Untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan ekonomi di dalam sistem ekonomi kapitalis tidak memperkecil ketimpangan, malah sebaliknya.

6. Untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan ekonomi di dalam sistem ekonomi kapitalis tidak memperkecil ketimpangan, malah sebaliknya.

Mulai dengan Paul Baran 54 para penulis yang menulis pembangunan atau keterbelakangan menekankan kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan dari negara-negara pusat yang imperealis

dengan negara-negara pinggiran yang dijajah.

Yang jelas adalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang sangat bertentangan dengan kepentingan dominan negara-negara kapitalis yang sudah maju. 55

Dengan mengambil pernyataan ini sebagai titik tolak, para penulis seperti A.G. Frank, 56 dan O Sunkel, 57 dengan jelas menunjukkan bagaimana pada kenyataan pembangunan dan

keterbelakangan mempunyai dua sisi dari satu mata uang. Frank, misalnya, memperlihatkan bagaimana persediaan sumber alam diambil dari negara-negara Metropolitan atau pusat untuk menunjang pembangunan mereka sementara negara-negara Satelit atau Pinggiran dibiarkan kehabisan bahan mentah yang mereka butuhkan sendiri untuk pembangunan. Dengan nada yang hampir sama, Osvaldo Sungkel memperlihatkan bagaimana terpusatkannya modal secara internasional pada perusahaan-perusahaan multinasional menyebabkan percepatan disintegrasi “nasional” dan ketidakmampuan negara-negara berkembang mengembangkan diri dalam cara yang dianjurkan oleh teori-teori pertumbuhan Neo-Klasik atau Strukturalis. Walaupun A.G. Frank, O.

Sungkel, I. Wallerstein dan penulis lain mendapatkan kritik dari penulis seperti E. Laclau 58 dan R. Brenner, 59 karena terlalu memusatkan pada faktor eksternal, lebih daripada faktor internal, sebagai faktor-faktor penyebab ketergantungan, semua kritik ini tidak mempertanyakan asumsi dasar bahwa pembangunan dan keterbelakangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Semua teoretisi ini memusatkan perhatian pada istilah-istilah penting penting untuk melukiskan proses semacam itu dan mempertanyakan apakah prioritas harus ditujukan pada cara-cara produksi atau hubungan pasar. Bagaimanapun, semua teoretisi Marxis dan Neo-Marxis ini setuju bahwa apa yang mengkin atau tidak mungkin terjadi di tingkat internasional negara-negara bangsa tertentu ditentukan oleh apa yang terjadi dipusat-pusat keuangan dan industri ekonomi dunia kapitalis.

Kapitalisme sebagai sistem produksi yang dijual dipasar untuk mendapatkan keuntungan dan penggandaan keuntungan tersenut berdasarkan pemilikan individu dan kolektif hanya terdapat, dan didapatkan, pada suatu sistem dunia yang unit-unit politiknya tidak koektensif dengan batas-batas ekonomi pasar. Sistem ini membolehkan para penjual mengambil keuntungan dari adu kekuatan dipasar kapan saja ada kesempatan dan membuat mereka pada saat yang bersamaan berusaha mencari, kapan saja dibutuhkan,

campur tangan entitasentitas politik untuk mengubah pasar demi kepentingan mereka. 60

54 Paul Baran, op. cit. 55 Paul Baran, The Polit ical of Growt h, p. 27, dikutip oleh G. Palma, op.cit., p.24

56 Andre Gunder Frank, op. cit ., 1969 dan 1978. 57 Osvaldo Sungkel, “Transnasional Capitalism and National Disintegration in Latin America”, Social and Economic

St udies, Vol. 22, No. 1, 1973, p. 132-176.

58 E. Laclau, “Feodalism and Capitalism in Latin America, New Left Review, May/ June 1971. p. 19-38. 59 R. Brenner, “The Origins of Capitalist Development: A Criticue of Neo-Smithian Marxism”, New Left Review, No.

104, July/ August 1977, p. 25-93. 60 I. W ellerstein, op. cit ., 1979, p. 66.

