Persyaratan mengenai jamu belum begitu mantap dan tegas, namun pemerintah telah mengeluarkan beberapa petunjuk yaitu:
1. Kadar air tidak lebih dari 10. Ini untuk mencegah berkembangnya bakteri,
kapang, dan khamir. 2.
Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari 10000 3.
Jumlah bakteri non patogen tidak lebih dari 1 juta 4.
Bebas dari bakteri patogen 5.
Tidak boleh tercemar atau diselundupi bahan kimia berkhasiat Harmita, 2006.
C. Asam Urat
Asam urat merupakan senyawa kimia hasil akhir dari metabolism nucleic acid
atau metabolisme purin dalam tubuh. Berdasarkan penyelidikan bahwa 90 dari asam urat merupakan hasil katabolisme purin yang dibantu oleh enzim
guanase dan xanthine oksidase Suhendi, Nurcahyanti, Muhtadi, Sutrisna, 2011. Asam urat akan dibawa ke ginjal melalui aliran darah untuk dikeluarkan
bersama air seni. Ginjal akan mengatur kadar asam urat dalam darah agar selalu dalam keadaan normal. Namun, asam urat yang berlebihan tidak akan tertampung
dan termetabolisme seluruhnya oleh tubuh, maka akan terjadi peningkatan kadar asam urat dalam darah Suhendi, Nurcahyanti, Muhtadi, Sutrisna, 2011.
D. Alopurinol
Gambar 1. Struktur alopurinol 1H-Pirazolo[3,4-d]pirimidin-4-ol DepKesehatan RI, 1995
1. Sifat fisika kimia
Alopurinol mengandung tidak kurang dari 98 dan tidak lebih dari 101,0 C
5
H
4
N
4
O dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian berupa serbuk halus putih hingga hampir putih dan berbau lemah. Alopurinol
sangat sukar larut dalam air dan etanol, larut dalam larutan kalium dan natrium hidroksida, praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter DepKes RI,
1995.
2. Dosis
Pada dewasa, dosis harian rata-rata adalah 2-10 mgkgBB, 100-200 mg untuk kondisi ringan, 300-600 mg untuk kondisi cukup parah dan 700-900 mg
untuk kondisi parah Apotex NZ Ltd, 2011. Pada anak-anak, dosis harian rata-rata adalah 10-20 mgkgBB sampai
maksimal 400 mg per hari. Penggunaan pada anak-anak jarang diindikasikan kecuali dalam kondisi tertentu dan gangguan enzim tertentu Apotex NZ Ltd,
2011.
3. Peringatan dan pencegahan
Hati-hati pemberian pada penderita yang hipersensitif dan wanita hamil. Hindari penggunaan pada penderita dengan gagal ginjal atau penderita
hiperurisemia asimptometik. Hentikan pengobatan dengan alopurinol bila timbul kulit kemerahan atau demam. Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan katarak. Selama pengobatan dianjurkan melakukan pemeriksaan mata secara berkala, hentikan pengobatan jika terjadi kerusakan lensa mata.
Penggunaan pada wanita hamil, hanya bila ada pertimbangan manfaat dibandingkan resikonya. Alopurinol dapat meningkatkan frekuensi serangan
artritis gout akut sehingga sebaiknya obat antiinflamasi atau kolkisin diberikan bersama pada awal terapi. Hati-hati bila diberikan bersama dengan vidarabin
DechaCare, 2014.
4. Efek samping
Reaksi hipersensitifitas: ruam mokulopapular didahului pruritus, urtikaria, eksofoliatif dan lesi pupura, dermatitis, nefritis, faskulitis dan
syndrome poliartrtis. Demam, eosinophilia, kegagalan hati dan ginjal, mual, muntah, diare, rasa mengantuk, sakit kepala dan rasa logam DechaCare,
2014.
5. Penetapan kadar
Alopurinol dapat
ditetapkan kadarnya
dengan menggunakan
spektrofotometer UV dengan panjang gelombang kurang lebih 250 nm. Alopuriol dilarutkan dalam NaOH 0,4 bv dan HCl 1 vv DepKes RI
1974.
E. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair solven sebagai separating agent
Harborne, 1987. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat dapat dipermudah dengan mengetahui terlebih dahulu zat aktif yang dikandung
simplisia Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986.
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995.
F. Solid Phase Extraction SPE
1. Prosedur SPE
Ada dua strategi untuk melakukan penyiapan sampel menggunakan SPE ini. Strategi pertama adalah dengan melakukan pemilihan pelarut yang mampu
menahan semua analit yang dituju pada penjerap yang digunakan, sementara untuk senyawa - senyawa penganggu akan terelusi. Analit yang dituju yang
tertahan pada penjerap ini selanjutnya dielusi dengan sejumlah kecil pelarut organik yang akan mengambil analit yang tertahan ini. Strategi ini beramanfaat
jika analit yang dituju berkadar rendah. Strategi lain adalah dengan mengusahakan supaya analit yang tertuju keluar terelusi, sementara untuk
senyawa penganggu tertahan pada penjerap Gandjar dan Rohman, 2010.
Tahap pertama menggunakan SPE adalah dengan mengkondisikan penjerap dengan pelarut yang sesuai. Penjerap nonpolar seperti C
18
dan penjerap penukar ion dikondisikan dengan mengalirinya menggunakan metanol
lalu dengan akuades. Pencucian yang berlebihan dengan air akan mengurangi recovery
analit. Penjerap - penjerap polar seperti diol, siano, amino, dan silika harus dibilas dengan pelarut nonpolar seperti metilen klorida Gandjar dan
Rohman, 2010.
Gambar 2. Proses skematik prosedur SPE Wells, M.J.M., 2000
Ada empat tahap dalam prosedur SPE, yaitu: a.
Pengkondisian Kolom cartridge dialiri dengan pelarut sampel untuk membasahi
permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama, sehingga perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika sampel
dimasukkan dapat dihindari. Conditioning
Loading Washing
Elution
b. Retensi tertahannya sampel
Larutan sampel dilewatkan ke cartridge baik untuk menahan analit yang diharapakan, sementara komponen lain terelusi atau untuk menahan
komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang diharapkan terelusi. c.
Pembilasan Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang tidak
tertahan oleh penjerap selama tahap retensi. d.
Elusi Tahap ini merupakan tahap terakhir untuk mengambil analit yang
dikehendaki jika analit tersebut tertahan pada penjerap Gandjar dan Rohman, 2010.
2. Pengembangan metode
Pendekatan empirik untuk melakukan pengembangan metode SPE melibatkan screening penjerap yang tersedia. Langkah pertama adalah
menetukan penjerap mana yang paling baik dalam hal menahan analit yang dituju. Pertimbangan kedua adalah pelarut apa yang dibutuhkan untuk
mengelusi analit yang dituju. Langkah ketiga adalah menguji matriks sampel blanko untuk mengevaluasi adanya pengganggu yang mungkin ada, dan
akhirnya langkah keempat adalah menentukan recovery dengan menambah analit dalam jumlah tertentu harus dilakukan Gandjar dan Rohman, 2010.
Polaritas pelarut yang meningkat dibutuhkan untuk mengelusi senyawa yang tertahan dalam penjerap silika, sementara unutk senyawa yang tertahan
dalam penjerap nonpolar seperti C
18
digunakan pelarut nonpolar Gandjar dan Rohman, 2010.
G. Spektrofotometri UV
Spektrofotometeri UV merupakan salah satu teknik analisis spektroskopik yang menggunakan radiasi elektromagnetik UV dekat dengan menggunakan alat
spektrofotometer Skogg, West dan Holler, 1994. Radiasi elektromagnetik pada daerah UV dan visibel biasanya ditulis dalam satuan nanometer. Ketika sampel
mengabsorbsi radiasi elektromagnetik foton, terjadi perubahan energi pada sampel tersebut. Energi yang diserap mempunyai hubungan terhadap Persamaan
Planck Harvey, 2000. Molekul yang dikenakan gelombang radiasi elektromagnetik pada
frekuensi yang sesuai dapat terjadi penyerapanabsorpsi, adanya serapan tersebut menghasilkan perbedaan energi serapan. Selisih energi tersebut setara dengan
energi foton yang diserap. Energi yang melompat dari keadaan dasar ground state
ke keadaan tereksitasi excited state disebut dengan transisi.
