Optimasi isolasi alopurinol dalam sediaan tablet dan jamu.

(1)

INTISARI

Telah dilakukan penelitian tentang alopurinol dalam sampel obat, matriks biologis dan penelitian BKO dalam sediaan jamu sebelumnya pernah dilakukan dengan menggunakan sampel metampiron. Penelitian ini ingin mengetahui optimasi isolasi alopurinol dalam sampel tablet dan jamu untuk mengurangi berbagai matriks yang terdapat dalam sampel tablet dan jamu sehingga dapat digunakan untuk determinasi alopurinol. Optimasi isolasi dilakukan dengan optimasi penyaringan, ektraksi cair-cair dan Solid Phase Extraction (SPE).

Pada sampel tablet isolasi alopurinol dilakukan dengan penyaringan dan dideterminasi dengan metode Spektrofotometri UV karena alopurinol memiliki gugus kromofor dan auksokrom, sedangkan pada sampel jamu isolasi alopurinol dilakukan dengan clean up yang meliputi ekstraksi cair-cair dan Solid Phase Extraction (SPE) dan dideterminasi dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Pada sampel tablet, volume penyaringan yang digunakan 10 mL x 2. Pada sampel jamu, volume kloroform yang digunakan pada ekstraksi cair-cair adalah 3x3 mL, pada SPE volume loading sampel yang digunakan adalah 1000 µL, volume eluen yang digunakan adalah 10 mL amonium hidroksida 5% dalam metanol. Kondisi tersebut merupakan kondisi optimal dalam isolasi alopurinol dari sampel tablet dan jamu.

Kata kunci : alopurinol, jamu, tablet, BKO, ekstraksi, clean up, SPE, HPLC, Spektrofotometri UV.


(2)

ABSTRACT

There had been research on allopurinol in drug samples, biological matrix and BKO research in herbal preparations using sample methampyrone. This research investigates the optimal isolation of allopurinol in tablet and herbal samples to reduce the matrix contained in tablet and herbal samples, so later they can be used for the determination of allopurinol. Isolation optimization is done with filtration optimization, liquid-liquid extraction and Solid Phase Extraction (SPE).

In tablet samples, allopurinol isolation was performed by filtration and determined by UV spectrophotometry method because allopurinol has a chromophore and auxochrome group, whereas the allopurinol isolation of herbal samples performed with clean up that includes liquid-liquid extraction and Solid Phase Extraction (SPE) and determined by the High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

In tablet samples, the filtration volume used was 10 mL x 2. In herbal samples, the volume of chloroform used in liquid-liquid extraction is 3x3 mL, at SPE sample loading volume used was 1000 mL, while the volume of eluent used was 10 mL ammonium hydroxide 5% in methanol. This condition is the optimal condition in allopurinol isolation from tablet and herbal samples.

Keywords: allopurinol, herbal samples, tablets, BKO, extraction, clean-up, SPE, HPLC, Spectrophotometry UV.


(3)

OPTIMASI ISOLASI ALOPURINOL DALAM SEDIAAN TABLET DAN JAMU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Sugiarto Adji Soenarso

NIM: 108114020

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

OPTIMASI ISOLASI ALOPURINOL DALAM SEDIAAN TABLET DAN JAMU

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Sugiarto Adji Soenarso

NIM: 108114020

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

ii

Persetujuan Pembimbing

OPTIMASI ISOLASI ALOPURINOL DALAM SEDIAAN TABLET DAN JAMU

Skripsi yang diajukan oleh:

Sugiarto Adji Soenarso

NIM: 108114020

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama


(6)

iii

Pengesahan Skripsi Berjudul

OPTIMASI ISOLASI ALOPURINOL DALAM SEDIAAN TABLET DAN JAMU

Oleh:

Sugiarto Adji Soenarso

NIM: 108114020

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Pada tanggal……….

Mengetahui

Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Dekan

Aris Widayati, M.Si., Apt. PhD.

Panitia Penguji Tanda tangan:

1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. ……… 2. Jeffry Julianus, M.Si. ……… 3. F. Dika Octa Riswanto, M.Sc. ………


(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Jangan pernah menganggap belajar sebagai suatu

kewajiban, tetapi anggaplah ia sebagai suatu kesempatan

menyenangkan untuk membebaskan diri dalam mempelajari

alam dan kehidupan. Belajar adalah untuk kebahagiaanmu

sendiri dan akan memberikan keuntungan bagi masyarakat

tempatmu bekerja nanti

Albert Einstein

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan keindahan dan

petualangan. Tidak ada akhir dari

petualangan-petualangan yang dapat kita jalani hanya jika kita

mencari petualangan-petualangan baru dengan mata yang

terbuka

Jawaharlal Nehru

Orang-orang serius hanya punya ide-ide terbatas. Orang-orang yang punya banyak ide tidak pernah serius

– Paul Vallery

Iman akan Allah tidak memberikan solusi instan atas semua persoalan dan ketidakpastian hidup, tetapi melengkapi kita untuk mengatasinya – Daniel Louw

Karya ini kudedikasikan untuk orang tuaku, adikku,

kekasihku, teman-temanku, dan almamaterku.


(8)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang ditulis ini

tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan

daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan indikasi plagiarism dalam naskah ini,

maka penulis bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 7 Januari 2015

Penulis


(9)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Sugiarto Adji Soenarso

NIM :108114020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

OPTIMASI ISOLASI ALOPURINOL DALAM SEDIAAN TABLET DAN JAMU

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang mana saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal:

Yang menyatakan


(10)

vii PRAKATA

Segala pujian dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan karena hanya

dengan anugerah, berkat, cinta, kasih, dan pertolongan-Nya, penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Optimasi Isolasi Alopurinol Dalam Sediaan Tablet dan Jamu”. Skripsi ini disusun guna

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program

Studi Farmasi (S.Farm).

Terselesaikannya penulisan laporan akhir ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Aris Widayati, M.Si., Apt. PhD. selaku Dekan dan segenap staf serta

karyawan Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan petunjuk, saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis dalam

proses penyusunan skripsi ini.

3. Jeffry Julianus, M.Si. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah memberikan

saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku Dosen Penguji skripsi yang

telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.Si., Apt. atas bantuannya untuk membantu

penulis mendapatkan senyawa baku dan waktu yang diluangkan untuk


(11)

viii

6. PT IFARS Solo yang telah memberikan baku kepada penulis untuk penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Phebe Hendra, M.Si., Apt., Ph.D. selaku dosen pembimbing akademik atas

pendampingan dan perhatiannya terhadap perkembangan saya selama

perkuliahan ini.

8. Dewi Setyaningsih dan Sanjaya, M.Si. atas bantuan selama menghadapi

masalah dalam penelitian dan mau membagi ilmu yang tidak didapatkan

selama kuliah.

9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

atas ilmu, pengalaman, semangat, dan persahabatan yang telah dibagikan.

10. Mas Bimo, Mas Kunto, dan Pak Parlan yang telah banyak membantu selama

penelitian di laboratorium.

11. Keluarga tercinta Papa, Mama, dan Sugeng terima kasih atas dukungan doa

yang selalu tulus untukku yang membuatku berani bangkit lagi di kala

terpuruk.

12. Keluarga Papa dan Mama yang selalu mendoakan segala perjuanganku.

13. Ria Kusuma Dewi dan Meta Kartika Sari teman seperjuangkanku yang telah

dengan sabar menghadapi semua kemalasanku, mendukung dan

menyemangati aku selama masa-masa terpuruk di lab.

14. Kawan-kawan seperjuangan di lab: Bakti, Naomi, Kezia, Ita atas kerja sama

dan kebersamaan, dukungan dan keceriaan di lab selama penelitian ini.

15. Fr. B. Aris Ferdinan, SCJ yang selalu menyemangati penulis saat penulis


(12)

ix

16. Jo dan Nety atas bantuannya yang mau membantu aku saat aku bertanya

tentang skripsiku ini.

17. Agatha Herny Sekar Natalia untuk momen-momen kebersamaan kita dan

terima kasih buat dukungan dan doa serta semangat yang diberikan.

18. Teman-teman FST dan FKK 2010 yang selalu memberi bantuan, dukungan,

dan berbagi keceriaan untuk selesainya skripsi ini.

19. Teman-teman KKN terima kasih atas keluangan waktu untuk bersama pergi

sejenak dari penatnya skripsi.

20. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan skripsi ini baik

dalam bentuk doa, semangat yang menyertai penulis dari awal penelitian

sampai penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan

dan kelemahan karena keterbatasan pikiran, tenaga, dan waktu penulis. Untuk itu

penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir

kata semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca semua.


(13)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 4

2. Keaslian penelitian... 5

3. Manfaat penelitian ... 5

B.Tujuan ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7


(14)

xi

B.Jamu... 8

C.Asam Urat ... 9

D.Alopurinol ... 10

1. Sifat fisika kimia ... 10

2. Dosis ... 10

3. Peringatan dan pencegahan ... 11

4. Efek samping ... 11

5. Penetapan kadar ... 11

E.Ekstraksi ... 12

F. Solid Phase Extraction (SPE) ... 12

1. Prosedur SPE ... 12

2. Pengembangan metode ... 14

G.Spektrofotometri UV ... 15

1. Transisi sigma–sigma star (σ → σ*) ... 16

2. Transisi non bonding elektron–sigma star (n → σ*) ... 16

3. Transisi n → π* dan transisi π → π* ... 17

H.High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ... 19

I. Landasan Teori ... 26

J. Hipotesis ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 29

B.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 29


(15)

xii

2. Definisi operasional ... 29

C.Bahan Penelitian... 30

D.Alat Penelitian ... 30

E.Tata Cara Penelitian ... 31

1. Optimasi isolasi alopurinol dalam tablet dengan menggunakan spektrofotometri UV ... 31

2. Optimasi ekstraksi cair-cair tanpa SPE ... 33

3. Optimasi isolasi alopurinol dalam jamu asam urat merek X ... 34

4. Identifikasi alopurinol dalam sampel jamu dengan menggunakan HPLC ... 37

5. Validasi metode clean up SPE MCX ... 40

6. Penggunaan kembali SPE MCX ... 42

F. Analisis Hasil ... 43

1. Analisis hasil optimasi penyaringan dengan spektrofotometri UV ... 43

2. Analisis hasil optimasi clean up yang dilanjutkan dengan HPLC .... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

