Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh

(1)

TESIS

OLEH

GITA MELISA

097011069/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GITA MELISA

097011069/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH

Nama Mahasiswa : Gita Melisa

Nomor Pokok : 097011069

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : GITA MELISA

NIM : 097011069

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : GITA MELISA


(6)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.

Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.


(7)

responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.

The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.

The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.


(8)

dengan berkat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility)Oleh PT Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajarBapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Humselaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku anggota komisi pembimbing, juga Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku para anggota penguji yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Juga semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.


(9)

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan.


(10)

Mahdani Musa yang telah memberikan data dan informasi berguna dalam penelitian ini.

8. Seluruh warga masyarakat Kecamatan Lhoknga, Keuchik Desa Lamgaboh Bapak Razali, Warga Desa Lamkruet Bapak Zuhri “arie-udin”, Keuchik Desa Lampaya Bapak Nasruddin AR, Imum Mukin Lhoknga Bapak Tgk. M. Fauzi, Anggota Komite Bersama Bapak Aidil Adhari serta terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada Bapak M. Yulfan SH, dan Ibu Raihal Fajri sebagai Juru Bicara dan Sekretaris Komite Masyarakat Bersatu Masyarakat Lhoknga-Leupung, yang telah memberikan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai dinamika perkembangan penerapan CSR PT Lafarge Cement Indonesia dari tahun ke tahun dan semoga segala usaha dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Aceh Khususnya warga Kecamatan Lhoknga telah dapat dirasakan manfaatnya saat ini. 9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2009 dan Kelas C yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini.


(11)

memberikan dukungan immateril kepada Penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapa Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis mendapat balas yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Desember 2011 Penulis,


(12)

Nama : Gita Melisa

Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 5 Januari 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

PENDIDIKAN FORMAL :

1. MIN Seutui Banda Aceh Provinsi Aceh Lulus tahun 1999

2. SLTP Negeri.1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2002

3. SLTA Negeri. 1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2005

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh, Provinsi Aceh Lulus tahun 2009

5. S-2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


(13)

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR ISTILAH... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian……... 22

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 23

1. Kerangka Teori... 23

2. Kerangka Konsepsi ... 36

G. Metode Penelitian... 38

1. Sifat dan Metode Pendekatan... 38

2. Lokasi Penelitian... 39

3. Populasi dan Sampel ... 40

4. Teknik Pengumpulan Data... 40

a. Penelitian Kepustakan ... 40

b. Penelitian Lapangan ... 40

5. Alat Pengumpulan Data ... 41


(14)

TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006

TENTANG PEMERINTAHAN ACEH... 45 A. CSR pada undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 45 1. Tinjauan Umum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility... 46 2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan Perusahaan ... 57 3. Kewajiban Perusahaan dalam Melaksanakan Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

(Corporate Social Responsibility)... 63 B. CSR pada undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang ...

Pemerintahan Aceh ... 69 BAB III PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)OLEH PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP

MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 75 A. Gambaran Umum PT Lafarge Cement Indonesia ... 75 B. Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78 C. Analisis Sejarah Perkembangan Pelaksanaan CSR Oleh

PT Lafarge Cement Indonesia... 80 1. Respon Masyarakat Terhadap Keberadaan PT Lafarge Cement

Indonesia ... 81 2. Latar Belakang Permasalahan CSR antara Masyarakat dan

PT Lafarge Cement Indonesia... 81 3. Lahirnya Pertanggungjawaban Sementara... 94 4. Hasil Kesepakatan Penerapan Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan Antara Masyarakat dan PT Lafarge

Cement Indonesia………... 99 D. Penerapan Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan


(15)

Tahun 2010 ... 111

BAB IV DAMPAK PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 120

A. Dampak Bagi Perusahaan (Internal) ... 120

B. Dampak Bagi Masyarakat (Eksternal) ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN DASAR... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran... 137

DAFTAR PUSTAKA... 139 LAMPIRAN


(16)

Gambar 1 : Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78 Gambar 2 : Struktur Organisasi Departemen CSR

PT Lafarge Cement Indonesia ... 79 Gambar 3 : Diagram Persentase Karyawan PT Lafarge Cement Indonesia


(17)

2. Blasting: penghancuran atau peledakan. 3. Bargaining: menawar atau penawaran. 4. Charity : amal.

5. Community Development : pemberdayaan masyarakat, kegiatan pembangunan Komunitas yang dilakukan secara istematis terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sosial sebelumnya.

6. Community Relation : memelihara hubungan baik dengan masyarakat sekitar yang sangat berpengaruh terhadap akitivitas perusahaan dan akan membawa keuntungan jangka panjang serta mendekatkan perusahaan dengan konsumen-konsumen potensial.

7. Corporate Social Responsibility : komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindakSeara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

8. Corporate Citizenship : adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi perusahaan, meningkatkan keunggulan kompetitif serta membantu memperbaiki kualitas hidup manusia dan mengacu pada peran perusahaan dalam menangani isu- isu yang memiliki dampak dramatis terhadap masa depan dunia, seperti perubahan iklim, kekurangan air, pendidikan, teknologi informasi dan kemiskinan. 9. Corporate Phylantrophy (filantropi korporasi) : bahwa perusahaan melakukan

peranan jasa sosial dan Trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen, dan komunitas yang lebih luas dengan memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup yang lebih bersih dan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui interaksi aktif dari semua pihak. 10. Discomfort : ketidaknyamanan


(18)

pajak dan penyedia barang/jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. 13. Penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi

masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.

14. Emergency Response : tanggap darurat

15. Good corporate citizen : warga negara yang baik.

16. Good oriented behaviour : perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan 17. Impartial Spectator : Wasit atau tidak berpihak

18. Imeum Mukim :Mukimadalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapaGampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin olehImeum Mukim

19. Joint Community : komunitas bersama

20. Karst : dalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua.

21. Karikatif : bersifat member.

22. Keuchik : sebutan untuk seseorang yang mengepalai desa dalam bahasa Aceh. 23. License to operate : keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnis di

suatu wilayah. 24. Legal entity : subjek hukum

25. Memorandum of Understanding (MoU) : Nota kesepahaman atau kesepakatan awal/pendahuluan


(19)

30. Reward : hadiah. 31. Recovery : pemulihan.

32. Stakeholder : orang atau instansi yang berkepentingan (pihak yang berkepentingan) termasuk para karyawan, konsumen, masyarakat, pemerintah dan lingkungan hidup.

33. Shareholder : seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan

34. Society : masyarakat

35. Suistainability : kelangsungan usaha

36. Suistanable development : Pembangunan berkelanjutan

37. The greatest good for the greatest number : artinya bahwa hal ini benar didefinisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis.

38. The only duty of the corporation is to make profit : Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan. 39. The Tripe Bottom Line : konsep yang dipopulerkan oleh John Elkington pada

tahun 1997 yang mengembangkan konsep bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan “3P” (Profit,People, Planet) selain mengejar profit, juga memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat serta turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan.

40.World Wild Fund : adalah sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang bekerja pada isu-isu tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan


(20)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.

Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.


(21)

responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.

The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.

The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.


(22)

A. Latar Belakang

Kondisi iklim yang tidak menentu saat ini yang di tandai dengan menipisnya ozon dan global warming telah menggerakkan pemerintah negara-negara maju dan berkembang untuk mengambil bagian dalam menciptakan regulasi yang ramah lingkungan. Kemiskinan dan kerawanan sosial dianggap memiliki sumbangan yang besar dalam pengrusakan sumber daya alam. Oleh sebab itu, isu lingkungan tidak boleh dipisahkan dari isu sosial dan kemasyarakatan.

Dalam dunia bisnis, membicarakan masalah perilaku bisnis adalah sangat relevan. Bisnis atau perusahaan sebagai institusi pencari laba, di samping menjunjung tinggi kualitas produk dan layanan, perusahaan juga harus dituntut memperhatikan segi moral. Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat merupakan salah satu instrumen atau alat terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik. Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya harus menciptakan hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat bersinergi, dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan kesenjangan yang terjadi. Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang merupakan subjek hukum, dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan tanggung jawab hukum dan juga mempunyai tanggung jawab moral, di mana tanggung jawab moral ini dapat menjadi cerminan dari perusahaan tersebut. Oleh


(23)

karena itu wajar apabila pelaku bisnis diharapkan agar berperilaku seperti yang ditanamkan dan diharapkan olehstakeholder.1

Aktifitas bisnis merupakan masalah kompleks yang sedang hangat di bicarakan ditengah-tengah usaha pemerintah untuk mengembalikan gairah dunia perekonomian Indonesia. Roda bisnis tidak akan berjalan dengan baik apabila dijalankan dengan kecurangan dan penipuan baik di lingkungan internal maupun

eksternal perusahaan. Dalam lingkungan internal, perlu di perhatikan hubungan antara berbagai jenjang kedudukan yang ada, kultur perusahaan, peraturan dan sistem di perusahaan, serta budaya keterbukaan informasi, sedangkan lingkungan eksternal

merupakan hubungan perusahahaan dengan stakeholder serta masyarakat sekitar perusahaan.2

Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, di yakini bahwa tidak benar jika para manajer perusahaan hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat setempat dan seterusnya.

1

Soeharto Prawirokusumo,“Perilaku Bisnis Modern Tinjauan Pada Etika Bisnis-Tanggung Jawab Sosial”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 4- Tahun 2003, hal 81.

2 I Nyoman Tjager, et al, “Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi

Komunitas Bisnis Indonesia”, PT Pretalindo, Jakarta, hal 142, uraian mengenai peranan Good Corporate Governanceterhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.


(24)

Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju pada shareholders(pemegang saham) tetapi juga kepadastakeholders.

Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dunia usaha hingga saat ini adalah isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat dengan CSR. CSR adalah merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi, komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat merupakan peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.

CSR bukan hanya sekedar kegiatan amal, namun suatu perusahaan di haruskan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup dan di sisi lain perusahaan juga di haruskan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan

eksternal dengan kepentingan internal. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan masyarakat, persoalan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan mengalami rumusan konseptual yang terus berubah, sejalan dengan perkembangan yang di alami oleh dunia usaha itu sendiri. Pada awalnya dan untuk


(25)

waktu yang sangat panjang, dunia usaha mungkin tidak pernah berfikir mengenai tanggung jawab sosial atas usaha yang dijalankannya. Hal ini karena proposi teori klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith di mana tugas korporasi diletakkan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan “the only duty of the corporation is to make profit”.3 Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan.

Secara perlahan ideologi “the only duty of the corporation is to make profit" yang dianut oleh korporasi atau perusahaan telah berubah dengan munculnya kesadaran kolektif bahwa keberlangsungan pertumbuhan dunia usaha tidak akan terjadi tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder dan yang melingkupinya seperti manajer, konsumen, buruh dan anggota masyarakat sehingga tidak heran jika pembahasan mengenai CSR selalu mengarah pada suatu kondisi yang dilematis antara shareholder’s value yang di hasilkan perusahaan dan upaya memaksimalkan kepentingan publik. Dengan kata lain, keterlibatan perusahaan dalam sebuah tanggung jawab sosial selalu meningkatkan konflik mengenai fungsi direksi yang harus mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi perusahaan dan di sisi lain juga harus menjadikan perusahaan tersebut menjadi warga negara yang baik (good corporate citizen).4 Perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan (good oriented behaviour). Artinya untuk memenuhi kebutuhannya, seseorang harus memiliki tujuan

3 Sofyan Djalil, “Kontek Teoritis dan Praktek Corporate Social Responsibility”, Jurnal

Reformasi Ekonomi Volume 4 Nomor 1 Januari-Desember 2003, hal 4.

4Halyani Hj. Hasan “Corporate Social Responsibility: Recent update in Malaysia”, 5th, Asian


(26)

dan dalam tindakannya tujuannya adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut.5

CSR yang kini marak dilaksanakan banyak perusahaan, berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut penyediaan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Prinsip duty to act bonafide in the interest of company yang dikenal luas dalam hukum perseroan menuntut kewajiban seorang direksi agar mengelola perusahaan untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan.6 Tentunya tujuan akhirnya adalah optimalisasi nilai (value) bagi para pemegang saham. Di sisi lain perusahaan sebagai sebuah legal entity (subjek hukum) yang memiliki legal personality ditengah-tengah masyarakat dan memiliki kewajiban terhadap subjek hukum lainnya atau anggota dalam pergaulan masyarakat secara umum. Tuntutan ini merupakan wujud dari kewajiban perusahaan sebagai salah satu subjek yang eksistensinya di pengaruhi oleh interaksi yang baik dengan subjek lainnya di tengah pergaulan masyarakat. Sebelum menambah kemasyarakat yang lebih luas, semestinya CSR dilakukan untuk lingkungan terdekat, yaitu

5Ujang Sumarwan,”Perilaku Konsumen”, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), hal 37.

