Optimasi dan validasi penetapan kadar alopurinol dalam matriks tablet obat secara spektrofotometri UV dan matriks sampel jamu asam urat secara kromatografi cair kinerja tinggi

(1)

SAMPEL JAMU ASAM URAT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Meta Kartika Sari NIM : 108114049

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

i

SAMPEL JAMU ASAM URAT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Meta Kartika Sari NIM : 108114049

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

“T hink like a queen. A queen is not afraid to fail. Failure is a stepping stone to greatness!”

-Oprah Winfrey-

K arya ini aku persembahkan untuk orang tua, keluarga, sahabat, dan almamaterku tercinta


(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas cinta

kasih, berkat dan karunia-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Dan Validasi Penetapan Kadar

Alopurinol DalamMatriks Tablet Obat Secara Spektrofotometri UVdan Matriks

Sampel Jamu Asam Urat Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi” sebagai salah

satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.

Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan

banyak pihak dengan adanya masukan, kritikan, diskusi, saran, dan

bimbingan.Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

pihak-pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini.

1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan,

motivasi, kritikan dan saran selama penelitian serta penyusunan skripsi ini.

2. Jefrry Julianus, M.Si. selaku Dosen Penguji yang memberikan bimbingan,

kritik dan saran yang membangun untuk skripsi ini.

3. Dewi Setya, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing di laboratorium dan teman

selama penelitian skripsi yang telah memberikan masukan, diskusi, saran, dan

dukungan moral kepada penulis selama penelitian skripsi ini.

4. Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku Dosen Penguji yang


(9)

viii

5. Aris Widyawati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma atas teladan seorang pemimpin yang diberikan.

6. Phebe Hendra, M.Si. selaku Wakil Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma dan Dosen Pembimbing Anak yang memberikan bimbingan, masukan

dan saran selama penulis berkuliah dan menyusun naskah.

7. Sri Hartati Yuliani selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

8. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku Dosen Pengajar yang bersedia

meluangkan waktunya untuk memberikan masukan diawal penelitian.

9. Bimo Aditya, Suparlan, Kunto, Wagiran dan segenap staf laboran yang turut

membantu penulis selama penelitian.

10.Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta atas ilmu, pengalaman, masukan, keceriaan, dan persahabatan

yang telah diberikan.

11.Ria Kusuma Dewi dan Sugiarto Adji Soenarso sebagai rekan kerja dalam

penelitian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran, kepercayaan, kerjasama,

persahabatan, keceriaan dan semangat selama ini.

12.Papa dan mama tercinta yang telah memberikan kehidupan yang indah, yang

selalu memberikan doa, semangat dan dukungan kepadaku.

13.Semua teman-teman FST A 2010 yang bersama-sama berjuang, terima kasih


(10)

ix

14.Teman angkatan 2010 yang bersama-sama berjuang dan mengisi sebagian

cerita hidupku, terima kasih atas kebersamaan dan bantuan selama

perkuliahan.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan,

semagat, dan doa yang menyertai penulis dari awal penelitian hingga

selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari atas kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, karena

keterbatasan wawasan dan kemampuan.Penulis dengan sengan hati membuka diri

menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, dengan segala

kerendahan hati penulis mengharapkan skripsi ini memberikan manfaat yang

berarti bagi para pembaca.Akhir kata, penulis mempersembahkan skripsi ini demi

majunya ilmu pengetahuan farmasi.

Yogyakarta, 11 November 2014


(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Obat Tradisional ... 6


(12)

xi

C. Spektrofotometri UV ... 8

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 10

1. Definisi dan Instrumentasi ... 10

2. Optimasi Metode ... 18

3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi ... 18

E. Validasi Metode Analisis ... 26

F. Landasan Teori ... 27

G. Hipotesis ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30

B. Variabel Penelitian ... 30

1. Variabel Bebas ... 30

2. Variabel Tergantung ... 30

3. Variabel Pengacau Terkendali ... 30

C. Definisi Operasional ... 31

D. Bahan Penelitian... 31

E. Alat Penelitian ... 32

F. Tata Cara Penelitian ... 32

1. Metode Spektrofotometri UV untuk Sediaan Tablet Alopurinol 32

a. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N ... 32

b. Pembakuan NaOH ... 33

c. Pembuatan Larutan Stok dan Intermediet Alopurinol ... 33


(13)

xii

e. Pembuatan Seri Larutan Baku Alopurinol ... 34

f. Validasi Metode ... 34

2. Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 35

a. Penyiapan Fase Gerak ... 35

b. Optimasi KCKT Fase Terbalik ... 35

c. Uji Kesesuaian Sistem KCKT Fase Terbalik ... 36

d. Validasi Metode Analisis KCKT Fase Terbalik ... 38

G. Analisis Hasil ... 40

1. Analisis Hasil Validasi Metode Spektrofotometri UV ... 40

2. Analisis Hasil Optimasi KCKT Fase Terbalik ... 41

3. Analisis Hasil Validasi MetodeKCKT Fase Terbalik ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Verifikasi Kinerja Metode Analisis Alopurinol Spektrofotometri Ultraviolet ... 44

1. Pembuatan dan Pembakuan Natrium HIdroksida ... 44

2. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Alopurinol ... 46

3. Pembuatan Seri Larutan Baku Alopurinol ... 47

4. Validasi Metode Analisis ... 50

a. Linearitas ... 50

b. Sensitivitas ... 51

B. Pengembangan Metode Analisis Alpurinol dalam Jamu secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 53


(14)

xiii

a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Alopurinol... 53

b. Penentuan Fase Gerak ... 54

c. Optimasi Komposisi Fase Gerak dan Flow Rate ... 58

2. Evaluasi Penetapan Kadar Metode Analisis KCKT ... 65

a. Uji Kesesuaian Sistem dalam Periode Pertama ... 66

b. Uji Kesesuaian Sistem dalam Periode Kedua ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 81


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Indeks polaritas dan karakteristik solvent

selectivitybeberapa pelarut KCKT ... 14

Tabel II. Komposisi optimasi fase gerak ... 35

Tabel III. Perbandingan panjang gelombang maksimum alopurinol

dalam sampel tablet obat hasil pengukuran terhadap

panjang gelombang maksimum teoritis ... 47

Tabel IV. Data kurva baku alopurinol dalam tablet obat... 48

Tabel V. Hubungan r dengan n ... 49

Tabel VI. Panjang gelombang maksimum alopurinol hasil

pengukuran ... 54

Tabel VII. Perbandingan masing-masing komposisi fase gerak dan

indeks polaritas ... 56

Tabel VIII. Nilai parameter tR, N, HETP, Tf dan Rs ... 61

Tabel IX. Persen koefisien variasi nilai tRdan AUC baku alopurinol

periode I ... 67

Tabel X. Data kurva baku alopurinol periode I ... 68

Tabel XI. Persen koefisien variasi nilai tRdan AUC baku alopurinol

periode II ... 70

Tabel XII. Data kurva baku alopurinol periode II ... 71


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur alopurinol ... 7

Gambar 2. Skema instrumentasi KCKT... 12

Gambar 3. Skema sampler KCKT ... 16

Gambar 4. Ilustrasi difusi Eddy ... 21

Gambar 5. Ilustrasi pelebaran puncak ... 22

Gambar 6. Peak kromatogram untuk mengukur resolusi ... 24

Gambar 7. Penentuan asymmetry factor dan tailing factor ... 26

Gambar 8. Reaksi kalium biftalat dengan NaOH ... 45

Gambar 9. Reaksi fenoftalein dengan NaOH ... 46

Gambar 10. Plot kurva baku alopurinol dalam tablet obat ... 50

Gambar 11. Interaksi alopurinol dengan fase diam C18 ... 55

Gambar 12. Interaksi alopurinol dengan fase gerak yang teroptimasi... 55

Gambar 13. Kromatogram baku alopurinol pada fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides (10:90) ... 59

Gambar 14. Kromatogram baku alopurinol pada fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides (20:80) ... 60

Gambar 15. Kromatogram baku alopurinol pada fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides (30:70) ... 61


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Certificate of Analysisbaku alopurinol E. Merck ... 82

Lampiran 2. Certificate of Analysis SPE MCX ... 83

Lampiran 3. Perhitungan pembakuan NaOH 0,1 N ... 84

Lampiran 4. Spektrogram penetapan panjang gelombang maksimum

alopurinol untuk Spektrofotometri UV ... 85

Lampiran 5. Data penimbangan kurva baku sampel tablet obat ... 86

Lampiran 6. Perhitungan Limit of Detection sampel tablet obat ... 89

Lampiran 7. Spectrogram scanning panjang gelombang maksimum

alopurinol ... 90

Lampiran 8. Perhitungan polaritas ... 92

Lampiran 9. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol :amonium

hidroksida 0,1% dalam akuabides (10:90) ... 93

Lampiran 10. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol :amonium

hidroksida 0,1% dalam akuabides (20:80) ... 96

Lampiran 11. Kromatogram hasil optimasi fase gerak metanol :amonium

hidroksida 0,1% dalam akuabides (30 : 70) ... 99

Lampiran 12. Kromatogram alopurinol untuk pembuatan kurva baku, uji

kesesuaian sistem dan penentuan LOD periode I ... 102

Lampiran 13. Penimbangan dan contoh perhitungan kadar baku periode I 111

Lampiran 14. Perhitungan Limit of Detection periode I ... 113

Lampiran 17. Kromatogram alopurinol untuk pembuatan kurva baku, uji


(18)

xvii

Lampiran 18. Perhitungan Limit of Detection periode II ... 120

Lampiran 19. Perhitungan uji t untuk slope kurva baku alopurinol periode


(19)

xviii

INTISARI

Alopurinol merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) yang dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah. Dalam penggunaannya, alopurinol sering digunakan sebagai bahan kimia obat yang dicampurkan ke dalam jamu agar efek yang ditimbulkan lebih cepat.Alopurinol dapat menyebabkan reaksi kulit dan gangguan pencernaan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui metode analisis yang tepat digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu.

Metode spektrofotometer dalam penelitian ini menggunakan detektor UV pada  257 nm. Verifikasi kinerja metode analisis alopurinol yang dilakukan menunjukkan nilai LOQ metode spektrofotometer UV yaitu 15,58g/mglebih besar dibandingkan LOQ yang harus dicapai (0,52g/mg), sehingga metode spektrofotometer UV kurang tepat digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu.

Penelitian selanjutnya dilakukan pengembangan metode analisis alopurinol dalam jamu secara KCKT.Sistem KCKT fase terbalik dalam penelitian ini menggunakan fase diam C18, detektor UV pada  274 nm. Optimasi dilakukan

pada komposisi fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides serta flow rate. Kondisi optimum yang diperoleh, yaitu komposisi fase gerak metanol : amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides (10:90) dengan flow rate 0,5 mL/menit yang memenuhi kriteria waktu retensi, N, HETP, tailing factor, dan resolusi.Metode ini pada kondisi yang optimum memenuhi parameter validasi yang baik dengan linearitas (r = 0,993); CVtR = 0,3% dan CV AUC = 0,9%; LOD

= 0,03 g/mL.

Kata kunci : alopurinol, optimasi metode, validasi metode, KCKT fase terbalik, spektrofotometri UV


(20)

xix

ABSTRACT

Allopurinol is an anti-inflammation nonsteroid drug (NSAID) which can decreased gout in blood. In use, allopurinol is usually found in gout traditional medicine as adulterants to make a fast effect. Allopurinol can caused a skin reaction and digestion problem. The purpose of this study is to determined an analysis method which can identification that adulterants in traditional medicine.

Spectrophotometer method in this study uses an UV detector at  257 nm. Verification about analysis method of alopurinol indicates that analysis method can not to identification adulterants in traditional medicine because LOQ this method 15,58g/mg is more bigger than LOQ (0,52g/mg).

This study is done on developed with HPLC method for identification adulterants in traditional medicine. Reversed-phase HPLC system in this study uses a C18, UV detector at  274 nm. Optimization is done on the mobile phase

composition of methanol : water + ammonium hydroxide 0,1% and flow rate. The optimum conditions are obtained mobile phase composition of methanol : water + ammonium hydroxide 0,1% (10:90) and a flow rate of 0,5 mL/minute those meet the criteria for retention time, N, HETP, tailing factor and resolution. This method at optimum condition has a good validation parameters with linearity (r = 0,993); CVtR = 0,3% dan CV AUC = 0,9%; LOD = 0,03 g/mL.

Keywords:allopurinol, method optimization,method validation,reversed-phaseHPLC, UV spectrophotometry


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit asam urat merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering

dialami oleh masyarakat lanjut usia di Indonesia. Kebiasaan dan pola hidup yang

kurang sehat serta mengkonsumsi makanan yang tinggi purin menjadi penyebab

utama tingginya prevalensi penyakit ini (Iskandar, 2006).

Indonesia merupakan Negara yang memiliki kekayaan hayati yang cukup

besar terutama tanaman yang berkhasiat obat atau lebih dikenal dengan obat

tradisional. Pengertian obat tradisional yaitu bahan atau ramuan bahan berupa

bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau

campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk

pengobatan berdasarkan pengalaman(Permenkes RI N0. 007, 2012).

Berdasarkan variasinya, Badan POM (2004) mengelompokan sediaan

bahan alam menjadi tiga, yaitu sediaan jamu, sediaan obat herbal terstandar dan

sediaan fitofarmaka.Ketiga sediaan tersebut memiliki persyaratan yang berbeda

yaitu untuk jamu klaim khasiatnya berdasarkan data empiris, sediaan obat herbal

terstandar bahan bakunya harus distandarisasi dan sudah diuji praklinik,

sedangkan fitofarmaka mirip dengan obat modern yang bahan bakunya harus

distandarisasi dan harus melalui uji klinik.

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM no.HK.00.05.41.1384 tahun


(22)

sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika dan hewan atau tumbuhan

yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Namun seiring dengan berkembangnya jaman, banyak industri

obat-obatan dan obat tradisional menggunakan salah satu bahan kimia obat dalam

kandungan jamu. Alopurinol merupakan salah satu bahan kimia obat yang

terkadang sengaja ditambahkan ke dalam jamu asam urat. Alopurinol termasuk

golongan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) yang dapat menurunkan kadar

asam urat dalam darah. Dalam penggunaannya, jamu dikonsumsi hampir setiap

hari sehingga sangat berbahaya jika terkandung bahan kimia obat di

dalamnya.Penggunaan alopurinol yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kulit

seperti kulit kemerahan, reaksi alergi berupa demam, leukopenia, pruritus,

eosinofillia, artralgia dan gangguan pencernaan (Dipiro et al., 2005).No Observe

Adverse Effect Level (NOAEL) merupakan dosis tertinggi sampai menimbulkan

efek buruk yang tidak teramati. Alopurinol memiliki nilai NOAEL sebesar 12

mg/kgBB/hari (Anonim, 2014). Oleh karena itu, perlu dilakukan penetapan kadar

alopurinol untuk matriks sampel jamu asam urat.

Berdasarkan Depkes RI (1974), penetapan kadar alopurinol dalam tablet

dapat diukur dengan spektrofotometri UV.Untuk mengetahui apakah metode

spektrofotometri dapat digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu,

perlu dilakukan verifikasi kinerja metode analisis alopurinol secara

spektrofotometri UV.

Matriks jamu sangat kompleks sehingga perlu dilakukan pengembangan


(23)

dalam jamu dilakukan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT) fase terbalik dipilih untuk analisis alopurinol dalam jamu asam urat

karena mampu memisahkan dari suatu campuran sekaligus menetapkan kadarnya,

mudah, cepat dan sensitif.Detektor UV dipilih karena alopurinol memiliki

kromofor yang dapat memberikan serapan di daerah UV.

Untuk menetapkan alopurinol dalam jamu dengan metode KCKT perlu

dilakukan optimasi pada sistem KCKT dan validasi metode penetapan kadar

terlebih dahulu untuk memperoleh data yang dapat dipercaya. Pada penelitian ini,

optimasi pemisahan dengan KCKT fase terbalik dilakukan dengan mengubah

komposisi fase gerak dan flow rate untuk memperoleh kondisi yang optimum

dengan parameter nilai waktu retensi, N, HETP, tailing factor, dan resolusi.

Optimasi pada sistem KCKT fase terbalik untuk penetapan kadar

alopurinol dalam matriks jamu asam urat dengan fase gerak metanol :amonium

hidroksida 0,1% dalam akuabides dan fase diam C18 yang telah optimum

digunakan dalam validasi metode analisis untuk menjamin bahwa metode yang

diperoleh dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan persyaratan

yang telah ditentukan. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan

dalam validasi metode analisis antara lain presisi, linearitas, dan sensitivitas.

Penelitian ini merupakan tahap awal dari serangkaian penelitian yang

meliputi “Optimasi Isolasi Alopurinol Dalam Sediaan Tablet dan Jamu” dan

“Validasi Metode Analisis Alopurinol Dalam Matriks Tablet Secara

Spektrofotometri dan Matriks Jamu Asam Urat Secara KCKT Fase Terbalik serta


(24)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

a. Apakah metode penetapan kadar alopurinol secara spektrofotometri UV dapat

digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu?

b. Apakah dapat dilakukan optimasi komposisi fase gerak dan flow rate yang

optimal dalam pemisahan alopurinol pada matriks sampel jamu asam urat

dengan metode KCKT?

c. Bagaimana hasil optimasi komposisi fase gerak dan flow rate yang optimal

dalam periode tertentu dapat memberikan data dengan validitas yang baik

menggunakan metode KCKT?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh pengetahuan penulis, optimasi dan validasi penetapan kadar

alopurinol dalam matriks tablet secara spektrofotometri UV dan matriksjamu

asam urat secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi belum pernah dilakukan

sebelumnya.BerdasarkanDepkes RI (1974), kadar alopurinol dalam tablet dapat

ditetapkan menggunakan metode spektrofotometri UV. Namun, penelitian

mengenai optimasi dan validasi penetapan kadar alopurinol dalam matriks tablet

secara spektrofotometri UV dan matriksjamu asam urat secara KCKTfase terbalik

dengan fase gerak metanol : amonium hidroksida 0,1% dalamakuabides dan fase


(25)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai optimasi sistem KCKT dan parameter validitas dalam

membandingkan kurva baku alopurinol dalam periode tertentu secara KCKT dan

penetapan kadar alopurinol secara spektrofotometri UV.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi ilmu pengetahuan mengenai optimasi sistem KCKT dan

parameter validitas dalam membandingkan kurva baku alopurinol dalam periode

tertentu secara KCKT dan penetapan kadar alopurinol secara spektrofotometri

UV.

B. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode penetapan kadar alopurinol

secara spektrofotometri UV dapat digunakan atau tidak untuk penetapan kadar

alopurinol dalam jamu.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum komposisi fase

gerak dan flow rate dalam pemisahan alopurinol pada matriks sampel jamu

asam urat dengan metode KCKT.

3. Mengetahui sistem KCKT masih memberikan data dengan validitas yang baik


(26)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Obat Tradisional

Permenkes RI N0. 007 Tahun 2012 menyatakan bahwa obat tradisional

merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,

bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan tersebut yang secara

turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Sediaan obat tradisional yang banyak beredar saat ini terbuat dari bahan

simplisia nabati, yaitu bagian tanaman atau seluruh tanaman, baik segar atau

sudah dikeringkan, atau hasil penyarian dengan berbagai bentuk sediaan seperti

rajangan, serbuk, pil, tablet, kapsul, cairan (sediaan luar dan sediaan dalam),

salep, krim, parem, tapel dan lainnya (Badan Pengawasan Obat dan Makanan,

2004).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 179 / Men.Kes. /

Per / VII / 76 tentang produksi dan distribusi obat tradisional menyatakan bahwa

“untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat perlu adanya

pencegahan terhadap produksi dan distribusi obat tradisional yang dapat

merugikan dan membahayakan masyarakat”. Sediaan obat tradisional perlu

dilakukan berbagai jenis pengujian untuk mengetahui mutu dari sediaan obat

tradisional yang akan diproduksi. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian


(27)

Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM no.HK.00.05.41.1384 tahun

2005, dalam obat tradisional dilarang menggunakan :

1. Bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat

2. Narkotika atau psikotropika

3. Hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

B. Alopurinol

Alopurinol juga dikenal dengan 4-hydroxypyrazolopyrimidine dan nama

berdasarkan IUPAC 1H - Pirazolol - (3,4) - dipirimidin - 4 – ol (Chemaxon,

2013). Alopurinol memiliki rumus molekul C5H4N4O; berat molekul

136,11g/mol. Berbentuk serbuk halus putih hingga hampir putih. Berbau

lemah.Titik lebur > 300°C.Praktis tidak larut dalam kloroform dan eter.Larut

dalam larutan kalium dan natrium hidroksida (Depkes RI, 1995).Sedikit larut

dalam air dan etanol (Anonim, 2014). Alopurinol memiliki nilai log koefisien

partisi oktanol : air (log Kow) 0,33 (Machata, 2005) dan pKa 9,4.

Gambar 1.Struktur Alopurinol (Depkes RI, 1995)

Alopurinol merupakan obat anti-gout disease yang dapat menurunkan


(28)

berkaitan dengan gout kronik, pembentukan batu asam urat yang berulang-ulang,

gangguan enzim, nephropati asam urat akut, kemoterapi kanker. Alopurinol juga

digunakan untuk mengurangi oksidasi dengan memblok produksi radikal

bebas.Penggunaan alopurinol untuk gout dan hiperurisemia dengan aksi

menghambat enzim xantin oksidase sehingga enzim tersebut tidak dapat

mengkatalisis perubahan hipoxantin menjadi xantin dan perubahan xantin menjadi

asam urat (Katzung, 2004).

Penggunaan alopurinol yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kulit

seperti kulit kemerahan, reaksi alergi berupa demam, leukopeni, pruritus,

eosinofillia, artralgia dan gangguan pencernaan (Dipiro et al., 2005).No Observed

Adverse Effect Level (NOAEL) merupakan dosis tertinggi sampai menimbulkan

efek buruk yang tidak teramati. Alopurinol memiliki nilai NOAEL sebesar 12

mg/kgBB/hari (Anonim, 2014).

Tablet alopurinol dapat ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri

ultraviolet dengan panjang gelombang serapan maksimum kurang lebih 250 nm

dengan menggunakan larutan NaOH P 0,4% b/v dan HCl 1% v/v sebagai blanko

(Depkes RI, 1974).

C. Spektrofotometri UV

Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm.

Molekul yang dikenakan suatu gelombang radiasi elektromagnetik pada frekuensi

yang sesuai dapat terabsorbsi atau terjadi penyerapan karena serapan tersebut akan


(29)

yang diserap.Energi yang berubah dari keadaan dasar (ground state) ke keadaan

tereksitasi (excited state)disebut transisi.

E −E = h. v = h. c

λ ( 1)

Keterangan, E1 = energi pada keadaan dasar/lebih rendah (ground state)

E2 = energi pada keadaan tereksitasi/lebih tinggi (excited state)

h = konstanta Planck

v = frekuensi foton yang diabsorbsi/diserap

 = panjang gelombang c = kecepatan

(Gandjar dan Rohman, 2010).

Serapan cahaya molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel

tergantung pada struktur elektronik dari molekul.Spektrofotometri ultraviolet dan

visibel senyawa organik berkaitan erat dengan transisi-transisi diantara tingkatan

tenaga elektronik.Keuntungan dari serapan ultraviolet yaitu gugus-gugus

karakteristik dapat dikenal dalam molekul yang sangat kompleks.Spektrum

ultraviolet menggambarkan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi

serapan dengan intensitas serapan atau absorbansi (Sastrohamidjojo, 2002).

Dalam memilih panjang gelombang terkait hubungan sifat optik cuplikan

dengan pelarut dimana adanya perbedaan kemampuan dari pelarut untuk

mensolvasi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi (Gandjar dan

Rohman, 2010).Penyerapan radiasi UV atau visibel terkait dari elektron terluar


(30)

dalam molekul, adanya ikatan kimia penyebab terjadinya serapan sinar UV-VIS

disebut kromofor (Johnson, 1978).

Kromofor merupakan ikatan rangkap tidak jenuh selang-seling yang

menyerap radiasi pada daerah UV dan visibel, sedangkan auksokrom merupakan

gugus jenuh yang terikat pada kromofor dan dapat menyebabkan adanya

perubahan panjang gelombang dan intensitas serapan maksimum.Ciri dari

auksokrom adalah gugus heteroatom yang langsung terikat pada kromofor, seperti

–OCH3, –Cl, –OH, dan –NH2.Penambahan auksokrom dapat menyebabkan

pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih panjang karena adanya

substitusi gugus atau atom atau adanya pengaruh pelarut (Sastrohamidjojo, 2002).

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 1. Definisi dan Instrumentasi

Kromatografi merupakan suatu teknik dimana solut atau zat-zat terlarut

terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi karena solut-solut ini melewati suatu

kolom kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2007).Definisi tersebut

menggambarkan bahwa dalam sistem kromatografi terjadi pemisahan zat-zat

terlarut yang terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak berdasarkan

kemampuan solut terangkut melewati fase diamnya.Perpindahan solut melewati

fase diam tergantung pada afinitas relatif antar fase yang ditentukan berdasarkan

parameter retensi (Kealey, 2005).

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang paling


(31)

untuk penelitian bahan-bahan obat, bahan kimia, makanan dan obat. Hal tersebut

dikarenakan KCKT memiliki kemampuan untuk memisahkan zat analit serta

kuantifikasinya atau menetapkan jumlah zat analit tersebut berdasarkan respon

Area Under Curve (AUC). KCKT biasa digunakan untuk menganalisis

ketidakmurnian suatu senyawa karena KCKT mampu untuk mengkuantifikasi

senyawa (Rohman, 2009).Keunggulan lain dari KCKT adalah dapat digunakan

untuk pemisahan senyawa-senyawa yang memiliki struktur yang mirip, analisis

molekul non-volatil (sulit menguap) seperti terpenoid rantai panjang, golongan

fenolik, alkaloid, lipid dan gula (Haborne, 1998) yang tidak dapat dideteksi

dengan kromatografi gas, dan analisis senyawa dengan jumlah yang sangat

kecil.Metode KCKT merupakan salah satu teknik analisis yang paling banyak

digunakan untuk analisis kuantitatif obat-obatan, biomolekul, polimer, dan

senyawa organik lainnya (Ahuja and Dong, 2005).

Teknik kromatografi membutuhkan adanya zat yang terlarut dan

terdistribusi diantara dua fase, yakni fase diam dan fase gerak.Fase diam (sorben

yang dikemas dalam kolom) bertindak sebagai penjerap.Fase gerak (fase cair yang

mengalir) membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut

lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih akhir.Pada kromatografi partisi

digunakan fase gerak dan fase diam dengan polaritas yang berbeda.Jika fase gerak

bersifat polar dan fase diam bersifat nonpolar, maka disebut sebagai kromatografi

fase terbalik (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

Sistem KCKT merupakan gabungan dari berbagai macam alat yang


(32)

kuantifikasi zat analit.Rangkaian alat tersebut dikenal dengan instrumen

kromatografi sebagai berikut.

Gambar 2. Skema Instrumentasi KCKT (Gandjar dan Rohman, 2010)

Menurut Gandjar dan Rohman (2010), instrumen KCKT pada dasarnya

terdiri atas beberapa komponen yaitu : wadah fase gerak, sistem penghantaran

fase gerak, alat untuk memasukkan sampel (tempat injeksi), kolom, detektor,

wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung dan suatu komputer

atau integrator atau perekam peak.

a. Fase gerak

Sebelum digunakan, fase gerak harus dilakukan penyaringan terlebih

dahulu untuk menghilangkan partikel kecil yang mungkin ada sebagai pengotor

karena dapat menyebabkan gangguan pada sistem kromatografi.Partikel pengotor

yang terkumpul pada kolom atau selang penhubung dapat menimbulkan

penyumbatan.Selain itu, fase gerak juga harus di degassing terlebih dahulu untuk

menghilangkan gelembung atau gas yang terdapat pada fase gerak, adanya


(33)

analisis.Saat pembuatan fase gerak, dianjurkan untuk menggunakan fase gerak

dengan kemurnian yang tinggi agar tingkat pengotor yang ada rendah dan tidak

mengacaukan sistem kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2010).

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri dari campuran pelarut yang dapat

bercampur dan berperan dalam daya elusi dan resolusi.Daya elusi dan resolusi

tersebut ditentukan berdasarkan polaritas keseluruhan pelarut fase gerak, polaritas

fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel.Terdapat dua fase yang

biasanya digunakan dalam sistem KCKT yaitu fase normal dan fase diam.

Penentuan kedua fase ini tergantung pada tingkat kepolaran dari masing-masing

fase gerak dan fase diam yang digunakan.Jika fase diam yang digunakan bersifat

lebih polar dibandingkan fase geraknya maka disebut fase normal.Pada KCKT

fase normal, kemampuan elusi senyawa nonpolar meningkat dengan

meningkatnya polaritas pelarut.Sedangkan untuk fase terbalik (fase diam kurang

polar dibandingkan fase gerak).Kemampuan elusi senyawa nonpolar menurun

dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2009).

Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak tetap

selama elusi) atau dengan cara gradien (komposisi fase gerak berubah-ubah

selama elusi). Metode isokratik merupakan metode pencampuran fase gerak

secara manual dengan tangan dan saat memasuki sistem KCKT tidak dibutuhkan

adanya pencampuran fase gerak kembali dan dilakukan dengan satu

pompa.Metode gradien merupakan metode pencampuran fase gerak yang

dilakukan di dalam sistem KCKT, menggunakan beberapa pompa untuk


(34)

pencampuran fase gerak tersebut dialirkan ke dalam kolom (Snyder, Kirkland and

Dolan, 2010).

Pemilihan fase gerak dalam suatu metode pemisahan berdasarkan pada

indeks polaritas (P’) campuran fase gerak tersebut.Semakin besar nilai indeks

polaritasnya menyatakan semakin polar fase gerak yang digunakan.Fase gerak

yang sering digunakan merupakan kombinasi dari dua atau lebih campuran pelarut

yang saling bercampur secara keseluruhan. Campuran fase gerak tersebut akan

menghasilkan nilai polaritas tersendiri yang disebut indeks polaritas fase gerak

(Harvey, 2000).

′ = Φ . ′ + Φ . ′ ( 2)

Keterangan, ΦAdanΦ B = fraksi volume pelarut pada pelarut A dan B

P’Adan P’B = indeks polaritas pelarut pada pelarut A dan B

(Harvey, 2000).

Tabel I. Indeks polaritas dan karakteristik solvent selectivity beberapa pelarut KCKT (Snyder, Kirkland dan Dolan, 2010)


(35)

Deret eluotropik yang disusun berdasarkan polaritas pelarut merupakan

panduan yang berguna dalam pemilihan fase gerak yang akan digunakan dalam

KCKT. Deret eluotropik dapat dilihat pada tabel I.

b. Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang

mempunyai syarat sesuai dengan syarat wadah pelarut yaitu pompa harus inert

terhadap fase gerak. Bahan yang sering digunakan untuk pompa yakni gelas, baja

tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu

memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan

kecepatan alir 3mL/menit (Rohman, 2009). Penggunaan pompa atau sistem

penghantaran fase gerak adalah agar dapat menjamin proses penghantaran fase

gerak yang berlangsung dengan tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas gangguan

(Gandjar dan Rohman, 2010).

Selain itu, pompa yang digunakan juga harus dapat menjamin akurasi dan

konsistensi kecepatan alir dari fase gerak yang dibutuhkan untuk menjaga

stabilitas dan ripitabilitas interaksi antara zat analit dengan fase diam. Kecepatan

alir yang buruk dapat mempengaruhi waktu retensi dan resolusi pemisahan analit

(Chan et al., 2004).

c. Tempat penyuntikan sampel

Penyuntikan sampel pada KCKT dilakukan secara langsung ke dalam fase

gerak yang mengalir menuju kolom. Penggunaan syringe atau autosampler

merupakan wadah yang digunakan dalam penyuntikan sampel (Gandjar dan


(36)

injectoryang dapat menyimpan volume dari 0,5L – 2 mL. Pada posisi load, sampel diinjeksikan dan loop sampler terisolasi dari fase gerak. Kemudian ketika

katup dipindahkan ke posisi loading (posisi inject), injectorakan berpindah ke

posisi inject dan saat itu fase gerak mengaliri sampel dan terbawa memasuki

kolom (Harvey, 2000).

Gambar 3.Skema sampler KCKT. (a) posisi load, sampel diinjeksikan dan terisolasi dari fase gerak. (b) posisi inject, sampel terbawa fase gerak dan memasuki kolom (Denney, 1993)

d. Kolom

Kolom merupakan bagian terpenting dalam rangkaian KCKT karena fase

diam dalam KCKT terdapat dalam kolom.Dengan demikian, pemisahan analit dari

komponen lainnya terjadi pada kolom.Keberhasilan pemisahan analit tergantung

pada keadaan kolom, sehingga pemilihan kolom sangatlah penting (Mulja dan

Suharman, 1995).

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi atau

polimer-polimer stiren dan divinil benzene.Permukaan silika adalah polar dan

sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Modifikasi silika secara


(37)

lain. Hasil reaksi kimiawi tersebut akan menghasilkan silika yang stabil terhadap

hidrolisis karena terbentuk ikatan siloksan (Si-O-Si). Hasil modifikasi tersebut

memiliki karakter kromatografi dan selektivitas yang berbeda dengan gugus

silanol bebas (Gandjar dan Rohman, 2010). Oktadesilsilan (ODS atau C18)

merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan

senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, dan tinggi.

e. Detektor

Terdapat dua golongan detektor pada KCKT yaitu detektor umum dan

spesifik.Detektor umum merupakan detektor yang dapat mendeteksi zat secara

umum, tidak bersifat selektif dan spesifik. Contoh dari detektor umum adalah

detektor indeks dan detektor massa. Detektor spesifik merupakan detektor yang

hanya dapat mendeteksi suatu analit sesuai dengan spesifikasi tertentu, misalnya

detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia.Penggunaan detektor

spesifik, maka analit yang digunakan harus memiliki persyaratan yang sesuai

untuk dapat dideteksi dengan detektor tersebut (Rohman, 2009).

Detektor Spektrofotometri UV-Vis

Detektor UV-Vis merupakan detektor yang paling banyak digunakan

karena hampir semua senyawa obat memiliki struktur yang dapat menyerap sinar

UV-Vis. Sel detektor umumnya berupa tabung berdiameter 1 mm dan panjang

celah optik 10 mm (Gandjar dan Rohman, 2007). Senyawa yang dapat dideteksi

dengan detektor UV-Vis ini adalah senyawa yang memiliki gugus kromofor dan


(38)

Menurut Gandjar dan Rohman (2010), detektor pada KCKT memiliki

beberapa karakteristik sebagai berikut :

a. Respon terhadap analit cepat dan reprodusibel

b. Mampu mendeteksi analit hingga kadar yang sangat kecil

c. Stabil saat dioperasikan

d. Memiliki sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran

pita

e. Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi analit pada

kisaran luas (AUC)

f. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak

2. Optimasi Metode

Tahap optimasi merupakan serangkaian kondisi awal yang muncul pada

tahap pengembangan metode dan harus dimaksimalkan dengan baik.Hal yang

harus dimaksimalkan tersebut yaitu resolusi, bentuk puncak, jumlah lempeng,

kapasitas, dan retention time (Gandjar dan Rohman, 2010).

Kecepatan alir yang optimal biasanya 0,8 mL/menit; 1,2 mL/menit; dan

2,5 mL/menit untuk kolom dengan diameter internal 4,6 mm dan ukuran partikel

berkisar 3-10 m. Semakin kecil ukuran partikel akan menghasilkan pemisahan yang lebih cepat dan optimal (Ahuja and Rasmussen, 2007).

3. Pemisahan Puncak Dalam Kromatografi

Karakteristik umum yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan

kolom, sistem dan pemisahan kromatografi adalah faktor retensi (k’), efisiensi


(39)

a. Efisiensi kolom

Tujuan umum kromatografi adalah memisahkan suatu campuran yang

akan dianalisis. Kualitas pemisahan dengan kromatografi dapat dilihat

berdasarkan 2 parameter, yakni resolusi dan efisiensi.Parameter resolusi yaitu

tingkat pemisahan puncak-puncak analit yang saling berdekatan.Sementara

parameter efisiensi yaitu ukuran banyaknya pelebaran puncak dari masing-masing

puncak zat analit.Efisiensi pemisahan suatu kolom terdiri dari dua teori yaitu teori

lempeng dan teori laju.

i. Teori Lempeng

Efisiensi merupakan karakteristik yang penting dalam kolom.Efisiensi

diekspresikan sebagai jumlah lempeng teoritis (N) yang dihitung dengan

persamaan sebagai berikut :

= 16 ( 3)

Dimana, tR = retention time analit

W = lebar peak pada posisi baseline

Efisiensi kolom dalam kromatografi berkaitan juga dengan waktu retensi

atau retention time, yakni lamanya waktu komponen atau molekul yang akan

dianalisis berada di dalam kolom (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pengukuran terhadap efisiensi kolom membutuhkan faktor lebar peak (W)

karena waktu retensi berpengaruh terhadapnya, peningkatan nilai W akan

meningkatkan retention time. Semakin tinggi jumlah lempeng teoritis pada suatu


(40)

nilai lempeng teoritis yang didapatkan kecil, maka efisiensi kolom juga menurun

(Miller dan Crowther, 2010).

Terdapat parameter lain terkait efisiensi kolom, yakni tinggi plat atau plate

height (H) yang dirumuskan dengan persamaan berikut :

= ( 4)

Dimana, L merupakan panjang kolom. Tinggi plat (H) atau sering disebut tinggi

plat teori (HETP = Height Equivalent Theoretical Plate) dalam kromatografi

merupakan panjang kolom kromatografi (dalam mm) yang diperlukan sampai

terjadinya satu kali keseimbangan molekul solute dalam fase gerak dan fase diam

(Gandjar dan Rohman, 2010).