1. Optimasi isolasi alopurinol dalam tablet dengan menggunakan spektrofotometri UV ... 44

2. Optimasi ekstraksi cair-cair tanpa SPE ... 50

3. Optimasi isolasi alopurinol dalam jamu asam urat merek X ... 52

4. Identifikasi alopurinol dalam sampel jamu dengan menggunakan HPLC ... 66


(16)

xiii

6. Penggunaan kembali SPE MCX ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 77

A.Kesimpulan ... 77

B.Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 82


(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Indeks polaritas dan karakteristik solvent selectivity

beberapa pelarut HPLC ... 22

Tabel II. Optimasi loading sampel dan volume eluen SPE MCX ... 35

Tabel III. Pengulangan pencucian SPE ... 42

Tabel IV. Penyimpangan bobot rata-rata pada tablet ... 45

Tabel V. Hasil bobot alopurinol, SD, dan % CV ... 49

Tabel VI. Optimasi kapasitas kolom ... 56

Tabel VII. Optimasi volume eluen ... 60

Tabel VIII. Tabel tR dan AUC hasil ekstraksi cair-cair ... 65

Tabel IX. Perbandingan tR dan AUC blanko dan sampel adisi ... 68

Tabel X. Hasil perolehan kembali dan CV ... 71

Tabel XI. Perolehan kembali yang dapat diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit ... 72

Tabel XII. CV yang dapat diterima pada beberapa tingkat konsentrasi analit berdasarkan AOAC PVM ... 72


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur alopurinol ... 10

Gambar 2. Proses skematik prosedur SPE ... 13

Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik... 16

Gambar 4. (A) Pengaruh pelarut polar terhadap transisi π → π* (B) Transisi n → π* ... 18 Gambar 5. Dasar pemisahan kromatografi partisi ... 20

Gambar 6. Diagram sistem HPLC secara umum ... 20

Gambar 7. Skema sampler KCKT. (A) – posisi load, sampel diinjeksikan dan terisolasi dari fase gerak. (B) – posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan memasuki kolom ... 24

Gambar 8. Reaksi antara kalium biftalat dengan NaOH ... 46

Gambar 9. Perubahan warna indicator fenolftalein dari bening menjadi

pink ... 46

Gambar 10. Hasil standarisasi NaOH dengan menggunakan kalium

biftalat ... 47

Gambar 11. Kromatogram hasil ekstraksi cair-cair sampel blanko

(A) replikasi 1 (B) replikasi 2 ... 51

Gambar 12. Interaksi antara alopurinol dengan fase diam SPE ... 54

Gambar 13. Kromatogram alopurinol dalam fraksi asam asetat setelah

proses pencucian SPE ... 56


(19)

xvi

Gambar 15. Kromatogram alopurinol pada optimasi kapasitas kolom

SPE MCX (A) 500 L (B) 750 L (C) 1000 L (D) baku alopurinol dengan fase gerak metanol : aquabidest/amonium

hidroksida 0,1% (10:90) ... 57

Gambar 16. Kurva hubungan volume eluen VS AUC ... 60

Gambar 17. Kromatogram alopurinol pada optimasi volume eluen

(A) 5 mL (B) 7.5 mL (C) 12.5 mL yang dilakukan dengan

mengelusi 10 mL (C1) dan dilanjutkan dengan elusi 2.5 mL (C2)

(D) baku alopurinol dengan fase gerak metanol :

aquabidest/amonium hidroksida 0,1% (10:90) ... 61

Gambar 18. Reaksi pembentukkan garam alopurinol ... 63

Gambar 19. Reaksi pembentukkan ion alopurinol ... 64

Gambar 20. Kromatogram alopurinol hasil ekstraksi cair-cair dengan variasi

pengulangan penambahan kloroform (A) 2x3 mL (B) 3x3 mL

(C) 4x3 mL dengan fase gerak HPLC metanol : aquabidest/

amonium hidroksida 0,1% (10:90) ... 64

Gambar 21. Perbandingan puncak (A) puncak baku alopurinol (B1 dan B2)

puncak blanko dan sampel alopurinol yang sudah ditambahkan

dengan baku alopurinol dalam 3 level konsentrasi ... 67

Gambar 22. Kromatogram alopurinol hasil clean up dengan menggunakan

SPE bekas yang sudah diuji (A) 1x (B) 2x (C) 3x dengan fase


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Sertifikat analisis baku alopurinol ... 83

Lampiran 2. Sertifikat analisis SPE MCX ... 84

Lampiran 3. Penimbangan keseragaman bobot tablet alopurinol ... 85

Lampiran 4. Penimbangan sampel A tiap kemasan untuk perhitungan keseragaman bobot ... 86

Lampiran 5. Penimbangan sampel B tiap kemasan untuk perhitungan keseragaman bobot ... 87

Lampiran 6. Penimbangan sampel C tiap kemasan untuk perhitungan keseragaman bobot ... 88

Lampiran 7. Penimbangan kalium biftalat ... 89

Lampiran 8. Standarisasi NaOH 0.1 N ... 89

Lampiran 9. Gambar hasil pembakuan NaOH 0.1 N ... 89

Lampiran 10. Perhitungan penimbangan sampel tablet alopurinol ... 90

Lampiran 11. Penimbangan optimasi penyaringan ... 90

Lampiran 12. Bobot alopurinol, SD dan %CV hasil ... 91

Lampiran 13. Penimbangan sampel tanpa SPE... 91

Lampiran 14. Kromatogram sampel tanpa SPE ... 92

Lampiran 15. Penimbangan optimasi kapasitas kolom SPE ... 93

Lampiran 16. Kromatogram optimasi kapasitas kolom SPE ... 94

Lampiran 17. Tabel optimasi kapasitas kolom SPE ... 100


(21)

xviii

Lampiran 19. Kromatogram optimasi volume eluen SPE ... 101

Lampiran 20. Tabel optimasi volume eluen SPE ... 105

Lampiran 21. Penimbangan optimasi volume kloroform ... 106

Lampiran 22. Kromatogram optimasi volume kloroform ... 107

Lampiran 23. Penimbangan baku untuk validasi SPE ... 110

Lampiran 24. Penimbangan sampel untuk validasi SPE ... 110

Lampiran 25. Kromatogram validasi SPE ... 111

Lampiran 26. Hasil recovery dan % CV validasi SPE ... 119

Lampiran 27. Penimbangan baku untuk pencucian SPE ... 120


(22)

xix INTISARI

Telah dilakukan penelitian tentang alopurinol dalam sampel obat, matriks biologis dan penelitian BKO dalam sediaan jamu sebelumnya pernah dilakukan dengan menggunakan sampel metampiron. Penelitian ini ingin mengetahui optimasi isolasi alopurinol dalam sampel tablet dan jamu untuk mengurangi berbagai matriks yang terdapat dalam sampel tablet dan jamu sehingga dapat digunakan untuk determinasi alopurinol. Optimasi isolasi dilakukan dengan optimasi penyaringan, ektraksi cair-cair dan Solid Phase Extraction (SPE).

Pada sampel tablet isolasi alopurinol dilakukan dengan penyaringan dan dideterminasi dengan metode Spektrofotometri UV karena alopurinol memiliki gugus kromofor dan auksokrom, sedangkan pada sampel jamu isolasi alopurinol dilakukan dengan clean up yang meliputi ekstraksi cair-cair dan Solid Phase Extraction (SPE) dan dideterminasi dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

Pada sampel tablet, volume penyaringan yang digunakan 10 mL x 2. Pada sampel jamu, volume kloroform yang digunakan pada ekstraksi cair-cair adalah 3x3 mL, pada SPE volume loading sampel yang digunakan adalah 1000 µL, volume eluen yang digunakan adalah 10 mL amonium hidroksida 5% dalam metanol. Kondisi tersebut merupakan kondisi optimal dalam isolasi alopurinol dari sampel tablet dan jamu.

Kata kunci : alopurinol, jamu, tablet, BKO, ekstraksi, clean up, SPE, HPLC, Spektrofotometri UV.


(23)

xx ABSTRACT

There had been research on allopurinol in drug samples, biological matrix and BKO research in herbal preparations using sample methampyrone. This research investigates the optimal isolation of allopurinol in tablet and herbal samples to reduce the matrix contained in tablet and herbal samples, so later they can be used for the determination of allopurinol. Isolation optimization is done with filtration optimization, liquid-liquid extraction and Solid Phase Extraction (SPE).

In tablet samples, allopurinol isolation was performed by filtration and determined by UV spectrophotometry method because allopurinol has a chromophore and auxochrome group, whereas the allopurinol isolation of herbal samples performed with clean up that includes liquid-liquid extraction and Solid Phase Extraction (SPE) and determined by the High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

In tablet samples, the filtration volume used was 10 mL x 2. In herbal samples, the volume of chloroform used in liquid-liquid extraction is 3x3 mL, at SPE sample loading volume used was 1000 mL, while the volume of eluent used was 10 mL ammonium hydroxide 5% in methanol. This condition is the optimal condition in allopurinol isolation from tablet and herbal samples.

Keywords: allopurinol, herbal samples, tablets, BKO, extraction, clean-up, SPE, HPLC, Spectrophotometry UV.


(24)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini kesadaran masyarakat akan kesehatan semakin

meningkat, itu terlihat dari usaha masyarakat untuk mencegah penyakit baik

secara modern maupun tradisional. Pada sebagian masyarakat, usaha untuk

mencegah penyakit masih menggunakan cara tradisional. Selain itu

kecenderungan masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature) yang dalam

beberapa hal lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pengobatan dengan

obat sintetik atau obat modern, membuat penggunaan obat tradisional semakin

meningkat. Selain itu, harga obat tradisional juga lebih terjangkau dibandingkan

dengan obat sintetik. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang

berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)

atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan

untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di

masyarakat (PerMenKes, 2012).