6Philip Lipton and Abraham Herzberg,“Understanding Company Law”, (Brisbane The Law


(27)

masyarakatnya sendiri atau karyawannya. Bila tanggung jawab ini dipenuhi, tak menutup kemungkinan, karyawannyapun ikut menyalurkan kepedulian sosial terhadap lingkungannya seperti yang dilakukan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Secara perlahan di dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul masalah baru berkaitan dengan pentingnya dunia usaha dalam mempertajam kesadaran mereka tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan harus memandang bahwa tanggung jawab sosial perusahaan perlu di upayakan di lingkungan eksternal dan

internal perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, pelaksanaan CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal untuk menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan baku dan limbah yang ramah lingkungan serta semua aspek dalam menjalankan kegiatan usaha dan dijamin tidak menerapkan praktek-praktek yang merugikan masyarakat di dalam dan sekitar perusahaan. Dalam lingkup eksternal, lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawabeksternalini menjadi kewajiban bersama antara entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwaresponsible business is a good business.7 Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut UUPT) menjelaskan CSR adalah komitmen 7 http://www. masyarakat mandiri. org, ”Tinjauan Konsep CSR by Rudi”, (diakses pada


(28)

perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Berdasarkan Pasal 74 UUPT, sebuah perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perusahaan yang tidak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.8 Diundangkannya UUPT ini mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela dan untuk kemudian menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Namun, UUPT secara eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa besaran persen laba bersih dari suatu keuntungan perusahaan yang harus disumbangkan. Karena pengaturan lebih lanjut merupakan domain daripada Peraturan Pemerintah (PP), tetapi untuk saat ini menurut UUPT besaran sumbangan yang


(29)

disalurkan kepada masyarakat pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban CSR ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (yang disingkat dengan UUPM). Pasal 15 huruf (b) UUPM juga menetapkan kewajiban bagi setiap perusahaan penanaman modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Yang dimaksud tanggung jawab sosial perusahaan dalam UUPM adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UUPM).

Pasal 74 UUPT yang telah disebutkan di atas mencoba mengakhiri perdebatan mengenai CSR sebagai tindakan sukarela perusahaan atau sebuah kewajiban hukum yangimperative(wajib dilksanakan), dengan menguraikan aturan sebagai berikut : (1) Perseroan yang menjalakan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.


(30)

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.9

Dengan perkataan lain, TJSL-CSR merupakan komitmen perseroan terhadap para pemangku kepentingan, dalam arti yang luas. Ketimbang hanya untuk kepentingan perseroan atau perusahaan semata. Artinya, walaupun secara moral dan etika adalah baik, boleh dan dibenarkan sebuah perseroan atau perusahaan mencari, mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi tanpa mengenyampingkan dan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain yang terkait. Misalnya lingkungan budaya, sosial dan masyarakat pada umumnya: jika demikian halnya, menurut pemberita adalah tepat jika CSR atau TJSL tidak lagi dimaknai sebagai gerakan atau tuntutan moral, tetapi dapat berkembang menjadi kewajiban, obligasi,

obligation, atau mandatory perseroan yang harus dilaksanakan. Bahwa kesadaran perseroan atau perusahaan untuk melaksanakan kewajiban TJSL atau CSR dapat memberikan makna bahwa perseroan bukan lagi sebagai kelompok atau entitas yang mementingkan dirinya sendiri. Berperilaku dan bercirikan eksklusifitas dari lingkungan masyarakatnya. Melainkan sebuah entitas yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya, sehingga dengan demikian menurut pemerintah, merupakan hal yang tepat dan wajar jika TJSL atau CSR tidak lagi dimanipulasi hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary , tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam pengertian liability. Dan karenanya jika 9Susanto A.B.“A Strategic Management Approach”, (Jakarta, The Jakarta C.G, 2007), hal 4.


(31)

perseroan atau perusahaan tidak melaksanakan, wajib dikenakan Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas.10 Jadi berdasarkan UUPT, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan bersifat wajib. Tanggung jawab perusahaan yang tinggi sangat diperlukan karena dengan mewajibkan perusahaan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk usaha sosial kemasyarakatan diharapkan dapat ikut memberdayakan masyakarat secara sosial dan ekonomi.

Mengenai CSR ini, secara eksplisit juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPA). Dari historikanya, UUPA lahir sebagai semangat memelihara perdamaian sekaligus rehab rekon Aceh pasca tsunami. Proses kelahirannya melibatkan banyak pihak di Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri sejak dirancang, dibahas hingga diterapkan sebagai Undang-Undang, Dalam konteks mensejahterakan rakyat Aceh, selain sebagai penunjang pendapatan di Aceh, seperti: tambahan bagi hasil migas, dana otsus, dana istimewa, dana alokasi umum, dana tambahan pendidikan, dan lainnya, terdapat satu sumber penting lainnya yang jarang dibicarakan, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari arus investasi dan kegiatan bisnis di Aceh. Sebab di antara tolok ukur Aceh maju dan rakyatnya sejahtera, jika pertumbuhan ekonomi Aceh secara positif dan signifikan meningkat yang disusul meningkatnya daya beli masyarakat. Pilar utama pemicu pertumbuhan ekonomi yang

10Mahkamah Konstitusi,Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian

Undag-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009., “Opening Statement Pemerintah tentang pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, hal 57.


(32)

dapat menimbulkan dampak multiplier bagi berbagai pihak adalah dunia usaha atau kalangan bisnis. Setiap usaha, selalu memulai dengan telaah kelayakan. Telaah ini meliputi berbagai aspek, antara lain, aspek keamanan, hukum, ekonomis, teknis, sosial, lingkungan, dan lain-lain.

Dalam UUPA terdapat beberapa ketentuan pokok mengenai pengelolaan sumber daya alam yang ada di Aceh yang juga berkaitan erat dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, hal ini sebagaimana yang di sebutkan dalam Pasal 156 UUPA, yaitu:

(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik didarat maupun dilaut Wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya.

(3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pemerintah Aceh dapat:

a. membentuk badan usaha milik daerah; dan

b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara.

(5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. (7) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(5), pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh.