Semua studi teoritisi diatas memiliki persamaan pendirian bahwa pembangunan kapitalis di negara-negara pinggiran tidak berkembang secara cepat sepeti yang terjadi di Eropa Barat, Amerika Utara dan Jepang. Pada kenyataannya, mereka menegaskan bahwa kapitalisme negara Dunia Ketiga, yang terutama muncul karena didikte oleh negara-negara industri besar dan bisnis internasional, menumbuhkan ketimpangan regional dan sektoral, berakibat pada meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kekayaan, menciptakan pengangguran dan berkurangnya kesempatan kerja yang kronis, serta hanya memberikan keutungan kepada sekelompok kecil elit ekonomi dan politik.

Proposisi Marxis dan Neo-Marxis yang pertama menyatakan, bahwa motor utama pembangunan (tehnologi dan industri) terpusat di luar negara-negara pinggiran yaitu di dalam pusat-pusat negara-negara industri kapitalis. Tidaklah mungkin memahami megapa pembangunan bisa atu tidak bisa terjadi di negara-negara bangsa tertentu kecuali seseorang sebelumnya harus

memahami karakteristik dasar sistem kapitalis dunia. 61 Dengan pndangan seperti ini jelas bahwa bisnis multinasional telah dan akan terus mentransformasikan sifat hubungan yang ada antara

ekonomi negara maju dan ekonomi negara berkembang dalam sistem kapitalis dunia. Oleh karena itu penting, bahwa teori dan riset harus selalu mengikuti berbagai cara perubahan yang dialami pembagian kerja internasional sehingga akan lebih mengetahui peran khusus yag dijalankan negara-

negara tertentu dalam pembagian kerja internasional tersebut. 62 Sama pentingnya dengan riset dan teorisasi tersebut adalah perhatian yang harus diberikan pada cara-cara bagaimana pola-pola

internasional organisasi sosial dan politik yang berbeda menentukan tanggapan-tanggapan pada skala nasional terhadap tuntunan-tuntunan sistem internasional. Bagaimana elit-elit nasional yag beragam tersebut mengambil keuntungan dari penetrasi kepentingan ekonomi dan politik dari luar? Pada analis terakhir, persoalan-persoalan semacam ini hanya dapat dipecahkan melalui analisis historis atau menurut situasi-situasi khusus yang kongkrit.

Proposisi Marxis dan Neo-Marxis yang kedua menyatakan, dorongan akumulasi kapitalis dipusat berakibat pada tidak berimbangnya serangkaian pertukaran, terus menerus menguntungkan negara-negara industri dan merugikan mayoritas negara-negara pinggiran yag masih agraris. (Fakta ini bukan hanya hambatan pembangunan seperti anggapan teori stukturalis, melaikan juga menjadi prasyarat bagi pembangunan di negara pusat yang menghendaki terdapatnya keterbelakangan di negara-negara pinggiran). Bahkan kalaupun terjadi industrialisasi di negara-negara pinggiran, industrialisasi ini cenderung menjadi industrialisasi yang tergantung (dependent indust rializat ion) yang lebih menguntungkan modal internasional daripada modal setempat. Hubungan ketergantungan ini bisa berupa ketergantungan ekonomi, politik, militer, pendidikan, kebudayaan

dan sosial, 63 dan akan selalu memberikan ketergantungan bagi negara-negara kaya dan kuat danmerugikan negara-negara yang lemah. Hubungan yang eksploitatif ini bertahan karena tidak

adanya jalan yang bisa ditempuh oleh negara-negara yang lemah untuk melepaskan diri. Proposisi Marxis dan Neo-Marxis yang ketiga tentang pembangunan yang ketiga adalah, bahwa kelas-kelas dominan dan pusat-pusat metropolitan didalam suatu negara tumbuh dengan mengorbankan kelas-kelas di bawahnya yang lemah, kota-kota kecil dan wilayah dibawahnya dengan cara yang sama seperti negara-negara yag dominan secara internasional tumbuh dengan mengorbankan negara-negara yang lemah. Proposisi ini menjadi pandangan yang sangat berharga dan memusatkan riset pada berbagai cara bagaimana pusat-pusat urban mengambil sumberdaya dari wilayah-wilayah lain yang kurang dinamis yangmenjadikan pusat-pusat urban yang maju berindustri dan mengambik keuntungan dari inovasi tehnologi modern.

61 Lihat K.P. Clements, “The Limitations of a National Perpective”, dalam Aust ralian and New Zealand Journal of Sociology, Vol. 15, No. 1, March 1979, p. 73-76, juga I. W allerstein, op. cit ., 1979, untuk pembahasan lebih lanjut peroalan ini.

62 Lihat F. Frobel, J. Heinrichs, and O. Kreye, “Tendency Toward s a New International Devision of Labour, “Economic and Polit ical Weekly, February 1976, p. 159-170.

63 Lihat J. Galtung, “A Structural Theory of Imperealism”, Journal of Peace Research 1971, untuk perincian topik ini selanjutnya.

Terus berlangsungnya hubungan eksploitatif yang tidak adil ini oleh teoretisi Marxis dan Neo-Marxis diterangkan sebagai berikut:

1. Aksioma dasar teori Marxis menyatakan bahwa ada kesamaan kepentingan (baik tersembunyi maupun nyata) antara kelas-kelas dominan (borjuis) di negara-negara pusat dan negara-negara pinggiran. Elit politik dan elit ekonomi, baik di negara maju maupun di negara-negara pinggiran, memiliki kepentingan (perdagangan, industri dan politik) yang kan berjalan dengan baik melalui kerjasama daripada tindakan bermusuhan. Bank sentral disemua negara memiliki kepentingan yang sama dalam menjaga kelancaran perbankan internasional dan sistem moneter internasional. Sama dengan hal ini. Kaum politisi, didorong oleh kenginan untuk tetap berkuasa, berkepentingan untuk bekerjasama dengan rekan sejawat di negara-negara lain untuk mencapai keinginan tersebut dan saling memberi legitimasi rezim satu-sama lain. Intinya adalah, bahwa kelompok-kelompok elit dinegara berkembang dan di negara-negara maju memiliki kesemptan untuk satu sama lain saling bertemu di konferensi-konferensi internasional, mengembangkan cara pandang yang sama, dan tiba pada kesamaan posisi ideologi (misalnya seperti pada pemilihan teori pembangunan yang mereka anggap paling tepat dan paling berguna) dan mereka juga memiliki kekuasaan untuk mewujudkan gagasan-gagasan tersebut sepulangnya ke negara masing-masing. 64

Kelompok non-elit, buruh, petani, sopir, tidak memiliki kesempatan yang sama oleh karenanya, tidak berkesemptan mengembangkan cara pandang yang sama, dan kalaupun seandainya mereka memiliki kesempatan untuk bertemu dalam pertemuan serikat buruh dan petani internasional, mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mewujudkan pendapat dan gagasan-gagasan yang mereka hasilkan. Pada tingkat internasional, negara-negara industri dominan menyelenggarakan pertemuan tingkat negara secara teratur di dalam organisasi-organisasi seperti Organisasi bagi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) serta pada pertemuan-pertemuan puncak yang terjadi antara negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman Barat, Perancis, Inggris, dan Jepang. Terlepas dari pengelompokan seperti Kelompok-77 di UNCTAD dan Negara-negara Non- Blok yang bertemu di Havana pada bulan September 1979 dan di PBB, tidak terdapat bentuk negosiasi tingkat tinggi antara negara-negara maju, walaupun PBB telah berusaha mendorong kontak-kontak yang lebih sering melalui program-program sepeti kerjasama Tehnik antara Negara Berkembang (TCDC). Singkatnya, bagaimanapun, negara-negara industri yang dominan yang juga cenderung menjadi kekuatan imperealis di masa lalu, menjadikan pertemuan-pertemuan tersebut sebagai sebuah front persatuan yang rasional untuk menanggapi isu-isu yang merugikan kepentingan kelompok mereka.

2. Teoretisi Marxis dan Neo-Marxis menyatakan, bahwa negara dalam masyarakat kapitalis lebih berperan demi kepentingan modal (kapital) daripada demi mayoritas penduduk. Hal ini terjadi karena dalam mayoritas penduduk. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat kapitalis (baik maju atau tidak) harus menjamin laju akumulasi modal swasta untuk meningkatkan pajak (pendapatan negara) yang mencukup demi kelangsungan negara itu sendiri. 65 Institusi negara tidak akan mampu menjaga akumulasi modal swasta tersebut jika

negara tidak mendapatkan legitimasi dari penduduknya. Untuk mendapatkan legitimasi. Untuk mendaptakan legitimasi, negara harus menyediakan sarana umum seperti pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Untuk tetap bisa menyediakan sarana umum ini, negara membutuhkan peingkatan pendapatan negara—inilah yang disebut sebagai “Krisis

64 Contoh untuk kasus ini adalah suatu konferensi tentang “Perdagangan, Keuangan dan Politik tahun 1980-an” yang disponsori oleh Financial Times. Ini adalah simposium Eropa-Jepang yang diperuntukan bagi usahawan dan politisi

yang melibatkan pembicara seperti Roy Jenkins dari Komisi Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC Commission), dan Toshio Kohmuth dari Partai Liberal Jepang. Simposium ini akan memberikan kesempatan bagi kalangan usahawan dan politisi untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan dan pandangan-pandangan mengenai dunia sehingga mereka akan mampu merencanakan masa yang akan datang degan tingkat informasi yang memadari mengenai apa yang dipikirkan dan sedang dikerjakan oleh orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa simposium ini akan mengakibatkan tumbuhnya pandangan yang sama terhadap dunia dan kesamaan kepentingan tentang masalah-masalah yang sama yang sedang dihadapi oleh negara- negara industri di era 1980-an.

65 Mengenai penjelasan topik ini lebih terperinci, lihat J. O’Connor, The Fiscal Crisis of The State (New York: St. Martin’s Press, 1976) dan R. Milliband, The St at e in Capitalist Societ y (London: Quartet Books, 1978).

Keuangan” dalam terminologi O’Connor. Negara yang berkembang yang memilih jalan pembangunan yang kapitalis terjebak dalam suatu lilitan lagi bahwa umumnya negara- negara tersebut tidak mampu berindustri untuk meningkatkan produktifitas dan dipaksa memilih pembangunan yang tergantung pada ekspor dengan penjualan komoditi-komoditi bahan mentah atau bahan produksi kepada negara-negara pusat yang maju. 66 Oleh

karenanya, negara-negara berkembang dipaksa berperilaku sama karena mengikuti kemauan modal internasional. Hal ini berarti bahwa, kendati negara-negara berkembang bermaksud dan cenderung untuk memilih pembangunan sosialis yang independen, selama masih melibatkan diri dalam ekonomi dunia kapitalis, tidak ada kesempatan bagi negara-negara berkembang tersebut untuk melepaskan diri karena konsekuensi ekonomi dan politik yang harus dibayarnya terlalu tinggi.

3. Salah satu alasan utama mengapa negara berkembang harus membayar pengorbanan yang mahal bila menarik diri dari ekonomi dunia kapitalis adalah, karena negara-negara industri yang dominan mengembangkan, memiliki dan mengontrol teknologi yang diinginkan oleh setiap negara yang ingin maju atau, ingin menyebut dirinya lebih maju. Peguasaan teknologi ini memperkuat hubungan ketergantungan yang menempatkan negara berkembang pada tingkat lebih rendah dan menyulitkan setiap negara berkembang mengambil jalan pembangunan yang autosentris (kecuali mereka memutar balik arah jarum jam seperti yang coba dipraktikkan rezim Pol Pot di Kamboja). Cina misalnya, yang pernah menjadi contoh terbaik dari negara yang menerapkan kebijaksanaan pembangunan mandiri telah dipaksa oleh gerak pertumbuhan sendiri untuk membeli teknologi maju dibidang kedirgantaraan, elektronika dan industri di pasar internasional. Ini berarti bahwa pemerintah Cina harus menanamkan modal, berusaha keras menaikkan ekspor untuk membayar barang-barang canggih tersebut jika terus mengambil kebjaksanaan pembangunan yang lebih independen. Jelas, kebanyakan negara tidak bisa berharap mencapai tingkat kemandirian seperti yang pernah dicapai oleh Cina pada periode 1949-1976. Hal ini menguatkan fakta bahwa hampir semua negara pinggiran dan semi pinggiran berkemungkinan menjadi tergantung secara teknologis pada negara-negara industri maju demi masa depan yang bisa diramalkan.

