti: 1. Clostridium tetani

Penyakit yang ditimbulkan adalah tetanus, dengan infeksi melalui berbagai cara, yaitu: luka tusuk, patah tulang terbuka, luka bakar, pembedahan, penyuntikan, gigitan binatang, aborsi, melahirkan atau luka pemotongan umbilicus. Gejalanya berupa kaku dan kram pada otot sekitar luka, hypereflexi pada tendon extremitas yang dekat dengan luka, kaku pada leher, rahang, dan muka, dan gangguan menelan.


(61)

Merupakan bakteri penyebab penyakit antrax, yang biasanya menyerang hewan ternak. Namun pada perkembangannya penyakit tersebut dapat menular ke manusia melalui luka, inhalasi dan juga makanan.

3. Staphylococcus aureus

Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi bernanah dan asbes, infeksi pada folikel rambut dan kelenjar keringat, bisul, infeksi pada luka, meningitis, endokarditis, pneumonia, pyelonephritis, osteomyelitis. Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh, kebersihan pribadi, dan sanitasi lingkungan.

4. Mycobacterium leprae

Merupakan bakteri penyebab penyakit lepra, dengan gejala pertama berupa penebalan pada kulit yang berubah warna, berupa bercak keputih-putihan, hilang perasaannya. Bakteri ini dapat pula menyerang mata, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Pencegahannya dilakukan dengan mencegah kontak langsung dengan penderita dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Bakteri patogen memiliki salah satu sifat yang mengindikasikan bahwa bakteri itu benar-benar patogen yaitu dengan cara analisis bakteri hemolisis.


(62)

2.3 Morfologi Bakteri

Bakteri adalah kelompok terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil dan kebanyakan adalah uniseluler dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas (Pelczar, et al 2008).

a. Ciri-ciri bakteri

Berikut ini merupakan ciri-ciri bakteri dilihat dari susunan dan struksturnya (Pelczar, et al 2008):

1) Dinding sel tersusun atas mukopolisakarida dan peptidoglikan. Peptidoglikan terdiri atas polimer besar yang terbuat dari N-asetil glukosamin dan N-asetil muramat, yang saling berikatan silang dengan ikatan kovalen. Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif.

2) Sel bakteri dapat mensekresikan lendir ke permukaan dinding selnya. Lendir yang terakumulasi di permukaan terluar dinding sel akan membentuk kapsul. Kapsul ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang buruk. Bakteri yang berkapsul lebih sering menimbulkan penyakit dibandingkan dengan bakteri yang tidak berkapsul.

3) Membran sitoplasma meliputi 8-10% dari bobot kering sel dan tersusun atas fosfolipida dan protein. Fungsi utama membran sitoplasma adalah


(63)

oksidasi bahan makanan dan sebagai alat pengatur pengangkutan senyawa yang memasuki dan meninggalkan sel.

4) Sitoplasma dikelilingi oleh membran sitoplasma, dan tersusun atas 80% air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lemak, dan ion anorganik serta kromatofora. Di dalam sitoplasma terdapat ribosom-ribosom kecil. Selain itu terdapat RNA dan DNA. Terdapat pula DNA tertentu yang diselubungi protein sehingga membentuk genofor sirkuler.

5) Pada kondisi yang tidak menguntungkan bakteri dapat membentuk endospora yang berfungsi melindungi bakteri dari panas dan gangguan alam.

6) Bakteri ada yang bergerak dengan flagela dan ada yang bergerak tanpa flagela. Bakteri tanpa flagela bergerak dengan cara berguling. Setiap sel bakteri memiliki jumlah flagela yang berbeda. Berdasarkan jumlah dan letak flagela, bakteri dibedakan menjadi 4, yaitu:

- Bakteri monotrik, yaitu bakteri yang mempunyai satu flagela pada salah satu ujung selnya.

- Bakteri amfitrik, yaitu bakteri yang pada kedua ujung selnya mempunyai satu flagela.

- Bakteri lofotrik, yaitu bakteri yang pada salah satu ujung selnya memiliki seberkas flagela.


(64)

- Bakteri peritrik, yaitu bakteri yang pada seluruh tubuhnya terdapat flagela.

b. Bentuk-Bentuk Bakteri

Dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi lensa okuler mikrometer dan objektif mikrometer, ukuran bakteri dapat diketahui. Ukuran bakteri dinyatakan dalam satuan mikron. Panjang bakteri umumnya berkisar 0,1 – 0,2 mikron.

Bentuk bakteri sangat barvariasi, tetapi secara umum ada 3 tipe, yaitu: 1) Bentuk batang/silindris (basil)

2) Bentuk bulat (kokus) 3) Bentuk spiral (spirilium).