Dalam Pasal 159 UUPA permasalahan mengenai CSR ini di tegaskan kembali, di mana dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa setiap pelaku usaha


(33)

pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Aceh berkewajiban menyiapkan dana pengembangan masyarakat, di mana dana pengembangan masyarakat sebagaimana dimaksud tersebut di tetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota, dan pelaku usaha yang besarnya paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahunnya. Mengenai rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat ini, tujuannya guna membiayai program yang disusun bersama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta mengikutsertakan pelaku usaha yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.

Terkait dengan masalah tersebut, PT Semen Andalas Indonesia yang untuk sekarang dinamakan PT Lafarge Cement Indonesia (atau disebut juga dengan PT LCI) merupakan salah satu pabrik swasta yang menghasilkan dan memproduksi semen di wilayah Kecamatan Lhoknga Provinsi Aceh. PT LCI Lhoknga merupakan salah satu perusahaan semen bagian dari grup Lafarge Perancis. Saat ini, Lafarge baru saja memperpanjang kerjasamanya empat tahun ke depan dengan PT LCI. Dalam websitenya, Salah satu proyek yang dilakukan Lafarge adalah memiliki pabrik semen di Indonesia, yaitu PT Lafarge Cement Indonesia di Aceh (PT LCI/Lafarge), di mana sekitar 99 persen saham PT LCI dimiliki oleh grup perusahaan Lafarge, Pabrik semen itu sendiri sempat terhenti akibat gelombang tsunami akhir tahun 2004 silam.


(34)

Pada tahun 2006, PT.LCI kembali melakukan rekonstruksi dan meningkatkan produksinya dari 1 juta ton menjadi 1,6 juta ton pertahun.11

Dalam hal pelaksanaan CSR oleh perusahaan tersebut, PT LCI telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat setempat dan hal ini diwujudkan dalam bentuk pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Pelaksanaan tanggung jawab sosial ini di tandai dengan telah di tandatanganinya perjanjian bersama yang melibatkan PT. LCI dengan masyarakat Lhoknga. Namun kemudian muncul permasalahan di kemudian hari mengenai besaran dari tanggung jawab sosial yang di jalankan perusahaan tersebut.

Hal ini lah yang kemudian memicu terjadinya kasus-kasus konflik terus menerus antara PT. LCI dan masyarakat Kecamatan Lhoknga, utamanya yang terkait dengan perilaku perusahaan, disebabkan karena silang pendapat antara PT. LCI dengan masyarakat dalam hal implementasi CSR oleh perusahaan. Sesungguhnya keberadaan CSR dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan telah pernah ada sejak dulu melalui program pengembangan lingkungan yang pernah dilaksanakan oleh PT. LCI sebelum penandatangannan perjanjian bersama, namun hal ini di rasa masyarakat masih belum mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat setempat.

11www. Google. com,“ CSR Oleh PT Semen Andalas Indonesia”, diakses pada tanggal 5


(35)

Berawal dari keinginan masyarakat yang tergabung dalam Komite Masyarakat Bersatu (KMB) Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar, yang melakukan aksi demo terhadap PT Lafarge Cement Indonesia untuk menuntut agar perusahaan semen tersebut segera memenuhi tuntutan masyarakat sekitar perusahaan itu. PT LCI (pada saat itu dinamakan dengan PT Semen Andalas Indonesia/PT SAI) dinilai ingkar janji oleh masyarakat Lhoknga atau melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh PT SAI pada tanggal 30 Mei tahun 1980 yang didalamnya termasuk permasalahan mengenai penerimaan karyawan putra daerah dan pemberdayaan masyarakat setempat serta pembangunan sarana pendidikan serta kesehatan bagi masyarakat Lhoknga.

Dalam perjanjian yang ditandatangani antara pimpinan PT SAI dengan Bupati Aceh Besar pada tanggal 30 Mei 1980, salah satu poin dari perjanjian tersebut menyebutkan bahwa pabrik akan memprioritaskan putra Lhoknga menjadi karyawan sesuai syarat melalui pelatihan dan pendidikan dari pabrik. Pada poin dua PT SAI akan memberikan prioritas kepada putra-putra Kecamatan Lhoknga yang memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk menjadi karyawan melalui program pendidikan dan latihan yang akan dilaksanakan PT SAI bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Sementara dalam poin tiga dari surat yang ditujukan oleh PT SAI kepada Bupati Aceh Besar dengan nomor 073/RA/80 juga disebutkan, salah satu rencana pembangunan lingkungan yang akan dilaksanakan dalam prioritas sesuai dengan target yang tersedia, seperti pembangunan tempat ibadah bagi masyarakat


(36)

Lhoknga, pembangunan tempat kesehatan rumah sakit/poliklinik dan pembangunan sekolah-sekolah untuk masyarakat setempat.12

Setelah melakukan beberapa kali negosiasi antara PT. LCI dengan Otoritas Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imum Mukim dalam Kecamatan Lhoknga, maka lahirlah sebuah kesepakatan. Perjanjian bersama yang disepakati oleh PT. LCI, dalam hal ini di wakili oleh Marc Jarrault selaku Presiden Direktur berdasarkan Akta No. 21 tertanggal 14 November 2008 (pihak pertama). Dan masyarakat Kecamatan Lhoknga, dalam hal ini di wakili oleh masing-masing Otoritas Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imeum Mukim dalam Kecamatan Lhoknga yang mewakili seluruh masyarakat dalam kecamatan Lhoknga (pihak kedua).

Dari perjanjian bersama tersebut melahirkan 4 (empat) kesepahaman, yaitu mengenai:

1. Kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga. 2. Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung. 3. Komitmen Lingkungan Hidup, dan

4. Penguatan dan Pengembangan Masyarakat.

Selain melakukan penguatan dan pengembangan ekonomi masyarakat, pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan kesehatan yang dilakukan melalui penyediaan dana pengembangan masyarakat serta pembangunan fasilitas umum, hasil

12 Junaidi, Dinilai Ingkar Janji, Warga Lumpuhkan Aktivitas PT SAI,


(37)

kesepakatan tahun 2008 antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga melahirkan sebuah perjanjian baru dimana PT LCI juga akan menyediakan dana pembangunan masyarakat sebesar Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah) pertahun yang akan dikelola oleh Departemen Pengembangan Komunitas, Plant Lhoknga PT Lafarge Cement Indonesia yang berkoordinasi dengan Komite yang dibentuk oleh Otoritas Kecamatan Lhoknga.13

Masyarakat Kecamatan Lhoknga melalui Komite yang dibentuk oleh Otoritas Kecamatan Lhoknga bersama PT LCI akan mengatur penggunaan dana pengembangan masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat kecamatan Lhoknga dan komite yang dibentuk oleh Otoritas Kecamatan Lhoknga bersama PT LCI yang akan memberikan laporan persemester (setiap enam bulan) kepada Kantor Pemerintah Provinsi NAD dan manajeman PT LCI serta Otoritas kecamatan Lhoknga mengenai pelaksanaan proyek dan dana pengembangan masyarakat.

