Bertens, “Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedan”, YogyakartaKanisius, 1989,

25 dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Utilitarianism dari kata utilities berarti manfaat sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berpotensi pada hasil perbuatan. 16 Utilitarisme sangat menekankan pada pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan seluruh kualitas moralnya. 17 Prinsip ultiritarian menyatakan bahwa :”An action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by the act is the greater than the sumtotal of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place ” suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan dari tindakan lain yang dilakukan. 18 16 Erni R. Ermawan “Business Ethic” , Bandung, CV Alfabeta, 2007, hal 28. 17

K. Bertens, “Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedan”, YogyakartaKanisius, 1989,

hal 93. 18 Manuel G, Velasquez, “Business Ethic : Concepts and Cases” Pearson Education Inc, New Jersey, 2002, hal 76. Universitas Sumatera Utara 26 Dalam karya tulisnya yang berjudul “An Introduction To The Principles Of Morals and Legislation ” Jeremy Bentham Menyebutkan: Alam telah menempatkan umat manusia dibawah dua kendali kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya yang keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat di sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat utilitas mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang. 19 Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu. Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti secara egoistis. Dalam rangka pemikiran ini kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang yang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab moril individu dan 19 Ian Shapiro, “Asas Moral dan Politik”, Jakarta Yayasan Obor Indonesia kerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute, 2006, hal 13. Universitas Sumatera Utara 27 korporasi? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia secara keseluruhan korporasi atau perusahaan tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu menurut utilitarianisme upaya pembangunan berkelanjutan suitainable development menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan. 20 Secara lebih konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme dapat dirumuskan 3 tiga kriteria objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan. Kriteria Pertama , manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu. Kriteria Kedua , manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat besar atau dalam situasi tertentu lebih besar di bandingkan dengan kebijaksanaan atau alternatif lainnya atau kalau yang di pertimbangkan adalah soal akibat baik atau akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan di nilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat di bandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu kerugian tidak bisa dihindari, dapat di katakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang 20 K. Bertens, op cit , hal 66. Universitas Sumatera Utara 28 menimbulkan kerugian terkecil termasuk kalau di bandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif. Kriteria Ketiga , menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa, untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait, terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil? Dalam menjawab pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari suatu kerugian maka kebijaksanaan atau tindakan dinilai tidak baik dan kebijaksanaan atau tindakan itu di nilai baik apabila membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang. 21 Persoalannya adalah apakah perusahaan dengan sukarela atau dengan ikhlas menciptakan perubahan dalam lingkungan masyarakat di tempat perusahaan itu berada. Karena pada dasarnya dunia usaha memegang teguh adagium bahwa tugas pebisnis adalah mencari untung sebesar-besarnya. Di sinilah pentingnya moralitas dalam kegiatan ekonomi menurut Adam Smith dalam bukunya “Theory Of Moral Sentiments ”, mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, maka perusahaan harus dapat mengimplementasikan nilai 21 A. Sony Keraf, “Etika Bisnis”, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hal 100. Universitas Sumatera Utara 29 keadilan dalam kebijakan perusahaan karena negara hanya berlaku sebagai “Impartial Spectator ”. 22 Keberadaan suatu perusahaan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat sekitar yang kemudian menimbulkan kepentingan-kepentingan yang kadang saling bertentangan. Dalam konteks pertentangan kepentingan masyarakat ini akan menimbulkan persoalan wajar dan tidak wajar, patut tidak patut yang pada akhirnya pertentangan kepentingan ini dapat melanggar hak anggota masyarakat. 