Proporsi relatif dari kedua bentuk amonia tersebut di dalam perairan ditentukan oleh derajat keasaman atau pH. Bentuk toksik dari amonia adalah saat
menjadi NH
3
dan umumnya dominan saat pH tinggi. Ion amonium relatif tidak toksik dan mendominasi saat pH rendah Hargreaves dan Tucker 2004.
Konsentrasi amonia dalam suatu perairan harus diatur secara hati-hati karena amonia yang tidak terionisasi NH
3
dapat menjadi sangat beracun bagi hewan budidaya. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan
suhu perairan. Sebagian besar amonia akan mengalami ionisasi Pada pH 7 atau kurang. Amonia tidak terionisasi pada pH lebih besar dari 7 dan akan bersifat
toksik jika jumlahnya banyak. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu
Effendi 2003. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu
tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi Effendi 2003. Kadar amonia pada
perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mgL, sedangkan kadar amonia bebas yang tidak terionisasi NH
3
pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,2 mgL. Kadar amonia bebas lebih dari 0,2 mgL, perairan toksik bagi beberapa
jenis ikan Effendi 2003. Pada tingkat toksik, NH
3
dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah, gangguan osmoregulasi, dan kesulitan bernafas. Akumulasi NH
3
pada kolam-kolam budidaya dapat bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi dan
dapat menyebabkan kematian hewan budidaya. Akumulasi NH
3
pada kolam-kolam budidaya biasanya hanya sampai pada level yang menyebabkan
efek-efek subletal Hargreaves dan Tucker 2004.
2.7 Glukosa Darah
Respon sekunder terjadi karena adanya pengaktifan hormon stres yang menyebabkan perubahan kimia darah dan jaringan Begg Pankhurst 2004,
misalnya peningkatan glukosa dalam plasma darah Porchas et al. 1990. Glukosa darah kebanyakan diproduksi akibat adanya aksi hormon kortisol yang dapat
merangsang glukoneogenesis pada hati dan menghentikan penyerapan gula
Porchas et al. 1990. Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Sedangkan selama stres terjadi inaktivasi insulin sehingga
menutup penggunaan glukosa oleh sel Brown 1993 dalam Hastuti et al. 2003. Pengujian glukosa darah merupakan salah satu parameter yang digunakan
untuk mengevaluasi tingkat stres pada ikan Kucukgul Sahan 2008. Barton Iwama 1991 menyatakan bahwa konsentrasi kortisol dan glukosa merupakan
indikator stres yang paling penting pada ikan. Kebutuhan energi dari glukosa untuk menangani stres dapat dipenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera
masuk ke dalam sel target. Keberhasilan pasokan glukosa ke dalam sel ditentukan oleh kinerja insulin. Inaktivasi insulin terjadi selama stres sehingga menutup
penggunaan glukosa oleh sel Hastuti et al. 2003. Mekanisme terjadinya perubahan performa glukosa darah selama stres
adalah sebagai berikut: Adanya perlakuan shock suhu perubahan suhu lingkungan akan diterima oleh organ reseptor. lnformasi tersebut disampaikan ke
otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf, dan selanjutnya sel kromaffin menerima perintah melalui serabut syaraf symphatik untuk mensekresikan
hormon katekolamin. Hormon ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen hati dan otot serta menekan sekresi hormon
insulin, sehingga glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan hipothalamus otak mensekresikan CRF corticoid releasing factor
yang meregulasi
kelenjar pituitary
untuk mensekresikan
ACTH adrenocorticotropik hormone, MSH melanocyte stimulating hormone dan
B-End B-endorphin. Hormon tersebut akan meregulasi sekresi hormon kortisol dari sel. Kortisol selanjutnya akan menggertak enzim-enzim yang terlibat dalam
glukoneogenesis yang menghasilkan peningkatan glukosa darah yang bersumber dari non karbohidrat. Penurunan glukosa darah terjadi akibat adanya katabolisme
protein untuk membentuk glukosa, katabolisme protein ini juga menghasilkan asam amino, sehingga asam amino dalam darah diduga meningkat. Meningkatnya
asam amino dalam darah akan mengaktivasi insulin kembali sehingga mampu melakukan transport glukosa, sehingga glukosa dalam darah akan menurun
kembali Hastuti et al. 2003.
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pulau lengerhan pada jaringan epithelium pankreas yang mengatur tingkat kenormalan gula darah
yang relatif konstan dibawah kondisi normal. Hormon ini berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak Suptijah 1996. Insulin adalah
protein yang mempunyai struktur primer spesifik dan merupakan polipeptida besar dengan berat molekul kira-kira 6000. Polipeptida ini terdiri dari 51 asam
amino tersusun dalam 2 rantai: rantai A yang terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat
2 jembatan disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan N-19 dengan A-20. Jembatan disulfida juga terdapat antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A
Suharto Handoko 1987 dalam Suptijah 1996. Insulin memiliki fungsi yang luas dan rumit. Efek akhir dari hormon ini
adalah penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak sehingga insulin dapat disebut sebagai hormone of abudance Nurtanio Wangko 2007. Insulin
memiliki dua fungsi penting dalam menjaga homeostasis metabolisme dalam tubuh.
Mengusahakan tetap
tersedianya sumber
energi yang
cukup untuk kebutuhan tubuh dalam masa perkembangan, pertumbuhan, dan
reproduksi adalah
fungsi pertama.
Fungsi kedua
adalah mengatur
konsentrasi glukosa plasma. Pengaturan pelepasan insulin ini dikendalikan oleh sistem saraf pusat dan dipengaruhi oleh jumlah sel lemak dan glukosa plasma
Nurtanio Wangko 2007.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan