Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan

(1)

PERBEDAAN UKURAN DAN

SUHU LINGKUNGAN

RHESA AGUNG MAULANA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan RONI NUGRAHA.

Ikan mas merupakan ikan air tawar yang biasa dijual dalam keadaan hidup. Teknik transportasi ikan hidup yang dapat menjamin ikan tetap hidup hingga ke tangan konsumen sangat dibutuhkan. Upaya meningkatkan kepadatan ikan dengan mengurangi jumlah air telah dilakukan. Upaya tersebut masih belum diikuti dengan upaya peningkatan ketahanan hidup ikan dan kajian fisiologis ikan sehingga, masih banyak masalah yang dihadapi. Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap proses fisiologis ikan. Informasi dasar tentang sifat fisiologis ikan mas pada suhu berbeda yaitu suhu dingin, suhu ruang, dan

suhu hangat sangat diperlukan terutama mengeanai metabolismenya (tingkat konsumsi oksigen dan produksi metabolit). Tujuan penelitian ini adalah

mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas

(C. carpio L.) serta perubahan kualitas air pada perlakuan perbedaan ukuran dan

perbedaan suhu lingkungan.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk memilih size ikan mas ukuran konsumsi (size 4, size 5, dan size 6) yang memiliki daya tahan terbaik terhadap perubahan lingkungan (kepadatan). Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas dibawah kondisi suhu lingkungan yang berbeda. Rancangan percobaaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan satu faktor, yaitu faktor pemberian ukuran untuk penelitian pendahuluan dan faktor pemberian suhu untuk penelitian utama dengan taraf suhu dingin, suhu ruang, dan suhu hangat. Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakuan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan mas dengan size 4 memiliki SR yang paling tinggi yaitu 62,5 %, diikuti oleh size 5 sebesar 60 %, dan size 6 sebesar 50 %. Penurunan kualitas air pada perlakuan size 4 relatif lebih lambat dibandingkan dengan size 5 dan size 6. Rata-rata jumlah bukaan mulut yang paling banyak didapatkan oleh ikan size 6 yaitu sebesar 1643, sedangkan rata-rata terkecil didapatkan oleh ikan size 4 yaitu sebesar 1131. Tingkat konsumsi oksigen tetinggi pada perlakuan perbedaan suhu didapatkan pada perlakuan suhu hangat menit ke-30 yaitu sebesar 23,40 ± 0,42 mgO2/kg/jam, sedangkan tingkat konsumsi

oksigen terendah didapatkan pada perlakuan suhu ruang menit ke-90 yaitu sebesar 0,14 ± 0,02 mgO2/kg/jam. Perhitungan kualitas air pada perlakuan perbedaan suhu

untuk parameter DO, CO2, TAN, dan pH yang terbaik didapatkan oleh perlakuan

suhu dingin. Ikan dengan perlakuan suhu dingin gerakan fisik tubuhnya terlihat lebih lambat dibandingkan dengan suhu ruang dan suhu hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang mati pada saat simulasi. Metode transportasi terbaik yang menyebabkan tingkat mortalitas paling rendah adalah transportasi ikan mas size 4 dengan perlakuan suhu dingin.


(3)

PERBEDAAN UKURAN DAN

SUHU LINGKUNGAN

RHESA AGUNG MAULANA C34080089

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Nama Mahasiswa : Rhesa Agung Maulana NRP : C34080089

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. MPhil Roni Nugraha, S.Si, M.Sc NIP : 1958 0511 1985 03 1 002 NIP : 1983 0421 2009 12 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan” adalah benar karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Rhesa Agung Maulana


(6)

anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan cukup baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi hasil penelitian ini berjudul “Perubahan Kondisi Fisiologis Ikan Mas

(Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan”.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis sangat berterima kasih pada:

1. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil dan Roni Nugraha, S.Si, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan dengan penuh kesabaran.

2. Dr. Ir. Nurjanah, M.S, sebagai Dosen Penguji atas saran yang telah diberikan.

3. Ibu Etty Lisnawati, Bapak Sumardi Sumamiharja, Yuska Etika Mardiana, Dwi Prima Nurani, dan Irfan Widya Permana atas perhatian dan dukungannya.

4. Yunita Puspa Dewi atas saran, semangat, dan bantuannya. 5. Teman-teman THP 45 atas kenangan indah yang telah terukir.

6. Kakak-kakak kelas THP 44, 43, dan 42 atas saran yang sangat membantu. Penulis menyadari penulisan skrpsi ini masih belum sempurna. Penulis sangat terbuka atas saran maupun kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2012


(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 27 Juni 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari

pasangan Sumardi Sumamiharja dan Etty Lisnawati. Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMA Kornita, Bogor dan pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru).

Selama pendidikan, Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Penanganan dan Transportasi Biota Hasil perairan pada tahun 2010-2011, asisten mata kuliah Fisiologi, Formasi, dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan pada tahun 2011, serta asisten mata kuliah Biotoksikologi Hasil Perairan pada tahun 2011.

Penulis pernah menjadi anggota Divisi Informasi dan Komunikasi, Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN, 2009-2011), dan anggota Baraccuda Music Club (BMC, 2009-2010). Penulis melakukan penelitian dengan judul “Perubahan Kondisi Fisilogis Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibimbing oleh Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. MPhil dan Roni Nugraha, S.Si, M.Sc.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1 PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) ... 3

2.2 Suhu ... 3

2.3 Derajat Keasaman (pH) ... 4

2.4 Oksigen Terlarut (DO) ... 4

2.5 Karbondioksida (CO2) ... 5

2.6 Total Amonia Nitrogen (TAN)... 5

2.7 Glukosa Darah ... 6

3 METODE PENELITIAN ... 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan... 9

3.2 Bahan dan Alat ... 9

3.3 Tahap Penelitian ... 9

3.3.1 Persiapan penelitian ... 9

3.3.2 Penelitian pendahuluan ... 11

3.4.3 Penelitian utama ... 12

3.5 Rancangan Percobaan... 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4.1 Sifat Fisiologis Ikan Mas (C. carpio L.) ... 13

4.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Mas (C. carpio L.) ... 18

4.3 Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Kualitas Air dan Tingkah ... Laku Ikan Mas (C. carpio L.) ... 19

4.4 Pengaruh Suhu terhadap Glukosa Darah Ikan Mas (C. carpio L.) ... 26

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Kesimpulan ... 28

5.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29


(9)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Parameter kualitas air, alat, dan cara pengukurannya ... 10 2 Jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke permukaan 14 3 Nilai perhitungan SR perlakuan perbedaan ukuran ... 14 4 Tingkat konsumsi oksigen ikan mas selama simulasi... 18 5 Pengamatan fisik tingkah laku ikan pada suhu dingin, ruang, dan

hangat ... 25 6 Uji kadar glukosa darah pada beberapa suhu di awal dan akhir


(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan mas (Cyprinus carpio L.) ... 3

2 Diagram alir tahapan pengujian fisiologis ikan mas ... 13

3 Grafik nilai DO pada perlakuan perbedaan ukuran ... 13

4 Grafik nilai CO2 pada perlakuan perbedaan ukuran ... 15

5 Grafik nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran ... 16

6 Grafik nilai pH pada perlakuan perbedaan ukuran ... 17

7 Diagram batang nilai rata-rata parameter DO ... 19

8 Diagram batang nilai rata-rata parameter CO2 ... 20

9 Diagram batang nilai rata-rata parameter TAN ... 21


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data kualitas air perbedaan ukuran ikan mas ... 34

2 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan ukuran ... 35

3 Data kualitas air perbedaan suhu lingkungan ... 38

4 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan suhu lingkungan ... 39

5 Tabel ANOVA perlakuan perbedaan ukuran ... 42

6 Tabel ANOVA perlakuan perbedaan suhu ... 45

7 Tabel uji lanjut Duncan perlakuan perbedaan ukuran ... 48

8 Tabel uji lanjut Duncan perlakuan perbedaan suhu ... 50

9 Faktor perhitungan CO2 dalam air dengan dikethui pH dan temperatur ... 53


(12)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transportasi biota hasil perairan berfungsi menghubungkan produsen produk perikanan dengan konsumen. Permintaan konsumen terhadap komoditas perikanan dalam bentuk hidup semakin besar dan berkembang, karena ikan hidup memiliki kesegaran yang masih prima. Perdagangan ikan dalam bentuk hidup selain menguntungkan konsumen, juga dapat menguntungkan pedagang

karena harganya bisa mencapai tiga hingga empat kali harga ikan mati (Suparno et al. 1994). Imanto (2008) menyatakan pula bahwa transportasi ikan

hidup sangat penting bagi perdagangan ikan karena dapat meningkatkan nilai jual yang lebih tinggi dan meningkatkan nilai hasil usaha.

Ikan mas (Cyprinus carpio L.) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini digemari oleh masyarakat. Produksi ikan mas ditargetkan akan meningkat dari 280.000 ton (2011) menjadi 380.000 ton di tahun 2012 (KKP 2012). Optimisme peningkatan produksi ikan mas ini dikarenakan telah ditemukannya vaksin bagi virus KHV yang menyerang ikan mas. Nugroho & Wahyudi (1991) menyatakan pula bahwa ikan mas merupakan salah satu dari 10 jenis ikan budidaya air tawar penting yang dapat dibudidayakan di Indonesia.

Ikan mas merupakan ikan air tawar yang biasa dijual dalam keadaan hidup. Teknik transportasi ikan hidup yang dapat menjamin ikan sampai kepada konsumen dalam keadaan tetap hidup sangat dibutuhkan. Teknik transportasi ikan mas hidup yang biasa digunakan masyarakat adalah sistem basah tertutup dengan kantong plastik dan sistem basah terbuka dengan drum plastik atau wadah blong. Upaya meningkatkan kepadatan ikan dengan mengurangi jumlah air telah dilakukan. Upaya tersebut masih belum diikuti dengan upaya peningkatan ketahanan hidup ikan dan kajian fisiologis ikan sehingga masih banyak masalah yang dihadapi. Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap proses fisiologis ikan. Rachmawati et al. (2010) melaporkan bahwa suhu merupakan salah satu sumber stres yang dapat mempengaruhi perubahan fisiologis tubuh ikan. Ketidaksesuaian suhu tempat ikan hidup (lingkungan) akan mengakibatkan pertumbuhan ikan lambat dan dapat berakibat pada kematian ikan.


