merokok membawa asap dan debu kedalam ruangan setelah mereka selesai merokok. Kemudian juga pada divisi engineering, lantai ruangan menggunakan
karpet dan juga pada divisi maintenance semua pekerja memiliki psikososial kurang baik. Hal ini yang mungkin menyebabkan banyak pekerja di tiga divisi
tersebut mengalami keluhan sick building syndrome. Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan pada
responden, ditemukan lebih dari 50 responden memiliki riwayat alergi dan 31 responden yang memiliki riwayat atopi. Hal ini dapat mempengaruhi timbulnya
keluhan sick builing syndrome pada pakerja. Untuk mengurangi prevalensi SBS pada pekerja dengan cara meminimalisasi tingkat polusi udara dalam ruangan, hal
ini dapat secara efektif menghilangkan sumber kontaminan lokal malalui penentuan bahan bangunan dan perabot dengan potensi emisi rendah, dan
menggunakan sistem pembuangan khusus Rohizan Abidin E.Z, 2015.
C. Faktor yang berhubungan dengan Keluhan sick building syndrome Pada
Pekerja Gedung PT Pelita Air Service 1. Hubungan antara kualitas fisik udara dengan keluhan sick building
syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016
Pengukuran kualitas fisik udara dalam ruangan di gedung PT Pelita Air Service dengan menggunakan empat parameter yaitu suhu, kelembaban, laju
angin dan pencahayaan ruangan. Berikut dibawah ini pembahasan hubungan kualitas fisik udara dengan keluhan sick building syndrome.
a. Hubungan Suhu dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016
Berdasarkan hasil analisis didapatkan kisaran suhu ditempat kerja adalah 25.63
C-29.20 C. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan suhu ruangan dengan keluhan SBS pada pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Ahmad 2011 dan Ardian
dan Sudarmaji 2014 bahwa suhu lingkungan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap munculnya gejala SBS Ahmad, 2011; Ardian
Sudarmaji, 2014. Hal ini dapat terjadi karena suhu lingkungan kerja masih pada
batas normal untuk lingkungan kerja, dan dengan suhu normal tersebut menyebabkan tubuh pekerja tidak mengeluarkan energi yang banyak untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan dalam penelitian ini, suhu lingkungan kerja tidak berhubungan
bermakna dengan terjadinya keluhan sick building syndrome. Akan tetapi pada penelitian ini lebih banyak responden yang
mengalami keluhan sick building syndrome pada suhu ruangan memenuhi standar, hal ini dapat terjadi mungkin karena lebih banyak responden yang
memiliki riwayat atopi, hal inilah yang menyebabkan terjadinya keluhan sick building syndrome
pada suhu ruangan memenuhi standar. Kemudian terdapat 3 responden yang mengalami keluhan sick building syndrome pada suhu
ruangan tidak memenuhi standar. Sebaiknya langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan oleh manajemen adalah memastikan bahwa
pemeliharaan bulanan terlaksana dengan baik. Hal ini dilakukan untuk memastikan pendingin ruangan berfungsi dengan baik karena memastikan
lingkungan kerja yang aman dan sehat merupakan hak-hak dasar bagi pekerja, karena mustahil untuk mempertahankan suhu nyaman bagi pekerja
tanpa pemeliharaan yang baik.
b. Hubungan Kelembaban dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016
Berdasarkan hasil analisis didapatkan kelembaban ruangan di PT Pelita Air Service berkisar antara 42.40-64.10. Responden yang
mengalami keluhan sick building syndrome pada kelembaban memenuhi standar yaitu 50 responden 52.1 dan 2 responden 50.0 pada
kelembaban ruangan tidak memenuhi standar. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi-square didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna kelembaban ruangan dengan keluhan SBS pada pekerja gedung PT Pelita Air Service. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Laila 2011 dan Ardian 2014 yang menemukan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kelembaban terhadap keluhan SBS Ardian
Sudarmaji, 2014; Laila, 2011. Dari hasil pengukuran kelembaban menunjukkan bahwa sebagian
besar ruangan sudah memenuhi standar kelembaban yang telah ditetapkan, akan tetapi terdapat satu ruangan yang masih belum memenuhi standar yaitu
ruangan operational support 3 dan pada ruangan tersebut terdapat 2 responden 50 yang mengalami keluhan SBS, hal ini terjadi karena pada
saat pengukuran AC pada ruangan tersebut dalam keadaan mati dan jendela pada ruangan tersebut tidak di buka sehingga hal ini dapat menyebabkan
kelembaban pada ruangan tersebut tinggi, hal ini juga menyebakan suhu pada ruangan tersebut juga tinggi melebih standar yang ditetapkan.
Pada penelitian ini juga terdapat responden yang mengalami keluhan sick building syndrome pada kelembaban ruangan memenuhi
standar, hal ini mungkin disebabkan karena sebagian bersar responden tersebut memiliki riwayat atopi dan perilaku merokok sehingga dapat
menimbulkan keluhan sick builing syndrome pada responden tersebut. Dewan Properti Australia 2009 mengidentifikasi bahwa
kelembaban yang melebihi standar pada ruangan dapat menyebabkan masalah yaitu kelelahan, sakit kepala dan pusing terutama pada kelembaban
relatif lebih dari 80 dan suhu ruangan tinggi, timbulnya kondisi favourable
untuk pertumbuhan mikroorganisme, peningkatan gas beracun pada ruangan yang berasal dari bahan bangunan terutama formaldehida dan
senyawa organik lain yang mudah menguap. Masalah lain yang dapat muncul adalah kekeringan mata, hidung, dan tenggorokan, peningkatan
frekuensi guncangan listrik statis, dan timbulnya respon alergi pada penderita asma Property Council of Australia, 2009.
Walaupun belum dapat dijelaskan etiologi secara langsung pengaruh kelembaban yang tinggi pada timbulnya keluhan sick building
syndrome , tetapi harus tetap perlu dilakukan upaya untuk menjaga
kelembaban ruangan tetap stabil. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar