A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan

Syifa Enwa , Okti Li, Nenny Makmun ,dkk

A Memorable

Journey

A Memorable Journey

Oleh: Syifa Enwa,Okti Li,Nenny Makmun ,dkk Copyright © 2012 Syifa Enwa,Okti Li,Nenny Makmun ,dkk

Penyunting

Ika Safitri

Sampul depan dan isi

Akh Taufiq

Diterbitkan oleh

Versi Ebook : PSP

www.pena-santri.blogspot.com Versi Cetak : Dar-insyirah

sumber foto untuk sampul : by Shabrina NH

Kata Pengantar Kata Pengantar Kata Pengantar Kata Pengantar

Setiap manusia yang ada di bumi ini pasti sering melakukan sebuah perjalanan. Entah perjalanan karena suatu pekerjaan, untuk silaturahim, menuntut ilmu, atau hanya sekedar rekreasi untuk mendapatkan suatu hal yang menyenangkan. Namun, tentunya tidak semua perjalanan berkesan dan membekas di lubuk hati pada setiap orang yang melakukannya. Terkadang, perjalanan itu berlalu begitu saja dan mudah dilupakan.

Meski demikian, setiap orang juga pasti memiliki sebuah perjalanan yang berkesan. Sebuah perjalanan yang membekas dalam hati karena terdapat sebuah pengalaman berharga dan unik di dalamnya. Dan yang terpenting, adalah hikmah yang dapat diambil dari sebuah perjalanan tersebut. Seperti halnya pada kumpulan catatan perjalanan di dalam buku ini.

Buku ini merupakan kumpulan kisah dari 25 peserta yang tulisannya terpilih dari sekitar 60-an peserta event menulis “Catatan Perjalanan” yang diadakan komunitas Hamasah dan komunitas Penasantri. Catatan perjalanan yang disuguhkan tentu berbeda-beda.

Mulai dari cerita perjalanan yang menyenangkan, menyedihkan, mengejutkan, sampai menegangkan ada di sini. Dalam sebuah perjalanan, memang seringkali terjadi hal-hal yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Itulah seni dari sebuah perjalanan.

Membaca kumpulan catatan perjalanan ini, pembaca seolah dibawa untuk mengikuti dan merasakan perjalanan yang sedang terjadi. Menyusuri indahnya alam Indonesia, mengetahui segala seluk-beluk masyarakat daerah tertentu, menjelajahi belahan bumi yang lain,bahkan sebuah perjalanan yang merupakan pengalaman pertama. Semuanya tentu memiliki pengalaman seru dan unik yang berbeda.

Terlepas dari semua itu, satu hal terpenting yang pasti kita dapatkan dari sebuah perjalanan adalah hikmah atau pelajaran. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sana. Rasa syukur atas karunia Ilahi atas ciptaan alam yang disuguhkan saat menikmati perjalanan. Rasa empati, terkadang muncul dalam sebuah perjalanan di saat menyaksikan orang-orang yang kurang beruntung dari kita. Bersabar, ketika kita dihadapkan pada sebuah kesulitan atau rintangan dalam sebuah perjalanan. Belajar memperbaiki diri, saat melihat negeri orang lebih maju daripada tanah air tercinta. Tentunya, masih banyak lagi hikmah yang dapat kita ambil dalam sebuah perjalanan.

Dan yang terakhir, semoga kumpulan kisah catatan perjalanan ini dapat mencerahkan setiap pembaca yang menikmatinya. Memberikan sebuah inspirasi dan wawasan baru tentang sebuah perjalanan. Bahkan mungkin, memberikan sebuah informasi suatu tempat yang belum dan hendak dikunjungi.

Daftar isi

kata pengantar 3 Daftar isi

5 Perjalanan Umrah yang Berkesan

7 Unforgettable Moment in Tongging

11 Da’il Authaana Waghtarib

17 Semeru dan Sebuah Asa

23 Jogja, I’m in Love

33 Ombak yang Tak Bersahabat

39 Orang Tua : Do’a Masa Depan

45 Cikuray, Maaf Tak Kuinjakkan Kaki di Puncakmu

49 Mahameru Love Never The End

55 Dieng, Percikan Surga di Tanah Tua Jawa

65 Menjalin Persaudaraan di Lahat

69 Catatan Pelangi Tanah Bandung

75 Wisata ke Patung Budha (Giant Buddha)

83 Satu Hari Menjelajah Tanah Karo

89 Menjelajah Kebun Raksasa

97 Perjalanan itu Berakhir (Guntung)

103 Nge’bolang’ ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT)

113 Untuk Kedua Kalinya

123 Indahnya Perjalanan ke Serambi Mekah

131 Selusin Tahun Melancong di Tiga Negara Macan Asia 143 Makassarku, Kemenanganku

149 Sebuah Perjalanan

Tiga Catatan satu Perjalanan 163 Baduy, Suku di Negeriku Tercinta

169 Lebak Harjo, Keajaiban yang Ditemukan

179 tentang penulis

185

Perjalanan Umrah yang Berkesan

Oleh: Syifa Enwa

Aku masih juga belum percaya bahwa kesempatan itu datang cepat. Bukan kesempatan menunaikan haji tapi umrah. Umrah yang harus sangat disyukuri sebab tidak semua orang mendapat kesempatan itu selama hidupnya. Terngiang satu ayat, “Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?”

Perjalanan selama 9 jam ke Jeddah berjalan mulus. Penerbangan panjang tapi terasa ringan, mungkin karena suasana hati yang penuh rasa syukur. Urusan imigrasi dan bagasi di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, juga lancar.

Perjalanan diteruskan dengan bus tinggi karena di bagian bawah bus dipenuhi koper dan tas. Begitu masuk bus, aku harus naik beberapa anak tangga. Bus dengan pendingin udara terlihat mewah dan nyaman. Menurut pemandu, bus-bus mewah itu dikelola salah satu perusahaan pangeran kerajaan Saudi Arabia. Perjalanan terasa lancar karena melalui jalan tol yang membelah gurun berbatu. Bus berhenti sekali di satu supermarket untuk memberi kesempatan ke toilet.

Bus juga berhenti saat pemeriksaan paspor dan memeriksa agama penumpang bus. Penganut agama apapun diterima di Jeddah, tapi kota-kota suci seperti Mekah dan Madinah hanya bisa dikunjungi muslim atau muslimah saja.

Menjelang tengah malam tiba di Madinatul Munawaroh. Langsung ke Masjid Nabawi. Masjidnya sudah ditutup. Jadi semuanya shalat di halaman masjid yang berlantai indah. Udara begitu dingin saat tengah malam, khas gurun. Suhu gurun saat siang sangat panas, tapi ketika tengah malam dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Sampai di hotel yang terletak di dekat Masjid Nabawi, koper dan tas sudah menumpuk di depan kamar masing-masing. Waktunya istirahat. Tidak begitu terasa jetlag karena perbedaan waktu dengan Indonesia hanya 4 jam.

