Mimpi Nabi Ibrahim Sebagai Dasar Hukum

62

BAB IV ANALISA TERHADAP MIMPI NABI IBRAHIM AS

A. Mimpi Nabi Ibrahim Sebagai Dasar Hukum

Penulis akan menjelaskan apakah mimpi Nabi Ibrahim dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau tidak? Mimpi memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Maka sebagian orang menyangka bahwa mimpi be rpengaruh pada hukum syari’at, yang benar adalah sebaliknya. Sebab syari’at telah sempurna pada masa kenabian, ia tidak memerlukan orang yang menyempurnakannya atau memberi tambahan. Baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Mimpi tidaklah merupakan sumber hukum syari’at, tambahan pula setan amat bersemangat untuk menyesatkan manusia dengan berbagai cara. Bisa saja setan menampakkan diri kepada manusia dalam mimpinya sebagai Allah atau salah satu malaikat lalu ia memerintahkan melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajibannya. Dengan demikian ia menjadi tersesat tetapi ia meyakini dirinya sebagai orang yang mulia. 1 Mimpi selain mimpi Nabi Ibrahim as juga disebut sebagai mimpi as- shalihah yaitu mimpinya orang shalih, mereka ini urutan kedua setelah para Nabi dan Rasul-Nya. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran, namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu karenanya mimpi itu sudah menunjukkan suatu perkara yang sudah jelas, karena memang mimpi orang-orang yang shaleh. 1 A h mad bin Sulaimân Al-Uraini, Petunjuk Nabi Tentang Mimpi, Jakarta: Darul Falah,1416H, hal.60 63 Sebagaimana hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: ﺢ ّاَ ﺻّا ﻞ ﺠَ ﺮلا َن ﻤ ﺔَﻧَسَﺤ ّا اَﻴﺆڱﺮڰّﺃ ﴿ ﻢّسﻤو ݖﺮاﺧﺒّ ﻩاوﺮ ۣ Artinya: “Mimpi yang baik dari orang-orang yang shaleh”. H.R. Muslim. 2 Mimpi Bukan Dasar Hukum Mimpi tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum dan tidak dapat dijadikan dalil atas perintah dan larangan. Karenanya syari’at telah menetapkan dasar-dasar hukum, yaitu Al- Qur’an dan hadits, atau yang menunjukkan kepada keduanya, seperti ijma, dan qiyas . Syari’at tidak menjadikan mimpi seseorang yang bukan Nabi sebagai dasar hukum. 3 Firman Allah swt:                Artinya: “Ikutilah apa yang ada telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran darinya.” Q.S. Al-A’raf : 3. 4 Sedangkan pada ayat lain disebutkan sebagai berikut :          2 Ma’mur daud, Shahih Muslim, Klang Book Muslim, Hadis ke-2109, Jilid 1, hal.165 3 Yusuf Qardhawi, Alam Ghaib, Jakarta: 2005, hal.131 4 Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Quran, 1971, hal.260 64 Artinya: “Apa yang diberikan Rasul padamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah” Q.S. Al-Hasyr: 7. Kandungan ayat di atas menjelaskan bahwa mimpi yang dapat dijadikan dasar hukum adalah mimpi yang dialami seorang Nabi, dan janganlah mimpinya seseorang yang bukan Nabi dijadikan das ar hukum atau syari’at. Mimpi yang benar adalah mimpi yang merupakan mimpi Nabi Ibrahim as sebagai wahyu dan syari’at, pertanda petunjuk dari Allah swt, maka mimpi Nabi adalah merupakan wahyu dan merupakan kebenaran juga syari’at, sebab wahyu terjaga dari syaitan. Hal ini ulama bersepakat bahwa mimpi para Nabi merupakan salah s atu bentuk wahyu dan syari’at. Sebagaimana Firman-Nya;                               Artinya: “Dan tidaklah ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengang mengutus seorang utusan malaikat lalu dia wahyukan kepadanya dengan seizinnya apa yang dia kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” Q.S. as-Syuro: 52. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim menyembelih putranya Ismail berdasarkan mimpi ujian dari Allah swt. Adapun mimpi selain para Nabi tidaklah lepas dari 65 salah. Karena itu, perlu disesuaikan dengan wahyu yang ada dalam al- Qur’an, jika sesuai dengan al- Qur’an maka mimpi itu dapat digunakan, namun jika bertentangan tidak dapat digunakan. 5 Menurut hemat penulis, pengetahuan sebenarnya ada pada Allah, bahwa antara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Adakah suatu perbedaan yang lebih besar dari pada sesuatu itu dari Allah dan yang lain dari syaitan?, perbedaan itu bisa juga mengacu kepada yang mengalami mimpi itu sendiri. Dari uraian di atas jelaslah bahwa mimpi tidak bisa dijadikan landasan syari’at dan pemberlakuan hukum manakala di dalamnya terdapat perintah atau larangan. Tetapi jika di dalamnya tidak ada perintah atau larangan maka mimpi itu adalah penampakan semata, kecuali mimpi para Nabi, seperti mimpi Nabi Ibrahim as. 6

B. Hubungan Antara Mimpi Nabi Ibrahim Dengan Realitas Sosial