4. Faktor keempat yang menjelaskan adanya jurang pemisah antara negara-negara berkembang dan pusat-pusat kapitalis adalah konsentrasi modal, baik keuangan maupun modal industri, di negara-negara pusat. Sampai terjadinya pelonjakan harga minyak oleh OPEC tahun 1973, bahkan sejak itu, pusat-pusat keuangan di London, New York, Ganeva, Tokyo dan Frankfurt, mulai mampu menentukan dimana dan dalam kondisi bagaimana kredit (pinjaman) akan tersedia dan selanjutnya menekankan negara-negara mana saja yang mampu dan tidak mampu mengembangkan sumberdaya masing-masing. Badan-badan pemberi bantuan pada tingkat nasional dan internasional menyusun rangking negara menurut kepalayakan mereka menerima kredit, umumnya berarti memberikan dukungan pada kelompok yang kuat dengan merugikan mereka yang lemah. Hal ini juga berarti bahwa perekonomian nasional yang beragam harus mengubah kebijaksanaan ekonomi internal masing-masing agar layak mendapatkan pinjaman atau bantuan. 67

5. Teoretisi Marxis dan Neo-Marxis telah mengidentifikasi perusahaan multinasional sebagai sarana utama untuk mengorganisasi dan memusatkan modal di tingkat internasional. O.

68 Sungkel, 69 H. Radice serta sekelompok ilmuwan lain telah memperlihatkan secara empiris bagaimana koordinasi dan integrasi secara internasional terhadap pengolahan dan

pemasaran mengakibatkan disintegrasi nasional dan ketidakmampuan badan-badan usaha dan pemerintah-pemerintah di negara-negara merdeka menentukan masa depan mereka sendiri. Zona industrialisasi dan Perdagangan Bebas, misalnya, terbukti memiliki

66 Lihat A. Emmanuel, Unequal Exchange (New York Monthly Review Press, 1972), untuk analisis mengenai masalah ini.

67 Tentang pandangan ini, lihat T. Hayter, Aid as Imperealism (London: Penguin, 1974) dan W . Rosenberg, ”New Zealand Foreign Debt and Some Aspects of The Relation between Foreign Debt and Iternal Economic Policies”,

Christchurch, 21 March 1979. 68 O. Sungkel, op. cit.

69 H. Radice, ed., The Internat ional Firm and Modern Imperealism (London: Penguin, 1975.) 69 H. Radice, ed., The Internat ional Firm and Modern Imperealism (London: Penguin, 1975.)

perusahaan besar Jepang, Amerika dan Inggris yang berinvestasi di wilayah tersebut. 70

6. Faktor penting lainnya yang menjamin bertahannya keberlangsungan pertukaran internasional yang sangat tidak seimbang itu adalah ketergantungan kultural dan ideologi yang menyertai ketergantungan ekonomi. Karena teknologi Barat merupakan kesatuan dalam ide-ide dan nilai-nilai barat, maka akan menjadi sangat sulit—jika tidak dikatakan tidak mungkin—bagi negara berkembang untuk bertahan terhadap godaan untuk meniru pemikiran Barat mengenai keseluruhan isu. Pilihan terhadap ideologi pembangunan juga merupakan pilihan terhadap cara berfikir tertentu. Sebagai misal, teori-teori Neo-Klasik dan Strukturalis didasarkan pada asumsi-asumsi “kepemilikan individual” yang melekat pada sifat manusia dan masyarakat, hal yang demikian itu mencerminkan suatu pandangan yang etnosentris baik individual maupun kolektif. Pemikiran tiruan juga diciptakan dengan sarana-sarana yang lebih kasar. Sebuah analisis mengenai sumber dan isi berita, film, program televisi, siaran radio dan media massa internasional lainnya dengan jelas memperlihatkan bahwa barang-barang tersebut (film, berita, dan lain-lain—penulis) dibuat di pusat-pusat metropolitan dan mencerminkan norma dan nilai-nilai dominan mereka yang tinggal di negara-negara pusat. Seringkali lebih mudah bagi warga yang tinggal di India selatanuntuk mendengarkan siaran BBC Word Service untuk mendengarkan berita tentang kejadian-kejadian di India Utara daripada mendengarkan stasiun radio lokal. Paket-paket program televisi yang diproduksi di Amerika Serikat dan disebarkan keseluruh dunia juga merupakan menu utama bagi sejumlah besar bangsa di Dunia Ketiga. Ketika suatu kebudayaan asing mendominasi suatu pandangan hidup bangsa yang tradisional—seringkali akibat penetrasi tradisional—hal ini akan menyulitkan negara-negara yang didominasi tersebut untuk memilih pertumbuhan yang secara murni ditentukan oleh dirinya sendir karena terus-menerus dihantui perasaan inferioritas kultural dan teknologi yang tumbuh akibat penetrasi bangsa yang lebih kuat.