Sebelum waktu shalat subuh semuanya dibangunkan melalui telepon hotel. Shalat pertama di Masjid Nabawi begitu menenangkan. Hati terasa damai. Aku juga mengunjungi Raudhah dan Masjid Quba.

Perjalanan dari Madinah ke Mekah dipenuhi kumandang, "Labbaik Allohumma Labbaik..." yang membuat hati begitu terharu dan membuat mata berlinang.

Saat melihat Masjidil Haram di Makkatul Mukarrohmah untuk pertama kalinya, ada perasaan takjub, bahagia, dan banyak perasaan lainnya, sehingga mata mulai membasah. Apalagi setelah memasuki masjid megah itu dan memandang Ka’bah, rasa haru Saat melihat Masjidil Haram di Makkatul Mukarrohmah untuk pertama kalinya, ada perasaan takjub, bahagia, dan banyak perasaan lainnya, sehingga mata mulai membasah. Apalagi setelah memasuki masjid megah itu dan memandang Ka’bah, rasa haru

Setelah melaksanakan shalat sunah dua rakaat, aku bersama banyak orang di sana melakukan thawaf mengelilingi ka’bah. Shalat sunah lagi lalu melakukan sa’i, berlari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah 7 kali.

Terbayang perjuangan, kerja keras Ibu Siti Hajar yang berlari di antara dua bukit itu untuk mencari makanan dan minuman bagi dirinya dan bayinya. Akhirnya Allah membantu perjuangan keras seorang ibu itu dengan memancarkan sumber air yang sekarang dikenal dengan air zam-zam. Setelah sa’i ada tahallul, memotong sejumput rambut.

Di Mekah selain sedikit waktu untuk jalan-jalan, waktu lebih banyak dihabiskan di Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat fardhu, shalat sunah, dan membaca Al Qur’an. Ada yang menarik, beragam bangsa yang beragama Islam tumpah ruah di masjid ini. Pemandangan menakjubkan karena terasa sekali bahwa Allah yang menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Orang yang berkulit putih pucat yang disebut bule, yang berkulit putih kuning dari China, Korea, Jepang, juga yang berwarna coklat seperti orang-orang di Asia Tenggara, dan yang berwarna hitam seperti orang-orang dari negara-negara di Afrika. Semuanya bercampur baur. Manusia yang mempunyai bola mata hitam, coklat, abu-abu, hijau, dan lain-lain, juga orang bermata sipit atau bermata besar semua beribadah bersama. Subhanallah, terasa sekali kekuasaan Allah yang tak terbatas.

Aku juga mengunjungi tempat untuk melempar jumroh saat musim haji dan ke Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adam dan Hawa setelah berpisah lama.

Semua perjalanan itu terasa cepat berlalu, tapi begitu berkesan. Kesan yang membuat aku ingin lebih baik lagi dalam beribadah, ibadah khusus dan ibadah umum saat menapaki hari demi hari kehidupan ini.

Unforgettable Moment in Tongging

Oleh : Nurlaili Sembiring

Memasuki daerah dengan penduduk yang mayoritas bersuku Batak, berbalut udara yang cukup dingin dan suasana yang sangat asing kurasa seakan membawa jiwa ke ranah dunia yang tak biasa. Sebab ini merupakan kali pertama aku menjejakkan kaki ke daerah yang disebut Sipiso-piso dan juga Tongging yang merupakan daerah pegunungan di Berastagi, Sumatera Utara. Di daerah ini beberapa di antara kami memang telah pernah menapak jejak, walaupun bagi sebagian yang lain, ini adalah pengalaman pertama. Jalan yang menikung tajam, dengan tebing dan jurang yang terjal dan siap melahap setiap tubuh tanpa kompromi. Di sanalah kurasakan betapa hebatnya kekuasaan atas alam ciptaan-Nya. Bagaimanapun hanya sebuah kepasrahan manusia yang harus menjadi pelajaran paling berarti, bahwa tak layak sebuah kesombongan merangkul keangkuhan rasa. Karena kita tiada daya apapun atas kuasa-Nya.

Malam yang dingin di sanalah kami berkumpul di rumah salah satu sahabat dalam menanti pagi demi keberangkatan menuju lokasi yang dituju. Berjam-jam kami lewati kebersamaan dengan kesibukan masing-masing, ada yang sibuk memasak untuk bekal di sana, ada yang asik bercengkrama, ada pula yang menghabiskan malam dengan menonton TV. Tapi ada juga yang terlelap dalam buaian mimpi indah. Semua kami lewati dalam kebersamaan yang Malam yang dingin di sanalah kami berkumpul di rumah salah satu sahabat dalam menanti pagi demi keberangkatan menuju lokasi yang dituju. Berjam-jam kami lewati kebersamaan dengan kesibukan masing-masing, ada yang sibuk memasak untuk bekal di sana, ada yang asik bercengkrama, ada pula yang menghabiskan malam dengan menonton TV. Tapi ada juga yang terlelap dalam buaian mimpi indah. Semua kami lewati dalam kebersamaan yang

Dingin semakin merasuk ketika waktu berdetak semakin malam hingga pagi menjelang. Tepat pukul 2 dini hari semua di antara kami sibuk berberes ria demi mempersiapkan segala keperluan di tempat yang dituju. Tapi sayang, rencana yang bermula berangkat pukul 3 pagi terpaksa mundur hingga berjam-jam. Kesal, ya tentu kekesalan juga sempat merasuk jiwa-jiwa berhati di antara kami. Dikarenakan bus yang kami charter tak jua datang hingga jam yang kami janjikan tiba. Namun… keoptimisan kami untuk dapat menatap keindahan alam di Tongging tak menyurutkan niat kami untuk berangkat. Segala daya dan upaya kami lakukan untuk dapat segera berangkat termasuk menghubungi sopir yang bersangkutan hingga mengunjungi basecamp bus tersebut. Hingga kepastian atas keberangkatan pun mampu menenangkan hati dan jiwa kami. Tak sabar rasanya menatap dan merasakan suasana asri di lokasi. Ah, betapa indahnya.

Tepat pukul 04.30 bus yang dinanti pun tiba di lokasi, tempat kami menanti. Meski berjam-jam lamanya kami habiskan waktu menanti, namun tak mengapa. Semua takkan menyurutkan langkah kami tuk menatap indahnya panorama alam di Tongging. Persimpangan jalan menjadi tempat pilihan bagi kami dalam menanti bus, sebab ketaksabaran berangkat sungguh telah bergelayut di dalam dada.

Kebahagiaan merengkuh kami pada rasa saat perjalanan dalam sebuah bus yang menyatukan hati-hati kami dalam bingkai ukhuwah dan jalinan persahabatan. Inilah kami para petualang yang tetap semangat demi menaklukkan suasana di akhir pekan yang ceria, setelah menghabiskan waktu tiga hari lamanya bergelut dalam UAS di kampus. 23 orang dalam 1 bus sudah cukup bagi kami untuk menghangatkan suasana di pagi hari yang hening dan dingin. Apalagi bus yang mengangkut kami full AC hingga suasana yang kami arungi semakin dingin mencekam, namun kembali hangat dalam bingkai persahabatan.