Namun sejauh ini pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut masih dipandang belum bisa berjalan dengan baik, hal itu disebabkan karena perjanjian bersama yang telah ditandatangani tersebut tidak mencerminkan keinginan masyarakat Kecamatan Lhoknga, melainkan hanya sebuah “perjanjian baku” yang disodorkan oleh menejeman PT. LCI kepada otoritas masyarakat yang di wakili oleh Imum Mukim dari setiap masing-masing kemukiman yang ada di Kecamatan Lhoknga. Hal ini terlihat dari alokasi dana bantuan PT LCI yang di berikan kepada


(38)

masyarakat, dana CSR tersebut tidak langsung di distribusikan kepada masyarakat melainkan masyarakat harus mengajukan permohonan proposal untuk dapat menggunakan dana tersebut, dan umumnya proposal-proposal yang dikirim oleh lapisan kelompok masyarakat itu berkenaan dengan permohonan modal untuk menjalankan usaha dari kelompok tersebut. Sementara di sisi lain pihak, masyarakat memandang cara pengalokasian dana seperti ini sama sekali tidak efektif sehingga mengakibatkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan dana CSR tersebut secara langsung karena proposal-proposal tersebut tidak dapat di dukung secara langsung tetapi akan di kembangkan menjadi program pengembangan ekonomi yang ruang lingkupnya lebih besar, hal ini dikarenakan banyak diterima proposal yang sama, dan di lain pihak PT LCI juga memerlukan waktu untuk menganalisa dan menyusun sebuah program agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak sekaligus mampu menjawab keinginan pemohon, dan hal ini di pandang masyarakat sebagai salah satu penghambat penyaluran dana CSR kepada masyarakat sebagai hal yang tidak terdistribusi secara baik dan efektif.

Oleh karena itu, di sisi lain perusahaan berusaha untuk tidak menyalurkan bantuan CSR dengan pola CSR yang karitatif (memberikan layanan) dan paternalistik karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan mencerahkan komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Permasalahannya adalah bantuan ini sering tidak melibatkan perubahan struktural yang mendasar yang dibutuhkan komunitas untuk memerdekakan diri dari


(39)

ketertinggalan. Dengan mengabaikan proses yang partisipatif maka visi mulia CSR sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan. Dari pola perusahaan dalam melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola sekedar memberikan donasi sosial atau membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di sekitar perusahaan tidaklah cukup. Maka sewajarnya perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis, walaupun diakui terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan, karena pembangunan suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama, dan CSR terkait dengan peran strategis dari korporasi dalam menunjang pembangunan yang berbasis pada keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.14

Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Demikian halnya dengan sebuah perusahaan, dalam sebuah program implementasi tanggung jawab sosial, dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat 14 Bambang Rudito dan Melia Femiola, “Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial


(40)

terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentinganeksternaldan kepentinganinternal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kegiatan yang menyangkut hubungan sosial antara perusahaan dan komunitas lokal pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan pertama kali dalam kaitannya hubungan perusahaan dengan komunitas lokal. Dari hubungan ini maka dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam yang terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. Oleh karena hal tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan serta dampak-dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat sekitar perusahaan. Dan karenanya, dalam hal ini sangat menarik sekali untuk melakukan penelitian mengenai bentuk, “Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) oleh PT Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh”.


(41)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh?

2. Bagaimanakah penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?

3. Bagaimanakah dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh?


(42)

2. Untuk mengetahui penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perusahaan secara khusus juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam menyusun peraturan pelaksana lebih lanjut terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan oleh perseroan terbatas.


(43)

b. Sebagai informasi bagi praktisi bisnis (para pelaku usaha, pemegang saham dan komisaris) bahkan investor untuk memahami pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan serta melaksanakannya sebagai kepedulian dan komitmen dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

c. Memberikan pemahaman yang dianggap tepat bagi masyarakat agar memahami peran dan tanggung jawabnya dalam pencapaian peran dan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan bagi perusahaan perseroan terbatas.

d. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi untuk pengembangan lebih lanjut mengenai hal-hal tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ke arah yang lebih baik.

e. Sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis LSM/NGO, masyarakat umum dan

stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan, promotor sekaligus pengontrol perkembangan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ditemukan sedikitnya 2 (dua) judul tesis terkait tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yaitu : (1) Tesis atas nama Edi Syahputra dengan judul


(44)

Impelemntasi Corporate Social Responsibility (CSR) pada masyarakat Lingkungan PTPN IV dan (2) Tesis atas nama Martono Anggusti dengan judul Hak Perseroan dan Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut diatas, tesis pertama, lebih mengarah pada penerapan konsep CSR terhadap BUMN dalam Bentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan di Lingkungan PT Perkebunan Nusantara IV (persero). Sementara tesis yang kedua lebih menfokuskan pada Analisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas serta Manfaatnya bagi Pemerintah, Masyarakat dan Perusahaan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Tanggung jawab sosial perusahaan dimaksudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis.

Corporate Social Responsibility (CSR) pada prinsipnya merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan (tidak hanya perseroan terbatas) dengan segala sesuatu atau segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut untuk tetap menjamin keberadaan dan kelangsungan usaha (suistainability) perusahaan tersebut. Pengertian tersebut pada dasarnya memiliki konsep yang serupa dengan definisi tanggung jawab sosial dan


(45)

lingkungan yang di definisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.

Oleh karenanya, untuk melihat relevansi CSR dalam bisnis, sebuah teori atau aliran etika yang punya relevansi kuat untuk dunia bisnis adalah teoriutilitarianisme. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan di tunjuk kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori memberikan penjelasan mengenai cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang di bicarakannya.15

Kerangka teori tesis ini menggunakan teori utilitas (utilitarisme) yang di pelopori oleh Jeremy Bentham dan selanjutnya dikembangkan oleh John Stuart Mill. Utilitarisme disebut lagi suatu teologis (dari kata Yunani telos=tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik. Teori utilitas merupakan pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (The greatest good for the greatest number) artinya bahwa hal ini benar di definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik


(46)

dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Utilitarianism (dari kata utilities berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berpotensi pada hasil perbuatan.16

Utilitarisme sangat menekankan pada pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan seluruh kualitas moralnya.17 Prinsip ultiritarian menyatakan bahwa :”An action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by the act is the greater than the sumtotal of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place” (suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan dari tindakan lain yang dilakukan).18

16

Erni R. Ermawan“Business Ethic”, (Bandung, CV Alfabeta, 2007), hal 28.

17K. Bertens,“Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedan, (YogyakartaKanisius, 1989),

hal 93.

18 Manuel G, Velasquez, “Business Ethic : Concepts and Cases” Pearson Education Inc,


(47)

Dalam karya tulisnya yang berjudul “An Introduction To The Principles Of Morals and Legislation” Jeremy Bentham Menyebutkan:

Alam telah menempatkan umat manusia dibawah dua kendali kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya yang keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat di sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.19

Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu. Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti secara egoistis. Dalam rangka pemikiran ini kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang yang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab moril individu dan

19Ian Shapiro,“Asas Moral dan Politik”,(Jakarta Yayasan Obor Indonesia kerjasama dengan


(48)

korporasi? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia secara keseluruhan korporasi atau perusahaan tentu bisa meraih banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu menurut utilitarianisme upaya pembangunan berkelanjutan (suitainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan.20

Secara lebih konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme dapat dirumuskan 3 (tiga) kriteria objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan.

Kriteria Pertama, manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.

Kriteria Kedua, manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat besar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) di bandingkan dengan kebijaksanaan atau alternatif lainnya atau kalau yang di pertimbangkan adalah soal akibat baik atau akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan di nilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat di bandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu kerugian tidak bisa dihindari, dapat di katakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang


(49)

menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau di bandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).

Kriteria Ketiga, menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa, untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait, terpengaruh dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil? Dalam menjawab pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari suatu kerugian maka kebijaksanaan atau tindakan dinilai tidak baik dan kebijaksanaan atau tindakan itu di nilai baik apabila membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang.21

Persoalannya adalah apakah perusahaan dengan sukarela atau dengan ikhlas menciptakan perubahan dalam lingkungan masyarakat di tempat perusahaan itu berada. Karena pada dasarnya dunia usaha memegang teguh adagium bahwa tugas pebisnis adalah mencari untung sebesar-besarnya. Di sinilah pentingnya moralitas dalam kegiatan ekonomi menurut Adam Smith dalam bukunya “Theory Of Moral Sentiments”, mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, maka perusahaan harus dapat mengimplementasikan nilai


(50)

keadilan dalam kebijakan perusahaan karena negara hanya berlaku sebagai “Impartial Spectator”.22

Keberadaan suatu perusahaan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat sekitar yang kemudian menimbulkan kepentingan-kepentingan yang kadang saling bertentangan. Dalam konteks pertentangan kepentingan masyarakat ini akan menimbulkan persoalan wajar dan tidak wajar, patut tidak patut yang pada akhirnya pertentangan kepentingan ini dapat melanggar hak anggota masyarakat.23

Oleh karenanya, menjalankan suatu aktivitas bisnis tidak hanya cukup bermodalkan dana, tetapi sebagai fondasi juga di perlukan moralitas dan etika bisnis. Ukuran yang selalu digunakan dalam etika bisnis adalah ukuran moral, apakah suatu keputusan dan kebijaksanaan yang diterapkan dalam suatu pengelolaan perusahaan telah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam pengamatan para pakar, etika dan sukses bisnis atau kinerja etis dan kinerja ekonomis sutu organisasi bisnis bukanlah dua kutub yang bertentangan dan saling mengurangi atau meniadakan karena “good business, good ethic”.24 Apabila kehidupan bisnis ingin berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka bisnis itu harus memberi jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu mengenai apa saja yang di butuhkan oleh masyarakat tersebut. Kesadaran sosial ini adalah suatu akibat dari suksesnya suatu 22Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”,

dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 2004, hal 11.

23 Bismar Nasution, “Diktat Hukum Perusahaan”, Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, hal 1.

24 Alois A Nugroho,”Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis”, (Jakarta, PT Gramedia


(51)

masyarakat di dalam memecahakan masalah ekonomi yang besar. Untuk itu, harus diberi definisi dari suatu hubungan baru antara dunia bisnis dan masyarakat untuk membawa kegiatan usaha lebih dekat pada keingingan sosial sehinggan mencapai suatau kehidupan yang lebih bermutu.

Pendapat lain mendukung pertanggung jawaban sosial dari dunia bisnis ini adalah, bahwa kegiatan harus menciptakan gambaran atau lingkungan yang lebih baik untuk bisnis. Manfaat keterlibatan bisnis dalam masalah sosial menghasilkan kondisi lingkungan serta memberi hal yang positif bagi peengelolaan bisnis.25Adanya konsep tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu bentuk utilitas perusahaan yang mampu memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi masyarakan (society) dan juga merupakan perbuatan etis karena konsekuensi perbuataannya memberi manfaat kepada banyak orang.

Milton Friedman26 juga menyatakan pandangannya tentang tanggung jawab sosial perusahaan bahwa pencapaian tujuan perusahaan untuk mencapai keuntungan sebesar mungkin harus sesuai dengan aturan-aturan main yang berlaku dalam masayarakat, baik dari segi hukum maupun dari segi kebiasaan etis. Tanggung jawab

25O.P Simorangkir,”Etika : Bisnis, Jabatan dan Perbankan”, ( Jakarta, Rineka Cipta, 2003),

hal 55.

26

Milton Fiedman (1912) adalag professor emeritus di universitas Chicago dan pemenang hadiah nobel pada tahun 1976. ia sudah merumuskan pandangannya tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam bukunya Capitalism and Freedom (1962) tetapi yang menjadi mahsyur dalam konteks ini adalah tulisan kecilnya yang dimuat dalam New York Times magazine, 13 september 1970 dengan judul The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits.


