memang bisa melimpahkan tanggung jawabnya kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. ”Bila melakukan penghematan dan pengurangan pekerja yang berstatus pekerja
waktu tidak tertentu atau pekerja tetap maka jelas akan menghadapi perlawanan sengit dan harus memberikan pesangon dan hak-hak lain yang cukup besar.”
87
Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya pro kontra dalam pelaksanaan outsourcing itu.
3. Sumber Hukum
Outsourcing a.
Outsourcing dalam KUH Perdata
Salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing adalah melalui perjanjian pemborongan pekerjaan. Dalam KUH Perdata Pasal 1601 b disebutkan perjanjian
pemborongan pekerjaan, yakni sebagai perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak
lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Ada beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan sebagaimana
diatur dalam ketentuan KUH Perdata, yakni sebagai berikut: a. Jika telah terjadi kesepakatan dalam pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah
mulai dikerjakan, pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan.
b. Pemborongan pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong namun pihak yang memborongkan diwajibkan membayar kepada ahli waris si
pemborong harga pekerjaan yang telah dikerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan.
c. Si Pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang yang telah dipekerjakan olehnya.
d. Buruh yang memegang suatu barang kepunyaan orang lain, untuk mengerjakan sesuatu pada barang tersebut, berhak menahan barang itu sampai biaya dan upah-
upah yang dikeluarkan untuk barang itu dipenuhi seluruhnya, kecuali jika pihak
87
Ibid., hal. 26.
yang memborongkan telah memberikan jaminan secukupnya untuk pembayaran biaya dan upah-upah tersebut.
88
b. Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengatur dan melegalkan outsourcing. Istilah yang dipikai adalah perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyedia jasa buruhpekerja. Dalam Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan penyedia jasa pekerjaburuh yang dibuat secara tertulis.
Pekerjaan yang dapat diserahkan untuk di-outsource adalah pekerjaan yang: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak meghambat proses produksi secara langsung. Selain itu, perusahaan pemborong pekerjaan harus berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Jika persyaratan di atas tidak dipenuhi, demi hukum status hubungan kerja pekerjaburuh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerjaburuh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Syarat lain dalam outsourcing yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
88
Lalu Husni, hal. 178-179.
a. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja harus sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. b. Hubungan kerja dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan
perjanjian kerja waktu tertentu sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
c. Pasal 59 menyebutkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama tiga tahun; 3. pekerjaan yang bersifat musiman;
4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
89
Perusahaan penyedia buruhpekerja harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Adanya hubungan kerja anrara pekerjaburuh dan perusahaan penyedia jasa
pekerjaburuh. b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 danatau perjanjian kerja waktu tidak
tentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh.
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerjaburuh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
90
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi No. Kep- 101MenVI2004 tentang Tara Cara Perizinan Perusahaan Penyedja Jasa
BuruhPekerja disebutkan, apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan
89
Ibid., hal. 180.
90
Ibid., hal. 181.
dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaan buruh dari perusahaan penyedia jasa;
b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana maksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerjaburuh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh; c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh bersedia menerima
pekerjaburuh dari perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, dalam
hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja buruh.
C. Perlindungan Hukum Dalam Outsourcing
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua
bidang. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan
fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang
kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa
kalau kemudian muncul kecenderungan ”outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri
kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.”
91
Praktik sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerjaburuh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetapkontrak
perjanjian kerja waktu tertentu, upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan
pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan
pekerjaburuh dan membuat kaburnya hubungan industrial. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang No. 13 lahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerjaburuh dalam melaksanakan outsourcing.
Kalaupun ada, barangkali Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP- 100MENVI2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing. Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat
memberikan perlindungan hukum terhadap pekerjaburuh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya
dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
91
Muzni Tambusai, “Pelaksanaan Outsourcing Ditinjau dari Aspek Hukum Ketenagakerjaan Tidak Mengaburkan Huhungan Indusirial”, dalam Informasi Hukum Vol. 1 Tahun VI, 2004.
Pengaturan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu
bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerjaburuh. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan
perjanjian kerja waktu tertentukontrak, sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara
jelas dalam Pasal 65 ayat 6 dan 7 dan Pasal 66 ayat 2 dan 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat
sulit untuk mendefinisikan atau menentukan jenis pekerjaan yang dikategorikan penunjang. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga
dilatarbelakangi oleh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dan kondisi tersebut. Di samping itu, bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat
bervariasi dan beberapa perusahaan multinasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru pola kemitraan usaha, menambah semakin kompleksnya kerancuan
tersebut. Oleh karena itu, melalui Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
diharapkan mampu mengakomodasi atau memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan tersebut dengan mempertimbangkan masukan dan
semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa. Selain upaya tersebut, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan
menetapkan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokokutama core business; di luar itu berarti pekerjaan
penunjang. Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan
pekerjaburuh dan serikat pekerjaserikat buruh serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam peraturan perusahaanperaturan kerja bersama.