HETP dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi kolom dengan

panjang kolom yang berbeda karena pada pengukuran HETP ini, panjang kolom

yang bervariasi dibandingkan dengan jumlah lempeng teoritis masing-masing

kolom sehingga perbandingannya tidak berdasarkan masing-masing panjang

kolom.Nilai HETP berbanding terbalik dengan jumlah lempeng teoritis

(N).Semakin tinggi nilai N maka semakin kecil nilai HETP dan semakin efisien

kolom yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).

ii. Teori Laju

Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif,

tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variabel-variabel lain yang

menyebabkan terjadinya pelebaran peak sehingga perlu diketahui teori laju.Pada

waktu migrasi, zat analit mengalami transfer dalam fase diam dan fase gerak


(41)

sehingga migrasi di dalam kolom juga tidak teratur dan mengakibatkan laju

rata-rata analit relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi

pelebaran peak analit. Alasan timbulnya bentuk puncak dan pelebaran puncak

didasarkan pada difusi Eddy, difusi longitudinal, dan transfer massa (Snyder dkk.,

2010).

1) Difusi Eddy

Difusi Eddy mempresentatifkan faktor lain yang menyebabkan pelebaran

pita. Molekul analit masuk ke dalam kolom melewati partikel fase diam dengan

arah yang berbeda-beda menuju keluar kolom. Molekul yang bergerak lebih

lambat akan keluar lebih lambat dan molekul yang bergerak lebih cepat akan

keluar lebih dahulu. Pelebaran pita tidak tergantung pada kecepatan alir tetapi

hanya bergantung dari penyusunan dan ukuran partikel dalam kolom. Pelebaran

pita yang diakibatkan karena difusi Eddy akan semakin besar seiring dengan

meningkatnya ukuran partikel dalam kolom (Snyder dkk., 2010). Difusi Eddy

dapat diminimalkan dengan memperkecil diameter rata-rata partikel dalam kolom

hingga sekecil mungkin dan seseragam mungkin (Willard et al., 1988).

Gambar 4. Ilustrasi difusi Eddy saat memasuki kolom dan menyebabkan pelebaran pita (Miller dan Crowther, 2010)


(42)

2) Difusi longitudinal

Difusi longitudinal menggambarkan pergerakan acak molekul dalam fase

gerak.Difusi longitudinal berpengaruh secara signifikan terhadap ketinggian

lempeng pada kecepatan fase gerak yang rendah atau lambat.Sedangkan pada

kecepatan difusi solut yang tinggi dalam fase gerak menyebabkan molekul solut

terdispers secara aksial dan lambat bermigrasi melalui kolom (Willard et al.,

1988).

Gambar 5. Ilustrasi yang menyebabkan pelebaran puncak selama pemisahan menggunakan KCKT (Snyder dkk., 2010)

3) Transfer massa

Transfer massa dapat menyebabkan pelebaran pita, terjadinya transfer

massa disebabkan oleh transfer massa fase gerak yang merupakan kecepatan alir


(43)

rongga yang jika analit melewatinya akan lebih cepat keluar terbaca detektor dan

jika analit cenderung lebih menyamping maka akan terjadi interaksi dahulu

terhadap partikel fase diam. Transfer massa fase diam mempresentatifkan analit

yang terpenetrasi ke dalam partikel fase diam dan tinggal lebih lama sebelum

meninggalkan partikel fase diam. Perbedaan lama waktu tinggal dan adanya analit

yang terlebih dahulu terelusi keluar akan menyebabkan pelebaran pita (Snyder

dkk., 2010).

b. Faktor retensi

Jika nilai faktor retensi (k’) kecil maka resolusi menjadi lebih buruk.

Ketika nilai k’ dibuat lebih besar, resolusi akan meningkat. Peningkatan nilai ∝ juga akan meningkatkan nilai resolusi (Snyder dkk, 2010). Faktor retensi (k’)

dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :

= − ( 5)

c. Resolusi

Resolusi dapat didefinisikan sebagai perbedaan waktu antara retention

time dua puncak peak yang saling berdekatan dibagi dengan rata-rata lebar

puncak, sehingga yang sangat berpengaruh terhadap pemisahan komponen analit

merupakan retention time (tR) masing-masing analit dan lebar puncaknya (W).

Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 untuk memberikan pemisahan yang

baik (Gandjar dan Rohman, 2010).

= ( − )


(44)

Gambar 6. Peak kromatogram untuk mengukur resolusi (Snyder dkk., 1997)

d. Selektivitas

Selektivitas merupakan kemampuan sistem kromatografi untuk

memisahkan dua analit dan dapat digambarkan sebagai rasio faktor retensi dengan

persamaan sebagai berikut :

= ′

′ =

− ( 7)

Selektivitas tergantung pada sifat dari fase diam dan komposisi fase

gerak.Selektivitas harus > 1,0 untuk pemisahan puncak (Ahuja and Dong, 2005).

Selektivitas dapat menghasilkan pergeseran satu puncak relatif terhadap puncak

lainnya dengan menaikan nilainya. Efisiensi pemisahan yang ditunjukkan oleh

faktor N akan berubah dengan mengubah panjang kolom (L) atau mengubah

kecepatan alir fase gerak. Menaikan lempeng teoritis (N) suatu kolom akan

mengakibatkan penyempitan dua puncak sehingga lebar puncak (W) menjadi kecil

dan resolusi menjadi lebih besar. Menurunkan nilai k’ akan menghasilkan

pemisahan yang jelas dan retention time yang pendek, sebaliknya menaikan nilai

k’ akan memberikan resolusi yang lebih baik dan waktu pemisahan menjadi naik


(45)

e. Tailing factor

Kondisi yang diperlukan dalam analisis KCKT yaitu kondisi puncak yang

simetris karena puncak yang asimetris dapat menghasilkan bilangan lempeng

teoritik dan faktor resolusi yang tidak akurat, perhitungan tidak teliti, penurunan

derajat resolusi dan puncak-puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak,

serta waktu retensi yang tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan adalah

peak asymmetry factor (As), yang diukur pada 10% tinggi puncak (Snyder dkk.,

1997).

Faktor asimetri atau sering disebut tailing factor (Tf) yang dinyatakan

dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak kromatogram yang

menghasilkan nilai Tf = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat

simetris. Nilai Tf> 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalam

tailing.Semakin besar nilai Tf menunjukkan bahwa kolom yang digunakan

semakin kurang efisien.Berdasarkan hal tersebut maka nilai Tf dapat digunakan

untuk melihat efisiensi kolom kromatografi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika nilai Tf dan As = 1 menyatakan bahwa telah terjadi pemisahan yang

baik pada kromatogram. Semakin meningkatnya nilai Tf dan As maka pemisahan

yang terjadi pada kolom semakin tidak baik. Nilai Tf yang lebih dari 2 dapat

mengganggu analisis analit, sehingga syarat tailing factor untuk analisis yaitu


(46)

Gambar 7. Penentuan asymmetry factor (As) dan tailing factor (TF) (Snyder dkk., 2010)

E. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis merupakan suatu proses tindakan penilaian

terhadap suatu parameter, berdasarkan perlakuan di laboratorium untuk

membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan dalam

penggunaannya. Parameter-parameter tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Presisi dan repeatability. Presisi merupakan derajat keterulangan hasil uji

terhadap metode yang dilakukan secara berulang pada sampel. Repeatability

adalah ukuran keterulangan dari prosedur analisis dalam jangka waktu yang

singkat, oleh analis dan peralatan yang sama (The United States

Pharmacopeia, 2007).

b. Linearitas. Linearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk

mendapatkan hasil uji yang proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di

dalam sampel (The United States Pharmacopeia, 2007).

c. Limit of Detection (LOD). LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel

yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang signifikan


(47)

F. Landasan Teori

Asam urat merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dialami

oleh masyarakat di Indonesia karena kebiasaan dan pola hidup yang kurang

sehat.Alopurinol merupakan obat anti gout yang dapat menurunkan kadar asam

urat dalam darah (Katzung, 2004).

Dalam perkembangannya, seringkali alopurinol dijadikan sebagai bahan

kimia obat yang dicampurkan ke dalam jamu.Keputusan Kepala Badan POM

no.HK.00.05.41.1384 tahun 2005, menyatakan bahwa dalam obat tradisional

dilarang menggunakan salah satunya yaitu bahan kimia hasil isolasi atau sintetik

berkhasiat obat.Oleh karena itu harus diketahui kadarnya dalam jamu asam

urat.Informasi terkait dosis tertinggi alopurinol hingga menimbulkan efek buruk

yang tidak teramati (NOAEL) adalah sebesar 12mg/kgBB/hari (Anonim,

2014).Berdasarkan nilai NOAEL, dapat ditetapkan batas kuantifikasi (LOQ) yang

harus dicapai dari alopurinol.

Depkes RI (1974) menyatakan bahwakadar alopurinol dalam tablet dapat

diukur dengan spektrofotometri UV.Untuk mengetahui apakah metode

spektrofotometri dapat digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu,

perlu dilakukan verifikasi kinerja metode analisis alopurinol secara

spektrofotometri UV.

Matriks jamu sangat kompleks sehingga perlu dilakukan pengembangan

metode analisisdan clean upalopurinol dalam matriks jamu. Analisis alopurinol

dalam jamu dilakukan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi


(48)

dalam akuabides dan fase diam C18. KCKT dipilih untuk analisis alopurinol dalam

jamu asam urat karena mampu memisahkan dari suatu campuran sekaligus

menetapkan kadarnya, mudah, cepat dan sensitif.Detektor UV dipilih karena

alopurinol memiliki kromofor yang dapat memberikan serapan di daerah UV.

Fase diam C18 digunakan karena fase diam ini cocok untuk senyawa

dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi dan memiliki pH di antara

2,5-7,5. Interaksi pada C18 didasarkan pada interaksi van der Waals. Bagian cincin

benzen dari alopurinol merupakan bagian hidrofobik yang akan berinteraksi

dengan fase diam. Untuk dapat mengelusi alopurinol, digunakan campuran pelarut

metanol :amonium hidroksida 0,1%dalam akuabides. Alopurinol bersifat

polaryang dapat berinteraksi dengan fase gerak yang polar sehingga alopurinol

dapat terelusi.