Dimana, E1= energi pada keadaan dasarlebih rendah E2= energi pada keadaan tereksitasilebih tinggi
h = konstanta Planck υ = frekuensi foton yang diabsorpsidiserap
= panjang gelombang c = kecepatan
1
Transisi yang terjadi antar molekul tidaklah sama, hal ini menyebabkan perbedaan spektra absorpsinya. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai bahan
analisis kualitatif dan banyaknya molekul yang menyerap radiasi pada panjang gelombang tertentu setara dengan sinar yang diabsorpsi sehingga spektra juga
dapat digunakan sebagai bahan analisis kuantitatif Gandjar dan Rohman, 2010. Pada analisis dengan spektrofometer, dilakukan pembacaan absorbansi
yang disebut sebagai absorban A yang tidak memiliki satuan Mulja dan Suharman, 1995. Spektrum absorpsi merupakan plot absorbansi analit yang
merupakan fungsi dari panjang gelombang Skogg, West dan Holler, 1994.
Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik Gandjar dan Rohman, 2010
Penyerapan foton yang dialami molekul mengakibatkan terjadinya eksitasi elektron-elektron ikatan. Transisi elektronik yang terjadi antara tingkat energi
suatu molekul ada empat, yakni:
1. Transisi sigma–sigma star σ → σ
Energi pada transisi ini terletak pada daerah 180nm atau terjadi pada daerah UV vakum dan kurang begitu bermanfaat untuk analisis
spektrofotometri UV-VIS Gandjar dan Rohman, 2010.
2. Transisi non bonding elektron–sigma star n → σ
Energi yang diperlukan untuk jenis transisi ini lebih kecil dibandingkan transisi σ → σ, sehingga sinar yang diserap memiliki panjang gelombang
yang lebih panjang 150 –250nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang
gelombang 200nm Gandjar dan Rohman, 2010.
3. Transisi n → π dan transisi π → π
Transisi ini terjadi pada molekul organik yang memiliki gugus fungsional tidak jenuh, ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang
diperlukan. Transisi jenis ini paling cocok digunakan dalam analisis menggunakan spektrofotometri UV
–visibel karena berada diantara panjang gelombang 200
–700 nm Gandjar dan Rohman, 2010. Pelarut dapat memberikan pengaruh transisi n → π dan π → π, hal ini
berkaitan dengan adanya perbedaan kemampuan dari pelarut untuk mensolvasi antara keadaan da
sar dengan keadaan tereksitasi. Pada transisi π → π, molekul yang berada dalam keadaan dasar akan relatif non polar dan keadaan
tereksitasinya lebih polar dibandingkan dari keadaan dasar. Penggunaan pelarut polar akan menyebabkan interaksi lebih kuat saat keadaan tereksitasi
dibandingkan keadaan dasar sehingga perbedaan energi transisi π → π lebih kecil. Akibat yang ditimbulkan atas peristiwa ini ialah pergeseran ke panjang
gelombang yang lebih besar dari semula. Berbeda dengan transisi n → π, pada keadaan dasar molekul relatif lebih polar dibandingkan keadaan tereksitasi.
Pelarut yang berinteraksi hidrogen akan berinteraksi secara lebih kuat dengan pasangan elektron yang tak berpasangan pada keadaan dasar dibandingkan
molekul pada keadaan tereksitasi. Ha l ini mengakibatkan transisi n → π akan
mempunyai energi yang lebih besar sehingga panjang gelombang akan bergeser
lebih pendek dibandingkan semula akibat kemampuan membentuk interaksi hidrogen polaritas pelarut meningkat Gandjar dan Rohman, 2010.
Gambar 4. A Pengaruh pelarut polar terhadap transisi π → π dan B Transisi n → π Gandjar dan Rohman, 2010
Dalam memilih panjang gelombang terkait hubungan sifat optik cuplikan dan pelarut. Penyerapan radiasi UV atau visibel terkait dari elektron terluar atau
elektron valensi dari molekul dan tergantung pula pada jenis ikatan kimia dalam molekul, adanya ikatan kimia penyebab terjadinya serapan sinar UV-Vis disebut
kromofor Johnson dan Stevenson, 1978. Sinar UV mempunyai panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar visibel mempunyai panjang gelombang
400-750 nm Gandjar dan Rohman, 2010.
A
B
Kromofor merupakan ikatan rangkap tak jenuh selang-seling yang menyerap radiasi pada daerah UV dan visibel, sedangkan aukosokrom merupakan
gugus jenuh yang terikat pada kromofor dapat menyebabkan adanya perubahan panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum. Ciri auksokrom adalah
gugusan heteroatom seperti –OCH
3
, -Cl, OH, dan NH
2
. Penambahan auksokrom menyebabkan pergeseren batokromik. Pergeseran batokromik merupakan
pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih panjang akibat adanya subsitusi gugus atau atom atau adanya pengaruh pelarut Sastrohamidjojo, 2001.
H. High Performance Liquid Chromatography HPLC
Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, karena solut-solut ini melewati suatu
kolom kromatografi. Pemisahan ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam Gandjar dan Rohman, 2010.
HPLC dapat menghasilkan pemisahan yang cepat, dengan keunggulan zat yang tidak menguap atau zat yang tidak tahan panas dapat dipisahkan tanpa
terurai atau tanpa perlu diderivatisasi. Pada kromatografi partisi digunakan fase gerak dan fase diam dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar
dan fase diam bersifat nonpolar maka disebut sebagai kromatografi fase terbalik, senyawa nonpolar yang larut dalam hidrokarbon dengan BM 1000 dapat
dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya terhadap fase diam Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995.
Gambar 5. Dasar pemisahan kromatografi partisi Lennan, 2010
Kromatografi partisi merupakan metode pemisahan analit berdasarkan kemampuan partisinya diantara fase diam dan fase gerak yang melewati fase
diam. Analit yang mempunyai afinitas lebih besar pada fase diam gambar 3 - bulatan merah relatif lebih tertahan di fase diam daripada analit yang kurang
tertahan pada fase diam gambar 3 - bulatan hijau Lennan, 2010.
Gambar 6. Diagram sistem HPLC secara umum Harvey, 2000
Secara umum instrument HPLC terdiri atas beberapa komponen, yaitu wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukan sampel,
kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau perekam Gandjar dan Rohman, 2010.
Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah ini biasanya mampu menampung fase gerak antara 1-2 liter pelarut. Fase gerak harus di degasing
penghilangan gas dulu sebelum digunakan karena adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan
mengacaukan analisis. Pada saat membuat fase gerak, maka sangat dianjurkan untuk memilih fase gerak dengan kemurnian yang tinggi agar tingkat pengotor
rendah dan tidak merusak sistem HPLC Gandjar dan Rohman, 2010. Fase gerak pada HPLC biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat
bercampur dan secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan berdasarkan polaritas pelarut, polaritas fase diam
dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal fase diam lebih polar daripada fase gerak, kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas
pelarut. Sedangkan untuk fase terbalik fase diam kurang polar daripada fase gerak, kemampuan elusi akan menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut
Gandjar dan Rohman, 2010. Dasar pemilihan fase gerak dalam suatu metode pemisahan yaitu
berdasarkan pada indeks polaritas P’ campuran fase gerak tersebut. Semakin besar nilai indeks polaritas pelarut menyatakan semakin polar fase gerak yang
digunakan. Fase gerak yang sering digunakan merupakan kombinasi dari dua atau lebih campuran pelarut yang saling bercampur secara keseluruhan. Campuran fase
gerak tersebut akan menghasilkan nilai polaritas tersendiri yang disebut indeks polaritas fase gerak Harvey, 2000.
