Harga diri Peran Identitas diri

53

b. Ideal diri

Hasil penelitian juga didapatkan bahwa 61 responden 100 memiliki ideal diri yang realitas. Analisa data yang menunjukkan ideal diri orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental yang realitas didukung oleh ungkapan responden yang menyatakan bahwa 61 responden 100 ingin menjadi orang tua yang selalu memberikan kasih sayang dengan tulus kepada anaknya, 61 responden 100 selalu berusaha memaksimalkan diri dalam menjalankan fungsi sebagai orang tua, 61 responden 100 berahap hubungan dengan anaknya tetap harmonis dan bahagia, 61 responden 100 ingin selalu terlihat tegar di depan anaknya, dan 60 responden 98,3 masih menginginkan anak yang normal seperti dimiliki orang lain. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif 2013 ideal diri yang baik disebabkan oleh lingkungan keluarga atau masyarakat mampu menerima anak retardasi mental dan beradaptasi dengan lingkungannya. Penelitian Listiyaningsih dan Dewayani mengungkapkan bahwa orang tua yang mampu memahami situasi yang dihadapi saat ini dan kondisi anak, serta menyesuaikan ambisi atau terhadap anak memiliki kepercayaan diri dan ambisi yang wajar.

c. Harga diri

Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan bahwa. 60 responden 98,3 mengungkapkan selama memiliki anak retardasi mental, orang-orang disekeliling tidak pernah menghina mereka, 61 responden 100 bahwa masyarakat di lingkungan sosial tetap menerima mereka, 55 responden 90,1 menyatakan bahwa mereka bangga memiliki anak retardasi mental, 60 responden 98,3 mengatakan anak retardasi mental tidak menjadi penghalang dalam beraktivitas sehari-hari, 58 responden 95,0 tidak malu memiliki anak retardasi mental. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif 2013 bahwa orang tua dengan anak retardasi mental disebabkan oleh munculnya perasaan malu bertemu dengan orang lain karena mempunyai anak yang tidak normal dan tidak dapat menjadikan anak retardasi mental sebagai suatu kebanggan. Universitas Sumatera Utara 54

d. Peran

Hasil penelitian didapat sebanyak 61 responden 100 masih mampu melakukan pekerjaan dengan baik walaupun mereka memiliki anak yang tidak normal, 61 responden 100 masih mampu merawat anak dengan baik, 61 responden 100 masih mampu memenuhi kebutuhan anak dengan maksimal, 61 responden 100 masih dapat melakukan kegiatan sosial dimasyarakat, 57 orang 93,4 tidak pesimis menjadi orang tua yang baik buat anaknya. Hal ini sesjalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif 2013 peran orang tua yang baik karena adanya kebutuhan terhadap aktualisasi diri dalam menjalankan peran baik sebagai orang tua, pekerja, atau sebagai anggota masyarakat.

