Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan 2006, permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya
permintaan CPO baik lokal maupun internasional sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam
perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, kebutuhan minyak sawit mentah dan turunannya di Indonesia dan pasar dunia
juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti: minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari dan lain-lain.
2.2 Produksi CPO
Kebijakan pemerintah khususnya dalam perluasan areal kelapa sawit merupakan respon positif yang dapat mempengaruhi produksi CPO yang semakin
meningkat. Pada sisi produksi, Arifin 2001 menyatakan bahwa teknologi dapat berupa suatu proses produksi atau bagaimana faktor-faktor produksi input
dikombinasikan untuk menghasilkan suatu produk output. Perubahan teknologi yang demikian merupakan cara mengkombinasikan faktor produksi. Sementara
itu, produktivitas dimaksudkan sebagai suatu ukuran efisiensi yang berupa rasio produk dengan faktor produksi tertentu. Inovasi dan perubahan teknologi biasanya
mampu meningkatkan tingkat produksi sekaligus produktivitasnya meningkatnya faktor produksi mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas.
2.3 Produktivitas CPO
Peningkatan produktivitas sektor pertanian merupakan kemajuan dan perubahan teknologi. Adopsi teknologi pertanian yang padat karya penggunaan
benih unggul, pupuk, dan pestisida serta teknologi mekanis yang padat modal
Universitas Sumatera Utara
penggunaan traktor sederhana dan pembangunan sarana irigasi teknis, dan sebagainya secara langsung ataupun tidak langsung telah mewarnai peningkatan
produktivitas itu sendiri Arifin, 2001. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi harga suatu komoditi CPO sebagai hasil produk pertanian. Harga
CPO yang tinggi di pasar internasional mengakibatkan para pengusaha lebih memilih untuk mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri.
2.4 Ekspor CPO
Secara teori suatu negara akan mengekspor suatu komoditi misalnya CPO, jika di negara asalnya mengalami kelebihan produksi. Kenyataannya,
pengusaha akan tetap mengekspor jika harga minyak sawit di pasar dunia jauh lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga di pasar domestik.
Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi oleh keadaan perekonomian Indonesia yang belum stabil.
Secara luas, Kindleberger dan Lindert 1995 mendefinisikan bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik
produksi barang dan jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan. Berdasarkan teori
tersebut, maka fungsi ekspor suatu negara dapat dituliskan sebagai berikut: X
t
= Q
t
– C
t
+ S
t
Dimana: X
t
= Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke-t Q
t
= Jumlah produksi komoditas suatu negara pada tahun ke-t C
t
= Jumlah konsumsi komoditas suatu negara pada tahun ke-t
Universitas Sumatera Utara
S
t
= Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke-t Untuk membatasi ekspor CPO maka pemerintah mengenakan pajak ekspor
terhadap eksportir. Tujuannya, untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga di pasar
internasional, hingga menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan tarif ekspor CPO dimulai pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama SKB
Mendagkop No.275KPBX178,
Mentan No.764KptsUM121978 dan Menperindag No.252MSK121978. Nilai
tukar diduga menjadi bahan pertimbangan oleh pengusaha dalam mengekspor CPO.
2.5 Konsep Pajak Ekspor Secara Umum