19
Rasul Santo Paulus menegaskan bahwa keluarga Kristiani perlu membiarkan Kristus memerintah sebagai Tuhan atas hidup mereka agar masalah
dan tantangan apapun dapat diselesaikan dalam nama Tuhan. Setiap keluarga Katolik perlu memahami bahwa yang menjadi dasar dalam membangun hidup
berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling melengkapi dan saling mencintai satu sama lain secara
total dan menyeluruh bdk, Efesus, 5: 22-30.
2. Anak Dalam Keluarga Katolik
a. Anak Adalah Anugerah Allah bagi Suami-Istri
Salah satu tujuan perkawinan Katolik adalah untuk melahirkan anak. Anak adalah buah cinta suami-istri dalam perkawinan, tapi terutama anak adalah
anugerah cinta dari Allah kepada suami-istri dalam perkawinan mereka. Anak sebagai anugerah Allah kepada suami-istri membutuhkan cinta, perhatian dan
tanggung jawab orang tua. P aus Yohanes Paulus II dalam “
Surat Apostolik
Familiaris Consortio” FC, art. 18 mengatakan bahwa: keluarga yang didasarkan dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi-pribadi, persatuan
antar suami dan istri, persatuan orang tua dan anak-anak dan persatuan sanak saudara. Tugasnya yang pertama ialah dengan setia menghayati realitas persatuan
dalam usaha terus menerus untuk mengembangkan persekutuan antarpribadi yang otentik. Persekutuan antarpribadi ini terjadi dalam komunitas keluarga yang
membentuk suatu ikatan yang disebut relasi.
20
b. Relasi Orang Tua-Anak Dalam Keluarga
Prinsip persekutuan menuntut pribadi-pribadi dalam keluarga untuk menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional. Dalam pembangunan relasi
inilah para anggota keluarga memperlihatkan tanggungjawabnya satu terhadap yang lain. Relasi personal berpusat pada hati sedangkan relasi fungsional
berkaitan dengan peran masing-masing pribadi dalam keluarga dan dengan keluarga-keluarga lain. Setiap pribadi mesti menanamkan dalam hatinya prinsip
rasa ‘memiliki’ satu sama lain. Artinya setiap anggota keluarga mesti menunjukkan rasa tanggungjawab satu terhadap yang lain dan merasa bahwa
anggota keluarga yang lain merupakan bagian utuh dari dirinya karena “mereka bukan lagi dua
melainkan satu” bdk. Kejadian 2: 24. Relasi personal diartikan sebagai relasi antarpribadi, yang didasarkan pada kedudukan atau fungsi
seseorang. Dalam relasi ini setiap pribadi adalah setara dengan setiap pribadi yang lain dalam keluarga. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lain.
Sedangkan relasi fungsional adalah relasi yang muncul dari kedudukan atau fungsi seseorang dalam keluarga, misalnya relasi orang tua dengan anak. Dalam
keluarga, kedua relasi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena hubungan fungsional dalam keluarga harus selalu personal juga, artinya harus selalu dalam
semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak asasi yang sama pula KWI, 2011: 22. Relasi antaranggota keluarga
tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan hidup sebagai makluk sosial, melainkan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai tertentu yakni:
21
1 Relasi suami-Istri. Suami-istri dipanggil untuk hidup dalam persekutuan yang
bersifat eksklusif dan tak terputuskan, kecuali oleh kematian. Persekutuan suami istri itu bertujuan saling melengkapi dan menjadi sakramen cinta-kasih
Allah yakni tanda dan sarana kehadiran cinta-kasih Allah yang menyelamatkan KWI, 2011: 22
2 Relasi Orang Tua-Anak. Relasi orang tua dan anak bertujuan menghayati dan
melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama maupun untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan,
“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayah dan ibumu
– ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang
umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat
Tuhan” bdk, Efesus, 6: 1-4 3
Relasi Keluarga Inti-Keluarga Besar. Dalam masyarakat Indonesia, pengertian “keluarga” seringkali juga menunjuk pada “keluarga besar”, yang terdiri dari
keluarga inti suami-istri dan anak-anak, orang tua dan mertua, serta sanak saudara. Dalam kehidupan sehari-hari relasi antar keluarga inti dan keluarga
besar sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain. ketika keluarga inti menghadapi suatu persoalan, keluarga besar juga ikut merasakan dan terlibat di
dalamnya. Baik keluarga inti maupun keluarga besar hendaknya membangun relasi yang tidak hanya berdasarkan hubungan darah, tetapi lebih dari itu
berdasarkan dan bersumber pada cinta-kasih. Perwujudan dari relasi-relasi
22
tersebut dipengaruhi oleh budaya-budaya dan tradisi setempat yang tetap pantas diperhatikan, dipelihara, dan dihargai dengan sikap kritis dan kreatif
KWI, 2011: 27
Menurut Sri Lestari 2012: 9, pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang
terjadi berupa relasi antarsuami-isteri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir
muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu
relasi sabling
saudara sekandung. Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk yang pokok dalam suatu keluarga
inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk- bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi.
Setiap bentuk relasi yang dibangun dalam keluarga tentu memiliki warna atau kerakteristik tertentu. Menurut Calhoun dan Acocela, sebagaimana dikutip
oleh Sri Lestari 2012: 9 disampaikan bahwa relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak
keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri karena lemah dalam proses adaptasi. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah
keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Proses adaptasi diri ini sifatnya dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Proses
penyesuaian adalah suatu interaksi yang yang terus-menerus dan kontinu dengan diri sendiri, di antara suami-istri, suami-isri dengan anak-anak serta dengan orang
lain dan lingkungan sosial. Pada tahap ini, komunikasi interpersonal merupakan
23
aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan keseluruhan aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari sebuah diskusi dan pengambilan keputusan di
keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola
dan keterampilan dalam berkomunikasi.
c. Prinsip-Prinsip Interaksi Orang tua-Anak Dalam Keluarga