Sesampainya di lokasi tepat pukul 09.00 pagi, di mana perut sudah mulai minta untuk segera diisi. Maka kami pun segera mencari tempat persinggahan yang asyik, demi mengisi perut yang kosong. Tapi dasar manusia super narsis, di setiap sudut jalan tak lepas dari jeprat-jepret kamera. Yah… namanya juga pengalaman pertama. Jadi sah-sah saja rasanya jika harus menjadi manusia super narsis sesaat.

Seketika mataku terbelalak menatap sebuah pemandangan indah di ujung sana. Menerawang jauh ke sebuah air terjun yang jatuh dari ketinggian yang tak biasa. Subhanaalla… pemandangan yang indah. Terbesit dalam dada untuk mengarungi langkah menuju ke dasar air terjun tersebut. Namun mampukah daku turun dengan jalan berliku lagi terjal demikian…??? Aku tak mampu menerkanya, tetapi kulihat banyak jua para akhwat yang menaklukkan jalan nan terjal tersebut hingga sampai pada dasar tepat di bawah air yang jatuh lurus dengan ketinggian yang luar biasa tersebut. Hingga hasratku pun menjulang tinggi untuk meraihnya.

Setelah mengisi perut dan berfoto-foto ria sejenak, kami pun tak lagi pikir panjang untuk turun dan menaklukkan jalan nan terjal tersebut untuk meraih air terjun tersebut. Tak heran memang bila lokasi ini dikatakan Sipiso-piso, sebab jalan tersebut memang begitu tajam dan siap menerkam setiap nyawa atas kehendak-Nya. Bermodal Bismillah kami arungi setapak demi setapak jalan nan berliku lagi terjal tersebut demi mencapai dasar yang dituju. Sempat terbayang, bagaimana jika bencana mendekap kami di sini, maka tak ada jalan untuk meminta pertolongan selain kepada-Nya. Seperti inikah gambaran kita kelak di padang mahsyar? Ketika hanya amal yang dapat menolong kita dari setiap ujian yang terlewat. Ada yang bergemuruh dalam hati, nadi berdenyut lirih dalam sebuah janji untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Bukan hal mudah menuju dasar air terjun tersebut. Stamina yang mantap dengan kemauan keras untuk menaklukkan rasa lelah menjadi salah satu faktor yang harus dikalahkan, pada diri setiap petualang. Bagi akhwat, mungkin memang butuh perjuangan keras menjalani hal ini, tapi di sanalah sebuah pembelajaran dan pengalaman baru mulai kutempuh. Bagiku… perempuan tak hanya soal fashion dan kosmetik atau kelemahlembutan semata. Bukan pula hanya berteman air mata setiap kali menghadapi masalah. Tetapi sebuah ketangguhan juga harus dimiliki. Perempuan harus kuat dan tangguh sebab hidup tak pernah membedakan kita dalam setiap ujian-Nya.

Maka di sepanjang perjalanan kutahan suaraku tuk tak bersua demi menahan lelah yang mungkin menggeluti raga sesaat. Sebab bila terlalu banyak berbicara rasa lelah pasti mendekapku dan Maka di sepanjang perjalanan kutahan suaraku tuk tak bersua demi menahan lelah yang mungkin menggeluti raga sesaat. Sebab bila terlalu banyak berbicara rasa lelah pasti mendekapku dan

Tak banyak waktu yang terlewat di sana, kami pun segera mendaki demi mencapai basecamp kembali. Sebab perjalanan kami belum usai, kami jua harus menempuh jarak menuju Tongging yang merupakan pecahan dari Danau Toba. Awal menatap pulau tersebut dari puncak Sipiso-piso, aku memang merasa seperti menatap Danau Toba yang memang belum pernah kukunjungi. Hanya saja sering kulihat di video klip lagu Karo, TV, dan juga foto-foto yang ada ^_^.

Tujuan selanjutnya adalah Tongging. Dengan 2 buah angkutan berwarna merah dan putih (kayak bendera aja) kami arungi setiap ruas jalan menuju arah yang dituju. Membutuhkan waktu ½ jam menuju lokasi hingga tibalah kami di lokasi. Subhanallah, kembali terucap dalam hati ketika menatap pulau yang begitu indah. Sungguh tak ada lukisan terindah selain lukisan-Nya. Menaiki sebuah kapal kecil menjadi salah satu pilihan kami dalam mengarungi pulau tersebut. Menatap keindahan di tengah pulau terasa begitu damai meski ketakutan jua tak dapat dipungkiri dengan cuaca yang sedikit diguyur hujan.

Menatap keindahan air yang mengalir tenang membuat decak kagum semakin nyata atas kuasa Sang Pencipta. Sungguh, Menatap keindahan air yang mengalir tenang membuat decak kagum semakin nyata atas kuasa Sang Pencipta. Sungguh,

Ah, Tongging… telah banyak kisah yang terekam bersama rekan-rekan seperjuangan di sana namun tak mampu kuceritakan setiap jejak waktu yang terlewat bersama dalam secarik kertas tak bertinta. Hanya sebuah kenangan bersama dalam menyusuri setiap sisi alam yang menjadi catatan indah tak terlupa. Tongging… kaulah yang menjadi saksi setiap jalinan kebersamaan di antara kami. Bersama sahabat… kebersamaan terangkai indah dalam catatan kehidupan. Semoga perjalanan yang memakan waktu tak terlalu banyak itu mampu mengikat setiap hati kita demi meraih mimpi yang satu.

Da’il Authaana Waghtarib 1

Oleh : Mursalim

Hari ini, aku akan mengadakan perjalanan menuju ibu kota. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Kota metropolitan yang kata orang-orang terkenal dengan berbagai macam bentuk tindak kejahatan lengkap ada di sana, kini akan kukunjungi. Ngeri rasanya jika aku teringat dengan apa yang diberitakan media tentang kejam dan sadisnya Jakarta. Tapi aku tak peduli dengan itu semua. Karena meski begitu keadaannya, banyak juga orang yang sudah berhasil mengubah kondisi ekonomi keluarganya dengan merantau ke sana. “Jika kamu ingin cepat kaya,” begitu kata teman ibuku kepada beliau. “Pergilah ke Jakarta,” sarannya. “Di sana banyak uang. Aku ini cuma seorang penjual gorengan aja sebulan bisa meraup keuntungan jutaan rupiah,” katanya meyakinkan. Dengan semakin bertambahnya penduduk dari hari ke hari, tak heran jika ibu kota yang tercinta itu sekarang menjadi semakin macet saja.

Aku bersama tiga temanku, Wawan, Roni, dan Hary pergi jauh-jauh ke Jakarta bukan untuk mencari sesuap nasi. Melainkan untuk menimba ilmu dari salah satu universitas di sana. Dari universitas itulah sebagian besar dosen kampus yang mengajar kami dulu dilahirkan.

Tinggalkanlah kampung halaman dan jadilah orang asing.

“Kalian mendaftarlah di universitas itu!” begitu kata salah satu dosen kami menyarankan.

“Maa fil muqaami lidzii ‘aqlin wa dzii adabin min raahatin. Tidak ada kata istirahat bagi orang yang berakal dan beradab. Fada’il authaana waghtaribi. Tinggalkanlah kampung halaman dan jadilah orang asing,” lanjut beliau dengan menukil syair Imam Asy-

Syafi’i yang kami pelajari dalam maaddah Al-Qira’ah 2 pada semester empat lalu.

“Saafir tajid ‘iwadhan ‘amman tufaariquhu. Merantaulah niscaya kamu akan mendapatkan ganti terhadap apa saja yang kamu tinggalkan. Wanshib fainna ladziidzal ‘aisyi fin nashabi. Berlelah- lelahlah! Karena nikmatnya hidup itu berada dalam kelelahan,” kata beliau melanjutkan bait syair selanjutnya. “Innii ra`aitu wuquufal maa`i yufsiduhu. Sesungguhnya saya melihat bahwasanya diamnya air itu merusaknya. In saala thaaba wa in lam yajri lam yathibi. Jika air itu mengalir, maka jadi baiklah air itu. Begitu sebaliknya, jika air itu diam, maka air itu tidak akan baik.”

Kata-kata beliau itu membakar semangat kami. Dan pada hari ini, kami adalah air. Air yang tidak tinggal diam saja di tempat asalnya. Air yang kini tengah bergerak ke kota yang sangat padat penduduknya dengan naik kereta api ekonomi.

Kereta api yang kini kami naiki ini memang murah. Tiap orang hanya perlu membayar ongkos tiket sebesar tiga puluh tujuh

Mata pelajaran Al-Qira’ah.

rupiah saja. Dengan ongkos semurah itu bisa sampai Jakarta yang jaraknya kurang lebih hampir mencapai lima ratus kilometer dari kota Solo. Sehingga sering terdengar di telinga kalau kereta api ekonomi merupakan kereta api yang paling merakyat.

Seumur hidupku, baru kali ini aku naik kereta api. Kubaca tulisan di tiket. Tertulis gerbang 6 No.16A. Aku sempat bingung, “Gerbong kereta itu dihitung mulai dari mana, Akh? Gerbong enamnya yang mana, Akh?” tanyaku pada Wawan yang sudah pernah naik kereta api.

“Gerbong kereta itu dimulai dari belakang lokomotif. Belakang lokomotif yang merupakan kepalanya kereta itu adalah gerbong satu. Untuk gerbong selanjutnya hitung saja secara berurutan!” jelas Wawan panjang lebar. “Nah, gerbong kita di situ,” tunjuk Wawan ke salah satu gerbong.

Dialah yang menjadi guide sekaligus amir safar kami. Karena di antara kami hanya dialah yang sudah pernah ke Jakarta.

Hampir di setiap stasiun, kereta itu berhenti. Kini sudah sampai di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Masih saja ada penumpang yang masuk meski jalan di dalam kereta sudah penuh dengan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Tak mau kalah dengan para penumpang, para penjual asongan stasiun juga berebut masuk. Penjual-penjual itu mondar-mandir berjalan sambil sesekali berteriak-teriak menjajakan barang dagangannya. Setiap penjual berteriak dengan gaya khas masing-masing.

“Air… air… air…. Aqua… Aqua… Aqua… Aqua…. Mizone… Mizone… Mizone…. Pocary… Pocary… Pocary…. Yang haus… yang haus… yang hauuus,” teriak seorang bapak-bapak sambil membawa sebotol Aqua di tangan kanannya. Sedang tangan kiri memegang berbagai macam minuman yang dipanggul di atas bahunya.

“Pop Mie… Pop Mie… Pop Mie…. Mi ayam, mi baso…. Ngopi… ngopi… ngopi, Mas… ben ora ngantuk 3 ,” teriak seorang

wanita yang berumur kira-kira tiga puluhan. “Masya Allah… di mana suaminya ya? Kok seorang istri malah jualan di kereta?” kata Rony lirih. “Nasi… nasi… nasi…. Makan, Mas? Ada ayam, ada telur,” seorang ibu-ibu menawariku. “Tidak, Bu,” jawabku sambil menggelengkan kepala.

“Pecel… pecel… pecel… pecel… pecel… pecel….” “Wingko… wingko… wingko… wingko Jogja….” “Salak… salak… salak pondoh… manis… manis….” “Nasi rames… nasi rames… nasi rames….” “Get… get… get… get… getuuuk….” Teriakan para penjual itu bersahut-sahutan, semakin

menambah keramaian kereta ini. Teriakan-teriakan itu menjadikan kereta ini ibarat pasar. Cuma bedanya, pembeli di sini hanya duduk manis saja menunggu barang yang diinginkannya, tidak perlu repot- repot mencari kesana-kemari.

Biar tidak mengantuk.

Waktu sudah memasuki waktu shalat Maghrib. “Shalli anta awwalan yaa, Hary!” 4 kata Wawan kepada Hary untuk shalat

duluan. Habis Hary shalat, aku pun shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ qashar. Seumur hidupku, baru kali inilah di atas kendaraan aku shalat dengan tayammum karena tidak ada air untuk wudhu. Ada air, tapi hanya untuk minum saja. Setelah aku shalat, tiba giliran Wawan. Dan yang terakhir shalat adalah Rony.

Aku melihat keanehan dalam kereta ini. Aku yakin, penumpang kereta ini sebagian besar adalah muslim. Tapi, mengapa aku tak melihat satu pun di antara mereka mengerjakan shalat? Apa karena mereka sedang berhalangan? Untuk wanita, aku bisa berhusnuzhan, mungkin saja mereka berhalangan. Namun, untuk laki-laki, aku tidak bisa berhusnuzhan. Yang berhalangan itu hanya khusus untuk wanita saja.

“Limaadzaa haa`ulaa`i laa yushalluun?” 5 sengaja aku bertanya dengan bahasa Arab agar tak ada penumpang lain yang

tersinggung. “Rubbamaa haa`ulaa`i laa ya’rifuun fiqhash shalah fis

safar,” 6 kata Hary.

Kamu shalatlah dulu, wahai Hary. 5 “ Mengapa mereka tidak mengerjakan shalat?”

6 “Mungkin saja mereka tidak mengetahui fiqih shalat saat bepergian.”

