yang diuji pada penelitian ini adalah keteguhan lentur MOE, keteguhan patah MOR , dan keteguhan rekat balok laminasi.
4.2.1 Keteguhan Lentur Modulus of Elasticity, MOE
Keteguhan lentur biasa disimbolkan dengan MOE. Wangard 1950 dalam Rostina 2001 menerangkan bahwa dalam pengujian keteguhan lentur statis,
suatu balok akan mengalami lenturan apabila ditengah-tengah antara kedua penyangga balok tersebut diberikan beban terpusat. Akibat adanya beban tersebut,
serat kayu pada bagian atas akan mengalami tekan maksimum dan pada bagian bawah akan mengalami gaya tarik maksimum, sedangkan pada garis netral akan
terjadi tegangan secara maksimum. Oleh sebab itu, Bodig dan Jayne 1982 menganjurkan sebaiknya kayu yang memiliki kekakuan bahan tinggi ditempatkan
pada permukaan atas dan bawah balok laminasi, sedangkan kayu dengan kekakuan rendah ditempatkan mendekati bagian tengah balok laminasi. Dengan
cara ini kekakuan balok laminasi akan meningkat. Hasil pengujian keteguhan lentur balok laminasi dengan sistem
pembebanan two point loading menunjukkan nilai MOE lima jenis balok laminasi.
Gambar 6 Histogram nilai MOE
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata MOE balok laminasi sengon adalah 60364,04 kgcm² dengan kisaran 49058,49-68191,61 kgcm² nilai
rata-rata MOE balok laminasi manii adalah 84956,59 kgcm² dengan kisaran 72661,56-91122,13 kgcm², nilai rata-rata MOE balok laminasi akasia adalah
100503,96 kgcm² dengan kisaran 90673,86-111935,89 kgcm², nilai rata-rata MOE balok laminasi campuran akasia-sengon adalah 75872,79 kgcm² dengan
kisaran 71586,98-76203,32 kgcm², dan nilai rata-rata MOE balok laminasi campuran akasia-manii adalah 84458,45 kgcm² dengan kisaran 72568.98-
99770,18 kgcm². Mengacu pada standar JAS 234:2003 nilai MOE minimum adalah sebesar 75.000 kgcm
2
, maka ada satu jenis balok laminasi yang tidak memenuhi standar yaitu balok laminasi sengon.
Balok laminasi sengon memiliki nilai MOE yang tidak memenuhi standar JAS 234:2003 dikarenakan kayu sengon itu sendiri tergolong kedalam kayu yang
memiliki kualitas rendah. Berdasarkan hasil pengujian kerapatan diketahui bahwa balok laminasi sengon memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibandingkan
dengan balok laminasi lainnya. Bowyer dan Haygren 1982 menyatakan bahwa keteguhan lentur dan keteguhan patah meningkat jika berat jenis kayu tinggi dan
berat jenis itu sendiri berbanding lurus dengan kerapatan kayu. Hasil analisis statistik pada taraf nyata 5 menunjukan bahwa nilai MOE
dari kelima jenis balok laminasi berbeda nyata, hal tersebut menjelaskan bahwa variasi kombinasi lamina memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai MOE
dan uji Duncan dapat dilanjutkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa balok laminasi campuran akasia-sengon, akasia-manii, dan manii tidak berbeda
nyata tetapi ketiga jenis balok laminasi tersebut berbeda nyata dengan balok laminasi sengon dan berbeda nyata pula dengan balok laminasi akasia.
Nilai MOE rata-rata balok laminasi akasia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi lainnya, hal ini dikarenakan sifat
kelenturan balok laminasi tergantung pada mutu lamina penyusunnya. Semakin tinggi mutu lamina penyusunnya maka semakin tinggi pula kekuatan balok
laminasi yang dihasilkan.
Prinsip penyusunan balok laminasi untuk dua jenis kayu yang berbeda pada penelitian ini adalah dengan cara meletakkan lamina yang memiliki nilai
MOE lebih tinggi pada bagian luar balok laminasi dan meletakkan lamina dengan nilai MOE yang lebih rendah pada bagian dalamnya. Dari kegiatan tersebut dapat
diketahui bahwa nilai MOE balok laminasi akasia 18,9 lebih tinggi dibandingkan balok laminasi campuran akasia-manii dan 32,46 lebih tinggi dari
balok laminasi campuran akasia-sengon. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penyusunan lamina dengan cara
mengkombinasikan jenis kayu yang memiliki berat jenis tinggi dengan kayu yang memiliki berat jenis rendah dalam proses pembuatan balok laminasi dapat
menurunkan kualitas kayu yang pada awalnya memiliki berat jenis tinggi. Namun, prinsip penyusunan tersebut dapat meningkatkan kualitas kayu dengan berat
jenis rendah. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa balok laminasi yang disusun dari campuran lamina akasia-sengon memiliki nilai MOE yang lebih tinggi
dibandingkan balok laminasi sengon. Apabila dibandingkan dengan nilai MOE lamina penyusunnya, maka nilai
MOE balok laminasi ini lebih besar daripada nilai terendah maupun nilai tertinggi lamina penyusunnya. Penyusunan lamina berdasarkan nilai MOE dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan kayu. Tabel 1. Perbandingan nilai MOE lamina dan balok laminasi
Kode lamina MOE lamina
kgcm²
MOE balok laminasi
kgcm²
S 4726,74-40815,43
49058,49-68191,61 M
6128,23-64649,44 72661,56-91122,128
A 2966,66-92616,00
90673,85-111935,89 AS
2971,22-49694,08 71586,98-76203,32
AM 5276,15-89308,29
72568,98-99770,18
Sebagai pembanding nilai MOE balok laminasi dari beberapa hasil penelitian lain dari balok laminasi ukuran pemakaian, nilai MOE balok laminasi
kayu kelapa sebesar 11,34 x 10⁴-2,0 x 10⁴ kgcm² Rostina 2001, balok laminasi akasia dengan perekat lignin sebesar 8,4 x 10⁴ kgcm² Hadjib dan Abdurrachman
2006, balok laminasi akasia dengan perekat Water Based Polymer Isocyanate WBPI sebesar 8,41 x 10⁴-13,67 x 10⁴ kgcm² Herawati 2008. Perbedaan nilai
MOE yang diperoleh dibandingkan hasil penelitian lain disebabkan oleh
perbedaan jenis kayu yang digunakan, jumlah lapisan penyusun, dan pola penyusunan lamina.
4.2.2 Keteguhan Patah Modulus of Rupture, MOR