�′ Φ . �′
+ Φ . �′ 2
Dengan Φ
A
dan Φ
B
merupakan fraksi volume pelarut yang digunakan pad
a pelarut A dan B, sedangkan P’
A
dan P’
B
merupakan indeks polaritas pelarut yang digunakan pada pelarut A dan B Harvey, 2000.
Tabel 1. Indeks polaritas dan karakteristik solvent selectivity beberapa pelarut HPLC Snyder
, Kirkland dan Dolan, 2010
Pompa yang digunakan untuk memompa fase gerak pada sistem HPLC memiliki syarat seperti wadah pelarut yakni inert terhadap fase gerak. Pompa
yang digunakan sebaiknya memiliki kemampuan memberikan tekanan hingga 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak hingga 3 mLmin. Penggunaan
pompa ialah untuk dapat menjamin proses penghantaran fase gerak yang
berlangsung dengan tepat, reprodusibel, konstan dan bebas gangguan Gandjar dan Rohman, 2010.
Metode pencampuran fase gerak dibedakan menjadi dua, yakni metode isokratik dan metode gradien. Metode isokratik merupakan metode pencampuran
fase gerak secara manual dengan tangan dan saat memasuki sistem HPLC tidak dibutuhkan adanya pencampuran fase gerak kembali dan dilakukan dengan satu
pompa. Metode gradien merupakan metode pencampuran fase gerak yang dilakukan di dalam sistem HPLC, dimana beberapa pompa digunakan untuk
memompa pelarut ke dalam wadah pencampuran fase gerak dan hasil pencampuran fase gerak tersebut yang dialirkan ke dalam kolom Snyder,
Kirkland, dan Dolan, 2010. Penyuntikan sampel pada HPLC dilakukan secara langsung ke dalam
fase gerak yang mengalir menuju kolom Gandjar dan Rohman, 2010. Pada sistem HPLC, penyuntikan sampel melalui loop injector yang dapat
menyimpan volume dari 0,5 L - 2 mL. Pada posisi load, loop sampler terisolasi
dari fase gerak. Ketika katup dipindahkan ke posisi loading, injektor berpindah ke posisi inject dan saat itu pula fase gerak mengaliri sampel dan terbawa memasuki
kolom Harvey, 2000.
Gambar 7. Skema sampler KCKT. A – posisi load, sampel diinjeksikan dan terisolasi dari
fase gerak. B – posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan memasuki kolom Harvey,
2000
Kolom pada HPLC memuat fase diam, kebanyakan merupakan silika yang dimodifikasi secara kimiawi. Permukaan silika merupakan permukaan yang
polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol Si-OH. Modifikasi secara kimia akan menutupi gugus silanol dan menggantinya dengan gugus
fungsional lain. Hasil reaksi kimiawi tersebut akan menghasilkan silika yang
stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk ikatan siloksan Si-O-Si Gandjar dan Rohman, 2010.
Oktadesil silika C
18
merupakan fase diam yang paling banyak
digunakan dalam memisahkan senyawa dengan tingkat kepolaran rendah hingga tinggi. Oktil atau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih sesuai untuk analit yang
polar. Analit polar terutama yang bersifat basa akan memberikan puncak yang mengekor tailing peak, hal ini terjadi karena adanya interaksi dengan residu
silanol ataupun pengotor logam yang terdapat pada silika Gandjar dan Rohman,
2010.
Deteksi pada KCKT dibagi menjadi empat secara umum, yakni bulk property, sample specific, mobile-phase modification,
dan hyphenated techiniques.
a. Bulk property detector. Detektor ini dianggap sebagai detektor universal yang
dapat mengukur banyak komponen. Detektor ini memiliki keuntungan karena dapat mendeteksi semua senyawa, sekaligus memiliki kelemahan karena semua
senyawa dari sampel yang terelusi akan terbaca sebagai sinyal. Secara umum, detektor universal memiliki sensitivitas yang rendah Snyder, Kirkland, dan
Dolan, 2010. b.