(13)

Kajian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu lingkungan terhadap fisiologis ikan mas. Informasi dasar tentang sifat fisiologis ikan mas pada suhu berbeda yaitu suhu dingin, ruang, dan hangat sangat diperlukan terutama mengeanai metabolismenya (tingkat konsumsi oksigen dan produksi metabolit). Sulmartini et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu kendala dalam transportasi ikan mas adalah sifat ikan mas yang memiliki metabolisme yang tinggi. Perhitungan respon stres (kadar glukosa darah), serta aktivitas gerak fisik ikan mas juga perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas

(C. carpio L.) serta perubahan kualitas air pada perlakuan perbedaan ukuran dan


(14)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Mas (C. carpio L.)

Ikan mas atau common carp termasuk Ordo Cypriniformes, Familia Cyprinidae. Ikan mas (C. carpio L.) mempunyai empat buah sungut dan bagian belakang jari-jari terakhir sirip dubur pada ikan mas mengeras dan bergerigi. Ikan mas berasal dari Jepang, China, dan diintroduksi ke seluruh dunia sebagai ikan konsumsi. Ikan mas merupakan ikan budidaya tertua yang dapat tumbuh mencapai ukuran panjang 120 cm dengan berat 37,3 kg. Sifat ikan mas adalah omnivora atau pemakan segala, mencari hewan dasar dengan cara

mengauk dasar kolam yang menyebabkan air menjadi keruh (Tim Peneliti BRPPU 2008). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan mas

(C. carpio L.) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus

Spesies : Cyprinus carpio (Linnaeus 1758), morfologi ikan mas (C. carpio L.) disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan mas (C. carpio L.) 2.2 Suhu

Ikan merupakan hewan berdarah dingin (poikilothermal) yang metabolisme tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Neuman et al. 1997). Engelsma et al. (2003) menyatakan bahwa suhu juga berpengaruh terhadap parameter hematological dan daya tahan terhadap penyakit. Pemberian suhu tinggi


(15)

ataupun suhu rendah yang mendadak dapat meningkatkan jumlah sel darah putih pada ikan mas. Proses fisiologis dalam ikan yaitu tingkat respirasi, makan, metabolisme, pertumbuhan, perilaku, reproduksi dan tingkat detoksifikasi dan bioakumulasi dipengaruhi oleh suhu (Fadhil et al. 2011).

Setiap ikan memiliki rentang suhu yang optimal bagi pertumbuhannya. Ikan yang hidup di lingkungan lebih hangat memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat tetapi cenderung memiliki jangka hidup yang lebih pendek daripada ikan pada lingkungan air dingin. Suhu air yang tinggi dapat meningkatkan

sistem metabolisme tubuh ikan sehingga konsumsi pakan meningkat (Kausar & Salim 2006). Meningkatnya suhu dapat meningkatkan aktivitas enzim

pencernaan yang dapat mempercepat pencernaan nutrisi sehingga dapat meningkatkan hasil buangan (Shcherbina & Kazlauskene 1971).

2.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter kimia perairan yang memiliki pengaruh besar terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Nilai pH akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Kisaran pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6,5-9. Batas terendah yang menyebabkan kematian ikan adalah pH 4 dan tertinggi pada pH 11 (Boyd 1990). Perairan dengan kisaran pH 4-6 mengakibatkan pertumbuhan lambat bagi ikan budidaya (Boyd 1990). Nilai pH suatu perairan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis normal organisme air, termasuk pertukaran ion dengan air dan respirasi (EIFAC 1969).

2.4 Oksigen Terlarut (DO)

Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dengan batas minimum adalah 3 ppm. Kandungan oksigen di dalam air dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4-10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas kelarutan oksigen antara 3-4 ppm pada suhu 20-30 oC (Ghufran & Kordi 2007). Ernest (2000) ikan mas dapat bertahan hidup pada konsentrasi DO minimum sebesar 2 mg/L. Doudoroff dan Shumway (1970) menyatakan bahwa kebutuhan minimum oksigen untuk ikan mas (C. carpio) adalah 0,2-2,8 mg/L. Boyd (1990)


(16)

menjelaskan juga bahwa kandungan DO kurang dari 1 mg/L dapat menyebabkan

lethal atau menyebabkan kematian dalam beberapa jam.

2.5 Karbondioksida (CO2)

Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari hasil respirasi

organisme perairan. Lamanya waktu transportasi berbanding lurus dengan tingginya eksresi CO2 yang dihasilkan. Kepadatan yang tinggi juga akan

menghasilkan eksresi CO2 yang lebih tinggi. Karbondioksida bereaksi dengan air

akan menghasilkan asam karbonat (H2CO3) (Suryaningrum et al. 2006). Berikut

ini adalah reaksi terbentuknya asam karbonat menurut William & Robert (1992) : H2O + CO2 = H2CO3 = H+ + HCO3

-Tingkat aktivitas dan stres ikan juga mempengaruhi kadar CO2 dalam air

terkait tingkat respirasinya. Hal tersebut dikarenakan CO2 dihasilkan sebagai

oksidasi senyawa organik yang berasal dari makanan selama proses respirasi (Suryaningrum et al. 2006). Ketika ikan ditebar sangat banyak atau pada kepadatan tinggi, konsentrasi CO2 dapat menjadi tinggi sebagai hasil dari

respirasi. CO2 bebas yang dilepaskan selama respirasi akan berekasi dengan air

sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air

(William & Robert 1992).

2.6 Total Amonia Nitrogen (TAN)

Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion

amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Sumber amonia pada wadah transportasi berasal dari hasil metabolisme ikan yang dikeluarkan oleh insang. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia (Effendi 2003). Metode penghitungan amonia yang ada sekarang ini sebenarnya melakukan perhitungan terhadap amonia total atau total amonia nitrogen (TAN) yang terdiri dari NH3 dan NH4+ (Hargreaves dan

Tucker 2004). Berikut merupakan kesetimbangan reaksinya: NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH-


(17)

Proporsi relatif dari kedua bentuk amonia tersebut di dalam perairan ditentukan oleh derajat keasaman atau pH. Bentuk toksik dari amonia adalah saat menjadi NH3 dan umumnya dominan saat pH tinggi. Ion amonium relatif tidak

toksik dan mendominasi saat pH rendah (Hargreaves dan Tucker 2004). Konsentrasi amonia dalam suatu perairan harus diatur secara hati-hati karena amonia yang tidak terionisasi (NH3) dapat menjadi sangat beracun bagi hewan

budidaya. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi Pada pH 7 atau kurang. Amonia tidak terionisasi pada pH lebih besar dari 7 dan akan bersifat toksik jika jumlahnya banyak. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi 2003).

Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi (Effendi 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L, sedangkan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari

0,2 mg/L. Kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mg/L, perairan toksik bagi beberapa jenis ikan (Effendi 2003).

Pada tingkat toksik, NH3 dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah,

gangguan osmoregulasi, dan kesulitan bernafas. Akumulasi NH3 pada

kolam-kolam budidaya dapat bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi dan dapat menyebabkan kematian hewan budidaya. Akumulasi NH3 pada

kolam-kolam budidaya biasanya hanya sampai pada level yang menyebabkan efek-efek subletal (Hargreaves dan Tucker 2004).

2.7 Glukosa Darah

Respon sekunder terjadi karena adanya pengaktifan hormon stres yang menyebabkan perubahan kimia darah dan jaringan (Begg & Pankhurst 2004), misalnya peningkatan glukosa dalam plasma darah (Porchas et al. 1990). Glukosa darah kebanyakan diproduksi akibat adanya aksi hormon kortisol yang dapat merangsang glukoneogenesis pada hati dan menghentikan penyerapan gula


(18)

(Porchas et al. 1990). Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Sedangkan selama stres terjadi inaktivasi insulin sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel (Brown 1993 dalam Hastuti et al. 2003).

Pengujian glukosa darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat stres pada ikan (Kucukgul & Sahan 2008). Barton & Iwama (1991) menyatakan bahwa konsentrasi kortisol dan glukosa merupakan indikator stres yang paling penting pada ikan. Kebutuhan energi dari glukosa untuk menangani stres dapat dipenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel target. Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Inaktivasi insulin terjadi selama stres sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel (Hastuti et al. 2003).

Mekanisme terjadinya perubahan performa glukosa darah selama stres adalah sebagai berikut: Adanya perlakuan shock suhu (perubahan suhu) lingkungan akan diterima oleh organ reseptor. lnformasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf, dan selanjutnya sel kromaffin menerima perintah melalui serabut syaraf symphatik untuk mensekresikan hormon katekolamin. Hormon ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan otot serta menekan sekresi hormon insulin, sehingga glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan hipothalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing factor) yang meregulasi kelenjar pituitary untuk mensekresikan ACTH

(adrenocorticotropik hormone), MSH (melanocyte stimulating hormone) dan

B-End (B-endorphin). Hormon tersebut akan meregulasi sekresi hormon kortisol dari sel. Kortisol selanjutnya akan menggertak enzim-enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan glukosa darah yang bersumber dari non karbohidrat. Penurunan glukosa darah terjadi akibat adanya katabolisme protein untuk membentuk glukosa, katabolisme protein ini juga menghasilkan asam amino, sehingga asam amino dalam darah diduga meningkat. Meningkatnya asam amino dalam darah akan mengaktivasi insulin kembali sehingga mampu melakukan transport glukosa, sehingga glukosa dalam darah akan menurun kembali (Hastuti et al. 2003).


(19)

Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pulau lengerhan pada jaringan epithelium pankreas yang mengatur tingkat kenormalan gula darah yang relatif konstan dibawah kondisi normal. Hormon ini berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Suptijah 1996). Insulin adalah protein yang mempunyai struktur primer spesifik dan merupakan polipeptida besar dengan berat molekul kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai: rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai

B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat 2 jembatan disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan N-19 dengan A-20.