Obat tradisional telah digunakan selama ribuan tahun dengan kontribusi

besar yang dibuat oleh praktisi kesehatan manusia, khususnya sebagai penyedia

perawatan kesehatan primer di tingkat masyarakat. TM (Traditional Medicine)

telah mempertahankan popularitasnya di seluruh dunia. Sejak tahun 1990-an

penggunaannya telah meningkat di banyak negara maju dan berkembang


(25)

Produk obat tradisional yang telah banyak digunakan oleh masyarakat

adalah jamu. Banyak masyarakat minum jamu untuk mencegah penyakit tertentu

karena mudah penggunaannya dan harganyapun juga terjangkau oleh masyarakat.

Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan obat tradisional di dunia semakin

meningkat. Menurut WHO, 65-80% populasi dunia menggunakan obat tradisional

sebagai perlindungan untuk kesehatan (Yee, 2003).

Namun banyak kendala yang terjadi pada produk sediaan jamu seperti,

pengolahan bahan baku yang belum terstandar terutama mutu dan kualitasnya,

serta industri jamu yang tidak jujur sering kali menambahkan bahan kimia obat

(BKO) ke dalam jamu sehingga menimbukan efek yang merugikan.

Karena tidak semua bahan baku untuk jamu dibudidayakan dengan baik

dan benar sehingga seringkali tanaman obat tertentu hilang di pasaran karena

ketidaktersediaan bahan baku yang dibutuhkan. Kurangnya penelitian ilmiah

mengenai keefektifan dari jamu dan juga efek samping yang ditimbulkan melalui

uji praklinis dan uji klinis oleh pihak terkait.

Dampak lain yang menyebabkan efek samping yang merugikan dari

penggunaan obat tradisional adalah penambahan bahan kimia obat (BKO) tanpa

takaran yang jelas sehingga dapat membahayakan bagi kesehatan konsumen

terlebih lagi apabila obat yang ditambahkan tergolong dalam obat keras yang

penggunaanya harus dengan resep dokter. Penggunaan BKO pada sediaan obat

tradisional sangat dilarang sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM No.


(26)

Menurut PerMenKes RI no. 007 tahun 2012 obat tradisional tidak boleh

mengandung bahan kimia obat atau hasil sintesis yang berkhasiat sebagai obat.

BKO yang biasanya ditambahkan dalam sediaan obat tradisional antara lain

parasetamol (menghilangkan rasa sakit), fenilbutazon (mengatasi rematik dan

menyegarkan tubuh), natrium diklofenak (mengatasi rematik), sildenafil sitrat

(mengatasi disfungsi ereksi dan meningkatkan libido), sibutramin HCl

(melangsingkan tubuh), dan alopurinol (menghilangkan asam urat).

Banyak masyarakat menggunakan obat modern untuk menyembuhkan

penyakit yang mana pada obat modern dosis obatnya sudah diketahui secara pasti

karena melihat bahaya jamu yang ditambahkan BKO. Salah satu penyakit yang

biasa dialami oleh sebagian masyarakat adalah asam urat, sehingga banyak

masyarakat menggunakan obat asam urat yaitu alopurinol untuk menyembuhkan

asam urat.

Menurut Depkes RI (1974), metode baku analisis alopurinol dilakukan

dalam sampel tablet dan diukur secara spektrofotometri UV. Pada sampel tablet

memiliki matriks yang lebih sederhana, oleh karena itu untuk dapat mengisolasi

alopurinol dari matriks dapat dilakukan dengan menggunakan penyaringan. Pada

penelitian ini dilakukan pengembangan metode analisis alopurinol dalam sampel

jamu.

Pada sampel jamu memiliki matriks yang lebih kompleks daripada dalam

sampel tablet, maka untuk mengisolasi alopurinol dari matriks jamu diperlukan


(27)

Extraction (SPE) serta dilanjutkan dengan High Performance Liquid

Chromatography (HPLC).

Metode clean up alopurinol dalam jamu dengan ekstraksi cair-cair dan

Solid Phase Extraction (SPE) diperlukan optimasi. Pada optimasi ekstraksi

cair-cair dilakukan dengan mengubah komposisi volume kloroform, sedangkan pada

optimasi SPE dilakukan dengan mengubah komposisi volume loading ekstrak dan

volume eluen.

Penelitian ini merupakan bagian dari serangkaian penelitian yang

meliputi “Optimasi dan Validasi Penetapan Kadar Alopurinol Dalam Matriks

Tablet Obat Secara Spektrofotometri UV dan Matriks Sampel Jamu Asam Urat

Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi” dan “Validasi Metode Analisis

Alopurinol Dalam Matriks Tablet Secara Spektrofotometri dan Matriks Jamu

Asam Urat Secara KCKT Fase Terbalik serta Aplikasinya.”

Sejauh penelusuran literatur oleh penulis penelitian tentang penetapan

kadar alopurinol dalam jamu belum pernah dilakukan, sedangkan untuk penelitian

bahan BKO lain seperti parasetamol dan fenilbutason sudah banyak dilakukan dan

penelitian alopurinol dalam matriks biologis menggunakan metode cation

exchange chromatography sudah pernah dilakukan. Untuk penelitian alopurinol di

dalam tablet sudah pernah dilakukan.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang maka timbul permasalahan yaitu bagaimana


(28)

UV dan isolasi alopurinol dalam sediaan jamu asam urat dengan menggunakan

SPE MCX yang dilanjutkan dengan HPLC fase terbalik?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran literatur, penelitian terhadap alopurinol telah

dilakukan dalam suatu obat. Namun penelitian sejenis yaitu penetapan kadar

bahan kimia obat metampiron dalam jamu yang pernah dilakukan oleh

Mayasari (2009), penelitian tentang alopurinol dalam metabolit biologis

dengan cation exchange chromatography pernah dilakukan oleh Sweetman dan

Nyhan (1969), dan penelitian tentang alopurinol dalam tablet secara

spektrofotometer menggunakan CT Complex pernah dilakukan oleh Refat, dkk

(2010). Demikian, maka dapat dipastikan bahwa perbandingan optimasi

metode analisis secara HPLC dan Spektrofotometri UV alopurinol dalam jamu

asam urat dan dalam sediaan tablet belum pernah dilakukan sebelumnya.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai optimasi isolasi alopurinol dalam sediaan tablet secara

spektrofotometer UV dan isolasi alopurinol dalam jamu asam urat dengan

menggunakan SPE MCX yang dilanjutkan dengan HPLC.

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

terkait komposisi volume penyaringan, komposisi volume ekstraksi,

komposisi loading sampel, komposisi eluen SPE yang terbaik untuk proses


(29)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses optimasi isolasi alopurinol


(30)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan

tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat

diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (PerMenKes RI No.

007 Tahun 2012).

Sediaan obat tradisional ini perlu dilakukan berbagai jenis pengujian

untuk mengetahui mutu dari sediaan obat tradisional yang akan diproduksi. Jenis

pengujian ini meliputi pengujian mutu dan pengujian keamanan. Pengujian mutu

meliputi organoleptik, kemasan, makroskopis, kebenaran simplisia, kadar air dan

keseragaman bobot. Pengujian keamanan meliputi uji cemaran logam berat,

cemaran pestisida, cemaran mikroba, zat tambahan yang diizinkan seperti bahan

pengawet, cemaran aflatoksin dan penetapan ada tidaknya bahan kima obat yang

ditambahkan dalam sediaan obat tradisional (KepMenKes RI no

661/MENKES/SK/VII/1994).

Menurut Keputusan Badan POM RI No. 00.05.4.2411 tahun 2004,

berdasarkan cara pembuatan serta klaim penggunaan dan tingkat pembuktian


(31)

1. Jamu (obat tradisional warisan nenek moyang).

2. Obat Herbal Terstandar (telah dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah,

uji praklinis dan standarisasi bahan baku).

3. Fitofarmaka (telah melewati uji klinis dan standariasasi bahan baku).

B. Jamu

Jamu merupakan obat tradisional warisan nenek moyang yang dapat

dibedakan menjadi 2 yaitu obat dalam dan obat luar. Obat dalam biasa dijumpai

dalam bentuk herbal kering siap rebus, dalam bentuk segar rebusan dalam bentuk

jamu gendong, dalam bentuk serbuk kering siap seduh. Obat luar bisa

dimanfaatkan dengan cara dioles, digosok, direndam atau ditempel (Harmita,

2006).

Menurut PerMenKes No. 003 Tahun 2010, jamu harus memenuhi

kriteria:

1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

2. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.

3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Menurut Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.41.1384 tahun

2005 di dalam jamu dilarang digunakan:

1. Bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat.

2. Narkotika atau psikotropika.

3. Hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan


(32)

Persyaratan mengenai jamu belum begitu mantap dan tegas, namun

pemerintah telah mengeluarkan beberapa petunjuk yaitu:

1. Kadar air tidak lebih dari 10%. Ini untuk mencegah berkembangnya bakteri,

kapang, dan khamir.

2. Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari 10000

3. Jumlah bakteri non patogen tidak lebih dari 1 juta

4. Bebas dari bakteri patogen

5. Tidak boleh tercemar atau diselundupi bahan kimia berkhasiat (Harmita, 2006).

C. Asam Urat

Asam urat merupakan senyawa kimia hasil akhir dari metabolism nucleic

acid atau metabolisme purin dalam tubuh. Berdasarkan penyelidikan bahwa 90%

dari asam urat merupakan hasil katabolisme purin yang dibantu oleh enzim

guanase dan xanthine oksidase (Suhendi, Nurcahyanti, Muhtadi, Sutrisna, 2011).

Asam urat akan dibawa ke ginjal melalui aliran darah untuk dikeluarkan

bersama air seni. Ginjal akan mengatur kadar asam urat dalam darah agar selalu

dalam keadaan normal. Namun, asam urat yang berlebihan tidak akan tertampung

dan termetabolisme seluruhnya oleh tubuh, maka akan terjadi peningkatan kadar


(33)

D. Alopurinol

Gambar 1. Struktur alopurinol (1H-Pirazolo[3,4-d]pirimidin-4-ol) (DepKesehatan RI, 1995)

1. Sifat fisika kimia

Alopurinol mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari

101,0% C5H4N4O dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian

berupa serbuk halus putih hingga hampir putih dan berbau lemah. Alopurinol

sangat sukar larut dalam air dan etanol, larut dalam larutan kalium dan natrium

hidroksida, praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (DepKes RI,

1995).

