perbedaan jenis kayu yang digunakan, jumlah lapisan penyusun, dan pola penyusunan lamina.
4.2.2 Keteguhan Patah Modulus of Rupture, MOR
Apabila ada balok dengan beban tegak lurus sumbu memanjangnya dan balok ditumpu pada kedua ujungnya, balok tersebut akan mengalami tegangan
dan akan mengalami perubahan bentuk. Tegangan yang muncul adalah tegangan normal dan tegangan geser. Tegangan normal ini biasanya disebut tegangan lentur
tarik atau tekan. Tegangan lentur maksimum biasa disimbolkan dengan MOR Mardikanto et al. 2011.
Dari hasil pengujian di laboratorium menggunakan contoh uji dalam ukuran pemakaian dengan dua beban diletakkan di tengah bentang diperoleh nilai
rata-rata MOR balok laminasi sengon adalah 197 kgcm dengan kisaran 164,93- 193,16 kgcm , nilai rata-rata MOR balok laminasi manii adalah 240,05
kgcm dengan kisaran 210,52-322,76 kgcm , nilai rata-rata MOR balok laminasi
akasia adalah 253,26 kgcm dengan kisaran 174,69-367,41 kgcm , nilai rata-
rata MOR balok laminasi campuran akasia-sengon adalah 150,03 kgcm dengan
kisaran 121,92-187,19 kgcm , nilai rata-rata MOR balok laminasi campuran akasia-manii adalah 204,51
kgcm dengan kisaran 169,73-244,65 kgcm . Mengacu pada standar JAS 234:2003, nilai MOR minimum adalah 300 kgcm
2
sehingga kelima jenis balok laminasi tersebut tidak memenuhi standar untuk kayu konstruksi.
Gambar 7 Histogram nilai MOR
Berdasarkan analisis statistik pada taraf nyata 5 menunjukan bahwa nilai MOR dari lima jenis balok laminasi tidak berbeda nyata dan uji lanjut Duncan
tidak perlu dilakukan. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa balok laminasi akasia mempunyai nilai MOR yang paling tinggi dibandingkan balok
laminasi lainnya. Selanjutnya diikuti oleh balok laminasi manii, akasia-manii, sengon dan akasia-sengon. Pada umumnya jenis kayu yang memiliki kerapatan
tinggi cenderung kekuatannya semakin meningkat karena kerapatan dan kekuatan patah suatu bahan berbanding lurus Bowyer et al. 2003.
Balok laminasi campuran akasia-sengon memiliki nilai MOR yang lebih rendah dibandingkan dengan balok laminasi sengon, padahal nilai MOE balok
laminasi campuran akasia-sengon memiliki nilai MOE yang lebih besar. Hal ini terjadi karena MOR merupakan hasil perhitungan yang dipengaruhi oleh
besarnya P max yang dihasilkan dari pengujian dan dimensi penampang balok laminasi. Dimensi yang dimaksud adalah lebar dan tinggi balok laminasi.
Perbedaan dimensi penampang balok akan mempengaruhi nilai MOR yang dihasilkan.
Kasus serupa terjadi pada penelitian Sulistyawati 2009 balok laminasi dengan ketebalan lamina 2 cm dan disusun oleh tiga lapis lamina ditemukan
beberapa hasil pengujian balok laminasi yang memiliki nilai MOE lebih tinggi
namun nilai MOR lebih rendah, hal ini menunjukkan kecenderungan hubungan nilai MOE dan MOR untuk masing-masing benda uji balok laminasi. Berdasarkan
hal tersebut, dievaluasi korelasi nilainya dengan tipe kerusakan balok laminasi terlihat tidak adanya korelasi linear antara MOE dan MOR untuk masing-masing
contoh uji. Beberapa hasil menunjukkan bahwa MOE lebih tinggi tetapi MOR lebih rendah.
Hasil penelitian lain menunjukkan nilai rata-rata MOR balok laminasi kayu akasia adalah sebesar 516-687 kgcm² Herawati 2008 dan pada balok
laminasi kayu kelapa sebesar 476-858 kgcm² Rostina 2001. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa nilai MOR yang diperoleh lebih
rendah dibandingkan hasil penelitian lainnya. Perbedaan nilai MOR yang diperoleh dengan penelitian lain terutama berhubungan dengan karakteristik kayu
yang digunakan. Kayu berkerapatan tinggi memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu berkerapatan rendah. Disamping kerapatan kayunya,
kekuatan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya cacat pada kayu tersebut. Cacat yang dapat mengurangi kekuatan kayu antara lain adalah mata kayu, serat miring, retak
atau pecah, dan ada tidaknya cacat pada kayu tersebut Tsoumis 1991.
4.2.3 Keteguhan Rekat