“Na’am shahiih…” 7 kata Rony membenarkan jawaban Hary. “Rubbamaa haa`ulaa`i lam yata’alamut tayammum, fayazhunnun

annash shalah laa tashihhu illaa bil wudhuu’ faqath.” 8 “Wa rubbamaa haa`ulaa`i laa ya’rifuun annaa haadzad diin

yusrun. Laa ‘usra fiihi wa laa masyaqqah,” 9 tambah Wawan. Mungkin benar dengan apa yang sudah teman-temanku

sampaikan. Mungkin saja mereka belum mengenal tayammum sebagai pengganti wudhu di saat air tidak ada. Mungkin saja mereka belum mengenal shalat jama’ qashar. Mungkin saja mereka belum mengenal rukhshah yang berwujud tayammum dan shalat jama’ qashar, cara shalat yang boleh dikerjakan dengan menggabungkan dua shalat dan meringkasnya.

Kereta pun terus melaju di tengah kesunyian malam. Barang- barang berharga seperti HP dan dompet telah kami simpan di tempat yang aman. Satu per satu dari kami mulai terserang kantuk yang sangat. Akhirnya kami pun tertidur. Kira-kira sebelum waktu shalat shubuh tiba, kami telah sampai di Jatinegara, salah satu stasiun yang terletak di Jakarta Timur. Itu menunjukkan bahwa kini kami telah sampai di Jakarta. Kami pun turun dari kereta. Segera aku beritahu

“Ya… benar.” 8 “Mungkin saja mereka tidak mengenal tayammum, sehingga menurut mereka, shalat itu

tidak sah kecuali hanya dikerjakan dengan berwudhu saja.”

9 “Dan mungkin saja mereka tidak mengetahui bahwa agama ini itu mudah. Tidak ada

kesulitan dan kesusahan di dalamnya.” kesulitan dan kesusahan di dalamnya.”

waghtaribi.” 10 Kini, kami benar-benar menjadi orang asing di kota ini. Tak ada seorang pun yang mengenal kami di sini.

“Tinggalkanlah kampung halaman dan jadilah orang asing.”

Semeru dan Sebuah Asa

Oleh : Sabrina NH

Aku menghela napas dan melihat sekeliling. Gumpalan awan seputih kapas mengelilingi lembah di bawahku. Relief-relief bumi

tersembul dari balik awan. Gugusan gunung di kejauhan, lembah hijau di bawahku. Seakan tidak percaya aku bisa sampai di sini.

Hari Pertama: Jumat, 17 Juni 2011

Kompas, konsumsi, headlamp, baju hangat, dan benda-benda penting lain kupastikan sudah berada di dalam carrier. Yup, kalau mau mendaki gunung peralatan itu penting. Sebab, kalau logistiknya tidak benar, nyawa kita taruhannya.

Pukul 05.30 WIB. Setelah berpamitan pada keluarga, aku pun berangkat. Diantar bapak dengan motor, kami menuju sekolah. Aku dan rekan-rekan Smalapala yang akan mendaki Gunung Semeru memang janjian berkumpul di sekolah.

Di sana ternyata sudah banyak yang berkumpul. Selain para atlet dan Support Team (ST) gunung, para atlet, dan ST tebing juga sudah berkumpul. Memang, rencananya Smalapala akan mengirim 2 tim. Ke Gunung Semeru dan ke Tebing Spikul.

Karena harus packing ulang, upacara keberangkatan yang sedianya dilakukan sejak pagi molor menjadi pukul 09.00 WIB. Setelah upacara keberangkatan selesai, kami pun saling berpamitan. Lalu kami dan tim gunung berangkat.

Dari sekolah yang terletak di tengah kota menuju terminal bus Bungurasih, berdelapan (mbak Lisa, mbak Mela, mas Wisnu, mas Doni, Nauval, Afi, Nisa, dan saya) dengan tas carrier segede bantal, kami harus mencarter mikrolet menuju ke terminal.

Setengah jam kemudian kami sampai. Alhamdulillah, baru saja keluar dari mikrolet, di depan kami lewat sebuah bus jurusan Malang. Yup, untuk menuju ke Semeru dengan kendaraan umum, harus ke terminal Arjosari, Malang. Dari sana, lanjut naik mikrolet AT menuju Tumpang. Di Tumpang, kita harus mengurus perizinan dulu di kantor TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru). Untuk mengurus perizinan, siapkan fotocopy KTP dan surat keterangan sehat. Tak lupa membayar biaya per orang dan Rp5.000,00 per kamera. Setelah itu, kita akan mendapat surat pengantar dan buku kecil mengenai TNBTS.

Tepat waktu dhuhur, kami sampai di terminal Arjosari. Karena sudah siang, kami langsung menuju salah satu warung. Makan siang dulu, dong! Kami shalat dan makan secara bergantian karena harus menjaga carrier yang kami letakkan di warung.

Kelar, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini naik mikrolet AT warna putih menuju Tumpang. Lucunya, setelah kami perhatikan mikrolet di sini namanya selalu ada huruf A. Seperti AT Kelar, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini naik mikrolet AT warna putih menuju Tumpang. Lucunya, setelah kami perhatikan mikrolet di sini namanya selalu ada huruf A. Seperti AT

Perjalanan dengan mikrolet ini rasanya cukup jauh. Kami menghabiskan waktu dengan ngobrol ngalor-ngidul di mikrolet. Setelah sampai Tumpang, kami turun dan melanjutkan naik jeep. Untuk selanjutnya jeep ini akan membawa kami langsung ke Ranu Pani, desa tertinggi di Jawa (2200 meter di atas permukaan laut).

Di sepanjang jalan menuju Ranu Pani, kami selalu menemui pemandangan sangat indah di kiri-kanan jalan. Kebun apel, bukit- bukit perkebunan. Jalan sempit yang kami lewati dengan jurang di kiri-kanan kami seakan menyuguhkan pemandangan yang berbeda di setiap belokan. Dan puncak keindahan itu adalah saat kami melihat Bromo dan lautan pasirnya dari kejauhan, dengan asap yang mengepul dari kawahnya. Waaah, keren! Pemandangan yang tak kalah indah juga adalah saat desa Ranu Pani mulai terlihat di kejauhan, di kaki gagah Gunung Semeru yang sedang mengepulkan asap.

Sampai di Ranu Pani yang udaranya mulai menggigit, sekitar pukul 17.00 WIB. Tempat ini dinamakan Ranu Pani karena ada sebuah danau (ranu) yang bernama Pani. Danau seluas 1 hektar ini berdekatan dengan pos perizinan. Dikelilingi hutan dan lapangan. Indah meski saat itu danau ini sedang tertutup alga, jadi terlihat kotor.

Nah, karena di sana ada pos perizinan (lagi), kami pun harus lapor. Bedanya dengan yang di Tumpang, di sini kami harus mengisi daftar barang bawaan. Daftarnya banyak dan detail. Misalnya saja, harus dihitung bawa baju berapa atau bawa kopi berapa. Kami juga harus menyerahkan surat pengantar yang kami terima dari kantor TNBTS tadi.

Karena kami sampai di sini menjelang malam, maka kami tak diizinkan mendaki dan harus bermalam dulu di Ranu Pani (batas waktu berangkat mendaki hanya sampai pukul 17.00 WIB). Jadilah kami mendirikan tenda. Tapi di Ranu Pani juga ada pondok pendaki. Jadi yang sedang malas mendirikan tenda bisa bermalam di sana.