Sample specific detectors. Detektor ini merespon terhadap keunikan karakteristik yang dimiliki suatu analit karena beberapa karakteristik sampel
mempunyai sifat unik yang mana tidak secara umum dimiliki oleh semua analit. Detektor UV merupakan detektor yang paling banyak digunakan dan
merespon analit yang mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang tertentu. Selain detektor UV, terdapat detektor lain seperti fluoresen dan
detektor conduct electricity Snyder, Kirkland, dan Dolan, 2010. Detektor UV-VIS dapat mengukur analit yang memiliki struktur kromoforik pada daerah
panjang gelombang 190 – 800 nm. Detektor UV-VIS ini dapat berupa detektor
dengan panjang gelombang tetap ataupun bervariasi Gandjar dan Rohman, 2010.
c. Mobile–phase modification detectors. Detektor ini mengubah fase gerak
setelah kolom HPLC menghasilkan pengubahan karakteristik analit, seperti
perubahan reaksi analit dan detektor spektrometrik masa Snyder, Kirkland, dan Dolan, 2010.
d. Hyphenated techniques. Teknik ini mengacu pada kopling dari analisis HPLC
yang dipadukan dengan teknik lain, seperti LC-MS dan LC-IR Snyder, Kirkland, dan Dolan, 2010.
Detektor pada HPLC idealnya memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
Respon terhadap analit cepat dan reprodusibel
Mampu mendeteksi analit hingga kadar yang sangat kecil
Stabil saat dioperasikandigunakan
Memiliki sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran
pita.
Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi analit pada kisaran luasAUC
Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
Komputer atau integrator merupakan alat yang dihubungkan dengan detektor unuk mengukur sinyal yang dihasilkan dan diplotkan sebagai suatu
kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh peneliti Gandjar dan Rohman, 2010.
I. Landasan Teori
Jamu merupakan sediaan obat tradisional yang digunakan secara turun temurun oleh masyarakat untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Salah satu
jenis jamu yang sering digunakan adalah jamu asam urat. Regulasi mengenai jamu
belum diterapkan secara semestinya sehingga mendorong beberapa pihak yang kurang bertanggung jawab untuk meningkatkan omsetnya dengan menambahkan
bahan-bahan kimia obat untuk dapat memperoleh efek terapi yang cepat. Penyakit asam urat banyak dialami oleh banyak masyarakat, oleh karena
itu agar penyembuhannya cepat banyak masyarakat menggunakan obat. Obat untuk menyembuhkan asam urat adalah alopurinol.
Pada sampel tablet, digunakan pengukuran secara spektrofotometri UV untuk mengukur kadar alopurinol dalam matriks tablet. Sampel tablet disaring lalu
diencerkan dan diukur dengan spektrofotometer UV. Parameter pengukuran dengan spektrofotometer UV, yaitu nilai presisi yang baik.
Sampel dipisahkan dengan cara ekstraksi cair-cair, dimana sampel jamu dilarutkan dalam NaOH karena kelarutan alopurinol terbesar terdapat dalam
NaOH, kemudian diekstraksi dengan kloroform agar senyawa-senyawa organik larut dalam klorofom tetapi tidak melarutkan analit karena perbedaan polaritas,
lalu dibuang fase organiknya kemudian dipisahkan lagi dengan Solid Phase Extraction
MCX Mixed Cation Exchanger karena analit akan berikatan dengan SO
3 -
dari fase diam SPE. Setelah analit berikatan dengan fase diam MCX, matriks sampel dikeluarkan dengan mengaliri asam asetat dan metanol kemudian
dilakukan elusi dengan amonium hidroksida 5 dalam metanol. Optimasi clean up partisi dan SPE dilakukan untuk memperoleh analit
yang bersih dari senyawa lainnya selain alopurinol dan didapatkan kandungan alopurinol terbanyak. Hasil ekstraksi diinjeksikan pada sistem HPLC fase terbalik
yang sudah teroptimasi dan dilihat kromatogramnya. Parameter pemisahan
dengan SPE yang menunjukkan hasil optimum yaitu berkurangnya puncak- puncak senyawa selain alopurinol, Area Under Curve AUC alopurinol yang
terbesar, resolusi tercapai ≥ 1,5 pada kromatogram
J. Hipotesis