7. Hampir semua teoretisi Marxis mengakui bahwa imperealisme dan pertukaran tidak seimbang yang diakibatkannya (baik pada tahap Kolonialisme maupun Neo-Kolonialisme) adalah fenomena multidimensional. Sebenarnya sangat sulit untuk mengidentifikasi satu faktor tunggal penyebab semua hubungan ketergantungan; sehingga kebanyakan penulis memilih sekumpulan penyebab sebagai deskripsi yang lebih tepat dari proses imperealisme

yang sesungguhnya. 71

Walaupun terdapat sejumlah isu yang bisa dibahas dalam pembicaraan mengenai teori Marxis dan Neo-Marxis ini, misalnya pertentangan mengenai apakah pembangunan dan keterbelakangan ditentukan secara internal atau eksternal, 72 atau peran pasti dari hubungan produksi dan perdagangan internal dan internasional, 73 beberapa hal yang dinyatakan diatas sudah

cukup untuk mengidentifikasi beberapa konsekuensi politik umum dari perpektif Marxis atau Neo- Marxis.

Konsekuensi Politik Teori Pembangunan dan Keterbelakangan M arxis dan Neo-Marxis

Konsekuensi politik teori pembangunan dan keterbelakangan Marxis dan Neo-Marxis jauh lebih radikal daripada daripada akibat politik teori Neo-Klasik atau teori Strukturalis, dan hanya dipraktikkan disebagian kecil negara. Karena diagnosis Marxis dan Neo-Marxis mengenai sebab- sebab pembangunan dan keterbelakangan menekankan pada hubungan ekonomi dan politik yang

70 Lihat Free Trade Zones and Industrializat ion of Asia (Tokyo: Pasific Asia Resources Centre, 1977), mengenai beberapa studi kasus tentag fenomena ini di Malaysia, Indonesia dan Filiphina.

71 Lihat, S. Amin, Accumulat ion on A World Scale: A Crit ique of The Theory of Underdevelopment (New York: Monthly Review Press, 1974), khususnya p. 44-64 dan p. 170-223, untuk diskusi yang terperinci mengenai topik ini dilihat

dari perpektif ekonomi. 72 Lihat A.G. Frank, op. cit ., 1978, p. 2-7.

73 Lagi, Lihat, A.G. Frank, ibid., p. 10-13, dan p. 92-134.

eksploitatif baik pada tingkat nasional maupun internasional, jelas bahwa hanya beberapa pemerintah non-sosialis yang menerapkan teori ini dalam formulasi kebijaksanaan dan rencana pembangunan tertentu. Sebaliknya, kebanyakan pemerintah yang menentang upaya penerapan teori Marxis dan Neo-Marxis. Karena hampir semua institusi negara dalam masyarakat kapitalis memihak pemilik modal, institusi-institusi ini menjadi bagian dari masalah keterbelakangan yang harus ditransformasikan secara mendasar agar terjadi perubahan atau pembangunan yang sebenarnya. Maka, teori Strukturalis tidak diterapkan secara sungguh-sungguh di Amerika Latin, karena tidak adaya kemauan politik, negara-negara unia ketiga yang menerapkan pemecahan Marxis atau Neo- Marxis dalam memperjuangkan pembangunan jumlahnya bahkan lebih sedikit lagi. (Ironisnya, kebanyakan dari diagnosis ketergantungan dan keterbelakangan mengenai sebab-sebab pembangunan dan keterbelakangan diakui oleh pembuat keputusan dan akademisi “borjuis”. Mereka cenderug menerima penjelasan Marxis atau Neo-Marxis dalam konteks umum, namun menyatakan bahwa diagnosis Marxis atau Neo-Marxis tersebut tidak membantu penyusunan usulan- usulan kebijaksanaan praktis. Salah satu keluhan terhadap teori keterbelakangan yang dilontarkan

