Klasifikasi Patofisiologi TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Klasifikasi

20 Sistem klasifikasi konstipasi pada anak didasarkan pada kriteria Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology PaCCT dimana konstipasi dibagi menjadi 8 kategori, sebagai berikut : 1. Konstipasi kronik, dalam 8 minggu memenuhi dua atau lebih dari kriteria berikut : frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, lebih dari 1 kali episode inkontinensia feses per minggu, tinja yang banyak di rektum atau abdomen teraba pada pemeriksaan fisik, feses yang melewati rektum terlalu banyak sehingga dapat menyebabkan obstruksi di kloset, perilaku menahan defekasi, dan nyeri defekasi. 2. Inkontinensia fekal, aliran feses pada tempat yang tidak seharusnya. 3. Inkontinensia fekal organik, fekal inkotinensia didapat dari kelainan organik kelainan neurologis atau abnormalitas sfingter. 4. Inkontinensia fekal fungsional, fekal inkontinensia yang didapat dari penyakit non-organik, dapat berupa konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal, inkontinensia fekal non retensi. 5. Konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal, inkontinensia fekal fungsional yang berhubungan dengan kehadiran konstipasi. 6. Fekal inkontinensia non retensi, aliran feses tidak sesuai tempat, terjadi pada anak usia 4 tahun atau lebih tanpa ada riwayat dan gejala klinis konstipasi. Universitas Sumatera Utara 7. Feses keras, massa feses mengeras dan membatu pada rektum atau abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat terlihat dan dipalpasi di abdomen. 8. Disinergi pelvik, ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika defekasi.

2.5. Patofisiologi

Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali setiap hari sampai tiga kali setiap minggu. Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering berhajat di bandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rata-rata pada defekasi menurun menjadi dua kali setiap hari. Frekuensi defekasi normal pada anak terlihat pada Tabel 2.2. 1,5,21 Proses normal defekasi diawali dengan terenggangnya dinding rektum sehingga menimbulkan reflek relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan akan mendorong feses keluar melalui anus. 1 Universitas Sumatera Utara Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan merenggangkan rektum dan kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala, seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja menjadi keras dan besar sehingga lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan menimbulkan rasa sakit kemudian terjadi retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung : tinja keras, nyeri waktu berhajat, retensi tinja, tinja makin banyak, reabsorbsi air, tinja makin keras dan makin besar, nyeri waktu berhajat dan seterusnya. 1 Tabel 2.2. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak. 1,5,21 Umur Defekasiminggu Defekasihari 0-3 bulan : ASI 0-3 bulan : formula 6-12 bulan 1-3 Tahun 3 tahun 5-40 5-28 5-28 4-21 3-14 2.9 2.0 1.8 1.4 1.0 Pada banyak kasus, konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat defekasi. Ketika anak merasakan nyeri saat berlangsungnya defekasi, maka Universitas Sumatera Utara anak akan mulai menahan tinja dalam perut agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi. Jika menahan- nahan defekasi terus berlanjut, maka keinginan defekasi akan berangsur hilang sehingga akan terjadi penumpukan tinja. 1 Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan tinja mengeras yang kemudian dapat berakibat pada spasme sfingter anus. Distensi rektal kronik menyebabkan kehilangan sensitifitas rektal, keinginan defekasi yang dapat berdampak pada inkontiensia fekal. 22

2.6. Diagnosis Konstipasi