(52)

sosial bisnis perlu sebagai usaha untuk memperbaiki citra dari kegiatan mencari untung.27

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Tanggung jawab sosial perusahaan di maksudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis. Sehingga tanggung jawab sosial perusahaan dalam hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat adalah tanggung jawab sosial perusahan yang bernuansa ekonomis, bukan sebaliknya. Pada dasarnya, tanggung jawab sosial perusahaan di bedakan dari tanggung jawab lain. Bisnis selalu memiliki dua tanggung jawab yaitu tanggung jawab ekonomis dan tanggung jawab sosial. Jika Milton Friedman menyebutkan peningkatan keuntungan perusahaan sebagai tanggung jawab sosialnya, sebetulnya ia berbicara mengenai tanggung jawab ekonomis saja bukan tanggung jawab sosial. Namun perlu di akui, tanggung jawab ekonomis ini mempunyai aspek sosial penting dan mungkin terutama aspek itulah yang ingin di pertegas oleh Friedman. Kinerja setiap perusahaan menyumbangkan kepada kinerja ekonomi nasional sebuah negara.28 Jika suatu perusahaan berhasil memainkan perannya

27K. Bertens,op cit, hal 293.

28Milton Friedman “The Social Responsibility of Business is to Increase its Profit” dalam

New York Magazine 13 September 1970, yang dimuat kembali dalam Thomas Donaldson dan Patricia H. Werhane (eds)Ethical Issues in Business, A Philishopical Approach, (ed.2), New Jersey, Prantice Hal, inc, 1983, hal 239. Lihat juga tulsannya “The Responsibility of Business” dalam bukunya Captalism and Freedom, hal 133-136) yang dimuat kembali dalam Tom L. Beauchamp dan Norman E. Bowie,Ethical Theory and Business(ed.2), New Jersey, Prantice Hall, Imc, 1983, hal 82-83.


(53)

dengan baik di atas penggung ekonomi nasional, dengan sendirinya ia telah memberi kontribusi yang berarti kepada kemakmuran masyarakat.

Berdasarkan teori di atas, pada mulanya CSR bukan suatu bentuk kewajiban yang dapat melahirkan pertanggungjawaban dalam hukum. CSR lebih merupakan

moral obligationperusahaan terhadap keadaan ekonomi, keadaan sosial dan keadaan lingkungan perusahaan. CSR yang terkait dengan kegiatan usaha atau jalannya perusahaan secara berkesinambungan. Melaksanakan CSR berarti turut membantu

stakeholders perusahaan untuk menjamin kesinambungan usaha perusahaan. Namun demikian perkembangan dunia menunjukkan bahwa saat ini CSR tidak lagi hanya merupakan kewajiban moral belaka, tetapi sudah menjelma menjadi kewajiban yang dapat di pertanggung jawabkan secara hukum.29

Hal ini sesuai dengan Keputusan mahkamah Konstitusi Mengenai Yudicial Review Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa kesadaran perseroan untuk melaksanakan kewajiban TJSL/CSR dapat memberikan makna yaitu perseroan dimaksud bukan lagi sebagai kelompok yang mementingkan dirinya sendiri, melainkan wajib memperhatikan dan melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, wajar apabila TJSL/CSR tidak hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary tetapi

mandatory dalam pengertian liability serta terhadap perseroan yang tidak melaksanakan CSR akan dikenakan sanksi. Bahwa hubungan antara moral dan etik 29 Gunawan Widjaja, “150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas”, (Jakarta, Forum


(54)

dengan hukum adalah bersifat gradual, di mana hukum merupakan formalisasi atau legalisasi nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini, nilai-nilai moral dan etik yang diterima secara sukarela (voluntari) dan dianggap penting dapat saja diubah secara gradual menjadi hukum atau Undang-Undang agar lebih mengikat. Dalam perkaraa quodapat saja atau tidak ada halangan apapun terhadap nilai-nilai CSR yang semula bersifat ketentuan moral, etik dan sukarela (voluntary) kemudian dijadikan materi muatan dalam Undang-Undang.30

Kewajiban Pasal 74 UUPT, mewajibkan pelaksanaan CSR atau tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau kegiatan berkaitan dengan sumber daya alam. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, maka CSR dapat dilaksanakan sebagai komplimen, kemaslahatan, dan kesinambungan perusahaan itu sendiri. Bahwa UUD 1945 telah mensyaratkan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Oleh karena itu penggunaan sember daya alam haruslah selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

30

Mahkamah Konstitusi,Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.” Pertimbangan keterangan lisan Pemerintah dalam sidang pleno tanggal 3 Februari 2009”, hal 87.


(55)

lingkungan hidup, makna untuk efesiensi berkeadilan harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat guna mewujudakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.31

Bila di tarik prinsip tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada pengertian CSR, maka dapat di simpulkan bahwa CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan para stakeholders dalam arti luas dari pada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa perusahaan mengejar keuntungan, bukan berarti perusahaan dibenarkan mencapai keuntungan tersebut dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait. Sehingga setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan dari usahanya yang mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap stakeholders-nya dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya. Secara negatif, uraian di atas dapat di maknai bahwa suatu perusahaan harus menjalankan usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak merugikan para stakeholders-nya dan tidak merusak lingkungan. Sedangkan secara positif, hal ini bermakna bahwa setiap perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan stakeholders-nya dengan memperhatikan kualitas lingkungan ke arah yang lebih baik.


(56)

Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutahkir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan. Paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.32

Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegitan sosial yang berguna bagi masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan terutama di maksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.

Kedua, perusahaan telah di untungkan dengan mendapatkan hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.

Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas dengan 32 A. Sonny Keraf, “Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya)”,( Yogyakarta, Kanisuis,


(1)

Saran

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 sebenarnya telah mengakhiri perdebatan tentang wajib tidaknya CSR yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan, terutama perusahaan yang mengelola sumber daya alam. Di sisi lain pengaturan mengenai tanggung jawab sosial ini juga di atur lebih khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun tetap dirasakan belum sepenuhnya menempatkan rasa keadilan bagi masyarakat,. Oleh karenanya untuk mendukung investasi, khusunya di Aceh agar Pemerintah Aceh dalam menyusun Rancangan Qanun untuk mengatur lebih jelas dan tegas mengenai tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan.

2. Setelah mengalami tekanan yang cukup berat dan besar dari masyarakat, sudah seharusnya PT LCI lebih berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar perusahaan dan lebih khusus memperhatikan isu-isu lingkungan dalam hal reklamasi dan rehabilitasi agar tujuan akhir dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak. Dan bagi masyarakat sendiri, juga tidak terlepas perannya dalam mendukung kelancaran operasional perusahaan artinya bangaimana masyarakat juga tetap memberikan dukungannya dengan tetap menciptakan situasi dan kondisi yang aman dan


(2)

138

kondusif bagi kelancaran jalannya kegiatan perusahaan agar tejadi hubungan timbal balik yang seimbang antara masyarakat dan PT LCI.