oleh teoretisi kiri, 74 adalah bahwa retorika teori ini terkooptasi oleh kemapanan yang tidak berkeinginan mengakhiri hubungan-hubungan yang eksploitatif. Leys dan Berstein menyatakan

bahwa penerimaan kalangan borjuis terhadap retorika Marxis dan Neo-Marxis telah melunturkan sikap analisisnya yang radikal dan telah membingungkan merak yang sedang mencari pemecahan yang radikal. Namun semua ini sebanarnya tidak perlu, selama ada beberapa komitmen bagi perubahan radikal dan revolusi yang murni). Beberapa konsekuensi politik teori Marxis dan Neo- Marxis adalah:

1. Karena Marxis dan Neo-Marxis mengenai sebab-sebab pembangunan dan keterbelakangan didasrkan pada upaya pengakumulasian tanpa henti, maka alternatif setiap transformasi harus mulai dengan buruh di desa dan urban. Karena buruh pedesaan dan buruh urban disebagian besar negara berkembang miskin dan tidak memiliki kekuatan, akibat politik pertama dan paling penting adalah pembentukan sebuah atau beberapa partai politik untuk mengekspresikan kepentingan mereka ecara konkrit. (Tindakan itu sendiri seringkali merupakan tindakan revolusioner di Dunia Ketiga karena pelarangan partai politik di banyak Negara Dunia Ketiga, khususnya partai-partai kiri)

2. Tindakan politik mutlak didasarkan pada informasi paling akurat; sehingga akibat politik yang penting dari perspektif Marxis dan Neo-Marxis yang kedua adalah bahwa kaum intelektual dan kaum buruh terlibat bersama dalam studi yangmendalam mengenai situasi sosial, ekonomi dan politik lokal yang mereka alami. Kedua kelompok ini menanruh perhatian khusus terhadap cara-cara bagaimana situasi “lokal” ini dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan politik dunia. Menjadi suatu keharusan, bahwa segala bentuk informasi yangtersedia bagi kelompok-kelompok non-elit, sehingga kelompok-kelompok non-elit bisa turut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut masa depan mereka dan akhirnya menghapuskan beberapa kelemahan yang mereka alami.

3. Setelah mempelajari situasi politik dan ekonomi lokal, partai politik yang radikal harus memperdebatkan taktik dan strategi yang tepat untuk mendapatkan pengakuan kebutuhan buruh internal dan kebutuhan buruh seluruh negara berkembang di tingkat internasional. Secara khusus, partai politik radikal harus membuat keputusan yang strategis tentang apakah akan menjalankan kebijaksanaan reformis dibawah institusi pemerintah dan institusi ekonomi yang ada atau akan menjalankan strategi revolusioner menentang institusi-institusi yang mapan. Jelasnya, bentuk keputusan tersebut bukanlah keputusan yang bisa dibuat secara gampang, karena pemilihan suatu aksi revolusioner akan menjadi bencana besar ketika sebenarnya hasil-hasil nyata bisa didapatkan dengan suatu strategi reformis, seperti yang dijalankan oleh kelompok-kelompok Marxis di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Bagaimanapun, hal ini merupakan keputusan yang tidak bisa dihindarkan oleh Partai-partai Kiri, dan harus menjadi perhatian sungguh-sungguh pada waktu terjadi pergeseran keseimbangan kekuasaan ditingkat internal dan iternasional.

74 Misalnya, Leys, op. cit ., dan Bernstein, op. cit .

4. Campur tangan negara dalam perekonomian menjadi tema sentral bagi setiap partai sosialis, apakah itu sosial demokrat atau Marxis-Leninis. Penguasaan terhadap institusi-institusi negara mendapatkan prioritas utama dalam semua program sosialis. Penentuan tentang jalan yang tepat dalam mencapai penguasaan terhadap eksekutif, legislatif, administrasi, institusi pemaksa dan pengadilan akan tergantung pada apakah strategi yang dipilih tersebut evolusioner atau revolusioner. Satu hal yang pasti, tanpa penguasaan terhadap perangkat negara, tidaklah mungkin mengekspresikan teori atau ideologi Marxis atau Neo-Marxis secara konkrit.