Hari Kedua: Sabtu, 18 Juni 2011

Pagi-pagi aku terbangun karena mendengar bunyi gerimis. Setelah keluar, eh, ternyata bukan gerimis. Tapi embun yang menetes. Ini uniknya Ranu Pani, saking banyaknya embun sampai bisa turun seperti hujan. Bisa dibayangkan dinginnya?

Satu nesting oatmeal hangat dan susu panas menemani kami pagi itu. Cuaca buruk sejak pagi. Mendung bergayut di langit sampai siang. Gerimis juga tak berhenti. Kata bapak penjaga pondokan SAR, jika cuaca masih terus begini, kami terancam tidak bisa mendaki. Jadi ingat kata-kata seseorang, “Cuaca gunung itu layaknya hati wanita, tidak bisa ditebak.” Tapi alhamdulillah, sekitar pukul 10.00 cuaca lebih baik. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, tim atlet (mbak Lisa, Nauval, dan saya) langsung berangkat.

Pertama, jalannya aspal dengan perkebunan di kanan-kiri. Habis jalan aspal, mulai deh masuk hutan. Alhamdulillah jalannya tidak terlalu naik. Tapi dasar sayanya yang manja, baru sebentar saja kaki kanan sudah sakit. Walhasil harus diolesi balsam dan tukar carrier dengan mbak Lisa. Perjalanan dilanjutkan.

Di track ini, medan yang kami lalui adalah hutan model hutan hujan tropis. Semak-semak tumbuh subur. Bahkan tak jarang kami menemui kanopi alam yang dibentuk pepohonan rendah. Indah....

1,5 jam berjalan, akhirnya pos 1 kami temukan. Di pos yang terletak di kiri jalan ini, kami hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan. Baru di pos 2, yang kami temui 2 jam setelahnya, kami istirahat agak lama. Rintik hujan menemani kami shalat dan makan siang itu. Para pendaki lain yang juga rehat sejenak pun menjadi teman ngobrol. Walhasil, kami menemukan banyak teman baru di sini. Kami pun melanjutkan perjalanan. Pos 3. Kami lewati pos ini begitu saja karena letaknya yang terlalu dekat dengan pos 2, hanya 30 menit.

Tak lama berselang, kami menemukan plang bertuliskan “Ranu Kumbolo 500 m”. Wah, makin semangat setelah melihatnya! Tapi setelah 1 jam berjalan, kok, belum ketemu juga? Setelah 2 jam, yang jaraknya pasti lebih dari 500 meter, barulah kami bertemu hamparan rumput kekuningan dengan cekungan dalam berwarna gelap di tengahnya: Ranu Kumbolo.

Angin danau yang lembut membelai tubuh kami yang sedang mengistirahatkan kaki. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan danau biru jernih yang dikelilingi hutan dan bukit. Sungguh sepi, layaknya tanpa peradaban di sini. Sinar matahari sore memantul, membuat semua permukaan berwarna keemasan. Ranu Kumbolo, sepotong surga di Semeru.

Untuk mendirikan tenda, ternyata kami harus memutar ke sisi lain danau. Kami kembali memasuki hutan di kanan danau. 30 menit kemudian, pemandangan lain kami jumpai. Masih di Ranu Kumbolo, namun dengan puluhan tenda berdiri di tepinya.

Tak membuang waktu, kami pun mendirikan tenda pula. Susu hangat dan mie panas mengisi perut, menjadi pengantar tidur kami.

Hari Ketiga: 19 Juni 2011

Aku terbangun kedinginan. Suhu Ranu Kumbolo memang ekstrim. Saking ekstrimnya, bisa turun salju di sini. Kata orang kalau kita bangun pagi-pagi di sini, kita akan melihat semua permukaan berwarna putih karena embun yang membeku menjadi salju. Jadi setelah matahari muncul dari balik bukit, aku baru berani berjalan- jalan keluar. Tapi tetap saja embun yang membasahi kaki terasa sangat dingin menggigit.

Pagi hadir di Ranu Kumbolo. Sinar mentari jatuh ke secuil surga khatulistiwa. Kabut melayang-layang di atas danau. Pepohonan hijau keabu-abuan bergoyang ditiup angin danau. Beberapa orang Pagi hadir di Ranu Kumbolo. Sinar mentari jatuh ke secuil surga khatulistiwa. Kabut melayang-layang di atas danau. Pepohonan hijau keabu-abuan bergoyang ditiup angin danau. Beberapa orang

Sarapan dengan oatmeal dan berkemas-kemas. Kami harus mengejar waktu sampai ke Kalimati. Pukul 10.00 WIB semuaberes. Kami melangkah meninggalkan Ranu Kumbolo.

Tanjakan Cinta, nama bukit setelah Ranu Kumbolo, merupakan jalur kami selanjutnya. Mitos yang beredar, barang siapa menaiki tanjakan ini dan memikirkan terus sang pujaan hati, maka nantinya akan bisa bersanding abadi dengan kekasihnya.

Tanjakan berhasil kami lalui. Medan selanjutnya menunggu di depan: Oro-oro Ombo.

Apa nama bagi suatu padang yang penuh dengan rerumputan tinggi yang menguning, kalau bukan Afrika? Begitulah pemandangan di Oro-oro Ombo.

Kami menuruni jalan melipir bukit, lalu turun ke padang. Sungguh, berjalan di atas tanah berpasir dengan ilalang setinggi pinggang ini bagaikan menjadi petualang di Afrika!

Tapi yang namanya Semeru memang tidak ada habisnya. Setelah ‘danau Titicaca’ di Ranu Kumbolo, Afrika kecil di Oro-oro Ombo, dan sekarang hutan Cemoro Kandang.

Pohon-pohon cemara yang tinggi menjadi ciri khas hutan ini. Dengan batangnya yang lebar dan kulit pohon yang berwarna cokelat kehitaman. Sinar matahari menembus hutan karena jarak antar pohon Pohon-pohon cemara yang tinggi menjadi ciri khas hutan ini. Dengan batangnya yang lebar dan kulit pohon yang berwarna cokelat kehitaman. Sinar matahari menembus hutan karena jarak antar pohon

Sudah hampir pukul 2 siang. Hutan sudah kami lewati. Savanna membentang di depan, dengan background pepohonan di seberang padang, berdiri menunduk di kaki Mahameru. Kalimati menunggu di depan.

Pukul 14.00 WIB sampai juga kami bertiga di Kalimati. Mulailahkami berfoto ria. Apalagi di sana ada bunga edelweis, bunga putih cantik yang abadi. Tapi jangan memetik bunga ini! Bunga edelweis termasuk bunga yang dilindungi. Di Semeru, biasanya di Ranu Kumbolo,petugas memeriksa apakah pendaki membawa edelweis atau tidak. Jika membawa, maka pendaki tersebut harus mengembalikan bunga tersebut ke tempat dia memetiknya.