2. Dosis

Pada dewasa, dosis harian rata-rata adalah 2-10 mg/kgBB, 100-200 mg

untuk kondisi ringan, 300-600 mg untuk kondisi cukup parah dan 700-900 mg

untuk kondisi parah (Apotex NZ Ltd, 2011).

Pada anak-anak, dosis harian rata-rata adalah 10-20 mg/kgBB sampai

maksimal 400 mg per hari. Penggunaan pada anak-anak jarang diindikasikan

kecuali dalam kondisi tertentu dan gangguan enzim tertentu (Apotex NZ Ltd,


(34)

3. Peringatan dan pencegahan

Hati-hati pemberian pada penderita yang hipersensitif dan wanita hamil.

Hindari penggunaan pada penderita dengan gagal ginjal atau penderita

hiperurisemia asimptometik. Hentikan pengobatan dengan alopurinol bila

timbul kulit kemerahan atau demam. Penggunaan jangka panjang dapat

menyebabkan katarak. Selama pengobatan dianjurkan melakukan pemeriksaan

mata secara berkala, hentikan pengobatan jika terjadi kerusakan lensa mata.

Penggunaan pada wanita hamil, hanya bila ada pertimbangan manfaat

dibandingkan resikonya. Alopurinol dapat meningkatkan frekuensi serangan

artritis gout akut sehingga sebaiknya obat antiinflamasi atau kolkisin diberikan

bersama pada awal terapi. Hati-hati bila diberikan bersama dengan vidarabin

(DechaCare, 2014).

4. Efek samping

Reaksi hipersensitifitas: ruam mokulopapular didahului pruritus,

urtikaria, eksofoliatif dan lesi pupura, dermatitis, nefritis, faskulitis dan

syndrome poliartrtis. Demam, eosinophilia, kegagalan hati dan ginjal, mual,

muntah, diare, rasa mengantuk, sakit kepala dan rasa logam (DechaCare,

2014).

5. Penetapan kadar

Alopurinol dapat ditetapkan kadarnya dengan menggunakan

spektrofotometer UV dengan panjang gelombang kurang lebih 250 nm.

Alopuriol dilarutkan dalam NaOH 0,4% b/v dan HCl 1% v/v (DepKes RI


(35)

E. Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu

campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating agent

(Harborne, 1987). Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat dapat

dipermudah dengan mengetahui terlebih dahulu zat aktif yang dikandung

simplisia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

F. Solid Phase Extraction (SPE) 1. Prosedur SPE

Ada dua strategi untuk melakukan penyiapan sampel menggunakan SPE

ini. Strategi pertama adalah dengan melakukan pemilihan pelarut yang mampu

menahan semua analit yang dituju pada penjerap yang digunakan, sementara

untuk senyawa - senyawa penganggu akan terelusi. Analit yang dituju (yang

tertahan pada penjerap ini) selanjutnya dielusi dengan sejumlah kecil pelarut

organik yang akan mengambil analit yang tertahan ini. Strategi ini beramanfaat

jika analit yang dituju berkadar rendah. Strategi lain adalah dengan

mengusahakan supaya analit yang tertuju keluar (terelusi), sementara untuk


(36)

Tahap pertama menggunakan SPE adalah dengan mengkondisikan

penjerap dengan pelarut yang sesuai. Penjerap nonpolar seperti C18 dan

penjerap penukar ion dikondisikan dengan mengalirinya menggunakan metanol

lalu dengan akuades. Pencucian yang berlebihan dengan air akan mengurangi

recovery analit. Penjerap - penjerap polar seperti diol, siano, amino, dan silika

harus dibilas dengan pelarut nonpolar seperti metilen klorida (Gandjar dan

Rohman, 2010).

Gambar 2. Proses skematik prosedur SPE (Wells, M.J.M., 2000)

Ada empat tahap dalam prosedur SPE, yaitu:

a. Pengkondisian

Kolom (cartridge) dialiri dengan pelarut sampel untuk membasahi

permukaan penjerap dan untuk menciptakan nilai pH yang sama, sehingga

perubahan-perubahan kimia yang tidak diharapkan ketika sampel

dimasukkan dapat dihindari.


(37)

b. Retensi (tertahannya) sampel

Larutan sampel dilewatkan ke cartridge baik untuk menahan analit yang

diharapakan, sementara komponen lain terelusi atau untuk menahan

komponen yang tidak diharapkan sementara analit yang diharapkan terelusi.

c. Pembilasan

Tahap ini penting untuk menghilangkan seluruh komponen yang tidak

tertahan oleh penjerap selama tahap retensi.

d. Elusi

Tahap ini merupakan tahap terakhir untuk mengambil analit yang

dikehendaki jika analit tersebut tertahan pada penjerap (Gandjar dan

Rohman, 2010).

2. Pengembangan metode

Pendekatan empirik untuk melakukan pengembangan metode SPE

melibatkan screening penjerap yang tersedia. Langkah pertama adalah

menetukan penjerap mana yang paling baik dalam hal menahan analit yang

dituju. Pertimbangan kedua adalah pelarut apa yang dibutuhkan untuk

mengelusi analit yang dituju. Langkah ketiga adalah menguji matriks sampel

blanko untuk mengevaluasi adanya pengganggu yang mungkin ada, dan

akhirnya (langkah keempat) adalah menentukan recovery dengan menambah

analit dalam jumlah tertentu harus dilakukan (Gandjar dan Rohman, 2010).

Polaritas pelarut yang meningkat dibutuhkan untuk mengelusi senyawa


(38)

dalam penjerap nonpolar (seperti C18) digunakan pelarut nonpolar (Gandjar dan

Rohman, 2010).

G. Spektrofotometri UV

Spektrofotometeri UV merupakan salah satu teknik analisis spektroskopik

yang menggunakan radiasi elektromagnetik UV dekat dengan menggunakan alat

spektrofotometer (Skogg, West dan Holler, 1994). Radiasi elektromagnetik pada

daerah UV dan visibel biasanya ditulis dalam satuan nanometer. Ketika sampel

mengabsorbsi radiasi elektromagnetik (foton), terjadi perubahan energi pada

sampel tersebut. Energi yang diserap mempunyai hubungan terhadap Persamaan

Planck (Harvey, 2000).

Molekul yang dikenakan gelombang radiasi elektromagnetik pada

frekuensi yang sesuai dapat terjadi penyerapan/absorpsi, adanya serapan tersebut

menghasilkan perbedaan energi serapan. Selisih energi tersebut setara dengan

energi foton yang diserap. Energi yang melompat dari keadaan dasar (ground

state) ke keadaan tereksitasi (excited state) disebut dengan transisi.

Dimana, E1= energi pada keadaan dasar/lebih rendah

E2= energi pada keadaan tereksitasi/lebih tinggi

h = konstanta Planck

υ = frekuensi foton yang diabsorpsi/diserap

= panjang gelombang

c = kecepatan


(39)

Transisi yang terjadi antar molekul tidaklah sama, hal ini menyebabkan perbedaan

spektra absorpsinya. Dengan demikian, spektra dapat digunakan sebagai bahan

analisis kualitatif dan banyaknya molekul yang menyerap radiasi pada panjang

gelombang tertentu setara dengan sinar yang diabsorpsi sehingga spektra juga

dapat digunakan sebagai bahan analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pada analisis dengan spektrofometer, dilakukan pembacaan absorbansi

yang disebut sebagai absorban (A) yang tidak memiliki satuan (Mulja dan

Suharman, 1995). Spektrum absorpsi merupakan plot absorbansi analit yang

merupakan fungsi dari panjang gelombang (Skogg, West dan Holler, 1994).

Gambar 3. Diagram tingkat energi elektronik (Gandjar dan Rohman, 2010)

Penyerapan foton yang dialami molekul mengakibatkan terjadinya eksitasi

elektron-elektron ikatan. Transisi elektronik yang terjadi antara tingkat energi

suatu molekul ada empat, yakni:

1. Transisi sigma–sigma star (σ → σ*)

Energi pada transisi ini terletak pada daerah < 180nm atau terjadi pada

daerah UV vakum dan kurang begitu bermanfaat untuk analisis

spektrofotometri UV-VIS (Gandjar dan Rohman, 2010).

2. Transisi non bonding elektron–sigma star (n → σ*)

Energi yang diperlukan untuk jenis transisi ini lebih kecil dibandingkan


(40)

yang lebih panjang (150–250nm). Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang < 200nm (Gandjar dan Rohman, 2010).

3. Transisi n → π* dan transisi π → π*

Transisi ini terjadi pada molekul organik yang memiliki gugus fungsional

tidak jenuh, ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang

diperlukan. Transisi jenis ini paling cocok digunakan dalam analisis

menggunakan spektrofotometri UV–visibel karena berada diantara panjang gelombang 200–700 nm (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pelarut dapat memberikan pengaruh transisi n → π* dan π → π*, hal ini

berkaitan dengan adanya perbedaan kemampuan dari pelarut untuk mensolvasi

antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi. Pada transisi π → π*, molekul yang berada dalam keadaan dasar akan relatif non polar dan keadaan

tereksitasinya lebih polar dibandingkan dari keadaan dasar. Penggunaan pelarut

polar akan menyebabkan interaksi lebih kuat saat keadaan tereksitasi

dibandingkan keadaan dasar sehingga perbedaan energi transisi π → π* lebih

kecil. Akibat yang ditimbulkan atas peristiwa ini ialah pergeseran ke panjang

gelombang yang lebih besar dari semula. Berbeda dengan transisi n → π*, pada

keadaan dasar molekul relatif lebih polar dibandingkan keadaan tereksitasi.

Pelarut yang berinteraksi hidrogen akan berinteraksi secara lebih kuat dengan

pasangan elektron yang tak berpasangan pada keadaan dasar dibandingkan

molekul pada keadaan tereksitasi. Hal ini mengakibatkan transisi n → π* akan mempunyai energi yang lebih besar sehingga panjang gelombang akan bergeser


(41)

lebih pendek dibandingkan semula akibat kemampuan membentuk interaksi

hidrogen (polaritas) pelarut meningkat (Gandjar dan Rohman, 2010).