Jembatan disulfida juga terdapat antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A (Suharto & Handoko 1987 dalam Suptijah 1996).

Insulin memiliki fungsi yang luas dan rumit. Efek akhir dari hormon ini adalah penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak sehingga insulin dapat disebut sebagai hormone of abudance (Nurtanio & Wangko 2007). Insulin memiliki dua fungsi penting dalam menjaga homeostasis metabolisme dalam

tubuh. Mengusahakan tetap tersedianya sumber energi yang cukup untuk kebutuhan tubuh dalam masa perkembangan, pertumbuhan, dan

reproduksi adalah fungsi pertama. Fungsi kedua adalah mengatur konsentrasi glukosa plasma. Pengaturan pelepasan insulin ini dikendalikan

oleh sistem saraf pusat dan dipengaruhi oleh jumlah sel lemak dan glukosa plasma (Nurtanio & Wangko 2007).


(20)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Adapun tempat penelitiannya yaitu di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan mas

(C. carpio) ukuran 4 ekor/kg atau ukuran konsumsi yang diperoleh dari

kolam ikan di Dramaga-Bogor. Bahan pembantu yang dipakai adalah air, aquades, es batu, indikator pp, NaOH, NH4Cl, MnSO4, hipoklorit , dan fenat.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan, akuarium berukuran 5 liter, pengukur waktu, gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, pipet mikro, GlucoDR, serta peralatan untuk pengukuran kualitas air, yaitu multimeter dan spektrofotometer.

3.3 Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan

penelitian utama. Sebelum penelitian, dilakukan persiapan antara lain: (a) media air, dan (b) ikan uji.

3.3.1 Persiapan penelitian a). Media air

Media air yang digunakan diuji kualitasnya, meliputi pengukuran suhu, kadar oksigen terlarut (DO), CO2, pH, dan amoniak terhadap media air

laboratorium yang diendapkan selama 1 hari. Alat dan cara pengukuran disajikan pada Tabel 1.


(21)

Tabel 1 Parameter kualitas air, alat, dan cara pengukurannya

Parameter Alat Cara Pengukuran

Suhu Air Multimeter Pembacaan skala

DO Multimeter Pembacaan skala

CO2 Alat gelas Titrasi

pH Multimeter Pembacaan skala

TAN Spektrofotometer Pembacaan skala

Glukosa Darah GlucoDR Pembacaan skala

1) CO2 (Dye 1958 dalam Franson 1975)

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengukuran CO2, yang pertama

yaitu air sampel sebanyak 25 mL diambil menggunakan gelas ukur, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Setelah itu, air sampel yang tadi ditambahkan indikator pp sebanyak 3-4 tetes kemudian dilihat dan diamati reaksi yang terjadi, jika air sampel berubah warna menjadi pink berarti dalam air sampel tersebut tidak terkandung CO2, namun jika air sampel tidak berubah warna, berarti dalam

air sampel tersebut terkandung CO2, maka langkah berikutnya yang dilakukan

pada air sampel yang tidak berwarna tadi adalah proses titrasi dengan Na2CO3

atau NaOH hingga berubah menjadi warna pink. Langkah terakhir jumlah titran dicatat dan dihitung dengan rumus:

2) Pengukuran TAN (Weatherburn 1967 dalam Rand et al. 1975)

Pengukuran amoniak dilakukan pada sampel air laboratorium yang telah diendapkan selama 1 hari menggunakan metode spektrofotometer. Sampel air sebanyak 25 mL dipipet dan dimasukkan ke dalam beaker glass 100 mL. selanjutnya, larutan NH4Cl disiapkan sebanyak 25 mL sebagai larutan standar

amoniak dan larutan aquades sebanyak 25 mL sebagai larutan blanko. Larutan MnSO4 sebanyak 1 tetes, chlorox 0,5 mL, dan reagen fenat 0,6 mL ditambahkan

ke dalam larutan standar sampai berwarna biru kehijauan, serta ke dalam sampel air dan blanko, kemudian ketiga larutan tersebut dibiarkan sampai 15 menit. Larutan blanko diukur pada panjang glombang 630 nm, spetrofotometer diset


(22)

pada absorbansi 0,000, kemudian dilakukan pengukuran sampel dan larutan standar. Nilai pengukuran tersebut kemudian dihitung menggunakan

rumus:

TAN (mg/L) =

Keterangan :

Cst = konsentrasi larutan standar (0,3 ppm) As = Nilai Absorban sampel

Ast = Nilai absorban standar

3) Penghitungan tingkat konsumsi oksigen ( Pavlovskii 1964 dalam Budiarti et al. 2005)

Keterangan :

TKO = tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g/jam)

DO0 = konsentrasi oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)

DOt = konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg/L)

V = volume air dalam wadah (L) W = biomassa ikan uji (g) t0 = waktu pada jam ke-0 (awal) t1 = waktu pada jam ke-1 (akhir) b) Ikan uji

Ikan mas berukuran konsumsi yang baru dibeli dalam keadaan hidup dari kolam dipindahkan pada akuarium untuk dilakukan adaptasi kemudian dipuasakan selama 1 hari. Pada saat ikan dipindahkan pada akuarium, ikan tidak boleh diberi pakan terlebih dahulu, karena ikan baru berada dalam lingkungan baru sehingga perlu penyesuaian diri terhadap lingkungan baru.

3.3.2 Penelitian pendahuluan

Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk memilih size ikan mas ukuran konsumsi (size 4, 5, dan 6) yang memiliki daya tahan terbaik terhadap perubahan lingkungan. Sebanyak 3 buah akuarium yang berisi air 3 liter masing-masing diberi ikan sebanyak 4 ekor (size 4), 5 ekor (size 5), dan 6 ekor (size 6). Ikan diamati setiap 30 menit selama dua jam. Prosedur penelitian tersebut dilakukan sebanyak dua ulangan serta duplo. Parameter yang diamati diantaranya adalah


(23)

respon fisiologis gerak ikan, serta kualitas air yaitu DO, CO2, TAN dan pH. Size

ikan yang terbaik kemudian dipilih untuk dijadikan bahan uji pada penelitian utama.

3.3.3 Penelitian utama

Tujuan penelitian utama adalah untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas dibawah kondisi suhu lingkungan yang berbeda. Sebanyak 6 buah akuarium berukuran 5 liter diisi air yang telah diendapkan selama 1 hari masing-masing 3 liter. Kemudian akuarium tersebut diberi ikan sebanyak 4 ekor (size 4) dengan perlakuan berbeda-beda. Perlakuan tersebut diantaranya kontrol atau pemberian suhu ruang (27 oC), pemberian suhu dingin (15 oC), dan pemberian suhu hangat (35 oC). Perlakuan perbedaaan suhu

ini dilakukan secara bertahap dengan perubahan suhu ± 2 oC setiap 5 menit hingga

mencapai suhu target. Perubahan suhu pada perlakuan suhu dingin dimulai dari suhu 25 oC hingga mencapai suhu 15 oC yang tercapai pada menit ke-20.

Perubahan suhu pada perlakuan suhu hangat dimulai dari suhu 29 oC hingga mencapai suhu 35 oC yang tercapai pada menit ke-15. Ikan diamati setiap 30 menit sekali hingga dua jam. Pengamatan tersebut meliputi respon fisiologis gerak ikan, pengukuran kualitas air yaitu pengukuran suhu, DO, CO2, TAN, dan pH.

Pengukuran glukosa darah diawal dan diakhir juga dilakukan selama simulasi. Rangkaian prosedur penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan satu faktor, yaitu faktor pemberian ukuran (size 4, size 5, dan size 6) untuk penelitian pendahuluan dan faktor pemberian suhu untuk penelitian utama dengan taraf suhu dingin, suhu ruang, dan suhu hangat. Model matematika RAL factorial adalah sebagai berikut:

Y

ij

=

μ

+

τ

i +

ε

ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2)


(24)

τi = Pengaruh perbedaan suhu lingkungan pada taraf ke-i (i=1,2,3) εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakuan uji lanjut Duncan. Pengolahan data statistik ini menggunakan program SPSS 13.0 for Windows.

Gambar 2 Diagram alir tahapan pengujian fisiologis ikan mas

Ikan Mas (C. carpio) size 4

Penimbangan bobot ikan (wo)

Pemberokan ikan selama 24 jam

Pengukuran glukosa darah ikan

Suhu kamar (27 oC)

Suhu dingin (15 oC)

Suhu hangat (35 oC)

Penimbangan bobot ikan (wt)

Pengukuran glukosa darah ikan

Pengamatan parameter fisiologis dan pengukuran kualitas air setiap 30 menit selama 2 jam


(25)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisiologis Ikan Mas (C. carpio L.)

Nilai perbandingan DO pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 menujukkan bahwa nilai DO menurun drastis dari menit ke-0 hingga menit ke-30, sedangkan dari menit ke-30 hingga menit ke-120 nilainya relatif stabil atau tidak menunjukkan penurunan yang terlalu besar. Hasil

uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan

95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan oksigen (DO) pada media. Semakin kecil ukuran ikan, nilai penurunan oksigen terlarut semakin tinggi.

Gambar 3 Grafik nilai DO pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; size 6).

Burggren & Ramdall (1978) menjelaskan bahwa kapasitas aerobik yang tinggi dari spesies ikan yang sangat aktif dapat menghalangi toleransi hipoksia, dan sebaliknya. Penjelasan tersebut mengandung arti bahwa ikan yang lebih aktif bergerak akan lebih tinggi tingkat konsumsi oksigennya sehingga lebih rentan mengalami hipoksia. Ikan yang berukuran lebih kecil umumnya bergerak lebih aktif atau lebih lincah dibandingkan dengan ikan yang berukuran lebih besar, sehingga kebutuhan oksigennya lebih banyak. Ghufran & Kordi (2007) menjelaskan pula bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan biota


(26)

budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktifitasnya. Gambar 3 menunjukkan bahwa kelarutan oksigen (DO) pada perlakuan perbedaan ukuran menurun drastis hingga di bawah 2 mg/L pada selang waktu 30 menit sehingga ikan mengalami hipoksia dan beberapa ikan tidak mampu bertahan di menit-menit selanjutnya. Ernest (2000) menjelaskan bahwa ikan mas dapat bertahan hidup pada konsentrasi DO minimum sebesar 2 mg/L. Ikan pun kemudian merespon DO minimum tersebut dengan cara melakukan pemompaan air yang lebih cepat ke permukaan air sehingga beberapa ikan masih bisa bertahan hidup. Odum (1971) menjelaskan bahwa kecepatan difusi oksigen dari udara dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kekeruhan, pergerakan udara, massa air, dan gelombang. Upaya ikan memompa air lebih cepat ke permukaan akan menyebabkan terbentuknya riak air atau gelombang sehingga akan mempercepat difusi oksigen pada permukaan air. Hasil perhitungan jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke permukaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah bukaan mulut ikan saat mengambil oksigen ke permukaan

Size Menit (s)

5` 30` 60` 90` 120`

4 ± 3,20 194 854 1712 1426 1468

5 ± 3,68 295 2120 2814 1847 702

6 ± 3,58 285 2334 3483 1631 481

Jumlah bukaan mulut ikan ketika mengambil oksigen ke permukaan berbeda-beda tiap size (Tabel 2). Venberg & Venberg (1972) menyatakan bahwa jika ikan berada pada medium yang tekanan parsial oksigennya lebih rendah dari lingkungan, maka untuk memenuhi kebutuhan oksigennya ikan akan melakukan pemompaan air yang lebih besar melalui peningkatan frekuensi pergerakan operkulum. Tabel 2 menunjukkan bahwa ikan mas dengan size 4 memiliki rata-rata jumlah bukaan mulut yang paling kecil. Jumlah bukaan mulut terbanyak pada saat simulasi dihasilkan oleh ikan mas size 6. Ikan mas size 6 memiliki kepadatan yang lebih tinggi secara kuantitas dibandingkan dengan ikan mas size 4 dan size 5, sehingga kelarutan oksigennya lebih cepat menurun. Docan et al. (2010) melaporkan bahwa ketika ikan berada pada kepadatan yang tinggi kebutuhan oksigen akan meningkat, sehingga oksigen terlarut dalam air lebih cepat menurun. Berbedanya jumlah ikan yang mati juga menjadi sebab


(27)

berbedanya jumlah bukaan mulut. Semakin tinggi kepadatan, maka kualitas air lebih cepat menurun sehingga ikan akan lebih cepat mati (Docan et al. 2010). Nilai perhitungan SR pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai perhitungan SR perlakuan perbedaan ukuran

Size SR

0` 30` 60` 90` 120`

4 ± 3,20 100 % 100 % 87,5 % 62,5 % 62,5 %

5 ± 3,68 100 % 100 % 70 % 60 % 60 %

6 ± 3,58 100 % 100 % 100 % 75 % 50 %

Rata-rata size ikan yang memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap perubahan lingkungan (kepadatan) adalah ikan mas dengan size 4 yaitu dengan rata-rata SR 62,5 %. Gomes et al. (2003) menyatakan pula bahwa tingkat mortalitas semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa ikan mas size 4 memiliki rata-rata kelarutan oksigen (DO) terbesar (Gambar 3). Grafik perbandingan nilai CO2 pada perlakuan

perbedaan ukuran disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik nilai CO2 pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4;

size 5; Size 6).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai CO2. Nilai rata-rata kadar CO2 yang paling


(28)

tinggi diperoleh pada perlakuan size 6 (Gambar 4). Nilai CO2 berbanding terbalik

dengan nilai DO karena CO2 merupakan hasil dari proses respirasi. Suryaningrum

et al. (2006) menjelaskan bahwa tingkat aktivitas dan stres ikan dapat

mempengaruhi kadar CO2 dalam air terkait tingkat respirasinya, karena CO2

dihasilkan sebagai oksidasi senyawa organik yang berasal dari makanan selama proses respirasi. Kepadatan ikan mas juga dapat mempengaruhi jumlah eksresi CO2. Perlakuan size 6 memiliki kepadatan yang lebih tinggi dari segi kuantitas

dibanding dengan perlakuan lainnya, sehinga menghasilkan eksresi CO2 yang

lebih banyak. William & Robert (1992) melaporkan bahwa pada umumnya, kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan konsentrasi CO2 menjadi tinggi. Grafik

perbandingan nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Grafik nilai TAN pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; Size 6).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TAN. Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata nilai TAN tertinggi didapatkan oleh size 6, sedangkan nilai rata-rata terendah didapatkan oleh perlakuan size 4. Nilai TAN hasil penelitian berkisar antara 0,016 hingga 0,917 mg/L. Kisaran ini masih tergolong sangat kecil bagi kehidupan ikan sehingga tidak akan menghambat proses transportasi. Chervinsky (1982) dalam Rudiyanti & Ekasari (2009) melaporkan bahwa kisaran konsentrasi amonia yang


(29)

baik untuk kehidupan ikan adalah kurang dari 2,4 mg/L. TAN merupakan salah satu sumber amonia dari hasil metabolit ikan yang dikeluarkan melalui insang dan tinja (Effendi 2003). Tingginya metabolisme ikan mas pada kepadatan yang lebih tinggi (Size 6) menghasilkan buangan amonia yang lebih banyak dibandingkan dengan size 4 dan size 5, sehingga kepadatan yang tinggi harus dihindarkan selama proses transportasi. Meningkatnya kepadatan ikan yang diangkut akan meningkatkan tingkat metabolisme ikan dan dapat mengakibatkan tingginya tingkat stres yang dialami oleh ikan karena menurunya kualitas air (Supriyono et al. 2010). Grafik perbandingan nilai pH pada perlakuan perbedaan ukuran disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Grafik nilai pH pada perlakuan perbedaan ukuran ( size 4; size 5; Size 6).

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai pH menurun dari menit ke-0 hingga menit ke-30, namun mulai dari menit ke-30 hingga menit ke-120 nilai pH relatif stabil. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian perlakuan perbedaan ukuran tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH air. Nilai pH masih tergolong baik dimana kisaran pH berada pada nilai 6,635 hingga 7,91. Sofarini (2009) menyatakan bahwa nilai baku mutu pH air untuk ikan dapat hidup dengan baik adalah berkisar antara 6 hingga 9. Nilai CO2 yang meningkat drastis pada menit


(30)

menit tersebut. Karbondioksida bereaksi dengan air akan menghasilkan asam karbonat (H2CO3)sehingga pH air menjadi turun (Suryaningrum et al. 2006).

Hasil pengujian kualitas air menunjukkan bahwa secara umum, ikan size 4 memiliki rata-rata nilai kelarutan oksigen (DO) yang paling tinggi dan paling sedikit menghasilkan buangan sisa metabolit (CO2 dan TAN) disbanding dengan

ikan size 5 dan size 6. Ikan mas size 4 juga menghasilkan SR yang terbesar yaitu 62,5 %. Ikan dengan size terbaik yaitu size 4, selanjutnya digunakan sebagai bahan percobaan pada penelitian utama.

4.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Mas (C. carpio L.)

Respirasi menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut dan peningkatan karbon dioksida pada media transportasi. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida menyebabkan pH air menurun. Meningkatnya respirasi juga dapat meningkatkan eksresi ammonia (Dobsikova et al. 2006). Tabel tingkat konsumsi ikan mas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat konsumsi oksigen ikan mas selama simulasi

Suhu (oC) Tingkat Konsumsi Oksigen (mgO2/kg/jam)

30` 60` 90` 120`

Dingin (25-15 ± 0,25) 21,89 ± 1,42 0,89 ± 0,23 0,56 ± 0,06 0,21 ± 0,04 Ruang (27 ± 0,24) 23,31 ± 0,59 0,47 ± 0,11 0,14 ± 0,02 0,24 ± 0,17

Hangat (29-35 ± 0,21) 23,40 ± 0,42 0,35 ± 0,23 0,46 ± 0,03 -

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat konsumsi oksigen terbesar terdapat pada perlakuan suhu hangat menit ke-30 yaitu sebesar 23,40 ± 0,42 mgO2/kg/jam. Nilai tingkat konsumsi oksigen terkecil terdapat pada

perlakuan suhu ruang menit ke-90 yaitu sebesar 0,14 ± 0,02 mgO2/kg/jam.

Matinya seluruh ikan pada perlakuan suhu hangat menit ke-120 menyebabkan nilai konsumsi oksigen tidak ada. Kematian ini diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme tubuh ikan pada suhu hangat yang menyebabkan ikan bergerak lebih agresif dibandingan dengan perlakuan suhu dingin dan suhu ruang, sehingga kandunngan oksigen terlarut pun lebih cepat menipis dan ikan pun mati lemas (hipoksia). Adanya perbedaan suhu lingkungan akan menyebabkan tingkat aktivitas yang berbeda. Zooneveld et al. (1991) menyatakan bahwa perbedaan


(31)

aktivitas tersebut menyebabkan perbedaan dalam kebutuhan energi dan akibatnya terdapat perbedaan dalam konsumsi oksigen. Davis & Parker (1990) melaporkan bahwa semakin tinggi suhu maka metabolisme tubuh ikan akan semakin meningkat. Sulmartini et al. (2009) menyatakan pula bahwa peningkatan metabolisme dapat menyebabkan hipoksia pada ikan. Laju pengambilan oksigen ikan akan menurun jika kandungan oksigen dalam air berkurang. Proses fisiologis dalam ikan seperti tingkat respirasi, makan, metabolisme, pertumbuhan, perilaku, reproduksi, tingkat detoksifikasi, dan bioakumulasi dipengaruhi oleh suhu (Fadhil et al. 2011).

4.3 Pengaruh Suhu Lingkungan terhadap Kualitas Air dan Tingkah Laku Ikan Mas (C. carpio L.)

Diagram batang uji kualitas air untuk nilai DO disajikan pada Gambar 7. Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan oksigen (DO) pada media. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa pada menit ke-30, nilai DO suhu ruang berbeda nyata dengan nilai DO suhu hangat dan dingin.