Puas berfoto, kami mendirikan tenda dan memasak. Mie kuah menjadi teman kami menanti maghrib. Setelah maghrib, kami harus tidur untuk menghimpun tenaga karena tengah malam nanti, kami akan mulai mendaki ke puncak.

Hari Keempat: Senin, 20 Juni 2011

Pukul 1 malam kami berangkat bersama para rombongan lain. Untuk ke puncak, cukup bawa tas ransel yang diisi barang- Pukul 1 malam kami berangkat bersama para rombongan lain. Untuk ke puncak, cukup bawa tas ransel yang diisi barang-

Barisan kami beriringan membelah padang dengan anginnya yang mendesau keras. Sinar bulan menerangi jalan setapak mendatar di depan kami. Setelahnya, kami memasuki hutan bernama Arcopodo. Jalur di sini lumayan ekstrem karena banyak terdapat jalan yang sempit dengan kanan-kiri jurang. Dengan kemiringan hampir 45 ̊ pula! Namun itu semua belum apa-apa dibanding jalan yang benar-benar mendaki ke puncak.

Jalan menuju puncak adalah jalan berpasir yang mendaki tegak lurus. Tekstur tanahnya juga gembur. Diinjak sedikit, pasirnya langsung merosot ke bawah, membawa kaki kami juga merosot ke bawah. Kalau kata senior, naik satu langkah dan turun dua langkah.

Jalur ini memakan waktu paling lama. Kami mulai memasuki jalur ini pukul tiga malam dan saat matahari sudah muncul, kami tetap saja belum sampai puncak. Berkali-kali aku istirahat karena lelah. Akibatnya, aku tertinggal di belakang.

Pukul 7 pagi. Aku gelisah. Kuutarakan kegelisahanku pada mbak Lisa dan Nauval. Aku menyarankan kami segera turun karena waktu kami sudah mepet. Gas beracun yang mematikan akan bertiup dari kawah pukul 10.00 ke atas. Padahal kami sekarang masih berada dalam zona berbahaya. Mbak Lisa tak setuju. Nauval menengahi, “Kita jalan sampai jam 8. Kalau jam 8 belum sampai puncak, kita turun.”

Kami kembali melangkah. Tapi aku sudah terlanjur paranoid. Akhirnya aku bertanya pada seorang pendaki yang baru saja turun dari puncak.

“Mas, dari sini ke puncak butuh waktu berapa lama kira- kira?” tanyaku hopeless.

“Deket, Mbak. Cuma 15 menit,” jawabnya. Mataku langsung melotot. Lima belas menit? Lima belas

menit dibandingkan perjalanan dari jam 1 sampai jam 7? Aku langsung semangat meski naik satu langkah turun satu

langkah. Lima belas menit! Hanya itu yang ada di pikiranku saat itu. Kurang lima belas menit!

Dan tanah datar itu muncul juga di hadapanku. 08.00 WIB. Puncak Semeru, Mahameru, 3676 meter dpl. Tanah tertinggi di Jawa.

Namaku Shabrina Nurulita Hariadi, seorang pelajar sebuah SMA di Surabaya. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Lahir dua hari setelah hari kemerdekaan 16 tahun yang lalu. Hobiku menulis, jalan-jalan, dan mendaki gunung. Biasanya aku melakukan hobiku tersebut dengan teman-temanku dari Smalapala (pecinta alam SMAN

5 Surabaya)

Jogja, I’m in Love

Oleh : Eka Nur Susanti

Jogjakarta, sebuah kota yang membuatku kagum. Aku selalu merindukan setiap sudut kota Jogja. Entah mengapa, aku bisa

memiliki rasa seperti ini. Mungkin ada banyak hal di Jogja yang memiliki daya magnet tersendiri hingga aku selalu merasa ingin balik ke Jogja. Sepertinya pepatah yang mengatakan ‘rumput tetangga lebih hijau’ berlaku padaku. Dalam pandanganku, Jogja lebih segalanya dari kota kelahiranku sendiri. Meskipun dalam kenyataannya ada beberapa hal dimana kota kelahiranku lebih dari Jogja.

Saking terkagum-kagumnya dengan pesona Jogja, membuatku tak menolak jika ada yang mengajakku pergi ke Jogja, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Sekitar pertengahan bulan Juli 2011 aku dan dua orang temanku melakukan perjalanan ke Jogja. Ala backpacker pun menjadi pilihan perjalanan kami meskipun bukan backpacker yang sebenarnya.

Ketika sampai di Jogja, terdapat aroma lain dari kota-kota yang pernah kukunjungi. Stasiun Lempuyangan menjadi pijakan pertama kami. Sebelumnya kami telah duduk berjam-jam di dalam kereta api ekonomi. Aku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kereta merasakan keasingan dan juga keasyikan. Asing karena aku baru tahu kehidupan di dalam kereta api yang Ketika sampai di Jogja, terdapat aroma lain dari kota-kota yang pernah kukunjungi. Stasiun Lempuyangan menjadi pijakan pertama kami. Sebelumnya kami telah duduk berjam-jam di dalam kereta api ekonomi. Aku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kereta merasakan keasingan dan juga keasyikan. Asing karena aku baru tahu kehidupan di dalam kereta api yang

Pengalaman menarik pertama dalam perjalanan menuju Kota Gudeg telah aku dan dua orang temanku peroleh di dalam kereta api. Untuk selanjutnya akan banyak lagi hal menarik yang bisa aku bagi ketika di Jogja. Salah satunya adalah pengalaman mencari tempat untuk bermalam. Inilah yang menjadi masalah kami ketika malam tiba. Kami yang masih belajar menjadi the real backpacker tidak mengandalkan hotel sebagai tempat tinggal kami. Selain masalah biaya penginapan, kita juga ingin mencari pengalaman lain yang kami yakini tidak tidur di hotel akan memberikan lebih banyak pengalaman. Kami pun berdiskusi untuk menentukan tempat yang aman untuk bermalam karena dua di antara kita termasuk aku adalah perempuan yang sangat rawan terkena gangguan para kelelawar malam. Kami juga tidak mau tidur di tengah jalan seperti tuna wisma. Akhirnya masjid pun menjadi pilihan terakhir kami. Selama tiga hari kita bermalam di tiga masjid yang berbeda. Hikmah yang bisa kita ambil adalah kita tidak kehilangan momen sholat berjama’ah meskipun hanya sholat shubuh. Bermalam di masjid Pengalaman menarik pertama dalam perjalanan menuju Kota Gudeg telah aku dan dua orang temanku peroleh di dalam kereta api. Untuk selanjutnya akan banyak lagi hal menarik yang bisa aku bagi ketika di Jogja. Salah satunya adalah pengalaman mencari tempat untuk bermalam. Inilah yang menjadi masalah kami ketika malam tiba. Kami yang masih belajar menjadi the real backpacker tidak mengandalkan hotel sebagai tempat tinggal kami. Selain masalah biaya penginapan, kita juga ingin mencari pengalaman lain yang kami yakini tidak tidur di hotel akan memberikan lebih banyak pengalaman. Kami pun berdiskusi untuk menentukan tempat yang aman untuk bermalam karena dua di antara kita termasuk aku adalah perempuan yang sangat rawan terkena gangguan para kelelawar malam. Kami juga tidak mau tidur di tengah jalan seperti tuna wisma. Akhirnya masjid pun menjadi pilihan terakhir kami. Selama tiga hari kita bermalam di tiga masjid yang berbeda. Hikmah yang bisa kita ambil adalah kita tidak kehilangan momen sholat berjama’ah meskipun hanya sholat shubuh. Bermalam di masjid