Gambar 4. (A) Pengaruh pelarut polar terhadap transisi π → π* dan (B) Transisi n → π* (Gandjar dan Rohman, 2010)

Dalam memilih panjang gelombang terkait hubungan sifat optik cuplikan

dan pelarut. Penyerapan radiasi UV atau visibel terkait dari elektron terluar atau

elektron valensi dari molekul dan tergantung pula pada jenis ikatan kimia dalam

molekul, adanya ikatan kimia penyebab terjadinya serapan sinar UV-Vis disebut

kromofor (Johnson dan Stevenson, 1978). Sinar UV mempunyai panjang

gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar visibel mempunyai panjang gelombang

400-750 nm (Gandjar dan Rohman, 2010).

(A)


(42)

Kromofor merupakan ikatan rangkap tak jenuh selang-seling yang

menyerap radiasi pada daerah UV dan visibel, sedangkan aukosokrom merupakan

gugus jenuh yang terikat pada kromofor dapat menyebabkan adanya perubahan

panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum. Ciri auksokrom adalah

gugusan heteroatom seperti –OCH3, -Cl, OH, dan NH2. Penambahan auksokrom

menyebabkan pergeseren batokromik. Pergeseran batokromik merupakan

pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih panjang akibat adanya subsitusi

gugus atau atom atau adanya pengaruh pelarut (Sastrohamidjojo, 2001).

H. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut

terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, karena solut-solut ini melewati suatu

kolom kromatografi. Pemisahan ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak

dan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2010).

HPLC dapat menghasilkan pemisahan yang cepat, dengan keunggulan

zat yang tidak menguap atau zat yang tidak tahan panas dapat dipisahkan tanpa

terurai atau tanpa perlu diderivatisasi. Pada kromatografi partisi digunakan fase

gerak dan fase diam dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar

dan fase diam bersifat nonpolar maka disebut sebagai kromatografi fase terbalik,

senyawa nonpolar yang larut dalam hidrokarbon dengan BM < 1000 dapat

dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya terhadap fase diam (Departemen


(43)

Gambar 5. Dasar pemisahan kromatografi partisi (Lennan, 2010)

Kromatografi partisi merupakan metode pemisahan analit berdasarkan

kemampuan partisinya diantara fase diam dan fase gerak yang melewati fase

diam. Analit yang mempunyai afinitas lebih besar pada fase diam (gambar 3 -

bulatan merah) relatif lebih tertahan di fase diam daripada analit yang kurang

tertahan pada fase diam (gambar 3 - bulatan hijau) (Lennan, 2010).

Gambar 6. Diagram sistem HPLC secara umum (Harvey, 2000)

Secara umum instrument HPLC terdiri atas beberapa komponen, yaitu


(44)

kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung, dan

suatu komputer atau integrator atau perekam (Gandjar dan Rohman, 2010).

Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah ini biasanya mampu

menampung fase gerak antara 1-2 liter pelarut. Fase gerak harus di degasing

(penghilangan gas) dulu sebelum digunakan karena adanya gas akan berkumpul

dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan

mengacaukan analisis. Pada saat membuat fase gerak, maka sangat dianjurkan

untuk memilih fase gerak dengan kemurnian yang tinggi agar tingkat pengotor

rendah dan tidak merusak sistem HPLC (Gandjar dan Rohman, 2010).

Fase gerak pada HPLC biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur dan secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya

elusi dan resolusi ini ditentukan berdasarkan polaritas pelarut, polaritas fase diam

dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar

daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas

pelarut. Sedangkan untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase

gerak), kemampuan elusi akan menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut

(Gandjar dan Rohman, 2010).

Dasar pemilihan fase gerak dalam suatu metode pemisahan yaitu

berdasarkan pada indeks polaritas (P’) campuran fase gerak tersebut. Semakin

besar nilai indeks polaritas pelarut menyatakan semakin polar fase gerak yang

digunakan. Fase gerak yang sering digunakan merupakan kombinasi dari dua atau


(45)

gerak tersebut akan menghasilkan nilai polaritas tersendiri yang disebut indeks

polaritas fase gerak (Harvey, 2000).

�′ Φ . �′ + Φ . �′ (2)

Dengan ΦA dan ΦB merupakan fraksi volume pelarut yang digunakan

pada pelarut A dan B, sedangkan P’A dan P’B merupakan indeks polaritas pelarut

yang digunakan pada pelarut A dan B (Harvey, 2000).

Tabel 1. Indeks polaritas dan karakteristik solvent selectivity beberapa pelarut HPLC

(Snyder, Kirkland dan Dolan, 2010)

Pompa yang digunakan untuk memompa fase gerak pada sistem HPLC

memiliki syarat seperti wadah pelarut yakni inert terhadap fase gerak. Pompa

yang digunakan sebaiknya memiliki kemampuan memberikan tekanan hingga

5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak hingga 3 mL/min. Penggunaan


(46)

berlangsung dengan tepat, reprodusibel, konstan dan bebas gangguan (Gandjar

dan Rohman, 2010).

Metode pencampuran fase gerak dibedakan menjadi dua, yakni metode

isokratik dan metode gradien. Metode isokratik merupakan metode pencampuran

fase gerak secara manual dengan tangan dan saat memasuki sistem HPLC tidak

dibutuhkan adanya pencampuran fase gerak kembali dan dilakukan dengan satu

pompa. Metode gradien merupakan metode pencampuran fase gerak yang

dilakukan di dalam sistem HPLC, dimana beberapa pompa digunakan untuk

memompa pelarut ke dalam wadah pencampuran fase gerak dan hasil

pencampuran fase gerak tersebut yang dialirkan ke dalam kolom (Snyder,

Kirkland, dan Dolan, 2010).

Penyuntikan sampel pada HPLC dilakukan secara langsung ke dalam

fase gerak yang mengalir menuju kolom (Gandjar dan Rohman, 2010).

Pada sistem HPLC, penyuntikan sampel melalui loop injector yang dapat

menyimpan volume dari 0,5 L - 2 mL. Pada posisi load, loop sampler terisolasi dari fase gerak. Ketika katup dipindahkan ke posisi loading, injektor berpindah ke

posisi inject dan saat itu pula fase gerak mengaliri sampel dan terbawa memasuki


(47)

Gambar 7. Skema sampler KCKT. (A) – posisi load, sampel diinjeksikan dan terisolasi dari

fase gerak. (B) – posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan memasuki kolom (Harvey,

2000)

Kolom pada HPLC memuat fase diam, kebanyakan merupakan silika

yang dimodifikasi secara kimiawi. Permukaan silika merupakan permukaan yang

polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Modifikasi

secara kimia akan menutupi gugus silanol dan menggantinya dengan gugus

fungsional lain. Hasil reaksi kimiawi tersebut akan menghasilkan silika yang

stabil terhadap hidrolisis karena terbentuk ikatan siloksan (Si-O-Si) (Gandjar dan

Rohman, 2010).

Oktadesil silika (C18) merupakan fase diam yang paling banyak

digunakan dalam memisahkan senyawa dengan tingkat kepolaran rendah hingga

tinggi. Oktilatau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih sesuai untuk analit yang

polar. Analit polar terutama yang bersifat basa akan memberikan puncak yang

mengekor (tailing peak), hal ini terjadi karena adanya interaksi dengan residu

silanol ataupun pengotor logam yang terdapat pada silika (Gandjar dan Rohman,


(48)

Deteksi pada KCKT dibagi menjadi empat secara umum, yakni bulk

property, sample specific, mobile-phase modification, dan hyphenated

techiniques.

a. Bulk property detector. Detektor ini dianggap sebagai detektor universal yang

dapat mengukur banyak komponen. Detektor ini memiliki keuntungan karena

dapat mendeteksi semua senyawa, sekaligus memiliki kelemahan karena semua

senyawa dari sampel yang terelusi akan terbaca sebagai sinyal. Secara umum,

detektor universal memiliki sensitivitas yang rendah (Snyder, Kirkland, dan

Dolan, 2010).

b. Sample specific detectors. Detektor ini merespon terhadap keunikan

karakteristik yang dimiliki suatu analit karena beberapa karakteristik sampel

mempunyai sifat unik yang mana tidak secara umum dimiliki oleh semua

analit. Detektor UV merupakan detektor yang paling banyak digunakan dan

merespon analit yang mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang

tertentu. Selain detektor UV, terdapat detektor lain seperti fluoresen dan

detektor conduct electricity (Snyder, Kirkland, dan Dolan, 2010). Detektor

UV-VIS dapat mengukur analit yang memiliki struktur kromoforik pada daerah

panjang gelombang 190 – 800 nm. Detektor UV-VIS ini dapat berupa detektor dengan panjang gelombang tetap ataupun bervariasi (Gandjar dan Rohman,

2010).

c. Mobile–phase modification detectors. Detektor ini mengubah fase gerak setelah kolom HPLC menghasilkan pengubahan karakteristik analit, seperti


(49)

perubahan reaksi analit dan detektor spektrometrik masa (Snyder, Kirkland,

dan Dolan, 2010).

d. Hyphenated techniques. Teknik ini mengacu pada kopling dari analisis HPLC

yang dipadukan dengan teknik lain, seperti LC-MS dan LC-IR (Snyder,

Kirkland, dan Dolan, 2010).

Detektor pada HPLC idealnya memiliki beberapa karakteristik sebagai

berikut:

 Respon terhadap analit cepat dan reprodusibel

 Mampu mendeteksi analit hingga kadar yang sangat kecil

 Stabil saat dioperasikan/digunakan

 Memiliki sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita.

 Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi analit pada kisaran luas/AUC

 Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.

Komputer atau integrator merupakan alat yang dihubungkan dengan

detektor unuk mengukur sinyal yang dihasilkan dan diplotkan sebagai suatu

kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh peneliti (Gandjar dan Rohman,

2010).

I. Landasan Teori

Jamu merupakan sediaan obat tradisional yang digunakan secara turun

temurun oleh masyarakat untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Salah satu


(50)

belum diterapkan secara semestinya sehingga mendorong beberapa pihak yang

kurang bertanggung jawab untuk meningkatkan omsetnya dengan menambahkan

bahan-bahan kimia obat untuk dapat memperoleh efek terapi yang cepat.

Penyakit asam urat banyak dialami oleh banyak masyarakat, oleh karena

itu agar penyembuhannya cepat banyak masyarakat menggunakan obat. Obat

untuk menyembuhkan asam urat adalah alopurinol.