Gambar 7 Diagram batang nilai rata-rata parameter DO ( suhu dingin ; suhu ruang ; suhu hangat) ; huruf berbeda menunjukkan hasil

perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05). 0,00

0,60 1,20 1,80 2,40 3,00 3,60 4,20

0 30 60 90 120

DO

(m

g/L

)

Menit

ke-a

b c

b b

a a a


(32)

Di menit ke-90, nilai DO suhu dingin berbeda nyata dengan nilai DO suhu ruang dan hangat. Nilai DO ketiga suhu saling berbeda nyata satu sama lain pada menit ke-60 dan ke-120. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai DO berada pada kisaran 0,14 ± 0,02 mg/L hingga 4,19 ± 0,09 mg/L. Nilai DO awal air sudah memenuhi Nilai Baku Air (NBA) untuk perikanan, namun setelah menit ke-30 nilai DO menurun drastis. Nilai DO yang merosot ini diakibatkan oleh tingginya nilai kulaitas air awal. Menurunnya nilai DO juga diakibatkan oleh tidak adanya aerasi. Nilai DO tertinggi pada menit ke-30 hingga menit ke-120 diperoleh pada perlakuan suhu dingin yaitu sebesar 0,48 ± 0,04 mg/L. Lesmana (2002) menyatakan bahwa pengaruh suhu rendah terhadap ikan adalah rendahnya kemampuan mengambil oksigen (hypoxia). Rendahnya kemampuan pengambilan oksigen ini menyebakan nilai kelarutan oksigen lebih lambat menurun pada perlakuan suhu dingin. Diagram batang uji kualitas air untuk CO2 disajikan pada

Gambar 8.

Gambar 8 Diagram batang nilai rata-rata parameter CO2 ( suhu dingin ;

suhu ruang ; suhu hangat) ; huruf berbeda menunjukkan hasil perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan CO2 pada media. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8)

menunjukkan bahwa pada menit ke-0, nilai CO2 suhu hangat berbeda nyata

dengan nilai CO2 suhu dingin dan ruang, sedangkan di menit ke-30 hingga 120,

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80

0 30 60 90 120

CO

2

(m

g/L

)

Menit

ke-b b b

b

b

b

b

a a a a


(33)

nilai CO2 suhu ruang berbeda nyata dengan CO2 suhu dingin dan suhu hangat.

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata CO2 pada suhu ruanglebih tinggi

dibandingkan dengan suhu dingin dan suhu ruang. Metabolisme tubuh ikan menurun pada suhu dingin sehingga tingkat konsumsi oksigen kecil dan nilai CO2

yang dihasilkan pun juga menjadi kecil, sedangkan pada suhu hangat kelarutan gas lebih kecil dibandingan pada suhu dingin dan suhu ruang sehingga nilai CO2

pun lebih kecil. Ghosal & Freeman (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu maka kelarutan gas pada perairan akan semakin menurun. Nilai CO2 pada

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilainya masih tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,14 ± 0,00 hingga 1,56 ± 0,44. Nilai CO2 yang tinggi tidak akan menjadi

masalah selama nilai oksigen tinggi. Hasil studi Tahe (2008) menunjukkan bahwa nilai CO2 yang tinggi (36,45-70,45 mg/L) masih dapat ditoleransi oleh ikan

asalkan kadar oksigen tinggi (3,9-4,3 mg/L). Diagram batang uji kualitas air untuk TAN disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Diagram batang nilai rata-rata parameter TAN ( suhu dingin ; suhu ruang ; suhu hangat) ; huruf berbeda menunjukkan hasil

perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05).

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan TAN pada media. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan pada menit ke-0, 90, dan 120 nilai TAN ketiga suhu

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00

0 30 60 90 120

T AN (m g/L ) Menit ke-c a b a a b a b a a c b a c b


(34)

saling berbeda nyata satu sama lain. Di menit ke-30, nilai TAN suhu hangat berbeda nyata dengan nilai TAN suhu ruang dan dingin, sedangkan di menit ke-60, nilai TAN suhu ruang berbeda nyata dengan nilai TAN suhu dingin dan hangat. Gambar 9 menunjukkan bahwa kisaran nilai TAN berada pada 0,06 ± 0,01

hingga 0,91 ± 0,01 mg/L.

Nilai TAN awal air untuk ketiga suhu sudah cukup memenuhi Baku Mutu Air (BMA) untuk perikanan, namun setelah menit ke-30 nilai TAN melonjak naik. Sofarini (2009) melaporkan bahwa nilai Baku Mutu Air (BMA) untuk amonia adalah kurang dari 0,1 mg/L. Nilai TAN tertinggi saat simulasi pada menit ke-60 didapat pada perlakuan dengan suhu ruang yaitu sebesar 0,91 ± 0,01 mg/L (Gambar 9). Boyd (1990) menyatakan bahwa laju proses biokimia sesuai dengan hukum van hoff akan meningkat dua kalinya setiap peningkatan suhu 10 oC.

Meningkatnya reaksi di dalam cairan media dan cairan tubuh ikan menyebabkan adanya peningkatan reaksi kimia di dalam air dimana NH3 bereaksi dengan H2O

menghasilkan NH4+sehingga pH perairan menjadi naik. Pada tingkat toksik, NH3

dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah, gangguan osmoregulasi, dan kesulitan bernafas (Hargreaves dan Tucker 2004). Diagram batang uji kualitas air untuk pH disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Diagram batang nilai rata-rata parameter pH ( suhu dingin ; suhu ruang ; suhu hangat) ; huruf berbeda menunjukkan hasil

perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05). 2,00

2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 7,50

0 30 60 90 120

pH

Menit

ke-b b a a

b a b

b

a

a

a a

a

a b


(35)

Hasil uji Kruskal Wallis (Lampiran 6) menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % pemberian suhu berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap derajat keasaman (pH) pada media. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa pada menit ke-30 dan 60, nilai pH suhu hangat berbeda nyata dengan nilai pH suhu ruang dan dingin, sedangkan di menit ke-90 dan ke-120, nilai pH ketiga suhu tidak berbeda nyata. Gambar 10 menunjukkan bahwa kisaran pH berada pada kisaran 5,75 ± 0,22 hingga 6,93 ± 0,01. Pada awalnya nilai pH awal air untuk ketiga suhu sudah memenuhi Baku Mutu Air (BMA) untuk perikanan, namun pada menit ke-30 dan menit ke-60 nilai pH pada suhu hangat masing-masing menurun menjadi 5,96 ± 0,04 dan 5,75 ± 0,22.

Sofarini (2009) melaporkan bahwa nilai baku mutu pH air untuk ikan dapat hidup dengan baik adalah berkisar antara 6 hingga 9. Penurunan pH pada suhu hangat diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme tubuh ikan pada suhu hangat sehingga tingkat konsumsi oksigen meningkat. Proses konsumsi oksigen ini kemudian akan menghasilkan CO2. William & Robert (1992) melaporkan

bahwa konsentrasi CO2 dapat menjadi tinggi sebagai hasil dari respirasi.

Karbondioksidabebas yang dilepaskan selama respirasi akan berekasi dengan air sehingga menghasilkan asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air.

Akibat penurunan pH tersebut menyebabkan 12,5 % ikan mati di menit ke-30 dan 37,5 % mati di menit ke-60 pada suhu hangat. Zooneveled et al. (1991) menyatakan bahwa ketika insang berada pada pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang dan meyebabkan penurunan difusi oksigen pada lamela insang. Rata-rata nilai pH tertinggi dihasilkan oleh perlakuan suhu dingin. Metabolisme tubuh ikan cenderung lebih kecil pada suhu rendah dibandingkan dengan pada suhu tinggi sehingga buangan hasil metabolisme seperti CO2 lebih

sedikit akibatnya pH relatif stabil. Davis & Parker (1990) melaporkan bahwa semakin tinggi suhu maka metabolisme tubuh ikan akan semakin meningkat. Pengamatan tingkah laku fisik ikan mas dalam berbagai suhu disajikan pada Tabel 5.


(36)

Tabel 5 Pengamatan fisik tingkah laku ikan pada suhu dingin, ruang, dan hangat

Lincah* : Lincah stres

Pengujian perlakuan suhu hangat menunjukkan bahwa pada awalnya ikan bergerak lincah normal, namun ketika suhu air mulai naik perlahan-lahan dan ikan pun mulai stres dan melambat pada menit ke-60. SR ikan berkurang menjadi 75 % pada menit ke-30. Pada menit ke-90 dan ke-120 ikan berada pada fase pasca stres ditandai dengan terjadinya disorentasi pada ikan, bahkan diantaranya mati sehingga SR menjadi 50 % pada menit 90 dan 0 % pada menit 120. Ikan mas yang diberi perlakuan suhu dingin secara umum memberikan perlakuan yang lebih baik daripada perlakuan suhu ruang dan hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin terlihat lebih tenang dan menghasilkan sisa metabolit lebih sedikit. Ikan dengan

Suhu Gerak

Tubuh Gerak Tutup Insang Gerak Siirp Dinding

Perut Lendir

Ekskresi Anal

Dingin (15oC)

0` Lincah* Cepat Cepat Normal Sedikit Sedikit

30` Lincah* Cepat Cepat Normal Sedikit Sedikit

60` Lincah Cepat Cepat Normal Sedikit Agak

Banyak

90` Lambat Lambat Lambat Normal Sedikit Agak

Banyak

120` Lambat Lambat Lambat Normal Sedikit Agak

Banyak

Ruang (27oC)

0` Lincah Cepat Cepat Normal Sedikit Sedikit

30` Lincah* Cepat Cepat Normal Sedikit Agak

Banyak

60` Lincah* Cepat Cepat Normal Sedikit Agak

Banyak

90` Lambat Lambat Lambat Normal Agak

Banyak Banyak

120`

Lambat Lambat Lambat Normal Banyak Banyak

Hangat (35oC)

0` Lincah Cepat Cepat Normal Sedikit Sedikit

30` Lincah* Cepat Cepat Normal Agak

Banyak

Agak Banyak

60` Lambat Lambat Lambat Tidak

Normal

Agak

Banyak Banyak

90` Pasca

Stres Lambat Lambat

Tidak

Normal Banyak Banyak

120` Pasca

Stres Lambat Lambat

Tidak


(37)

perlakuan suhu dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang mengalami kematian pada saat simulasi.

Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi terganggu. Pemberian suhu rendah juga dapat menyebabkan ikan tidak aktif, bergerombol seperti tidak mau berenang dan makan sehingga imunitasnya terhadap penyakit berkurang. Perubahan suhu yang melebihi 3-4 oC dalam waktu yang relatif singkat dan mengakibatkan kejutan suhu dan kematian ikan (Boyd 1990). Pada suhu dingin ikan terlihat lincah stres pada menit awal, namun pada menit berikutnya ikan terlihat tenang. Karnila & Edison (2001) menyatakan bahwa untuk pembiusan bertahap sampai suhu 15 oC selama

15 menit kondisi ikan sudah melewati fase panik dan tidak meronta saat dilakukan pengemasan, sehingga proses pengemasan sanga mudah dilakukan.

4.3 Pengaruh Suhu terhadap Glukosa Darah (C. carpio L.)

Glukosa darah merupakan sumber pasokan bahan bakar utama dan subtrat esensial untuk metabolisme sel. Pengujian glukosa darah ikan dilakukan di awal dan di akhir simulasi. Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil darah ikan pada vena caudal (ekor) ikan dengan cara menggunakan jarum suntik berukuran 3 ml. Data hasil uji kadar glukosa darah disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Uji kadar glukosa darah pada beberapa suhu di awal dan akhir simulasi

Kadar Glukosa Darah (mg/L)

Suhu Dingin (15 oC) Suhu Ruang (27 oC) Suhu Hangat (35 oC)

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

12,9 ± 0,1 15,0 ± 0,3 12,2 ± 0,3 14,0 ± 1,1 11,7 ± 2,2 6,3 ± 0,8

Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai glukosa darah untuk suhu dingin dan suhu ruang. Nilai glukosa darah tertinggi didapat pada suhu dingin yaitu sebesar 15,0 ± 0,3 mg/L. Hasil studi Hastuti et al. (2003) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah ikan yang diberi stres perubahan suhu dingin secara mendadak akan mengalami peningkatan. Pada perlakuan suhu hangat, glukosa darah turun dari 11,7 ± 2,2 mg/L menjadi 6,3 ± 0,8 mg/L.


(38)

Penurunan nilai kadar glukosa ini dikarenakan semakin tinggi suhu maka metabolisme tubuh ikan menjadi tinggi dan ikan akan lebih aktif bergerak sampai cadangan glikogen habis, sehingga kadar glukosa dalam darah menurun. Kucukgul & Sahan (2008) menyatakan bahwa semakin meningkat suhu, maka nilai glukosa darah akan semakin menurun. Hastuti et al. (2003) menyatakan bahwa hormon kortisol dan katekolamin akan diproduksi ketika ikan stres. Hormon kortisol dan katekolamin selanjutnya akan mengaktivasi proses glikogenosis dalam hati sehingga kadar glukosa darah meningkat.


(39)

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Ikan yang memiliki daya tahan cukup baik terhadap stres perubahan lingkungan (kepadatan) adalah ikan mas size 4 dengan rata-rata SR 63 %. Rata-rata tingkat konsumsi oksigen tertinggi pada perlakuan perbedaan suhu didapatkan pada perlakuan suhu hangat yaitu sebesar 8,07 mgO2/kg/jam,

sedangkan rata-rata tingkat konsumsi oksigen terendah didapatkan pada perlakuan suhu dingin yaitu sebesar 5,89 mgO2/kg/jam. Ikan mas yang diberi perlakuan suhu

dingin memberikan hasil yang lebih baik daripada perlakuan suhu ruang dan hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin gerakan fisik tubuhnya lebih lambat dan menghasilkan sisa metabolit yang lebih sedikit. Ikan dengan perlakuan suhu dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang mati pada saat simulasi.

5.2 Saran

Transportasi ikan mas sebaiknya dilakukan pada suhu dingin atau pada waktu pagi hari, dan hindari pengangkutan ikan mas dengan kepadatan yang terlalu tinggi.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Barton BA, Iwama GK. 1991. Physiological changes in fish from stress in aquaculture with emphasis on the response and effects of corticosteroids.

Annual Review of Fish Diseases 1: 3-26.

Begg K, Pankhurst NW. 2004. Endocrine and metabolic responses to stress in a laboratory population of the tropical damselfish Acanthochromis

polyacanthus. J. Fish Biology 64: 133–145.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquqculture. Alabama: Birmingham Publishing Co.Birmingham.

Budiarti T, Batara T, Wahjuningrum D. 2005. Tingkat konsumsi oksigen udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan model pengelolaan oksigen pada tambak intensif. J. Akuakultur Indonesia 4(1): 89-96.

Burggren WW, Randall DJ. 1978. Oxygen uptake and transport during hypoxic exposure in the sturgeon Acipenser transmontanus. J. Respiratory

Physiology 34: 171-183.

Davis KB, Parker NC. 1990. Physiological stress striped bass: Effects of acclimation temperature J.Aquaculture. 91: 349-358.

Dobsikova R, Svobodova Z, Blahova J, Modra H, Velisek J. 2006. Stress response to long distance transportation of common carp (Cyprinus carpio L.).

J. Acta Veterina Brno 75: 437-448.

Docan A, Cristea V, Grecu I, Dediu L. 2010. Hematological response of the European catfish, Silurus glanis reared at different densities in ”flow

-through” production system. Archiva Zootechnica. 13(2): 63-70.

Doudoroff P, Shumway DL. 1970. Dissolved Oxygen Requirements of Freshwater

Fishes. Rome : Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolahan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.

[EIFAC] European Inland Fisheries Advisory Commission. 1969. Water quality criteria for European freshwater fish: Report on extreme pH values and inland fisheries. Prepared by EIFAC Working Party on Water Quality Criteria for European Freshwater Fish. J. Water Research 3(8): 593–611. Engelsma MY, Hougee S, Nap D, Hofenk M, Rombout JHWM, van Muiswinkel

WB. 2003. Multiple acute temperature stress affects leucocyte populations and antibody responses in common carp, Cyprinus carpio L. J. Fish


(41)

Ernest DH. 2000. Performance engineering. Di dalam: Stickney RR. Encyclopedia

of Aquaqulture. New York: John Wiley & Sons. Hal 629-644.

Fadhil R, Endan J, Taip FS, Salih M. 2011. Kualitas air dalam sistem resirkulasi untuk budidaya ikan lele/keli (Clarias Batrachus). J. Aceh Depelovment

International Conference 1:1-10.

Franson MA. 1975. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 14th Ed. New York: American Public Health Association.

Ghosal K, Freeman BD. 1994. Gas separation using polymer membranes. Polym.

Adv. Technol 5: 673-697.

Ghufran HM, Kordi K, Andi BT. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam

Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta.

Gomes LC, Araujo LCARM, Roubach R, Gomes CAR, Lopes NP, Urbinati EC. 2003. Effect of fish density during transportation on stress and mortality of juvenile tambaqui colossoma macropomum. J. World Aquaculture Society 34(1):76–84.

Hargreaves JA, Tucker CS. 2004. Managing ammonia in fish ponds. J. South

Region Aquaqulture Center Publication 4603: 1-7.

Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon glukosa darah ikan gurami (Osphronemus gouramy, LAC.) terhadap stres perubahan suhu lingkungan. J. Akuakultur Indonesia 2(2): 73-77.

Imanto PT. 2008. Beberapa teknik transportasi ikan laut hidup dan fasilitasnya pada perdagangan ikan laut di Belitung. J. Media Akuakultur 3(2): 181-188. Karnila R, Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap

ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam transportasi sistem kering. J. Natur Indonesia 3(2): 151-167.

Kausar R, Salim M. 2006. Effect of water temperature on the growth performance and feed conversion ratio of Labeo rohita. J. Pakistan Veteterina 26(3): 105-108.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2012. Data Produksi Ikan Mas

(Cyprinus carpio L.). www.dkp.go.id [4 Juni 2012].

Kucukgul A, Sahan A. 2008. Acute stress respone in common carp

(Cyprinus carpio Linnaeus,1758) of some stressing factors. J. of Fisheries

Science 2(4): 623-631.

Lesmana Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.


(42)

Neuman E, Sandstrom O, Thoresson G. 1997. Gudlines for Coastal Fish

Monitoring. Sweden: National Board of Fisheries.

Nugroho E, Wahyudi NA. 1991. Seleksi berbagai ras ikan mas koleksi dari

berbagai daerah di Indonesia dengan menggunakan “Skor-Z”, Buletin

Penelitian Perikanan Darat 10(2): 49-54.

Nurtanio N, Wangko S. 2007. Resistensi insulin pada obesitas sentral. J. Bik

Biomed 3(3): 89-96.

Odum EP. 1971. Fundamental Ecology 3. London-Toronto: W.B Sounders Company.

Porchas MM, Cordova LRF, Enriquez RR. 2009. Cortisol and glucose: reliable indicators of fish stress?. Pan-American Journal of Aquatic Sciences (2009), 4(2): 158-178.

Praseno O, Krettiawan H, Asih S, Sudrajat A. 2010. Uji ketahanan salinitas beberapa strain ikan mas yang dipelihara di akuarium. Prosiding Forum

Inovasi Teknologi Akuakultur : 93-100.

Rachmawati FR, Susilo U, Sistina Y. 2010. Respon fisiologis ikan nila,

Oreochromis niloticus, yang distimulasi dengan daur pemuasaan dan

pemberian pakan kembali. J. Seminar Nasional Biologi 7: 492-499.

Rand MC, Greenberg AE, Taras MJ. 1975. Standard methods for the examination

of water and wastewater. 14th Ed. Washington DC: APHA.