Berbicara tentang Jogja, tak pernah lepas dari tempat wisata dan Malioboro. Kedua hal itu menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan domestik maupun internasional. Beberapa daftar tempat wisata di Jogja di antaranya adalah Candi Prambanan, Candi Borobudur, taman wisata Purawisata, Keraton Jogja, dan masih banyak lagi. Dari sekian tempat wisata tersebut, hanya satu yang kita kunjungi yaitu Keraton Jogjakarta. Inilah satu-satunya tempat wisata yang murah dan banyak memberikan pengetahuan bersejarah. Hanya dengan Rp3.000,00, kita bisa mengetahui peninggalan-peninggalan Jogja dan juga para pemimpin Jogja (Sultan) terdahulu beserta keturunannya. Sungguh tempat yang menyenangkan.

Menginjak malam hari, Malioboro dan segala aktivitas di dalamnya menjadi pilihanku untuk menghabiskan waktu di Jogja. Mulai sore hari pengunjung Malioboro berdatangan dan puncak keramaiannya terjadi antara pukul 17.00 – 21.00 WIB. Malioboro tak pernah sepi dari pengunjung sekalipun bukan musim liburan. Hal yang menjadi daya tarik dari Malioboro ini adalah barang-barang Menginjak malam hari, Malioboro dan segala aktivitas di dalamnya menjadi pilihanku untuk menghabiskan waktu di Jogja. Mulai sore hari pengunjung Malioboro berdatangan dan puncak keramaiannya terjadi antara pukul 17.00 – 21.00 WIB. Malioboro tak pernah sepi dari pengunjung sekalipun bukan musim liburan. Hal yang menjadi daya tarik dari Malioboro ini adalah barang-barang

Selama di Jogja, aku dan kedua temanku menggunakan transportasi berupa bus trans Jogja. Ini pertama kalinya aku menggunakan transportasi semacam ini karena di daerahku sendiri belum ada transportasi ini. Transportasi ini sangat murah dan juga aman. Ongkos bus trans hanya dipatok Rp3.000,00 dan kita tak perlu membayar lagi jika harus ganti jurusan. Keadaan bus ini juga sangat aman dan menyehatkan. Tak ada para perokok di sini yang menjadi masalah umum transportasi di Indonesia. Dan keamanannya pun lebih terjamin dibandingkan dengan transportasi pada umumnya karena di sini tak ditemukan pencopet yang meresahkan penumpang.

Seperti itulah perjalananku ke Jogjakarta selama empat hari. Perjalanan ala backpacker bohongan ini lebih bermakna dibandingkan perjalanan dengan menggunakan rombongan seperti pada umumnya. Perjalanan yang aku alami ini mengajarkan kita untuk mandiri. Perjalanan ini juga mengajarkan kita untuk berani bertanya karena selama di Jogja, kita tak begitu paham daerah tersebut sehingga membutuhkan bantuan warga setempat untuk menunjukkan arah yang akan kita tuju. Apa yang terjadi seandainya kita malu untuk bertanya pasti kita akan kebingungan mengarungi Jogja yang begitu luas. Pengalamanku sebelumnya di Jogja juga tak Seperti itulah perjalananku ke Jogjakarta selama empat hari. Perjalanan ala backpacker bohongan ini lebih bermakna dibandingkan perjalanan dengan menggunakan rombongan seperti pada umumnya. Perjalanan yang aku alami ini mengajarkan kita untuk mandiri. Perjalanan ini juga mengajarkan kita untuk berani bertanya karena selama di Jogja, kita tak begitu paham daerah tersebut sehingga membutuhkan bantuan warga setempat untuk menunjukkan arah yang akan kita tuju. Apa yang terjadi seandainya kita malu untuk bertanya pasti kita akan kebingungan mengarungi Jogja yang begitu luas. Pengalamanku sebelumnya di Jogja juga tak

Ombak yang Tak Bersahabat

Oleh : Azma Zarqaa

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya kalau aku akan bertugas di sebuah pulau terpencil yang belum pernah aku kunjungi.

Konsisten untuk bersedia ditempatkan di mana saja itulah yang membuat aku berada di tempat itu. Sebuah kecamatan yang terletak di seberang laut tempat di mana sekarang aku mengabdi, penuh dengan kenangan yang tidak akan terlupakan.

Suatu hari ketika hendak berangkat tugas dengan menggunakan boat sebagai transportasinya karena tidak ada kapal menuju ke sana. Kebetulan jadwal boat yang berangkat hari itu sedang rusak dan sebagai gantinya kami menaiki boat yang lebih kecil dari biasanya dan juga sudah sangat tua. Perasaan kami tidak karuan ditambah dengan cuaca di langit yang hitam mendung dan tidak bersahabat. Tetapi demi menjalankan tugas mau tidak mau tetap berangkat juga. Jadilah aku dan tujuh orang temanku ketika itu berangkat dengan boat yang belum pernah kami naiki sebelumnya. Oh ya, sebelum melanjutkan ceritanya akan ku perkenalkan satu persatu ketujuh orang temanku ini.

Kak Inur, seorang bidan yang agak pendiam. Tapi kalau sudah ngomong selalu saja lucu, membuat perut sakit tertawa Kak Inur, seorang bidan yang agak pendiam. Tapi kalau sudah ngomong selalu saja lucu, membuat perut sakit tertawa

Kak Santi, juga seorang bidan. Orangnya rame, suka ceplas- ceplos, tapi asyik. Biasanya kalau sudah naik boat, ia akan langsung tidur pulas. Takut mabuk.

Kak Uul, gadis manis bermata empat (dua mata asli, dua kaca mata), seorang perawat gigi, orangnya teliti dan paling tidak pernah nyenyak tidur kalau di sana. Takut dengan kegelapan katanya. Maklum, di sana listrik cuma hidup 6 jam ketika itu.

Kak Wati, seorang dokter umum. Kalau ngomong tidak pernah lupa dengan kata-kata “cuaapek dechh” nya. Tapi orangnya asik dan nyenengin.

Bang Is, seorang perawat. Orangnya narsis abis. Hari itu pakaiannya kayak bajak laut, pakai kaca mata hitam dan kain penutup kepala. Benar-benar narsis, tapi orangnya baik hati dan suka menolong walaupun suka iseng.