Pada sampel tablet, digunakan pengukuran secara spektrofotometri UV

untuk mengukur kadar alopurinol dalam matriks tablet. Sampel tablet disaring lalu

diencerkan dan diukur dengan spektrofotometer UV. Parameter pengukuran

dengan spektrofotometer UV, yaitu nilai presisi yang baik.

Sampel dipisahkan dengan cara ekstraksi cair-cair, dimana sampel jamu

dilarutkan dalam NaOH karena kelarutan alopurinol terbesar terdapat dalam

NaOH, kemudian diekstraksi dengan kloroform agar senyawa-senyawa organik

larut dalam klorofom tetapi tidak melarutkan analit karena perbedaan polaritas,

lalu dibuang fase organiknya kemudian dipisahkan lagi dengan Solid Phase

Extraction MCX (Mixed Cation Exchanger) karena analit akan berikatan dengan

SO3- dari fase diam SPE. Setelah analit berikatan dengan fase diam MCX, matriks

sampel dikeluarkan dengan mengaliri asam asetat dan metanol kemudian

dilakukan elusi dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol.

Optimasi clean up partisi dan SPE dilakukan untuk memperoleh analit

yang bersih dari senyawa lainnya (selain alopurinol) dan didapatkan kandungan

alopurinol terbanyak. Hasil ekstraksi diinjeksikan pada sistem HPLC fase terbalik


(51)

dengan SPE yang menunjukkan hasil optimum yaitu berkurangnya

puncak-puncak senyawa selain alopurinol, Area Under Curve (AUC) alopurinol yang

terbesar, resolusi tercapai ≥ 1,5 pada kromatogram

J. Hipotesis

1. Isolasi alopurinol dalam sampel tablet dilakukan dengan ekstraksi berulang

dapat menghasilkan presisi yang baik.

2. Isolasi alopurinol dalam sampel jamu dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dan

dilanjutkan dengan SPE MCX dapat memberikan efisiensi clean up yang baik

dengan berkurangnya puncak-puncak selain alopurinol, AUC terbesar, dan


(52)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis dan rancangan penelitian ini adalah eksperimental karena terdapat

perlakuan terhadap subjek uji.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komposisi volume

kloroform, loading sampel, fase gerak (eluen), dan volume penyaringan.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah absorbansi alopurinol,

efisiensi clean up, nilai resolusi, dan AUC alopurinol.

c. Variabel pengacau terkendali

Kemurnian pelarut yang digunakan, dapat diatasi dengan mengunakan

pelarut pro analysis yang memiliki kemurnian tinggi, sediaan tablet

alopurinol, dan sampel jamu asam urat.

2. Definisi operasional

a. Alopurinol yang dianalisis merupakan senyawa aktif yang berada dalam

sediaan tablet dan sampel jamu asam urat.

b. Optimasi penyaringan dilakukan secara kuantitatif dan tidak kuantitatif


(53)

c. Sistem SPE yang digunakan adalah seperangkat alat Solid Phase Extraction

(SPE) dengan fase diam Mixed Cation Exchanger (MCX).

d. Optimasi volume ekstraksi kloroform dilakukan dengan memvariasikan

volume kloroform, optimasi volume fase gerak dilakukan dengan mengubah

volume fase gerak (eluen) dan optimasi kapasitas kolom dilakukan dengan

mengubah volume (loading) sampel yang masuk ke dalam kolom SPE.

e. Parameter pemisahan komponen dengan metode SPE dilanjutkan dengan

HPLC fase terbalik adalah dengan jumlah impurities yang sedikit, bentuk

peak, retention time, nilai resolusi, nilai tailing factor, dan nilai AUC

alopurinol.

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baku alopurinol yang diperoleh

dari PT IFARS Solo, metanol p.a (E, Merck), ammonium hidroksida p.a (E,

Merck), aquabides, aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmasi USD,

tablet alopurinol dan sampel jamu asam urat.

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik (OHAUS

Carat Series PAJ 1003, max 60/120g, min 0,1 mg, d=0,01/0,1 mg, e = 1 mg),

seperangkat alat KCKT fase terbalik dengan sistem isokratik dengan detektor

ultraviolet, Shimadzu LC-2010C, kolom C-18 merek KNAUER C-18 (No.

25EE181KS (B115Y620), Dimensi 250 x 4,6 mm), seperangkat komputer (merk

Dell B6RDZIS Connexant System RD01-D850 A03-0382 JP France S.A.S, printer


(54)

935922013), Spektrofotometer UV-Vis Mini Shimadzu, seperangkat catridge

Solid Phase Extraction (SPE) dengan fase diam Mixed Cation Exchanger (MCX)

merek Waters (60 mg, 3 cc, ukuran partikel 30 m), desilator aquabidest merek Thermo Scientific, organic and anorganic solvent membrane filter (Whatman)

dengan ukuran pori 0,45 m, syringe, mikropipet Socorex, milipore filter, rotary evaporator dan seperangkat alat-alat gelas (Pyrex).

E. Tata Cara Penelitian

1. Optimasi isolasi alopurinol dalam tablet dengan menggunakan spektrofotometri UV

a. Penyiapan sampel tablet alopurinol

Menyiapkan 20 tablet alopurinol. Tablet kemudian ditimbang satu per

satu untuk menguji keseragaman bobot. Setelah dilakukan uji keseragaman bobot,

tablet alopurinol dihomogenkan dengan menggunakan mortir dan stamper. Serbuk

kemudian disimpan dalam wadah yang kering.

b. Pembuatan dan pembakuan larutan NaOH 0,1 N

Sejumlah 1 gram pelet NaOH dilarutkan dengan aquadest hingga

semua larut sempurna dan dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL lalu

diencerkan dengan aquadest hingga tanda batas.

Ditimbang lebih kurang 400 mg kalium biftalat secara seksama yang

sebelumnya telah dihaluskan dan dikeringkan pada suhu 120oC selama 2 jam dan larutkan dalam 75 mL air bebas CO2 lalu tambahkan 2 tetes indikator fenolftalein

dan titrasi dengan larutan natrium hidroksida hingga terjadi warna merah muda


(55)

N NaOH =

(DepKes RI, 1995)

c. Optimasi penyaringan alopurinol

1) Optimasi penyaringan dengan menggunakan baku alopurinol

Penyaringan tanpa pembilasan. Baku sejumlah 50,0 mg ditimbang,

dilarutkan dengan 20 mL NaOH lalu disaring dengan kertas saring dan

dimasukkan ke dalam labu 50 mL diencerkan dengan NaOH hingga tanda batas.

Larutan hasil penyaringan diambil 1,0 mL lalu diencerkan dengan NaOH ke

dalam labu ukur 10 mL. Dari labu 10 mL yang pertama diambil lagi 1,0 mL

diencerkan dengan NaOH ke dalam labu ukur 10 mL hingga tanda batas.

Kemudian larutan ini disebut dengan larutan A.

Penyaringan diikuti dengan pembilasan. Baku sejumlah 50,0 mg

ditimbang, dilarutkan dengan 10 mL NaOH lalu disaring dengan kertas saring, di

dalam beaker glass dibilas lagi dengan 10 mL NaOH lalu disaring lagi dan

dimasukkan ke dalam labu 50 mL dan diencerkan dengan NaOH hingga tanda

batas. Larutan hasil penyaringan diambil 1,0 mL lalu diencerkan dengan NaOH ke

dalam labu ukur 10 mL. Dari labu 10 mL yang pertama diambil lagi 1,0 mL

diencerkan dengan NaOH ke dalam labu ukur 10 mL hingga tanda batas.

Kemudian larutan ini disebut dengan larutan B.

Absorbansi larutan A dan B dibandingkan untuk mengetahui pengaruh

perbedaan cara penyaringan larutan baku alopurinol.

2) Optimasi penyaringan dengan menggunakan tablet alopurinol

Penyaringan tanpa pembilasan. Sampel tablet sejumlah 77 mg


(56)

dimasukkan ke dalam labu 25 mL diencerkan dengan NaOH hingga tanda batas.

Larutan hasil penyaringan diambil 1,0 mL lalu diencerkan dengan NaOH ke

dalam labu ukur 10 mL. Dari labu 10 mL yang pertama diambil lagi 1,0 mL

diencerkan dengan NaOH ke dalam labu ukur 10 mL hingga tanda batas.

Kemudian larutan ini disebut dengan larutan C.

Penyaringan diikuti dengan pembilasan. Sampel tablet sejumlah 77

mg ditimbang, dilarutkan dengan 10 mL NaOH lalu disaring dengan kertas saring,

di dalam beaker glass dibilas lagi dengan 10 mL NaOH, disaring lagi dan

dimasukkan ke dalam labu 25 mL dan diencerkan dengan NaOH hingga tanda

batas. Larutan hasil penyaringan diambil 1,0 mL lalu diencerkan dengan NaOH ke

dalam labu ukur 10 mL. Dari labu 10 mL yang pertama diambil lagi 1,0 mL

diencerkan dengan NaOH ke dalam labu ukur 10 mL hingga tanda batas.

Kemudian larutan ini disebut dengan larutan D.

Absorbansi larutan C dan D dibandingkan untuk mengetahui pengaruh

perbedaan cara penyaringan tablet alopurinol.

2. Optimasi ekstraksi cair-cair tanpa SPE

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah senyawa

pengotor yang terdapat dalam ekstrak cair-cair. Langkah kerja yang dilakukan

adalah menimbang sebanyak 0,5 g sampel jamu asam urat merek X kemudian

dilarutkan ke dalam 10 mL NaOH 0,1 N. Sampel diekstraksi dengan

menggunakan pengulangan volume kloroform 3 x 3 mL, fase NaOH diambil dan


(57)

Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk

menghilangkan pengotor yang masih ada. Volume sampel setelah disaring adalah

4 mL. Setelah disaring, sampel tidak dilewatkan pada SPE MCX. Sampel

dipekatkan seluruhnya lalu dilarutkan dengan amonium hidroksida 5% dalam

metanol sebanyak 10 mL, disaring dengan milipore dan diultrasonifikasi 15 menit.