Rudiyanti S, Ekasari AD. 2009. Pertumbuhan dan survival rate ikan mas

(Cyprinus carpio Linn) pada berbagai konsentrasi pestisida regent 0,3 G.

J. Saintek Perikanan. 5(1): 39-47.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Bandung: Binacipta.

Shcherbina MA, Kazlauskene OP. 1971. Water temperature and digestibility of nutrient substances by carp. J. Hydrobiologia. 9: 40-44.

Sofarini D. 2009. Analisa kualitas air (fisik,kimia) sebagai indikator kehidupan induk ikan nila (Oreochromis niloticus) di loka budidaya air tawar mandiangin. J. Bumi lestari 9(1): 77-81.

Sulmartini L, Chotimah DN, Tjahningsih W, Widayanto TV, Triastuti J. 2009. Respon daya cerna dan respirasi benih ikan mas (Cyprinus carpio) pasca transportasi dengan menggunkan daun bandotan (Ageratum conyzoides) sebagai bahan antimetabolik. J. Ilmiah Perikanan dan Kelautan 1(1): 79-86.


(43)

Suparno, Basmal J, Muljanah I, Wibowo S. 1994. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan dengn pendinginan bertahap terhadap ketahanan hidup dan windu tambak (Penaeus monodon Fab.) dalam transportasi sistem kering.

J. Penelitian Pasca Panen Perikanan (79): 73-78.

Supriyono E, Budiyanti, Bdiarti T. 2010. Respon fisiologis benih ikan kerapu macan Epinepelus fuscoguttatus terhadap penggunaan minyak sereh dalam

transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. J. Ilmu Kelautan 15(2): 103-112.

Suptijah P. 1996. Ekstrak insulin dari ikan dan uji kemurniannya. Buletin

Teknologi Hasil Perikanan 2(2): 103-121.

Suryaningrum TD, Ikasari D, Syamdidi. 2006. Pengaruh kepadatan dan waktu transportasi sistem kering terhadao sintasan hidup lobster air tawar

(Cherax quadricarinatus). J. Penanganan Pasca Panen Perikanan 79(3):

37-55.

Tahe S. 2008. Penggunaan phenoxy ethanol, suhu dingin, dan kombinasi suhu dingin dengan phenoxy dalam pembiusan bandeng umpan. J. Media

Akuakultur 3(2): 133-136.

Tim Peneliti BRPPU. 2008. Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Venberg WB, Venberg FJ. 1972. Enviromental Phisiology Of Marine Animal

Springer, verlag. Berlin: Heidenberg. 294p.

William AW, Robert MD. 1992. Interaction of pH, carbon dioxide, alkalinity and hardnes in fish ponds. J. SRAC Publication 464: 1-4.

Zonneveld N, Huisman EA, Boon JN. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta : PT. Gramedia.


(44)

(45)

Lampiran 1 Data kualitas air perbedaan ukuran ikan mas a. Ikan mas size 4

b. Ikan mas size 5

c. Ikan mas size 6

Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I I II I II I II I II

pH A 7,92 6,66 6,68 6,67 6,66 6,69 6,71 6,71 6,70

B 7,90 6,70 6,65 6,65 6,71 6,66 6,69 6,69 6,72

DO (mg/L)

A 4,75 0,2 0,22 0,20 0,18 0,14 0,18 0,18 0,28

B 4,70 0,23 0,21 0,19 0,16 0,16 0,19 0,16 0,20

Suhu ( OC)

A 26 25,9 25,9 25,9 25,9 26 26 26,1 26,1

B 26 26 25,9 25,9 26 26 26 26 26

CO2

(mg/L)

A 0.096 0,358 0,238 0,298 0,238 0,358 0,476 0,298 0,238 B 0.096 0,298 0,179 0,358 0,238 0,358 0,417 0,298 0,358 TAN

(mg/L)

A 0,017 0,764 0,688 0,832 0,941 0,868 0,983 0,893 0,820 B 0,014 0,709 0,685 0,817 0,899 0,912 0,904 0,874 0,896

Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I I II I II I II I II

pH A 7,92 6,67 6,64 6,61 6,66 6,65 6,65 6,63 6,59

B 7,90 6,66 6,63 6,62 6,65 6,65 6,65 6,69 6,64

DO (mg/L)

A 4,75 0,97 1,07 0,48 0,36 0,30 0,36 0,14 0,22

B 4,70 0,83 1,04 0,51 0,40 0,38 0,34 0,18 0,19

Suhu ( OC)

A 26 26,6 26,5 26,7 26,6 26,9 26,7 27 26,8

B 26 26,6 26,5 26,7 26,6 26,9 26,7 27 26,8

CO2

(mg/L)

A 0,060 0,388 0,268 0,388 0,358 0,417 0,477 0,537 0,506

B 0,075 0,358 0,388 0,358 0,388 0,417 0,388 0,566 0,596

TAN (mg/L)

A 0,017 0,514 0,697 0,742 0,927 0,983 0,952 0,865 0,980

B 0,014 0,663 0,593 1,008 0,674 1 0,699 1,11 0,997

Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I I II I II I II I II

pH A 7,92 6,67 6,64 6,61 6,66 6,65 6,65 6,63 6,59

B 7,90 6,66 6,63 6,62 6,65 6,65 6,65 6,69 6,64

DO (mg/L)

A 4,75 0,97 1,07 0,48 0,36 0,30 0,36 0,14 0,22

B 4,70 0,83 1,04 0,51 0,40 0,38 0,34 0,18 0,19

Suhu ( OC)

A 26 26,6 26,5 26,7 26,6 26,9 26,7 27 26,8

B 26 26,6 26,5 26,7 26,6 26,9 26,7 27 26,8

CO2

(mg/L)

A 0.096 0,358 0,238 0,417 0,417 0,476 0,417 0,596 0,358

B 0.096 0,358 0,298 0,358 0,358 0,417 0,358 0,476 0,417

TAN (mg/L)

A 0,017 0,421 0,379 0,525 0,537 0,531 0,632 0,553 0,674


(46)

Lampiran 2 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan ukuran a. Ikan mas size 4

Parameter

Waktu Pengamatan

30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II 1. Gerak Tubuh

a. Normal b. Lincah

b1. Normal b2. Stres c. Lamban d. Pasca stres

√ √

√ √ √ √

√ √

2. Gerak Tutup Insang a. Terbuka/tertutup normal b. Terbuka/tertutup cepat c. Terbuka/tertutup lambat

√ √ √ √

√ √ √ √

3. Gerak Sirip a. Normal b. Cepat c. Lambat

√ √ √ √

√ √ √ √

4. Gerak Dinding Perut a. Normal

b. Tidak normal

√ √ √ √

√ √ √ √

5. Penampakan Umum

a. Warna air atau perubahan warna air

b. Bernafas ke permukaan

√ √

√ √ √ √ √ √

6. Lendir a. Tidak ada b. Sedikit c. Agak banyak d. Banyak

√ √ √ √

√ √ √ √

7. Ekskresi Anal a. Tidak ada b. Agak banyak c. banyak

√ √ √ √ √ √


(47)

Lampiran 2 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan ukuran a. Ikan mas size 4

Parameter

Waktu Pengamatan

30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II 8. Gerak Tubuh

e. Normal f. Lincah

b1. Normal b2. Stres g. Lamban h. Pasca stres

√ √

√ √ √ √

√ √

9. Gerak Tutup Insang d. Terbuka/tertutup normal e. Terbuka/tertutup cepat f. Terbuka/tertutup lambat

√ √ √ √

√ √ √ √

10.Gerak Sirip d. Normal e. Cepat f. Lambat

√ √ √ √

√ √ √ √

11.Gerak Dinding Perut c. Normal

d. Tidak normal

√ √ √ √

√ √ √ √

12.Penampakan Umum

c. Warna air atau perubahan warna air

d. Bernafas ke permukaan

√ √

√ √ √ √ √ √

13.Lendir e. Tidak ada f. Sedikit g. Agak banyak h. Banyak

√ √ √ √

√ √ √ √

14.Ekskresi Anal d. Tidak ada e. Agak banyak f. banyak

√ √ √ √ √ √


(48)

Lampiran 3 Data kualitas air perbedaan suhu lingkungan a. Suhu dingin (15 oC)

b. Suhu ruang (27 OC)

c. Suhu hangat (35 OC) Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II I II

pH A 6,91 6,94 6,93 6,64 6,90 6,47 6,91 6,80 6,90 6,16

B 6,93 6,93 6,93 6,60 6,89 6,48 6,90 6,20 6,89 6,26

DO (mg/L)

A 4,27 4,00 0,46 0,50 0,32 0,33 0,25 0,26 0,18 0,22

B 4,25 3,99 0,43 0,53 0,33 0,35 0,2 0,25 0,19 0,23

CO2

(mg/L)

A 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,59 0,59 0,59 0,79 0,59

B 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,59 0,59 0,59 0,79 0,59

TAN (mg/L)

A 0,14 0,14 0,42 0,67 0,52 0,73 0,75 0,67 0,80 0,67

B 0,14 0,14 0,47 0,57 0,65 0,65 0,69 0,67 0,70 0,67

Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II I II

pH A 6,78 6,89 6,47 6,72 6,46 6,67 6,49 6,71 6,41 6,54

B 6,91 6,69 6,46 6,71 6,49 6,65 6,52 6,72 6,52 6,67

DO (mg/L)

A 4,19 4,29 0,24 0,20 0,18 0,15 0,16 0,11 0,11 0,09

B 4,08 4,18 0,25 0,21 0,17 0,13 0,15 0,12 0,11 0,1

CO2

(mg/L)

A 0,29 0,29 0,59 0,59 0,89 0,87 1,49 1,19 2,08 1,19

B 0,29 0,29 0,59 0,59 0,92 0,89 1,49 1,25 1,78 1,19

TAN (mg/L)

A 0,05 0,06 0,69 0,59 0,90 0,93 0,91 0,87 0,85 0,86

B 0,05 0,06 0,71 0,56 0,91 0,90 0,88 0,85 0,85 0,82

Parameter

Waktu (s)

