23
aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di
keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola
dan keterampilan dalam berkomunikasi.
c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga
Dalam perkawinan, menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada
saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan Sri Lestari, 2013: 16.
Dalam buku “Psikologi Remaja”, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari 2013: 19, menurut Hinde, dikatakan bahwa relasi orang tua dan anak
mengandung beberapa prinsip berikut ini:
1 Interaksi. Perlu disediakan waktu agar orang tua dan anakdapat berinteraksi
dan berkomunikasi untuk menciptakan keakraban. Berbagai interaksi dan komunikasi dapat membentuk kepribadian anak dan membantu anak untuk
bertumbuh secara wajar menuju masa depan yang lebih baik. 2
Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran yang sama dalam interaksi untuk saling memperkaya dalam relasi yang
sehat.
24
3 Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik. Walaupun demikian
keunikan itu dapat dikomunikasikan dalam relasi timbal balik antara orangtua dan anak untuk saling memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain
di dalam keluarga 4
Pengharapan. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi pada awalnya menjadi gambaran pada pengharapan dalam hubungan keduanya. Berdasarkan
pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan berindak pada suatu situasi Demikan pula sebaliknya anak kepada orang
tuanya. 5
Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, maka masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan
keduanya.
Kemudian menurut Dunn, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” 2012: 20 pola hubungan antara saudara kandung
dicirikan oleh tiga karakteristik yakni:
a
Pertama
, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa
emosi negatif maupun emosi positif; b
Kedua,
keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun
konflik;
25
c
Ketiga,
adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama
dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan
satu sama lain
Untuk mengetahui apa arti keluarga bertanggung jawab menurut ajaran Gereja Katolik, pertama-tama perlu dilihat dalam terang
Konstitusi Gaudium et Spes
GS. Suami istri harus bertanggung jawab dengan memperhatikan kesejahteraan pasangan, kesejahetraan anak-anaknya yang sudah ada maupun
yang akan ada, maka tanggung jawab itu membuka cakrawala suami-isteri lebih luas, sehingga selalu turut memperhitungkan kepentingan masyarakat dan Gereja
GS 50. Dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus dan Kolose Ef, 5:22- 23; 6:1-4 dan Kol, 3:18-21 terungkap secara jelas bentuk-bentukrelasi
timbalbalik dalam keluarga yakni: 1 Suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya, 2 Istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala
hal, 3 Orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan, serta tidak membangkitkan amarah anak-anaknya, 4 Anak-anak menghormati dan
mentaati orang tuanya.
Bentuk-bentuk relasi di atas memberi inspirasi kepada setiap anggota keluarga untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dalam keluarga. Menurut
Defrain dan Stinnett, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari dalam buku “Psikologi Remaja” 2012: 24-26, dikatakan bahwa: kekukuhan keluarga merupakan
26
kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan
well-being
keluarga. Ada enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, yakni:
a Memiliki komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga perlu
diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga perlu memiliki komitmen untuk saling membantu satu sama lain dalam meraih keberhasilan.
b Kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap anggota keluarga perlu
melihat sisi baik dari anggota keluarga lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikkan tersebut. Setiap ada keberhasilan maka sangat dianjurkan
untuk merayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan akan menjadi kebiasaan baik.
c Ada waktu untuk berkumpul bersama. Secara berkala keluarga perlu
melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman
dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka. d
Mengembangkan spiritualitas. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa
kebersamaan. e
Menyelesaikan konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Maka konflik tersebut diselesaikan dengan cara menghargai pendapat masing-masing
terhadap permasalahan. f
Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh akan memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya
27
kehidupan sehari-hari. Ritme atau pola dalam keluarga akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya
d. Suami-Istri Dipanggil Mengambil Bagian Dalam Tritugas Yesus Kristus