Sampel diinjeksikan ke dalam HPLC fase terbalik dengan kolom C18,

komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium hidroksida 0,1% (10:90),

kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang 274 nm dan

volume injeksi sebanyak 20 L (Sari, 2014). Hasil kromatogram yang didapat dibandingkan dengan kromatogram yang diperoleh pada langkah 3c.

3. Optimasi isolasi alopurinol dalam jamu asam urat merek X a. Penyiapan sampel jamu asam urat merek X

Menyiapkan 20 bungkus jamu asam urat merek X. Serbuk jamu

kemudian ditimbang satu per satu untuk menguji keseragaman bobot. Setelah

dilakukan uji keseragaman bobot, serbuk jamu dihomogenkan dengan

menggunakan mortir dan stamper. Serbuk kemudian disimpan dalam wadah yang

kering.

b. Optimasi clean up SPE MCX

Pada penelitian ini dilakukan optimasi kapasitas kolom dan volume

eluen dengan menggunakan metode SPE penukar kation dengan fase diam MCX

(Mixed Cation Exchanger) (Waters).

Optimasi kapasitas kolom dilakukan dengan melakukan variasi


(58)

dengan memvariasi volume eluen yang digunakan untuk mengelusi SPE MCX.

Kedua variasi tersebut dilakukan sesuai dengan Tabel II.

Langkah kerja yang dilakukan adalah menimbang sebanyak 0,5 g

sampel jamu asam urat merek X kemudian dilarutkan ke dalam 10 mL NaOH 0,1

N. Sampel diekstraksi dengan menggunakan volume kloroform 3x3 mL, fase

NaOH diambil dan ditambahkan HCl 0,1 N hingga pH menjadi 2.

Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk

menghilangkan pengotor yang masih ada. Volume sampel setelah disaring adalah

4 mL. SPE MCX disiapkan, dikondisikan (conditioning) dengan berturut-turut

mengaliri 1 mL metanol p.a. dan 1 mL aquabidest ke dalam kolom SPE MCX

kemudian tetesan ditampung pada flakon.

Tabel II. Optimasi loading sampel dan volume eluen SPE MCX

Loading ekstrak sampel ( L) Volume eluen (mL) 500

5 7.5 10 + 2.5

750

5 7.5 10 + 2.5

1000

5 7.5 10 + 2.5

Diantara tahapan loading sampel dan elusi dilakukan pencucian SPE

dengan cara mengaliri berturut-turut dengan 2 mL asam asetat 2% dan 2 mL

metanol p.a. melalui kolom SPE MCX, tetesan eluen ditampung pada flakon. Lalu

dilakukan pengelusian sesuai tabel II. Fraksi hasil elusi dipekatkan seluruhnya

lalu dilarutkan kembali dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol sebanyak


(59)

Sampel hasil pengelusian diinjeksikan ke dalam HPLC fase terbalik

dengan kolom C18, komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium

hidroksida 0,1% (10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan

panjang gelombang 274 nm dan volume injeksi sebanyak 20 L (Sari, 2014). Hasil kromatogram yang didapat, diamati bentuk peak dan nilai AUC untuk

mengetahui hasil yang optimal dari proses optimasi clean up SPE MCX.

c. Optimasi ekstraksi cair-cair

Pada penelitian ini dilakukan optimasi clean up cair-cair dengan

memvariasi pengulangan ekstraksi cair-cair dengan pelarut organik, yaitu 2x3 mL,

3x3 mL, dan 4x3 mL.

Langkah kerja yang dilakukan adalah menimbang sebanyak 0,5 g

sampel jamu asam urat merek X kemudian dilarutkan ke dalam 10 mL NaOH 0,1

N. Sampel diekstraksi dengan menggunakan jumlah pengulangan ekstraksi

dengan pelarut organik yang berbeda-beda, yaitu 2x3 mL, 3x3 mL, dan 4x3 mL,

fase NaOH diambil dan ditambahkan HCl 0,1 N hingga pH menjadi 2.

Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk

menghilangkan pengotor yang masih ada. Volume sampel setelah disaring adalah

4 mL. Setelah disaring, sampel diloading ke dalam SPE dan dielusi sesuai dengan

hasil optimasi pada langkah 3b. Sampel dipekatkan seluruhnya lalu dilarutkan

dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol sebanyak 10 mL, disaring dengan

milipore dan diultrasonifikasi 15 menit.

Sampel diinjeksikan ke dalam HPLC fase terbalik dengan kolom C18,


(60)

kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang 274 nm dan

volume injeksi sebanyak 20 L (Sari, 2014). Hasil kromatogram yang didapat, diamati bentuk peak dan nilai AUC untuk mengetahui hasil yang optimal dari

proses optimasi ekstraksi cair-cair.

4. Identifikasi alopurinol dalam sampel jamu dengan menggunakan HPLC

Pada penelitian ini dilakukan identifikasi alopurinol dalam sampel

jamu dengan menggunakan HPLC. Cara yang dilakukan adalah dengan cara

membandingan waktu retensi, bentuk puncak, dan nilai AUC antara baku

alopurinol, blanko sampel jamu, dan sampel jamu yang ditambah baku alopurinol

yang bertujuan untuk mengetahui apakah dalam sampel jamu terdapat alopurinol.

Langkah kerja yang dilakukan adalah

a. Pembuatan larutan stok baku alopurinol. Ditimbang secara seksama lebih

kurang 25 mg baku alopurinol, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan

dilarutkan dengan dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga

tanda.

b. Pembuatan larutan intermediet alopurinol. Larutan intermediet dibuat dengan

konsentrasi 500 g/mL dengan cara mengambil sebanyak 5 mL dari larutan stok baku alopurinol, dimasukkan labu ukur 10 mL dan diencerkan dengan

amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga tanda.

c. Pembuatan larutan baku alopurinol dengan konsentrasi 30 g/mL. Diambil

sejumlah 600 L larutan intermediet alopurinol kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Labu ukur diencerkan dengan amonium hidroksida 5%


(61)

Larutan baku alopurinol diinjeksikan ke dalam HPLC fase terbalik dengan

kolom C18, komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium hidroksida

0,1% (10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang

gelombang 274 nm (Sari, 2014).

d. Penyiapan blanko sampel jamu

Sebanyak 0,5 g sampel jamu asam urat merek X ditimbang dilarutkan

dengan 10 mL NaOH 0,1 N. Sampel diekstraksi dengan kloroform 3 mL

sebanyak 3x. Didapatkan 2 fase pemisahan, diambil fase air (bagian atas),

tampung dalam beaker glass. Fase air ditambah HCl 0,1 N hingga pH 2.

Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk menghilangkan

endapan yang timbul saat penambahan HCl sedemikian rupa sehingga hasil

penyaringan adalah 4 mL.

SPE dikondisikan dengan mengaliri 1 mL metanol p.a. dan 1 mL

aquabidest, lalu dilakukan loading ekstrak sampel sebanyak 1000 L ke dalam kolom SPE. Kolom SPE MCX dicuci dengan mengaliri 2 mL asam asetat 2%

dan 2 mL metanol. Selanjutnya dielusi dengan 10 mL amonium hidroksida

5% dalam metanol. Fraksi hasil elusi diuapkan seluruhnya lalu dilarutkan

kembali dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol sebanyak 10 mL lalu

disaring dengan menggunakan milipore kemudian diultrasonifikasi selama 15

menit. Diinjeksikan sebanyak 20 µ l ke dalam HPLC fase terbalik dengan

kolom C18, komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium hidroksida

0,1% (10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang


(62)

e. Penyiapan sampel dalam matriks jamu

Sebanyak 0,5 g sampel jamu asam urat merek X ditimbang dilarutkan

dengan 10 mL NaOH 0,1 N. Sampel diekstraksi dengan kloroform 3 mL

sebanyak 3x. Didapatkan 2 fase pemisahan, diambil fase air (bagian atas),

tampung dalam beaker glass. Fase air ditambah HCl 0,1 N hingga pH 2.

Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk menghilangkan

endapan yang timbul saat penambahan HCl sedemikian rupa sehingga hasil

penyaringan adalah 4 mL.

Sampel ditambah dengan seri larutan baku alopurinol sebanyak 200

L pada konsentrasi 5 g/mL, 15 g/mL, 30 g/mL dan 100 L, 200 L, dan 300 L dari larutan intermediet sehingga diperoleh massa alopurinol yang ditambahkan sebanyak 51 ng, 103 ng, dan 156 ng. SPE dikondisikan dengan

mengaliri 1 mL metanol p.a. dan 1 mL aquabidest, lalu dilakukan loading

ekstrak sampel sebanyak 1000 L ke dalam kolom SPE. Kolom SPE MCX dicuci dengan mengaliri 2 mL asam asetat 2% dan 2 mL metanol. Selanjutnya

dielusi dengan 10 mL amonium hidroksida 5% dalam metanol. Fraksi hasil

elusi diuapkan seluruhnya lalu dilarutkan kembali dengan amonium hidroksida

5% dalam metanol sebanyak 10 mL lalu disaring dengan menggunakan

milipore kemudian diultrasonifikasi selama 15 menit. Sampel diinjeksikan ke

dalam HPLC fase terbalik dengan kolom C18, komposisi fase gerak metanol :

aquabidest/amonium hidroksida 0,1% (10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit,


(63)

Hasil kromatogram yang didapat dari langkah 4c, 4d, dan 4e, diamati waktu

retensi, bentuk peak, dan nilai AUC alopurinol lalu dibandingkan antara baku

alopurinol, blanko sampel jamu, dan sampel yang ditambah baku alopurinol.