0` 30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II I II

pH A 6,91 6,94 5,91 5,96 5,58 5,94 6,23 6,55 6,18 6,30

B 6,93 6,93 5,98 5,99 5,55 5,94 6,22 6,55 6,15 6,30

DO (mg/L)

A 4,22 4,01 0,30 0,26 0,22 0,22 0,17 0,18 0,15 0,16

B 4,15 4,03 0,33 0,24 0,24 0,22 0,16 0,18 0,14 0,16

CO2

(mg/L)

A 0,14 0,14 0,29 0,29 0,41 0,41 0,53 0,53 0,59 0,59

B 0,14 0,14 0,29 0,29 0,41 0,41 0,53 0,53 0,59 0,59

TAN (mg/L)

A 0,09 0,10 0,80 0,79 0,71 0,70 0,75 0,77 0,78 0,78


(49)

Lampiran 4 Data pengamatan tingkah laku ikan pada perlakuan perbedaan suhu lingkungan

a. Suhu dingin (15 oC)

Parameter

Waktu Pengamatan

30` 60` 90` 120`

I II I II I II I II 1. Gerak Tubuh

a. Normal b. Lincah

b1. Normal b2. Stres c. Lamban d. Pasca stres

√ √ √

√ √ √ √ √

2. Gerak Tutup Insang a. Terbuka/tertutup normal b. Terbuka/tertutup cepat c. Terbuka/tertutup lambat

√ √ √

√ √ √ √ √

3. Gerak Sirip a. Normal b. Cepat c. Lambat

√ √ √ √ √ √ √

4. Gerak Dinding Perut a. Normal

b. Tidak normal

√ √ √ √ √ √ √ √

5. Penampakan Umum a. Warna air atau perubahan warna air

b. Bernafas ke permukaan

√ √ √ √ √ √ √ √

6. Lendir a. Tidak ada b. Sedikit c. Agak banyak d. Banyak

√ √ √ √ √ √ √ √

7. Ekskresi Anal a. Tidak ada b. Agak banyak c. Banyak


(1)

f. TAN menit ke-60

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,460750

Size 5 4 ,837750

Size 4 4 ,872250

Sig. 1,000 ,671

g. TAN menit ke-90

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,564000

Size 5 4 ,908500

Size 4 4 ,916750

Sig. 1,000 ,906

h. TAN menit ke-120

Size

N Subset for alpha = .05

1 2 1

Size 6 4 ,691750

Size 4 4 ,870750

Size 5 4 ,988000


(2)

Lampiran 8 Tabel uji lanjut Duncan perlakuan perbedaan suhu

a. pH menit ke-0

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Ruang 4 6,8175

Suhu Dingin 4 6,9275

Suhu Hangat 4 6,9275

Sig. 1,000 1,000

b. pH menit ke-30

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Hangat 4 5,9600

Suhu Ruang 4 6,5900

Suhu Dingin 4 6,7750

Sig. 1,000 ,084

c. pH menit ke-60

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Hangat 4 5,7525

Suhu Ruang 4 6,5675

Suhu Dingin 4 6,6850

Sig. 1,000 ,423

d. DO menit ke-30

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Ruang 4 ,2250

Suhu Hangat 4 ,2825

Suhu Dingin 4 ,4800

Sig. ,056 1,000

e. DO menit ke-60

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2 3

Suhu Ruang 4 ,1475

Suhu Hangat 4 ,2400

Suhu Dingin 4 ,3325


(3)

f. DO menit ke-90

. g. DO menit ke-120

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2 3

Suhu Ruang 4 ,1225

Suhu Dingin 4 ,2050

Suhu Hangat 4 ,4100

Sig. 1,000 1,000 1,000

h. CO2 menit ke-30

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Dingin 4 ,2900

Suhu Hangat 4 ,2900

Suhu Ruang 4 ,5900

Sig. 1,000 1,000

i. CO2 menit ke-60

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Hangat 4 ,4100

Suhu Dingin 4 ,4400

Suhu Ruang 4 ,8925

Sig. ,683 1,000

j. CO2 menit ke-90

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Hangat 4 ,5300

Suhu Dingin 4 ,5900

Suhu Ruang 4 1,3550

Sig. ,376 1,000

k. CO2 menit ke-120

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Hangat 4 ,5900

Suhu Dingin 4 ,6900

Suhu Ruang 4 1,5600

Sig. ,607 1,000

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Ruang 4 ,1350

Suhu Hangat 4 ,1725

Suhu Dingin 4 ,4450


(4)

l. TANmenit ke-0

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2 3

Suhu Ruang 4 ,0550

Suhu Hangat 4 ,0950

Suhu Dingin 4 ,1400

Sig. 1,000 1,000 1,000

m. TANmenit ke-30

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Dingin 4 ,5325

Suhu Ruang 4 ,6375

Suhu Hangat 4 ,8025

Sig. ,088 1,000

n. TANmenit ke-60

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2

Suhu Dingin 4 ,6375

Suhu Hangat 4 ,7125

Suhu Ruang 4 ,9100

Sig. ,069 1,000

o.TANmenit ke-90

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2 3

Suhu Dingin 4 ,6950

Suhu Hangat 4 ,7650

Suhu Ruang 4 ,8775

Sig. 1,000 1,000 1,000

p. TANmenit ke-120

Suhu

N Subset for alpha = .05

1 1 2 3

Suhu Dingin 4 ,7100

Suhu Hangat 4 ,7725

Suhu Ruang 4 ,8450


(5)

Lampiran 9 Faktor perhitungan konsentrasi CO2 dalam air dengan diketahui pH dan temperatur

pH Suhu (

oC)

5 10 15 20 25 30 35

6,0 2,915 2,539 2,315 2,112 1,970 1,882 1,839 6,2 1,839 1,602 1,460 1,333 1,244 1,187 1,160 6,4 1,160 1,010 0,921 0,841 0,784 0,749 0,732 6,6 0,732 0,637 0,582 0,531 0,495 0,473 0,462 6,8 0,462 0,402 0,367 0,335 0,313 0,298 0,291 7,0 0,291 0,254 0,232 0,211 0,197 0,188 0,184 7,2 0,184 0.160 0,146 0,133 0,124 0,119 0,116 7,4 0,116 0,101 0,092 0,084 0,078 0,075 0,073 7,6 0,073 0,064 0,058 0,053 0,050 0,047 0,046 7,8 0,046 0,040 0,037 0,034 0,031 0,030 0,030 8,0 0,029 0,025 0,023 0,021 0,020 0,019 0,018 8,2 0,018 0,016 0,015 0,013 0,012 0,012 0,011 8,4 0,012 0,010 0,009 0,008 0,008 0,008 0,007 Ket : Faktor harus dikalikan dengan total alkalinitas (mg/L) untuk mendapatkan karbondioksida (mg/L)


(6)

Mas (Cyprinus carpio L.) akibat Pengaruh Perbedaan Ukuran dan Suhu Lingkungan. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan RONI NUGRAHA.

Ikan mas merupakan ikan air tawar yang biasa dijual dalam keadaan hidup. Teknik transportasi ikan hidup yang dapat menjamin ikan tetap hidup hingga ke tangan konsumen sangat dibutuhkan. Upaya meningkatkan kepadatan ikan dengan mengurangi jumlah air telah dilakukan. Upaya tersebut masih belum diikuti dengan upaya peningkatan ketahanan hidup ikan dan kajian fisiologis ikan sehingga, masih banyak masalah yang dihadapi. Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap proses fisiologis ikan. Informasi dasar tentang sifat fisiologis ikan mas pada suhu berbeda yaitu suhu dingin, suhu ruang, dan

suhu hangat sangat diperlukan terutama mengeanai metabolismenya (tingkat konsumsi oksigen dan produksi metabolit). Tujuan penelitian ini adalah

mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas (C. carpio L.) serta perubahan kualitas air pada perlakuan perbedaan ukuran dan perbedaan suhu lingkungan.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk memilih size ikan mas ukuran konsumsi (size 4, size 5, dan size 6) yang memiliki daya tahan terbaik terhadap perubahan lingkungan (kepadatan). Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai perubahan kondisi fisiologis ikan mas dibawah kondisi suhu lingkungan yang berbeda. Rancangan percobaaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan satu faktor, yaitu faktor pemberian ukuran untuk penelitian pendahuluan dan faktor pemberian suhu untuk penelitian utama dengan taraf suhu dingin, suhu ruang, dan suhu hangat. Apabila hasil perhitungan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, maka dilakuan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan mas dengan size 4 memiliki SR yang paling tinggi yaitu 62,5 %, diikuti oleh size 5 sebesar 60 %, dan size 6 sebesar 50 %. Penurunan kualitas air pada perlakuan size 4 relatif lebih lambat dibandingkan dengan size 5 dan size 6. Rata-rata jumlah bukaan mulut yang paling banyak didapatkan oleh ikan size 6 yaitu sebesar 1643, sedangkan rata-rata terkecil didapatkan oleh ikan size 4 yaitu sebesar 1131. Tingkat konsumsi oksigen tetinggi pada perlakuan perbedaan suhu didapatkan pada perlakuan suhu hangat menit ke-30 yaitu sebesar 23,40 ± 0,42 mgO2/kg/jam, sedangkan tingkat konsumsi oksigen terendah didapatkan pada perlakuan suhu ruang menit ke-90 yaitu sebesar 0,14 ± 0,02 mgO2/kg/jam. Perhitungan kualitas air pada perlakuan perbedaan suhu untuk parameter DO, CO2, TAN, dan pH yang terbaik didapatkan oleh perlakuan suhu dingin. Ikan dengan perlakuan suhu dingin gerakan fisik tubuhnya terlihat lebih lambat dibandingkan dengan suhu ruang dan suhu hangat. Ikan dengan perlakuan suhu dingin juga menghasilkan SR 100 % atau tidak ada ikan yang mati pada saat simulasi. Metode transportasi terbaik yang menyebabkan tingkat mortalitas paling rendah adalah transportasi ikan mas size 4 dengan perlakuan suhu dingin.