Variasi bentuk bakteri atau koloni bakteri dipengaruhi oleh arah pembelahan, umur, dan syarat pertumbuhan tertentu, misalnya makanan, suhu, dan keadaan yang tidak menguntungkan bagi bakteri.

1) Bentuk batang (silindris)

Bakteri bentuk batang (basil) dibedakan atas bentuk-bentuk sebagai berikut.

a) Basil tunggal, berupa batang tunggal

b) Diplobasil, berbentuk batang bergandengan dua-dua c) Streptobasil, berupa batang bergandengan seperti rantai.


(65)

Gambar 2.1. Bentuk-bentuk Bakteri Basil

2) Bentuk bulat

Bakteri berbentuk bulat (kokus = sferis/tidak bulat betul) dibagi menjadi bentul-bentuk sebagai berikut:

a) Monokokus; berbentuk bulat satu-satu

b) Diplokokus; bentuknya bulat bergandengan dua-dua

c) Streptokokus; memiliki bentuk bulat bergandengan seperti rantai, sebagai hasil pembelahan sel ke satu atau dua arah dalam satu garis d) Tetrakokus; berbentuk bulat terdiri dari 4 sel yang tersusun dalam

bentuk bujur sangkar sebagai hasil pembelahan sel ke dua arah. e) Sarkina; bentuknya bulat, terdiri dari 8 sel yang sersusun dalam

bentuk kubus sebagai hasil pembelahan sel ke tiga arah.

f) Stafilokokus; berbentuk bulat tersusun seperti kelompok buah anggur sebagai hasil pembelahan sel ke segala arah.


(66)

Gambar 2.2. Bentuk-bentuk Bakteri Kokus

3) Bentuk spiral

Bakteri berbentuk spiral dibagi menjadi:

a) Koma (vibrio); berbentuk lengkung kurang dari setengah lingkaran. b) Spiral; berupa lengkung lebih dari setengah lingkaran.

c) Spiroseta; berupa spiral yang halus dan lentur. Gambar 2.3. Bentuk-bentuk Bakteri Spiral


(67)

2.4 Konstruksi bangunan

Udara dalam ruangan yang tertutup dapat tercemar oleh beberapa polutan yang berasal dari luar gedung, dalam gedung, dari komponen atau konstruksi gedung, maupun dari aktivitas penghuni gedung tersebut (EPA, 1991).

Adapun sumber pencemar yang berasal dari komponen atau konstruksi bangunan seperti plafon, dinding, dan lantai mengandung senyawa kimia (asbes) dan dapat mengahasilkan partikulat yang membahayakan bagi kesehatan (Bi Nardi, 2003). Komponen dan konstruksi bangunan, seperti:

1) Ruangan yang mengeluarkan debu fiber karena permukaan yang dilapisi (penggunaan karpet, tirai dan bahan tekstil lainnya), peralatan interior yang sudah tua atau rusak, bahan yang mengandung asbestos dapat memicu terjadinya gejala SBS

2) Bahan kimia yang terdapat pada setiap kontruksi bahan bagunan atau peralatan interior mengandung senyawa organik dan VOCs.

2.5 Kondisi Fisik Ruangan 2.5.1 Sistem HV AC

Sistem HV AC (Heating, ventilating, and Air Conditioning) merupakan sistem alat yang bekerja unutk menghangatkan, mendinginkan, menyirkulasikan udara pada suatu bangunan, yang terdiri dari boiler atau furnace, cooling tower, chilling, air handling unit (AHU), exhaust fan, ductwork, steam, filter, fans (air


(68)

supply), make up-ai, (room exhaust), dampers, room air diffuser, dan return air grills. Komponen sistem HV AC pada umumnya terdiri dari:

 Pemasukan udara dari luar ruangan

 Pencampuran air plenum dengan kontrol udara outdoor

 Penyaringan udara

 Gulungan pendingin.

Berdasarkan Building Code of Australia (2005) serta EPA (1991), suatu desain dan sistem HV AC berfungsi untuk:

a. Memenuhi kebutuhan thermal comfort

Sistem HV AC berfungsi untuk memenuhi kenyamanan pengguna gedung. Tingkat pemenuhan kebutuhan thermal comfort ini akan tergantung pada kemerataan suhu pada ruangan, panas raidasi, suhu, serta kelembaban. Selain itu, pemenuhan kebutuhan kenyamanan teknis pada pengguna ruangan ini juga tergantung pada tingkat usia pengguna gedung, aktivitas yang dilakukan dalam ruangan, serta fungsi tubuh (fisiologi) dari masing-masing individu.

b. Mengisolasi serta memindahkan bau serta kontaminan

Teknik dilusi merupakan salah satu teknik yang digunakan, yaitu dengan pengenceran udara yang terkontaminasi dengan udara dari luar ruangan. Dilusi dapat efektif bila terdapat aliran suplai udara konsisten dan cukup untuk bercampuran dengan udara dalam ruangan. Selain itu, teknik selanjutnya adalah dengan memperhatikan tekanan udara antar ruangan, dengan menyesuaikan


(69)

suplai udara dengan jumlah udara tiap ruang. Jika terdapat ruangan yang lebih banyak tersuplai udara daripada udara yang dibuang, maka ruangan tersebut bertekanan positif, dan sebaliknya.

Fasilitas HV AC dalam suatu gedung dapat berbeda, tergantung dari beberapa faktor seperti umur gedung, iklim, jenis bangunan, anggaran dana perusahaan, perencanaan, pemilik, dan arsitektur gedung, dan modifikasi tertentu. Operator sistem dan manajer fasilitas adalah faktor penting yang menentukan kualitas udara dalam ruangan agar terpelihara dengan baik. Sistem HV AC membutuhkan pemeliharaan yang tepat untuk memberikan kondisi yang nyaman bagi penghuni suatu ruangan. Sistem HV AC harus dievaluasi terlebih dahulu sebelum melakukan renovasi pada gedung (Anonymous, 2009).

Beberapa elemen parawatan sistem HV AC yang dapat meningkatkan kualitas udara dalam ruang adalah:

1) Mengganti filter (disamping dapat menghalangi dan mengurangi aliran udara, filter yang kotor juga dapat menjadi sumber bau dan mikroorganisme) 2) Memeriksa instalasi dan filter secara berkala

3) Membersihkan cooling coil dan komponen HV AC lainnya

4) Memeriksa operasi fan dan operasi dampers yang dapat mempengaruhi aliran udara.


(70)

Selain itu, EPA (1991) juga merekomendasikan maintainance sebagai berikut:

1) Penggunaan desain sistem ventilasi yang memadai dengan jumlah pekerja dan jumlah perelatan dalam gedung

2) Sediaan udara dari luar ruangan

3) Kualitas udara luar, karena polutan seperti karbon monoksida, spora fungi, bakteri dan debu dapat mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan

4) Perencanaan tempat

5) Pengendalian jalur pajanan polutan lain. 2.5.2 Kebersihan Ruang

Gejala SBS bisa timbul dari ketidaknyamanan lingkungan bekerja. Salah satu masalah lingkungan yang sering muncul di tempat kerja atau perkantoran adalah masalah kebersihan. Masalah kebersihan didalam area perkantoran yang dapat menimbulkan gejala SBS seperti (EPA, 1991):

a. Kegiatan housekeeping seperti penggunaan bahan pembersih, emisi dari gudang penyimpanan bahan kimia atau sampah, penggunaan pengharum ruangan, proses vacuuming.

b. Kegiatan maintainance seperti kurangnya pemeliharaan coolingtower menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dalam uap air, debu, atau kotoran di udara, VOCs dari penggunaan perekat dan cat, residu pestisida dari kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan.


(71)

2.6Faktor Karakteristik Individu 2.6.1 Jenis Kelamin

Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS (Brasche, 2001). Jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-lai (Winarni, 2003).

Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai

pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK, 1996).

2.6.2 Usia

Karakteristik pekerja yang berhubungan dengan SBS salah satunya adalah umur. Pemaparan pada suatu zat yang bersifat toksik akan menimbulkan dampak yang lebih serius pada mereka yang berusia tua daripada yang berusia lebih muda dengan kata lain udara yang buruk lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua (Frank C.Lu, 1995). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya (Apte et al, 2005).


(72)

Penelitan lain menyebutkan bahwa SBS lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki, dan sensitivitas pada gejala SBS terjadi pada dewasa muda (younger adults) usia antara 30-50 (NIOSH, 1991).

2.6.3 Status Gizi

Status gizi yang digambarkan dengan kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (lebih dari 18 tahun), pola konsumsi makanan, gaya hidup aktifitas dan faktor lingkungan yang tidak bersahabat dapat memberikan kontribusi terhadap kejadian SBS. Defisiensi gizi secara umum diduga menjadi awal terjadinya degenerasi sistem imunitas tubuh (Alisyahbana, 1985). Salah satu parameter pengukuran status gizi adalah dengan menggunakan Indeks Masaa Tubuh (IMT), yang unutk masyarakat Indonesia menurut PUGS (2002) dirumuskan sebagai berikut:

IMT =

Kategori IMT untuk Indonesia menurut Depkes (2002) ditampilkan dalam tabel 2.3 berikut;

Tabel 2.1.

Tabel Indeks Massa Tubuh

Kriteria Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat tinggi Kekurangan berat badan tingkat rendah

<17.0 17,0 – 18,4


(1)

(2)

Lampiran 3

DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA

Gedung X

Pengambilan Sampel Bakteri Udara di Gedung X


(3)

(4)

(5)

(6)