5. Validasi metode clean up SPE MCX

Validasi dilakukan pada hasil optimasi kapasitas kolom dan volume

eluen. Proses validasi dilakukan dengan menghitung akurasi dan presisi. Akurasi

dinyatakan dengan % perolehan kembali. Sampel ditambah dengan baku sebanyak

200 µl pada 3 level konsentrasi yaitu 5 µg/mL, 15 µg/mL, 30 µg/mL, dan 100 L, 200 L, dan 300 L dari larutan intermediet sehingga diperoleh massa alopurinol yang ditambahkan sebanyak 51 ng, 103 ng, dan 156 ng (dilakukan 5 kali

replikasi). % perolehan kembali dihitung dengan menggunakan rumus:

% perolehan kembali =

x 100%

Presisi dinyatakan dengan % CV yang menunjukkan persentase

penyimpangan data yang terjadi. Koefisien variasi (CV) dihitung pada setiap

replikasi dengan rumus:

% CV =

x 100%

Langkah kerja yang dilakukan adalah

a. Pembuatan larutan stok baku alopurinol. Ditimbang secara seksama lebih

kurang 25 mg baku alopurinol, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan

dilarutkan dengan dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga


(64)

b. Pembuatan larutan intermediet alopurinol. Larutan intermediet dibuat dengan

konsentrasi 500 g/mL dengan cara mengambil sebanyak 5 mL dari larutan stok baku alopurinol, dimasukkan labu ukur 10 mL dan diencerkan dengan

amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga tanda.

c. Pembuatan seri larutan baku alopurinol. Diambil sejumlah 100 L, 300 L, dan 600 L larutan intermediet alopurinol kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Masing-masing labu ukur diencerkan dengan

amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga tanda, sehingga diperoleh

konsentrasi 5 g/mL, 15 g/mL, dan 30 g/mL. d. Penyiapan sampel dalam matriks jamu

Sebanyak 0,5 g sampel jamu asam urat merek X ditimbang dilarutkan

dengan 10 mL NaOH 0,1 N. Sampel diekstraksi dengan kloroform hasil

optimasi ekstraksi cair-cair. Didapatkan 2 fase pemisahan, diambil fase air

(bagian atas), tampung dalam beaker glass. Fase air ditambah HCl 0,1 N

hingga pH 2. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring untuk

menghilangkan endapan yang timbul saat penambahan HCl sedemikian rupa

sehingga hasil penyaringan adalah 4 mL.

Sampel ditambah dengan seri larutan baku alopurinol sebanyak 200

L pada konsentrasi 5 g/mL, 15 g/mL, 30 g/mL dan 100 L, 200 L, dan 300 L dari larutan intermediet sehingga diperoleh massa alopurinol yang ditambahkan sebanyak 51 ng, 103 ng, dan 156 ng. SPE dikondisikan dengan

mengaliri 1 mL metanol p.a. dan 1 mL aquabidest, lalu dilakukan loading


(65)

Kolom SPE MCX dicuci dengan mengaliri 2 mL asam asetat 2% dan 2 mL

metanol. Selanjutnya dielusi dengan 10 mL amonium hidroksida 5% dalam

metanol. Fraksi hasil elusi diuapkan seluruhnya lalu dilarutkan kembali dengan

amonium hidroksida 5% dalam metanol sebanyak 10 mL lalu disaring dengan

menggunakan milipore kemudian diultrasonifikasi selama 15 menit.

Diinjeksikan sebanyak 9 µ l untuk adisi 5 µg/mL, 20 µl untuk adisi 15 µg/mL

dan 21 µl untuk adisi 30 µg/mL ke dalam HPLC fase terbalik dengan kolom

C18, komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium hidroksida 0,1%

(10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang

274 nm dan volume injeksi sebanyak 20 L (Sari, 2014). Hasil kromatogram yang didapat, diamati nilai AUC lalu dihitung nilai akurasi dan presisi.

6. Penggunaan kembali SPE MCX

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah SPE yang telah

dipakai dapat digunakan kembali dengan cara melakukan pencucian SPE

bekas/yang sudah pernah dipakai kembali setelah dicuci menurut suatu siklus

pencucian. Pada penelitian ini digunakan variasi pengulangan pencucian SPE

seperti yang tertera pada tabel III.

Tabel III. Pengulangan pencucian SPE

Variasi

pengulangan

Urutan siklus pencucian

1x Dalam 1x siklus pencucian SPE dilakukan dengan cara

berturut-turut mengaliri SPE dengan metanol p.a.; aquabidest;

NaOH 0,1N; HCl 0,1N; aquabidest; dan metanol p.a. 2x


(66)

Setelah pencucian SPE, SPE digunakan sesuai dengan tata cara

penelitian langkah 3b. Tahap loading ekstrak sampel dimasukkan 1000 L larutan baku alopurinol dengan konsentrasi 30 g/mL yang akan dijelaskan berikutnya

pada langkah 4.

Fraksi hasil elusi diinjeksikan ke dalam HPLC fase terbalik dengan

kolom C18, komposisi fase gerak metanol : aquabidest/amonium hidroksida 0,1%

(10:90), kecepatan alir 0,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang

274 nm dan volume injeksi sebanyak 20 L (Sari, 2014).

Hasil kromatogram yang didapat pada pencucian SPE 1x, 2x, dan 3x

dibandingkan untuk mengetahui sampai berapa kali pencucian SPE dilakukan

agar SPE dapat dipakai kembali.

F. Analisis Hasil

1. Analisis hasil optimasi penyaringan dengan spektrofotometri UV

Data absorbansi yang diperoleh dari hasil optimasi penyaringan

ditetapkan nilai presisi dari penyaringan alopurinol dalam matriks tablet.

2. Analisis hasil optimasi clean up yang dilanjutkan dengan HPLC

Data kromatogram yang diperoleh dari hasil optimasi clean up

ditentukan untuk menetapkan pemisahan alopurinol dalam matriks jamu asam urat

yang dapat dilihat dari banyaknya puncak, waktu retensi baku alopurinol dengan

fraksi hasil elusi SPE, dan nilai resolusi yang dihasilkan. Dari hasil optimasi SPE

ditetapkan nilai akurasi dan presisi dari metode SPE untuk memisahkan alopurinol


(1)

Lampiran 26. Hasil recovery dan % CV validasi SPE

Replikasi

Jumlah loading

alopurinol dalam ekstrak sampel (ng) AUC Bobot alopurinol (ng) % Recovery Rata-rata % Recovery

SD % CV

1

-

17983 11.17

- - - - 2 18710 11.19

3 18677 11.19

4 - 10.76

5 - 10.76

Rata-rata 11.01 1

11.5

274265 17.04 52.39

51.91 0.57 1.09 2 272643 17.00 52.07

3 272522 17.00 52.04 4 266917 16.87 50.93 5 272972 17.01 52.13 1

51.5

1585120 47.05 69.97

70.31 0.19 0.28 2 1594483 47.26 70.38

3 1595477 47.28 70.43 4 1595455 47.28 70.43 5 1593767 47.24 70.35 1

81.9

3566872 92.41 99.39

99.36 0.07 0.07 2 3562306 92.31 99.26

3 3564357 92.35 99.32 4 3567888 92.43 99.42 5 3568361 92.45 99.43


(2)

120

Lampiran 27. Penimbangan baku untuk pencucian SPE

Penimbangan Replikasi 1 (g) Replikasi 2 (g) Replikasi 3 (g)

Berat kertas 0.2741 0.2822 0.2796 Berat kertas + zat 0.2993 0.3075 0.3049 Berat kertas + sisa 0.2743 0.2825 0.2799 Berat zat 0.0250 0.0250 0.0250

Lampiran 28. Kromatogram hasil pencucian SPE

1. Fraksi amonia 5% dalam metanol pencucian 1 elusi 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

2. Fraksi amonia 5% dalam metanol pencucian 1 elusi 2


(4)

122

4. Fraksi amonia 5% dalam metanol pencucian 2 elusi 2

5. Fraksi amonia 5% dalam metanol pencucian 3 elusi 1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

124

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi berjudul Optimasi Isolasi Alopurinol Dalam Sediaan Tablet dan Jamu memiliki nama lengkap Sugiarto Adji Soenarso. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Februari 1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Paulus Heru Adji Soenarso dan Lucia Leni. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah menyelesaikan pendidikannya di SDK Triana II Bekasi (1998-2004), SMP Marsudirini Marganingsih Muntilan (2004-2007), SMA Marsudirini Muntilan (2007-2010). Penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2010. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi, antara lain Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) Farmasi sebagai koordinator divisi Teknologi Informasi (TI) tahun 2011-2012, Ketua Expo Paingan Festival 2011, Pelepasan Wisuda sebagai seksi dokumentasi tahun 2011 dan ketua panitia tahun 2013, Panitia Seminar Nasional sebagai koordinator seksi perlengkapan tahun 2011, Panitia Photo Exhibition sebagai seksi perlengkapan tahun 2010. Di bidang non akademik, penulis pernah mengikuti perlombaan basket. Di bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Kimia Analisis (2013 dan 2014), Analisis Farmasi (2014), Validasi Metode Analisis (2014), dan Pharmaceutical Analysis (2014).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

Studi Penetapan Kadar Capozid Dalam Sediaan Tablet

6 64 87

OPTIMASI FORMULA SEDIAAN TABLET GETAH TANAMAN ASHITABA (Angelica keiskei) DENGAN Optimasi Formula Sediaan Tablet Getah Tanaman Ashitaba (Angelica Keiskei) Dengan Starch 1500 Sebagai Filler-Binder Dan Explotab Sebagai Penghancur Menggunakan Metode Desain

0 2 14

OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS HIDROKSI PROPIL METIL OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA DAN AVICEL PH 102 SEBAGAI FILLER.

0 1 16

OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS NATRIUM KARBOKSI OPTIMASI FORMULA SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET KAPTOPRIL DENGAN MATRIKS NATRIUM KARBOKSI METILSELULOSA DAN AVICEL PH 102 SEBAGAI FILLER.

0 1 17

Validasi metode analisis alopurinol dalam tablet secara spektrofotometri dan jamu secara kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik serta aplikasinya.

3 12 143

Optimasi dan validasi penetapan kadar alopurinol dalam matriks tablet obat secara spektrofotometri UV dan matriks sampel jamu asam urat secara kromatografi cair kinerja tinggi.

1 12 144

Optimasi dan validasi penetapan kadar alopurinol dalam matriks tablet obat secara spektrofotometri UV dan matriks sampel jamu asam urat secara kromatografi cair kinerja tinggi

2 11 142

Optimasi isolasi alopurinol dalam sediaan tablet dan jamu

0 4 145

Validasi metode analisis alopurinol dalam tablet secara spektrofotometri dan jamu secara kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik serta aplikasinya

4 20 141

PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS ALOPURINOL DALAM SEDIAAN GENERIK DAN PATEN SECARA IN VITRO - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 14