Untuk menetapkan alopurinol dalam jamu dengan metode KCKT perlu

dilakukan optimasi pada sistem KCKT dan validasi metode penetapan kadar

terlebih dahulu untuk memperoleh data yang dapat dipercaya. Pada penelitian ini,

optimasi pemisahan dengan KCKT fase terbalik dilakukan dengan mengubah

komposisi fase gerak dan flow rate untuk memperoleh kondisi yang optimum

dengan parameter nilai waktu retensi, N, HETP, tailing factor, dan resolusi.

Optimasi pada sistem KCKT fase terbalik untuk penetapan kadar

alopurinol dalam matriks sampel jamu asam urat dengan fase gerak metanol :

amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides dan fase diam C18 yang telah

optimum digunakan dalam validasi metode analisis untuk menjamin bahwa


(49)

dengan persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa parameter analisis yang harus

dipertimbangkan dalam validasi metode analisis antara lain presisi, linearitas, dan

sensitivitas.

G. Hipotesis

1. Metode penetapan kadar alopurinol secara spektrofotometri ultraviolet tidak

dapat digunakan untuk penetapan kadar alopurinol dalam jamu.

2. KCKT fase terbalik dengan fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1%

dalam akuabides dan fase diam C18 dapat digunakan untuk penetapan kadar

alopurinol dalam matriks sampel jamu asam urat dilihat dari waktu retensi, N,

HETP, tailing factor, dan resolusi.

3. Selama periode penelitian, sistem KCKT yang digunakan masih reprodusibel


(50)

30

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental

deskriptif karena adanya perlakuan terhadap subjek uji.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perbandingan komposisi

fase gerak metanol : akuabides + ammonium hidroksida 0,1% dan flow rate

yang digunakan.

2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah bentuk peak, retention

time, resolusi dan nilai absorbansi yang dihasilkan. 3. Variabel Pengacau Terkendali

Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah:

a. Kemurnian pelarut, digunakan pelarut pro analysis dengan kemurnian

yang tinggi.

b. Alat yang digunakan dikendalikan dengan cara mengukur validitas metode

yang digunakan berupa nilai linearitas dan sensitivitas (spektrofotometri


(51)

C. Definisi Operasional

1. Sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan seperangkat

alat KCKT fase terbalik yang menggunakan fase diam oktadesilsilan (C18) dan

fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides dengan

perbandingan yang optimal.

2. Optimasi dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap komposisi

dan flow rate fase gerak.

3. Pemisahan yang optimal dengan metode KCKT fase terbalik dilihat dari

resolusi (Rs), tailing factor (Tf), jumlah lempeng, dan nilai HETPyang

dihasilkan.

4. Validasi metode yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pengukuran

terhadap parameter-parameter validitas yaitu presisi, linearitas, dan

sensitivitas.

D. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan memiliki kualitas pro analysis kecuali dinyatakan

lain yaitu baku alopurinol (PT. IFARS) dengan Certificate of Analysis, metanol

(E. Merck), ammonia solution 25% (E. Merck), asam klorida (E. Merck),

kloroform (E. Merck), natrium hidroksida (E. Merck), etanol teknis, akuades, dan

akuabides yang didapatkan dari Laboratorium Kimia Analisis Instrumen

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian


(52)

E. Alat Penelitian

Alat yang digunakan berupa seperangkat alat spektrofotometri UV-VIS

merek Optima SP 300 Plus, seperangkat KCKT fase terbalik merek Shimadzu

dengan sistem isokratik (pompa merek Shimadzu, detektor UV-VIS merek

Shimadzu), kolom oktadesilsilan (C18) merek Shimadzu (Dimensi 250 x 4,5 mm,

5μm), seperangkat komputer merek Dell B6RDZ1S Connexant System RD01-D850 A0-0382 JP France S.A.S, printerHP Deskjet D2566 HP-024-000625 730,

ultrasonikator merek Retsch tipe T460 No V935922013 EY, destilator aquabidest

merek Thermo Scientific, syringe, neraca analitik Ohaus Carat Series PAJ 1003

(maks 60/120g, min 0,001g, d=0,01/0,1mg), penyaring milipore, mikropipet

Socorex, indikator pH (E. Merck), organic and anorganic solvent membrane

filter(Whatman) ukuran pori 0,45 m dengan diameter 47 mm, vakum, dan seperangkat alat gelas (Pyrex).

F. Tatacara Penelitian

1. Metode Spektrofotometri UV untuk Sediaan Tablet Alopurinol a. Pembuatan larutan NaOH 0,1 N

Sejumlah 1 g pelet NaOH dilarutkan dengan akuades hingga semua larut

sempurna lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL dan diencerkan dengan

akuades hingga batas tanda.

N =


(53)

b. Pembakuan NaOH

Sejumlah lebih kurang 400 mg kalium biftalat ditimbang secara seksama

yang sebelumnya telah dihaluskan dan dikeringkan pada suhu 120°C selama 2 jam

dan larutkan dalam 75 mL air bebas CO2 lalu ditambahkan 2 tetes indikator

fenolftalein. Selanjutnya larutan dititrasi dengan larutan natrium hidroksida

hingga terjadi warna merah muda mantap.Kemudian normalitas dapat dihitung

dengan rumus berikut.

N NaOH =

(Mursyidi, 2008).

c. Pembuatan larutan stok dan intermediet alopurinol

i. Pembuatan larutan stok baku alopurinol. Sejumlah lebih kurang 50

mg baku alopurinol ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL

dilarutkan dengan NaOH 0,1 N hingga tanda sehingga diperoleh larutan dengan

konsentrasi 1000 μg/mL.

ii. Pembuatan larutan intermediet 1. Larutan induk dengan konsentrasi

1000 μg/mL diambil 1,0 mL lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga batas tanda sehingga diperoleh larutan

dengan konsentrasi 100 μg/mL.

iii. Pembuatan larutan intermediet 2.Larutan induk intermediet 1 dengan

konsentrasi 100 μg/mLdiambil 10 mL lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga batas tanda sehingga diperoleh


(54)

d. Penentuan panjang gelombang maksimum

Pembuatan seri larutan kurva baku dengan konsentrasi 4, 8, 12 μg/mL dibuat dengan cara mengambil 2,0; 4,0; 6,0 mL dari larutan intermediet 2 lalu

dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan diencerkan dengan menggunakan

NaOH 0,1 N hingga tanda. Kemudian diukur serapan pada panjang gelombang

200-400 nm.

e. Pembuatan seri larutan baku alopurinol

Pembuatan seri larutan kurva baku dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, 12 dan

14 μg/mL dibuat dengan cara mengambil 2,0; 3,0; 4,0; 5,0; 6,0; 7,0 mL dari larutan intermediet 2 lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan diencerkan

dengan menggunakan NaOH 0,1 N hingga batas tanda.

f. Validasi metode

i. Linearitas

Linearitas ditentukan dari nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh

dengan memplotkan seri larutan konsentrasi terhadap absorbansi hasil pembacaan

spektrofotometri UV.

ii. Sensitivitas

Sensitivitas ditentukan dari nilai slope dan LOD yang diperoleh dari


(55)

2. Metode KCKT Fase Terbalik untuk Matriks Jamu Asam Urat a. Penyiapan fase gerak

Metanol dan amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides yang akan

digunakan sebagai fase gerak terlebih dahulu disaring dengan menggunakan

kertas saring Whatman yang berbeda. Pada fase gerak akuabides digunakan kertas

saring untuk pelarut anorganik sedangkan fase gerak metanol digunakan kertas

saring untuk pelarut organik.

Optimasi komposisi pelarut yang akan digunakan dalam penelitian dapat

dilihat pada tabel II :

Tabel II. Komposisi fase gerak metanol :amonium hidroksida 0,1% dalam akuabides

No.

Komposisi fase gerak

Metanol Amonium hidroksida

0,1% dalam akuabides

1 10 90

2 20 80

3 30 70

b. Optimasi KCKT fase terbalik

i. Penentuan panjang gelombang maksimum alopurinol. Panjang

gelombang maksimum alopurinol ditentukan dengan cara mengukur spektra

larutan baku alopurinol dalam pelarut amonium hidroksida 5 % dalam metanol

dengan konsentrasi 5,0; 7,5; 10,0; 12,5 dan 15,0 µg/mL pada rentang 200-400 nm

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan spektra yang terukur dapat

diketahui panjang gelombang dengan serapan yang maksimum pada

masing-masing konsentrasi, kemudian dapat ditentukan panjang gelombang yang akan


(56)

ii. Optimasi komposisi fase gerak dan flow rate. Detektor pada alat

KCKT di atur pada panjang gelombang maksimum. Sejumlah 20 L larutan baku alopurinol 30 g/mL yang sudah disaring dengan millipore dan di-degassing selama 15 menit, lalu diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik menggunakan

fase gerak yang telah dibuat seperti pada langkah di atas. Sistem operasi KCKT

dilakukan dengan mengubah volume komposisi fase gerak dan flow rate.

Pengubahan volume komposisi fase gerak metanol : amonium hidroksida 0,1%

dalam akuabides tersebut meliputi 10:90; 20:80; 30:70, serta flow rate yang

meliputi 0,5; 0,8; dan 1 mL/menit untuk masing-masing fase gerak. Dari

kromatogram akan diperoleh nilai tR, Tf, Rs, N dan HETP yang digunakan untuk

penentuan parameter optimasi komposisi fase gerak dan flow rate.

c. Uji kesesuaian sistem KCKT fase terbalik

i. Uji kesesuaian sistem periode pertama

1. Pembuatan larutan stok bakualopurinol. Sejumlah lebih kurang

25 mg baku alopurinol ditimbang secara seksama, kemudian dimasukkan ke

dalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dengan dengan amonium hidroksida 5%

dalam metanol. Diperoleh konsentrasi 1 mg/mL 1000g/mL.