23 Oleh karenanya, menjalankan suatu aktivitas bisnis tidak hanya cukup bermodalkan dana, tetapi sebagai fondasi juga di perlukan moralitas dan etika bisnis. Ukuran yang selalu digunakan dalam etika bisnis adalah ukuran moral, apakah suatu keputusan dan kebijaksanaan yang diterapkan dalam suatu pengelolaan perusahaan telah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam pengamatan para pakar, etika dan sukses bisnis atau kinerja etis dan kinerja ekonomis sutu organisasi bisnis bukanlah dua kutub yang bertentangan dan saling mengurangi atau meniadakan karena “good business, good ethic”. 24 Apabila kehidupan bisnis ingin berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka bisnis itu harus memberi jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu mengenai apa saja yang di butuhkan oleh masyarakat tersebut. Kesadaran sosial ini adalah suatu akibat dari suksesnya suatu 22 Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 2004, hal 11. 23 Bismar Nasution, “Diktat Hukum Perusahaan”, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal 1. 24 Alois A Nugroho,”Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis”, Jakarta, PT Gramedia Widasarana Indonesia, 2001, hal 66. Universitas Sumatera Utara 30 masyarakat di dalam memecahakan masalah ekonomi yang besar. Untuk itu, harus diberi definisi dari suatu hubungan baru antara dunia bisnis dan masyarakat untuk membawa kegiatan usaha lebih dekat pada keingingan sosial sehinggan mencapai suatau kehidupan yang lebih bermutu. Pendapat lain mendukung pertanggung jawaban sosial dari dunia bisnis ini adalah, bahwa kegiatan harus menciptakan gambaran atau lingkungan yang lebih baik untuk bisnis. Manfaat keterlibatan bisnis dalam masalah sosial menghasilkan kondisi lingkungan serta memberi hal yang positif bagi peengelolaan bisnis. 25 Adanya konsep tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu bentuk utilitas perusahaan yang mampu memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi masyarakan society dan juga merupakan perbuatan etis karena konsekuensi perbuataannya memberi manfaat kepada banyak orang. Milton Friedman 26 juga menyatakan pandangannya tentang tanggung jawab sosial perusahaan bahwa pencapaian tujuan perusahaan untuk mencapai keuntungan sebesar mungkin harus sesuai dengan aturan-aturan main yang berlaku dalam masayarakat, baik dari segi hukum maupun dari segi kebiasaan etis. Tanggung jawab 25 O.P Simorangkir,”Etika : Bisnis, Jabatan dan Perbankan”, Jakarta, Rineka Cipta, 2003, hal 55. 26 Milton Fiedman 1912 adalag professor emeritus di universitas Chicago dan pemenang hadiah nobel pada tahun 1976. ia sudah merumuskan pandangannya tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam bukunya Capitalism and Freedom 1962 tetapi yang menjadi mahsyur dalam konteks ini adalah tulisan kecilnya yang dimuat dalam New York Times magazine, 13 september 1970 dengan judul The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits. Universitas Sumatera Utara 31 sosial bisnis perlu sebagai usaha untuk memperbaiki citra dari kegiatan mencari untung. 27 Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Tanggung jawab sosial perusahaan di maksudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis. Sehingga tanggung jawab sosial perusahaan dalam hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat adalah tanggung jawab sosial perusahan yang bernuansa ekonomis, bukan sebaliknya. Pada dasarnya, tanggung jawab sosial perusahaan di bedakan dari tanggung jawab lain. Bisnis selalu memiliki dua tanggung jawab yaitu tanggung jawab ekonomis dan tanggung jawab sosial. Jika Milton Friedman menyebutkan peningkatan keuntungan perusahaan sebagai tanggung jawab sosialnya, sebetulnya ia berbicara mengenai tanggung jawab ekonomis saja bukan tanggung jawab sosial. Namun perlu di akui, tanggung jawab ekonomis ini mempunyai aspek sosial penting dan mungkin terutama aspek itulah yang ingin di pertegas oleh Friedman. Kinerja setiap perusahaan menyumbangkan kepada kinerja ekonomi nasional sebuah negara. 28 Jika suatu perusahaan berhasil memainkan perannya 27 K. Bertens, op cit, hal 293. 28 Milton Friedman “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profit” dalam New York Magazine 13 September 1970, yang dimuat kembali dalam Thomas Donaldson dan Patricia H. Werhane eds Ethical Issues in Business, A Philishopical Approach, ed.2, New Jersey, Prantice Hal, inc, 1983, hal 239. Lihat juga tulsannya “The Responsibility of Business” dalam bukunya Captalism and Freedom , hal 133-136 yang dimuat kembali dalam Tom L. Beauchamp dan Norman E. Bowie, Ethical Theory and Business ed.2, New Jersey, Prantice Hall, Imc, 1983, hal 82-83. Universitas Sumatera Utara 32 dengan baik di atas penggung ekonomi nasional, dengan sendirinya ia telah memberi kontribusi yang berarti kepada kemakmuran masyarakat. Berdasarkan teori di atas, pada mulanya CSR bukan suatu bentuk kewajiban yang dapat melahirkan pertanggungjawaban dalam hukum. CSR lebih merupakan moral obligation perusahaan terhadap keadaan ekonomi, keadaan sosial dan keadaan lingkungan perusahaan. CSR yang terkait dengan kegiatan usaha atau jalannya perusahaan secara berkesinambungan. Melaksanakan CSR berarti turut membantu stakeholders perusahaan untuk menjamin kesinambungan usaha perusahaan. Namun demikian perkembangan dunia menunjukkan bahwa saat ini CSR tidak lagi hanya merupakan kewajiban moral belaka, tetapi sudah menjelma menjadi kewajiban yang dapat di pertanggung jawabkan secara hukum. 29 Hal ini sesuai dengan Keputusan mahkamah Konstitusi Mengenai Yudicial Review Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa kesadaran perseroan untuk melaksanakan kewajiban TJSLCSR dapat memberikan makna yaitu perseroan dimaksud bukan lagi sebagai kelompok yang mementingkan dirinya sendiri, melainkan wajib memperhatikan dan melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, wajar apabila TJSLCSR tidak hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary tetapi mandatory dalam pengertian liability serta terhadap perseroan yang tidak melaksanakan CSR akan dikenakan sanksi. Bahwa hubungan antara moral dan etik 29 Gunawan Widjaja, “150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas”, Jakarta, Forum Sahabat, 2008, hal 96. Universitas Sumatera Utara 33 dengan hukum adalah bersifat gradual, di mana hukum merupakan formalisasi atau legalisasi nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini, nilai-nilai moral dan etik yang diterima secara sukarela voluntari dan dianggap penting dapat saja diubah secara gradual menjadi hukum atau Undang-Undang agar lebih mengikat. Dalam perkara a quo dapat saja atau tidak ada halangan apapun terhadap nilai-nilai CSR yang semula bersifat ketentuan moral, etik dan sukarela voluntary kemudian dijadikan materi muatan dalam Undang-Undang. 30 Kewajiban Pasal 74 UUPT, mewajibkan pelaksanaan CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau kegiatan berkaitan dengan sumber daya alam. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam, maka CSR dapat dilaksanakan sebagai komplimen, kemaslahatan, dan kesinambungan perusahaan itu sendiri. Bahwa UUD 1945 telah mensyaratkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu penggunaan sember daya alam haruslah selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan 30 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 53PUU-VI2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945 . Tanggal 15 April 2009.” Pertimbangan keterangan lisan Pemerintah dalam sidang pleno tanggal 3 Februari 2009”, hal 87. Universitas Sumatera Utara 34 lingkungan hidup, makna untuk efesiensi berkeadilan harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat guna mewujudakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 31 Bila di tarik prinsip tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada pengertian CSR, maka dapat di simpulkan bahwa CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan para stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan kepentingan- kepentingan pihak lain yang terkait. Sehingga setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan dari usahanya yang mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap stakeholders-nya dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif, uraian di atas dapat di maknai bahwa suatu perusahaan harus menjalankan usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak merugikan para stakeholders-nya dan tidak merusak lingkungan. Sedangkan secara positif, hal ini bermakna bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan stakeholders-nya dengan memperhatikan kualitas lingkungan ke arah yang lebih baik. 31 Ibid. halaman 88. Universitas Sumatera Utara 35 Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutahkir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. 32 Pertama , keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegitan sosial yang berguna bagi masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan terutama di maksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat. Kedua , perusahaan telah di untungkan dengan mendapatkan hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat. Ketiga , dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan- kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas dengan 32 A. Sonny Keraf, “Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya”, Yogyakarta, Kanisuis, 2002, hal 123. Universitas Sumatera Utara 36 ikut dalam berbagai kegiatan sosial perusahaan merasa masih punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masayarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan msyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu. Keempat , dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa lebih memiliki perusahaan tersebut, dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Ini berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya punya dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut.

2. Kerangka Konsepsi