6
2.2 Tablet
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi DepKes RI, 1995.
Dari sudut pandang farmaseutika bentuk sediaan padat pada umumnya lebih stabil daripada bentuk cair, sehingga bentuk sediaan padat lebih cocok untuk obat-obat
yang kurang stabil Ansel, 1989. Apabila pemakaian obat harus secara oral, baik ditelan, ditempatkan dalam
rongga mulut tanpa ditelan, dikunyah dulu baru ditelan, atau hanya dihisap maka bentuk sediaan tablet yang paling sering digunakan. Selain tablet yang diberikan
melalui oral, terdapat juga tablet yang diberikan melalui rektal, vaginal, implantasi-transdermal dan sebagainya. Dewasa ini diperkirakan paling tidak 40
dari seluruh obat diracik dalam bentuk tablet. Tablet terdapat dalam berbagai ragam bentuk, ukuran, bobot, kekerasan,
ketebalan, sifat disolusi dan disintegrasi, tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Tablet umumnya memiliki diameter 5-17 mm,
sedangkan bobot tablet 0,1-1 gram Voight, 1995. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan
tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul
menggunakan cetakan baja. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan dimana kepadatan
tablet tergantung pada ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada kekuatan tekanan yang diberikan DepKes
RI, 1995.
2.3 Pemeriksaan Kualitas Tablet Nifedipin
2.3.1 Pemeriksaan Keseragaman Bobot
Pada tablet yang didesain mengandung sejumlah obat didalam sejumlah formula, berat tablet yang dibuat harus secara rutin diukur untuk membantu
memastikan bahwa setiap tablet mengandung sejumlah zat aktif yang tepat Banker Anderson, 1986. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang
cukup dari keseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian kecil dari tablet atau jika tablet bersalut gula DepKes RI, 1995.
7
2.3.2 Pemeriksaan Keseragaman Kandungan
Untuk mengevaluasi kemanjuran suatu tablet, jumlah zat aktif dalam tablet harus dipantau pada setiap tablet atau batch. Hal ini umumnya dilakukan dengan
cara analisis kimiawi Voight, 1995. Farmakope mensyaratkan bahwa tablet bersalut dan tablet yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang, dan bobot zat
aktif lebih kecil dari 50 bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan DepKes RI, 1995. Menurut USP XXXII, kapsul nifedipin
mengandung tidak kurang dari 90 dan tidak lebih dari 110 nifedipin C
17
H
18
N
2
O
6
dari jumlah yang tertera pada etiket USP, 2009.
2.3.3 Pemeriksaan Waktu Hancur
Bagi tablet, langkah penting pertama sebelum melarut adalah pecahnya tablet menjadi partikel-partikel kecil atau granul-granul Banker Anderson,
1986. Waktu hancur adalah waktu yang diperlukan tablet untuk hancur menjadi partikel dibawah kondisi yang ditetapkan King, 1980. Pada umumnya waktu
hancur akan mempengaruhi laju pelarutan zat aktif Hermann dkk, 1993. Sebagai medium biasanya digunakan air atau cairan pencernaan buatan bersuhu 37°C,
dimana pengujian dilakukan pada kondisi yang sedapat mungkin mendekati situasi fisiologis Voight, 1995. Waktu hancur tablet dapat dianggap sebagai
kriteria untuk memprediksi penyerapan obat secara in vitro Swarbrick, 2010. Menurut USP, tablet tidak bersalut mempunyai standar waktu hancur paling
rendah 5 menit, akan tetapi kebanyakkan tablet tidak bersalut memiliki waktu hancur 30 menit Banker Anderson, 1986.
2.3.4 Uji Disolusi