2. Pembuatan larutan intermedietalopurinol.Larutan intermediet

dengan konsentrasi 500 g/mL dibuat dengan cara mengambil sebanyak 5 mL dari larutan stok baku alopurinol, dimasukkan labu takar 10 mL dan diencerkan

dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga tanda.

3. Pembuatan seri larutan baku alopurinol. Larutan seri baku


(57)

mengambil sejumlah 100, 200, 300, 400, 500, dan 600 μL larutan intermediet alopurinol kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL.

Masing-masing labu takar diencerkan dengan amonium hidroksida 5% dalam

metanol hingga tanda. Masing-masing seri baku alopurinol disaring menggunakan

milipore kemudian di-degassing menggunakan ultrasonikator selama 15 menit.

Cara kerja ini dilakukan replikasi sebanyak 3 kali, masing-masing seri larutan

baku sejumlah 20 μL diinjeksikan ke sistem KCKT dengan kolom C18 (Dimensi 250 x 4,5 mm, 5μm) menggunakan fase gerak metanol : amonium hidroksida 0,1

%dalam akuabides (10 : 90) dengan flow rate 0,5 mL/menit.

ii. Uji kesesuaian sistem periode kedua

1. Pembuatan larutan stok bakualopurinol. Sejumlah lebih kurang

25 mg baku alopurinol ditimbang secara seksama, kemudian dimasukkan ke

dalam labu ukur 25 mL dan dilarutkan dengan dengan amonium hidroksida 5%

dalam metanol. Diperoleh konsentrasi 1 mg/mL 1000g/mL.

2. Pembuatan larutan intermedietalopurinol. Larutan intermediet

dengan konsentrasi 500 g/mL dibuat dengan cara mengambil sebanyak 100L dari larutan stok baku alopurinol, dimasukkan labu takar 10 mL dan diencerkan

dengan amonium hidroksida 5% dalam metanol hingga tanda.

3. Pembuatan seri larutan baku alopurinol. Larutan seri baku

dengan massa alopurinol 1, 2, 3, dan 4 ngdibuat dengan cara mengambil sejumlah

100, 200, 300, dan 400μL larutan intermediet alopurinol kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 10 mL. Masing-masing-masing labu takar


(58)

Masing-masing seri baku alopurinol disaring menggunakan milipore kemudian

di-degassing menggunakan ultrasonikator selama 15 menit. Cara kerja ini dilakukan

replikasi sebanyak 3 kali, masing-masing seri larutan baku sejumlah 10 μL diinjeksikan ke sistem KCKT dengan kolom C18 (Dimensi 250 x 4,5 mm, 5μm)

menggunakan fase gerak metanol : amonium hidroksida 0,1 % dalam akuabides

(10:90) dengan flow rate 0,5 mL/menit.

d. Validasi metode analisis KCKT fase terbalik

i. Linearitas

1. Linearitas pada periode pertama. Detektor pada alat KCKT diatur

pada panjang gelombang maksimum. Larutan kerja dengan massa alopurinol 100,

200, 300, 400, 500 dan 600 ng yang telah disaring dengan millipore dan

di-degassing selama 15 menit, diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik

sebanyak 20 μL menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Cara kerja ini dilakukan 3 kali replikasi. Dari kromatogram akan diperoleh luas area

alopurinol untuk masing-masing konsentrasi. Luas area ini kemudian diplotkan

terhadap konsentrasi alopurinol untuk memperoleh regresi linear dengan

persamaan y = bx + a dan nilai koefisien korelasi (r) yang akan digunakan untuk

penentuan parameter validasi linearitas.

2. Linearitas pada periode kedua. Detektor pada alat KCKT diatur

pada panjang gelombang maksimum. Larutan kerja dengan massa alopurinol 1, 2,

3, dan 4 ng yang telah disaring dengan millipore dan di-degassing selama 15

menit, diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik sebanyak 10 μL menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Cara kerja ini dilakukan 3


(59)

kali replikasi. Dari kromatogram akan diperoleh luas area alopurinol untuk

masing-masing konsentrasi. Luas area ini kemudian diplotkan terhadap

konsentrasi alopurinol untuk memperoleh regresi linear dengan persamaan y = bx

+ a dan nilai koefisien korelasi (r) yang akan digunakan untuk penentuan

parameter validasi linearitas.

ii. Presisi

1. Presisi pada periode pertama. Detektor pada alat KCKT diatur

pada panjang gelombang maksimum. Larutan kerja dengan massa alopurinol 100,

200, 300, 400, 500 dan 600 ng yang telah disaring dengan millipore dan

di-degassing selama 15 menit, diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik

sebanyak 20 μL menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Cara kerja ini dilakukan 3 kali replikasi.

2. Presisi pada periode kedua. Detektor pada alat KCKT diatur pada

panjang gelombang maksimum. Larutan kerja dengan massa alopurinol 1, 2, 3,

dan 4 ng yang telah disaring dengan millipore dan di-degassing selama 15 menit,

diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik sebanyak 10 μL menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Cara kerja ini dilakukan 3 kali replikasi.

iii. Sensitivitas

1. Sensitivitas pada periode pertama. Detektor pada alat KCKT di

atur pada panjang gelombang maksimum. Larutan alopurinol dengan massa 100,

200, 300, 400. 500 dan 600 ng yang telah disaring dengan millipore dan


(60)

sebanyak 20 L menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Kemudian dihitung nilai LOD dan slope dari persamaan kurva regresi linear yang diperoleh.

2. Sensitivitas pada periode kedua. Detektor pada alat KCKT di atur

pada panjang gelombang maksimum. Larutan alopurinol dengan massa 1, 2, 3,

dan 4 ng yang telah disaring dengan millipore dan di-degassing selama 15 menit,

diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik sebanyak 10 L menggunakan fase gerak dan flow rate hasil optimasi. Kemudian dihitung nilai LOD dan slope dari

persamaan kurva regresi linear yang diperoleh.

G. Analisis Hasil

1. Analisis Hasil Validasi Metode Spektrofotometri UV

a. Linearitas

Linearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mendapatkan hasil

uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam

sampel. Berdasarkan Snyder et al. (2010), metode untuk analisis dikatakan

memiliki linearitas yang baik jika memiliki nilai koefisien korelasi (r)  0,999. b. Sensitivitas

Sensitivitas dapat dilihat dari nilai LOD dan slope.LOD merupakan jumlah

terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon

signifikan dibandingkan dengan blanko. LOD dapat dihitung dengan persamaan

berikut :

= 3,3


(61)

Slope menunjukkan respon dari alat. Nilai slope diperoleh dari persamaan regresi

linear y = bx + a dan ditunjukkan pada nilai b.

2. Analisis Hasil Optimasi KCKT fase terbalik

Data kromatogram yang diperoleh dari hasil optimasi komposisi fase

gerak dan flow rate yang telah ditentukan untuk menetapkan kadar alopurinol

dalam matriks jamu asam urat dapat dilihat dari bentuk peak, nilai resolusi,tailing

factor, HETP dan jumlah lempeng teoritis (N) yang dihasilkan. Parameter ini

dilakukan dengan perhitungan secara otomatis menggunakan sistem yang telah

terprogram pada sistem KCKT.

a. Daya pisah (Resolusi)

Nilai daya pisah merupakan nilai yang diperoleh dengan melakukan

perhitungan puncak analit terhadap puncak terdekat.Nilai Resolusi yang baik

adalah  1,5 (Snyder, Kirkland, and Glajch, 2012). b. Jumlah lempeng (N) dan HETP

Nilai N (lempeng) berbanding terbalik terhadap efisiensi kolom

(HETP).Semakin besar nilai N maka semakin kecil nilai HETP yang berarti

bahwa kolom memberikan efisiensi yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007).

c. Bentuk peak

Parameter yang digunakan untuk melihat peak yang simetris adalah nilai

tailing factor(Tf).Nilai Tf 2 dikatakan baik, karena tidak mengganggu atau berpengaruh terhadap pemisahan, sedangkan nilai Tf> 2 dapat berpotensi

mengganggu dan memberikan efek terhadap pemisahan secara rutin (Snyder,


(62)

3. Analisis Hasil Validasi Metode KCKT fase terbalik

a. Linearitas

Linearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mendapatkan hasil

uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi (jumlah) analit di dalam

sampel.Berdasarkan Snyder dkk.(2010), metode untuk analisis dikatakan memiliki

linearitas yang baik jika memiliki nilai koefisien korelasi (r)  0,999. b. Presisi

Presisi merupakan derajat keterulangan hasil uji ketika metode dilakukan

secara berulang pada sampel dengan beberapa kali sampling (The United States

Pharmacopeia, 2007).Presisi biasanya dinyatakan dengan koefisien variasi (CV)

c. Sensitivitas

Sensitivitas dapat dilihat dari nilai LOD dan slope.LOD merupakan jumlah

terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon

signifikan dibandingkan dengan blanko. LOD dapat dihitung dengan persamaan

berikut :

= 3,3

Keterangan : Sa = Standar deviasi b = slope

Slope menunjukkan respon dari alat. Nilai slope diperoleh dari persamaan regresi


(63)

43

BAB IV PEMBAHASAN

Penetapan kadar alopurinol dalam jamu asam urat diperlukan untuk

mengetahui kemungkinan adanya alopurinol dalam kandungan jamu, karena

sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM no.HK.00.05.41.1384 tahun 2005,

dalam obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia obat, narkotika atau

psikotropika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.Namun apabila di dalam obat

tradisional terdapat alopurinol maka perlu diketahui batas toksisitas dari nilai

NOAEL yang merupakan dosis tertinggi sampai menimbulkan efek buruk yang

tidak teramati.Nilai NOAEL dari alopurinol pada hewan tikus secara per oral

adalah sebesar 12 mg/kgBB (Anonim, 2014).Berdasarkan nilai NOAEL tersebut

dapat diketahui batas maksimal kandungan alopurinol yang tidak menimbulkan

efek toksik pada manusia apabila terkandung dalam produk jamu asam urat adalah

7,2 mg yang ditunjukkan pada perhitungan berikut.