5. Partai-partai sosialis yang memegang kekuasaan atas institusi negara masih harus menentukan bagaimana menyediakan kesempatan kerja, infrastruktur, dan menentukan cara-cara dan sarana mencapai pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial, tanpa menyebutkan pencarian cara-cara dan sarana untuk membuat rakyat turut serta dalam pembuatan keputusan. Oleh karenanya, suatu partai sosialis yang berkeinginan menerapkan program atau serangkaian kebijaksanaan yang bersumber pada analisis Marxis dan Neo- Marxis tentang sistem kapitalis dunia masih harus memutuskan lagi apakah harus menerapkan solusi yang ultraradikal atau semiradikal.

Yang jelas adalah bahwa ekonomi dunia kapitalis dewasa ini berada dalam krisis, dan pembangunan keterbelakangan semakin menguat setiap harinya. Negara-negara industri maju tampaknya memutuskan untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi mereka dengan

mengintensifkan eksploitasi terhadap Dunia Ketiga. 75 Kebanyakan pengamat dengan tegas mengakui bahwa eksploitasi dan super eksploitasi membutuhkan reaksi yang radikal. Para pengamat juga dengan jelas mengetahui bahwa kaum kiri di dunia ketiga tidak terorganisasi dan tidak mampu memberikan reaksi semacam ini. Kita selalu mendapati suatu pengakuan yang meluas terhadap diagnosis radikal atas sifat mendua pembagunan atau keterbelakangan, namun hanya beberapa prasarana politik yang mampu memberikan ungkapan organisasional dari ideologi radikal ini. Dalam ketiadaan prasarana tersebut, gerakan keagamaan dan nasionalisme populis mengalami kebangkitan

yang dramatis di Iran, Malaysia, Indonesia, 76 dan ditempat-tempat lain. Apakah gerakan-gerakan ini mampu mencapai bentuk pembangunan yang sesungguhnya, akan tergantung pada kemampuan

gerakan-gerakan tersebut memberikan ungkapan konkret terhadap akibat-akibat politik teori pembangunan Marxis dan Neo-Marxis yang radikal.[]

75 A.G. Frank, menyebutkan proses ini sebagai “Super Eksploitasi di Dunia Ketiga”. Lihat Two Thirds, Nol. 1, No. 2, fall 1978, p. 15-28.

76 Untuk memperjelas pandangan tersebut, secara kronologis kita bisa melihat sejarah perkembangan partai politik di Indonesia, mulai dari fusi partai-partai untuk mengendalikan politik kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1960 Presiden

Sukarno mengurangi jumlah partai dari kira-kira 25 menjadi 10, yang mewakili ideologi nasionalisme (PNI, PARTINDO, IPKI), Islam (NU, PSII, Perti), Kristen (PARKINDO, Partai Katholik) serta Marxisme (PKI, Murba). Setelah peralihan kekuasaan pada 19 Maret 1960, PKI dibubarkan dan PARTINDO ditindas, dan sebuah partai Islam baru dibentuk (PARMUSI) pada tahun 1968. Kesembilan partai ini menjadi kontestan dalam Pemilihan Umum 1971. Pada 27 Februari 1970, era residen Soeharto, terjadi pembenukan dua koalisi di dalam DPR pada maret 1970. Mereka adalah Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, PARKINDO, dan Partai Katholik, dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang terdiri dari NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Pada Januari 1973 Kelompok Persatuan Pembangunan menjadi PPP dan Kelompok Demokrasi Pembangunan menjadi PDI. Sejak itu Indonesia memiliki sistem tiga partai: Golkar, PDI, PPP. Dan setelah Rezim Orde Baru runtuh yang menjadi cikal-bakal gerakan reformasi birokrasi juga diikuti oleh konsekuensi sistem multipartai dalam kontestasi politik untuk mencapai kekuasaan pemerintahan. Untuk penjelasan lebih lengkap baca, Dr. Mohtar Mas'ud, Negara, Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), khususnya baca pada BAB. III., “Kebijakan Pembangunan Sebagai Kendala Demokrasi”, p. 63-135.