e. Identitas diri

Hasil penelitian juga didapatkan 61 responden 100 mengatakan bahwa memiliki anak retardasi mental tetap menjadikan mereka orang tua seutuhnya , 61 responden 100 mengungkapkan bahwa mereka berusaha untuk membahagiakan anaknya dengan maksimal, 58 responden 95,0 bahwa mereka merasa tidak gagal karena tidak bisa memiliki anak yang normal, 60 responden 98,3 mengatakan bahwa memiliki anak retardasi mental tidak menghalangi mereka untuk bergaul dengan orang-orang yang ada disekelilingnya, 61 responden 100 mengatakan optimis akan selalu menjadi orang tua yang berguna bagi anak-anak mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiyanto dan Afif 2013 menyatakan bahwa orang tua yang memiliki identitas personal yang kuat akan memandang dirinya tidak sama dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya dan juga identitas diri orang tua dengan anak retardasi mental yang baik disebabkan orang tua selalu bersikap terbuka pada keluarga. Universitas Sumatera Utara 55 Kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh orang tua atau keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah mayoritas sedang yakni sebanyak 39 responden 63,9 kemudian diikuti dengan kecemasan ringan sebanyak 22 responden 36,1, dan kecemasan berat tidak ada 0. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Norhidayah 2013 tentang kecemasan pada ibu penderita retardasi mental sindromik di SLB-C Banjarmasin didapat bahwa dari 68 responden yang memenuhi kriteria sebagai orang tua dari anak retardasi mental mayoritas mengalami kecemasan sebanyak 59,26 dan yang tidak mengalami kecemasan sebanyak 40,74 dan kecemasan semakin meningkat akibat dari perilaku dan emosi anak retardasi mental yang tidak terkontrol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 29 responden 47,5 mengungkapkan bahwa mereka kadang-kadang merasa puas dalam merawat anak mereka yang tidak normal. Menurut Triana dan Andriany 2010 bahwa orang tua yang kadang-kadang merasa puas karena sudah memberikan bimbingan dan merawat anak sebaik mungkin, dan ada anak retardasi mental yang mudah menerapkan apa yang diajarkan orang tuanya dan ada pula yang tidak. Hasil penelitian juga didapat bahwa 61 responden 100 mengungkapkan bahwa mereka cukup sering merasa tenang, aman,senang, dan percaya diri akan merawat dan menghadapi anak retardasi mental. Sejalan dengan penelitian Triana dan Andriany 2010 yang menyatakan bahwa ada orang tua yang menggunakan dua jenis koping yaitu emotion focused coping , yaitu mencari dukungan sosial dari keluarga dan menggunakan pengobatan alternatif untuk anaknya, dukungan keluarga dapat meningkatkan semangat dan perasaan yang positif terhadap anak retardasi mental. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan status keuangan pada keluarga yang memiliki anak retardasi mental Norhidayah, 2013. Hal ini juga dikuatkan pendapat Tarwoto 2010 bahwa beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress dan cemas pada diri seseorang yakni : lingkungan yang asing, kehilangan Universitas Sumatera Utara 56 kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain, masalah biaya, dan kurangnya informasi. Hasil penelitian juga menunjukka bahwa 40 responden 65,6 adalah pendidikan SMA, orang tua cukup mendapatkan informasi dari pendidikan yang pernah didapatkan maupun informasi yang didapat dari lingkungan sehingga pengetahuan orang tua cukup baik untuk menghadapi dan merawat anak retardasi mental. Menurut Norhidayah, Wasilah dan Husein 2013 usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan pada keluarga yang memiliki anak retardasi mental. Adanya tingkat usia yang berbeda dan tahapan hidup maka dapat mempengaruhi persepsi pemahaman dan penerimaan anak retardasi mental. Usia yang semakin bertambah dapat menerima adanya anak retardasi mental karena semakin bertambah usia seseorang tingkat spiritualnya semakin tinggi dan lebih banyak memiliki pengalaman dalam menghadapi anak retardasi mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33 responden 54,1 berada pada rentang usia 36-51 tahun, 23 responden 37,7 berada pada rentang usia 20-35 dan 5 responden 8,2 berada pada rentang 52-60 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitiam Teugeh 2012 bahwa semakin tua umur seseorang, maka pengalaman dalam mengajari dan mendidik anak mereka semakin banyak, pengalaman diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sehingga orang tua mampu mendidik anak mereka yang mengalami retardasi mental dengan baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah ibu rumah tangga IRT yakni 34 responden 55,7 , 10 responden 16,4 sebagai PNS dimana penghasilan keluarga 1.000.000-2.500.000 bulan yakni sebanyak 30 responden 49,2, penghasilan tersebut cukup membiayai pendidikan anak retardasi mental yang dibina di YPAC kota Medan, orang tua yang memiliki anak retardasi mental membutuhkan biaya yang cukup untuk menyekolahkan sang anak, anak retardasi mental tidak bisa menjamin akan senantiasa naik kelas per semesternya, tergantung kemampuan dan cara komunikasi anak. Oleh karena itu orang tua harus menyediakan biaya yang cukup untuk terapi persemesternya YPAC,2016. Universitas Sumatera Utara 57

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat YPAC kota Medan.

6.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsep diri dan kecemasan keluarga yang memiliki anak retardasi mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat YPAC kota Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 61 orang. Hasil penelitian mayoritas responden 100 memiliki konsep diri yang positif, dan tidak ada yang memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak retardasi mental memiliki gambaran diri yang postif 100, mengalami ideal diri yang realitas 100, mengalami harga diri yang tinggi 100, mengalami kepuasaan peran 100 dan memiliki kejelasan identitas 100. Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini mengalami kecemasan sedang 63,9, dan sebagian mengalami kecemasan ringan 36,1 serta kecemasan berat tidak ada 0.

6.2 Rekomendasi

6.2.1 Praktek Keperawatan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa konsep diri keluarga yang memiliki anak retardasi mental mayoritas positif dan mengalami kecemasan sedang dan ringan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan agar dapat mempertahankan dan meningkatkan peran sertanya Universitas Sumatera Utara