Batas NOAEL alopurinol 12 mg/kgBB pada hewan uji tikus BB manusia normal = 60 kg

(Noegrohati, 2013)

= MOS =


(64)

Apabila dalam 1 sachet jamu memiliki massa sebanyak 7 g, maka dalam

setiap gram sampel,batas kuantifikasi (LOQ) alopurinol yang harus dicapai adalah

sebesar 0,52 mg/g  0,52g/mg.

Berdasarkan Depkes RI (1974), penetapan kadar alopurinol dapat diukur

dengan metode spektrofotometri UV. Hal tersebut karena alopurinol memiliki

gugus kromofor dan auksokrom yang dapat memberikan serapan di daerah UV.

Untuk mengetahui apakah metode spektrofotometri dapat digunakan untuk

penetapan kadar alopurinol dalam jamu, perlu dilakukan verifikasi kinerja metode

analisis alopurinol secara spektrofotometri UV.

A. Verifikasi Kinerja Metode Analisis Alopurinol secara Spektrofotometri Ultraviolet

Prinsip metode analisis alopurinol dalam tablet (Depkes RI, 1974)

dilakukan pengembangan metode dengan melarutkan sampel tablet ke dalam

larutan NaOH 0,1 N. Larutan sampel kemudian disaring dan dibuat larutan

intermediet dengan pengenceran 2500 kali. Larutan intermediet selanjutnya diukur

serapan pada maksdengan spektrofotometri UV. Verifikasi yang dilakukan

meliputi tata cara berikut.

1. Pembuatan dan Pembakuan Natrium Hidroksida

Pembakuan larutan natrium hidroksida dilakukan untuk menentukan

konsentrasi larutan secara teliti yang disebabkan oleh sifat larutan NaOH yang


(65)

mengubah konsentrasi NaOH, selain itu NaOH juga dapat bereaksi dengan gas

CO2 dari udara.

NaOH + CO2→ Na2CO3 + H2O

Pembakuan NaOH dilakukan dengan kalium biftalat sebagai baku primer.

Reaksi antara kalium biftalat dengan NaOH sebagai berikut.

Gambar 8. Reaksi Kalium Biftalat dengan NaOH (Mursyidi, 2008)

Pembakuan dapat dilakukan dengan titrasi. Titrasi merupakan suatu proses

penentuan konsentrasi suatu larutan dengan mereaksikan larutan yang telah

ditentukan konsentrasinya (larutan standar). Pada penelitian ini dilakukan titrasi

volumetri yaitu mengukur volume dari suatu asam atau basa yang bereaksi (Ibnu,

2004).

Pada penelitian ini, proses pembakuan dilakukan dengan menggunakan

larutan kalium biftalat yang dilarutkan dalam air bebas CO2 dan ditambahkan dua

tetes fenoftalein kemudian dititrasi dengan larutan natrium hidroksida 0,1 N.

Titrasi dapat dihentikan jika terjadi perubahan warna yang artinya telah mencapai

titik ekuivalen atau titik akhir titrasi. Titik ekuivalen merupakan titik pada proses

akhir titrasi ketika asam atau basa tepat habis bereaksi. Indikator perubahan warna

terlihat ketika larutan kalium biftalat yang awalnya jernih berubah warna menjadi

merah muda pada volume akhir 21,35 mL.Berdasarkan perhitungan normalitas


(66)

Gambar 9. Reaksi fenoftalein dengan NaOH (Mursyidi, 2008) 2. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Alopurinol

Penentuan panjang gelombang dilakukan pada baku alopurinol bertujuan

untuk mendapatkan panjang gelombang maksimum (maks). Panjang gelombang

maksimum menunjukkan panjang gelombang absorbansi terbesar bagi analit yang

dianalisis. Dilakukan analisis pada panjang gelombang maksimum karena pada

panjang gelombang ini akan memberikan sensitivitas dan presisi yang baik dan

dapat meminimalisasikan kesalahan pembacaan oleh detektor karena daerah

disekitar puncak kurva panjang gelombang maksimum merupakan daerah dengan


(67)

panjang gelombang yang berada pada panjang gelombang teoritis.Pengukuran

panjang gelombang dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri UV.

Pada penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan

mengamati panjang gelombang pada rentang 200-400 nm dan menggunakan tiga

level konsentrasi, yaitu 4, 8 dan 12 g/mL. Penggunaan tiga level konsentrasi tersebut bertujuan untuk melihat apakah perbedaan konsentrasi menghasilkan

perubahan pada panjang gelombang maksimum.

Tabel III. Perbandingan panjang gelombang maksimum alopurinol dalam sampel tablet obat hasil pengukuran terhadap panjang gelombang maksimum teoritis

Konsentrasi (g/mL) maks terukur

maks

teoritis

4 257,0

257 nm 8 257,0

12 257,0

Berdasarkan tabel III dapat dilihat bahwa panjang gelombang terukur dari

ketiga level konsentrasi alopurinol memiliki serapan maksimum pada 257 nm

(Lampiran 4) yang sesuai dengan serapan maksimum secara teoritis.

3. Pembuatan Seri Larutan Baku Alopurinol

Baku alopurinol dengan kemurnian 100,51%masuk dalam rentang kadar

yang telah ditetapkan oleh PT. IFARS (98 – 101%) berdasarkan sertifikat

Certificate of Analysis (CoA) (Lampiran 1) untuk menjamin kemurnian

alopurinol. Larutan baku kemudian dipersiapkan dan dilarutkan dengan pelarut.

Pada metode spektrofotometri UV dilakukan dengan menggunakan pelarut

natrium hidroksida 0,1 N yang dapat melarutkan baku alopurinol secara

sempurna. Pembuatan larutan baku alopurinol dilakukan dengan konsentrasi 20


(68)

hubungan antara respon instrumen dengan kosentrasi analit linear pada seri

larutan kurva baku sehingga diperoleh persamaan regresi linear yang selanjutnya

digunakan untuk menghitung kadar alopurinol dalam sampel tablet obat.

Penentuan kurva baku alopurinol dilakukan dengan mengukur nilai absorbansi

pada 6 konsentrasi alopurinol (4, 6, 8, 10, 12, dan 14 g/mL) dengan replikasi sebanyak tiga kali.

Persamaan regresi linear yang diperoleh merupakan hubungan antara

konsentrasi alopurinol vs absorbansi yang dihasilkan dari pengukuran sampel pada

spektrofotometri UV. Kadar alopurinol dalam sampel dihitung dengan

memasukkan absorbansi sampel ke dalam persamaan kurva baku yang

diperoleh.Hasil penelitian ditunjukkan pada tabel IV.

Tabel IV. Data kurva baku alopurinol dalam tablet obat

Replikasi C (g/mL) Absorbansi Perhitungan regresi linear

1

4 0,256

a = 0,045 b = 0,052 y = bx + a

y = 0,052x + 0,045 6 0,356

8 0,453 10 0,563 12 0,659 14 0,755

2

4 0,253 6 0,355 8 0,460 10 0,570 12 0,686 14 0,776

3

4 0,253 6 0,367 8 0,475 10 0,587 12 0,683 14 0,798


(1)

c. Seri 3 (3 ng)


(2)

Replikasi III a. Seri 1 (1 ng)


(3)

c. Seri 3 (3 ng)


(4)

LAMPIRAN 16. PerhitunganLimit of Detection periode II Konsentrasi

(g/mL) Replikasi Massa (ng) AUC

0.1

1

1

18307

2 16573

3 16871

0.2

1

2

22397

2 21598

3 21857

0.3

1

3

27433

2 26991

3 27438

0.4

1

4

34450

2 34521

3 34305

Regresi

A 11013

Y = 11013 + 5686.2 x

Bx 5686.2

R 0.993

Nilai Sa diperoleh dari program Powerfit (Utrecht University Faculteit

Scheikunde)

Sa = 5,86.102

Perhitungan LOD : = 3,3

= 3,3 5,86.10 5686,2 = 0,3 ng


(5)

LAMPIRAN 17. Perhitungan Uji T untuk slope kurva baku alopurinol periode I

dan periode II

t hitung =

untuk mencari nilai s digunakan rumus : s2=( ) ( )

( )

= ( ) . ( )

( )

= 20668.15 s = 143.76 t hitung = . .

.

= 22,38 t tabel= 2,048

karena nilai t hitung (22,38) lebih besar daripada t tabel (2,048) pada tingkat kepercayaan 95% dengan harga degree of freedom 28, maka nilai slope antara kurva baku Idan II berbeda signifikan.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Meta Kartika Sari dan akrab dipanggil Meta merupakan anak tunggal dari pasangan Ong Tian Tjoan dan Yellis Gunawan.Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 28 Mei 1992. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu di TK Kristen Kanaan Tangerang (1998), SD Kristen Kanaan Tangerang (2004), SMP Strada Santa Maria 1 Tangerang (2007), SMA Santo Thomas Aquino Tangerang (2010) dan pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sampai tahun 2014. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai kegiatan antara lain Kampanye Informasi Obat (KIO) sebagai volunteer (2010), KMBK Dharma Virya sebagai sie pendidikan (2011), Komisi Pemilihan Umum KMBK Dharma Virya dan HUT KMBK sebagai koordinator acara (2012), Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi sebagai anggota divisi publikasi dan informasi (2012), Seminar Motivasi Andrie Wongso “Who Are You, Give or Be Given” sebagai bendahara (2012), Komisi Pemilihan Umum Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi sebagai sie acara (2013), asisten dosen praktikum Analisis Farmasi (2014), dan Validasi Metode (2014).