3. Dampak tanggung jawab sosial yang dilaksanakan oleh PT LCI memang menimbulkan asumsi yang beragam, satu sisi masyarakat sangat diuntungkan, namun sebagian besar sisi masyarakat lainnya merasa bahwa program-porgram yang disalurkan PT LCI kepada masyarakat belum mengakomodir seluruh keinginan masyarakat Untuk itu, dalam rangka memperkuat hubungan antara PT LCI dan masyarakat agar kiranya terus meningkatkan program tangung jawab sosialnya, dengan menitik beratkan pada komitmen lingkungan hidup, rekrutmen tenaga kerja serta yang paling penting adalah dengan lebih meng-efisienkan waktu yang tidak terlalu lama dalam hal menyalurkan dana penguatan dan pengembangan masyarakat serta mensosialisasikan laporan program CSR yang sudah dijalankan agar masyarakat mengetahui program CSR apa saja yang sudah dilaksanakan setiap tahunnya.


(3)

Anggusti, Martono, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Bandung: Book Terrace&Library, 2010.

Bertens, K, Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedaan, Yogyakarta: Kanisisu, 1989.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas ,Bogor: Gahlia Indonesia, 2002.

Chandra, I. Robby ,“Etika Dunia Bisnis”, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Ermawan, R, Business Ethic, Bandung : CV Alfabeta, 2007.

Fuady, Munir,“Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Harahap, M, Yahya , Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta : Sinar Grafika, 2009. Haryono, Sunaryati, C. F. G, Hukum Pembangunan Ekonomi Indonesia, Bandung :

Bina Cipta, 1988.

Harris, Freedy dan Anggoro, Teddy, Hukum Perseroan Terbatas (Kewajiban Pemberitahuan Oleh Direksi) ,Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Keraf, A. Sonny, Etika Bisnis, Yogyakarta :Kanisius, 1998.

Keraf. A Sonny, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), Yogyakarta : Kanisuis, 2002.

Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1977.

Muis, Abdul, Hukum Persekutuan Dan Perseroan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006.

Mulhadi, Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia) ,Bogor: Gahlia Indonesia, 2010.


(4)

140

Nugroho, A, Alois, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis, Jakarta : PT Gramedia Widasarana Indonesia, 2001.

Purba, M. Marisi, Aspek kutansi Undang-Undang Perseroan Terbatas (Suatu Pembahasan Kritis Atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas) ,Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Jakarta : PT Citra Aditya Bakti, 2004. Rahardjo, Handri, Hukum Perusahaan ,Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009.

Rudito, Bambang dan Femiola, Melia, “Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia”, Bandung : Rekayasa Sains, 2007.

Supramono, Gatot, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan perdata di Pengadilan ,Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Susanto, A. B, A Strategic Management Approach, Jakarta : The Jakarta C.G, 2007. Tjager, I, Nyoman,et al, Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi

Komunitas Bisnis Indonesia , Jakarta : PT Prehalindo, hal 142, uraian mengenai peranan Good Corporate Governance terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003.

Simorangkir, .O.P, Etika : Bisnis, Jabatan dan Perbankan, Jakarta : Rineka Cipta, 2003.

Sumantri, dan Jujun. S, Suria, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Sumarwan, Ujang, Perilaku Konsumen, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004.

Untung, Budi, Hendrik, Corporate Social responsibility, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Velasques, .G, Manuel , Business Ethic : Concepts and Cares, Pearson Education Inc, New Jersey, 2002.

Wahyudi, Isa dan Azheri, Busyra, Corporate Social Responsibiliy, Prinsip Pengaturan dan Implementasi, Malang : In-Trans Publishing, 2008.


(5)

Widjaja, Gunawan, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, Jakarta : Forum Sahabat, 2008.

Widoyo, Tri, Direksi Perseroan Terbatas Edisi Kedua , Bogor : Gahlia Indonesia, 2008.

Yusuf, Adijaya, dan Head, .W, John, Topik-Topik Mata Kuliah Hukum Ekonomi Dan Kurikulum, Jakarta : Elips, 2002.

Yusuf, WibisonoMembedah Konsep & Aplikasi CSR, Gresik : Franco Publishing.

2. Makalah dan Jurnal

Djalil, Sofyan, Kontek Teoritis dan Praktek Corporate Social Responsibility, Jurnal Reformasi Ekonomi Volume 4 Nomor 1 Januari-Desember 2003.

Hasan, Hj. Halyani, “Corporate Social Responsibility : Recent update in Malaysia”, 5th, Asian Law Institute Consference, (Singapore: National University of Singapore, 22 and 23 May 2008).

Judith, Henningfeld, The ICCA Handbook on Corporate Social Responsibility, (John Wiley&sons Ltd), 2006.

Kotler Philip, and Lee Nancy, Corporate Social Responsibility, (New Jersey: John Wiley and sons, Inc, 2005).

Lipton Philip, and Herzberg Abraham, “Understanding Company Law”, (Brisbane The Law Company Ltd,1992).

Nasution, Bismar, Diktat Hukum Perusahaan, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 2004,.

Prawikusumo, Soeharto, Perilaku Bisnis Modern Tinjauan Pada Etika Bisnis-Tanggung Jawab Sosial , Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 4- Tahun 2003.


(6)

142

Shapiro, Ian, Asas Moral dan Politik , (Jakarta Yayasan Obor Indonesia kerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Freedom Institute), 2006.

3. Perundang-undangan

Mahkamah Konstitusi,Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terhadap UUD 1945. Tanggal 15 April 2009.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

4. Internet

www. kabarindonesia.com, Junaidi, Dinilai Ingkar Janji, “Warga Lumpuhkan Aktivitas PT SAI”

www. Google.com, “CSR oleh PT Semen Andalas Indonesia”

http://www. masyarakat mandiri. org. ”Tinjauan Konsep CSR by Rudi”.

www. Google. com,Tinjauan Umum tentang Community Development : Community Development dalam Pembangunan Paradigma yang berkelanjutan”.

www. Google. com, “Tinjauan PelaksanaanCorporate Social Responsibility” ,

www.Google. com, “Tinjauan Konsep Social Responsibility”.