2 Pimpinan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing di Kota Medan
berjumlah satu orang. 3
Ketua serikat pekerja SPSISBSI di Kota Medan, masing-masing satu orang berjumlah dua orang.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 dua alat pengumpulan data yaitu:
a.
Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil
penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan khususnya perjanjian kerja outsoursing yang selanjutnya
digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
b.
Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada narasumber yang telah ditetapkan tentang pelaksanaan perjanjian kerja
outsourcing.
4. Analisis Data
“Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan maupun studi lapangan maka data tersebut dianalisa secara kualitatif,”
48
yakni dengan mengadakan “pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungan tiap-
tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas
48
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, 1997,Jakarta, hal.10
hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, sehinga diperoleh kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.”
49
Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan
memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
49
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,Universitas Erlangga,Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik self
efident yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
BAB II KLASIFIKASI PEKERJAAN UTAMA DAN PEKERJAAN PENUNJANG
PERUSAHAAN YANG MERUPAKAN DASAR PELAKSANAAN OUTSOURCING
A. Perjanjian Kerja
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang
pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang
satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si
majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menenima upah. Iman Soepomo, “mengemukakan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, bunuh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri
untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.”
50
Perihal pengertian perjanjian kerja, ada lagi pendapat dari Subekti yang menyatakan:
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas bahasa Belanda; dierstverhanding yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu majikan
berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.
51
50
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hukum Perburuhan,PPAKRI Bhayangkari, 1968,Jakarta, hal. 9.
51
Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, cet. II, 1977,Bandung, hal. 63.
Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara
Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, 2009
Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai perjanjian kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601a KUHPerdata tersebut,
ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian
kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya. Perihal ketentuan “di bawah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk
pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara
kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini ”ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang
kedudukannya di bawah, yaitu yang diperintah, maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari
pihak majikan.”
52
Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan buruh atau pekerja, adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Jika dibandingkan
dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas
tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Ketentuan tersebut jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian pada umumnya seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, yaitu seperti yang ditentukan pada Pasal 1313 KUHPerdata, jelas bahwa kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan seimbang,
karena di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Jelaslah pengertian tentang perjanjian tersebut
berlainan jika dibandingkan dengan pengertian perjanjian kerja pada Pasal 1601a
52
Djumialdi, op. cit., hal. 31
KUHPerdata, karena di dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan dengan tegas tentang adanya dua ketentuan, yaitu tentang satu pihak yang mengikatkan diri dan
hanya satu pihak pula yang di bawah perintah orang lain, pihak ini adalah pihak buruh atau pekerja. Sebaliknya pihak yang menurut ketentuan tersebut tidak
mengikatkan dirinya dan berhak pula untuk memerintah kepada orang lain, adalah pihak Majikan atau Pengusaha.
Oleh karena itu ”perumusan tersebut bisa dikatakan kurang lengkap, maka ketentuannya kurang adil. Ketidakadilannya adalah tentang ketentuan yang diuraikan
didalamnya.”
53
”Ketidakadilan dalam KUH Perdata ini, kemungkinan besar adanya pengaruh oleh suatu pandangan dari zaman ke zaman di masyarakat manapun juga, yang
memandang bahwa orang-orang yang melakukan pekerjaan, terutama melakukan pekerjaan untuk kepentingan orang lain, sebagai orang-orang yang derajatnya sangat
rendah.”
54
Pengertian tentang perumusan dalam KUH Perdata di atas akan lain, jika perumusan tentang perjanjian kerja tersebut seperti yang dikemukakan Iman
Soepomo, yang mana beliau mengemukakan bahwa ”yang terikat dalam perjanjian kerja adalah kedua belah pihak. Pihak pertama si buruh mengikatkan dirinya untuk
bekerja dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak si majikan
53
Ibid., hal. 31-32.
54
Iman Soepomo, op. cit., hal. 57.
mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan buruh serta berkewajiban untuk membayar upah”.
55
Pengertian mengenai perjanjian kerja yang selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Iman Soepomo, adalah seperti yang diketengahkan oleh
A. Ridwan Halim, di bawah ini: ”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan-karyawan tertentu,
yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal-balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-
masing terhadap satu sama lainnya”.
56
Selanjutnya menurut Wiwoho Soedjono, pengertian ”perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak
sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan”.
57
Dengan adanya pengertian tentang perumusan perjanjian kerja tersebut, di dalam perkembangannya masalah-masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan
atau penerapan penjanjian kerja, perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk mengatasi dan menjembatani kesenjangan tersebut, perlu adanya suatu perlindungan dari pihak
lain atau pihak ketiga, guna pemberian perlindungan pada salah satu pihak. Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja,
merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika dalam suatu perjanjian antara para pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi
yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para
55
Djumialdi, op. cit., hal. 32.
56
A. Ridwan Halim, dkk., Seri Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, cet. I., 1987,Jakarta, hal. 29.
57
Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, Bina Aksara, cet. II., 1987,Jakarta, hal. 9.
pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai
aspek yang melingkari di sekelilingnya, seperti telah diuraikan sebelumnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian kerja tersebut, menjadi tidak sama dan seimbang. Perjanjian kerja jika dilihat dari segi obyeknya, maka perjanjian kerja itu
mirip dengan perjanjian pemborongan, yaitu sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan
pembayaran tertentu. Namun perbedaannya antara satu dengan yang lainnya, bahwa pada perjanjian kerja ada terdapat gabungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh
dan majikan. Sedangkan pada perjanjian pemborongan tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya mandiri.
58
2. Unsur-Unsur di dalam Perjanjian Kerja