Dengan demikian, pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerjaburuh. Bahwa dalam praktiknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan
karena aturannya itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerjaburuh, diperlukan pengawas
ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat di samping perlunya kesadaran dan iktikad baik semua pihak.
D. Klasifikasi Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Penunjang Perusahaan Yang
Merupakan Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerjaburuh dari perusahaan penyediaan jasa pekerja
outsourcing tidak boleh digunakan oleh perusahaan pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi. Jadi pekerjaan yang dapat dilakukan secara outsourcing hanya kegiatan jasa penunjang dalam perusahaan pemberi kerja tersebut. Kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi, sesuai penjelasan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok core business suatu perusahaan. Kegiatan tersebut, antara lain, usaha pelayanan kebersihan cleaning service, usaha
penyediaan makanan bagi pekerjaburuh catering, usaha tenaga pengaman
securitysatuan pengamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerjaburuh.
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat
dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dan kegiatan utama, b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
92
Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan adalah adanya ketentuan bahwa perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan
penerima kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat- syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan
penerima pekerjaan dengan pekerjaburuh yang dipekerjakannya, yang dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Apabila ketentuan sebagai badan hukum danatau tidak dibuatnya perjanjian secara tertulis tidak dipenuhi, demi hukum
status hubungan kerja pekerjaburuh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja antara pekerjaburuh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan. Hal ini menyebabkan hubungan kerja beralih antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan, dapat berupa waktu tertentu atau untuk waktu
tertentu, tergantung pada bentuk perjanjian kerja semula Pasal 64 dan 65 Undang-
92
Mohd. Syaufii Syamsuddin, “Peluang dan Tantangan Penyerahan Sehagian Pekerjaan Kepada Pihak Ketiga Outsourcing”, dalam Informasi Hukum Vol. 3 Tahun VII, 2005.
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengusaha yang memasok penyediaan tenaga kerja kepada perusahaan pemberi kerja untuk melakukan
pekerjaan di bawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, disebut perusahaan penyedia jasa pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja wajib berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan Apabila tidak dipenuhi ketentuan sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja, demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, beralih menjadi hubungan kerja antara pekerjaburuh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pekerjaburuh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan proyek atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Adapun yang dimaksud dengan
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok suatu
perusahaan. Kegiatan tersebut, antara lain usaha pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerjaburuh, tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerjaburuh. Perusahaan penyedia jasa pekerja yang memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah
pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaburuh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja. Menurut keterangan responden, dalam perjanjian kerja outsourcing telah
ditentukan mengenai uraian-uraian pekerjaan yang dikerjakan oleh karyawan outsourcing itu, sebagaimana terlihat pada Pasal 1 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning
Service Nomor 01SUU-UPISS-CSI2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia, yaitu:
1. Pihak Pertama PT. Supra Unilai Utamapengguna jasa dengan ini mengikatkan diri untuk menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada Pihak Kedua PT. ISS
Indonesiapenyalur tenaga outsourcing yang dengan ini menerima penyerahan Pekerjaan ”Cleaning Service” selanjutnya disebut ”Pekerjaan di Gedung Pihak
Pertama. Lingkup dan rincian pekerjaan yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh Pihak
Kedua sebagaimana termuat dalam Lampiran I, Lampiran II dan Lampiran III, yang dilampirkan dalam Perjanjian ini dan merupakan satu kesatuan dan bagian
yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.
2. Apabila Pihak Pertama membutuhkan Pihak Kedua untuk melakukan pekerjaan selain yang dimaksud pada Pasal 1 di atas, maka Pihak Pertama menyetujui untuk
membayar Pihak Kedua pada waktu Pekerjaan tersebut dilaksanakan dan penyesuaian-penyesuaian dimaksukkan ke dalam isi pekerjaan internal dalam
Perjanjian ini.
Tenaga Cleaning Service yang ditempatkan Pihak Kedua di Gedung Pihak Pertama tetap berstatus sebagai karyawan Pihak Kedua, dan Pihak Pertama dibebaskan
danatau tidak bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menyangkut hubungan ketenagakerjaanindustrial antara tenaga cleaning service dengan Pihak
Kedua, kecuali terhadap apa yang diatur sebagai tanggung jawab Pihak Pertama dalam Perjanjian ini.
93
Jadi, dalam perjanjian kerja outsourcing, maka harus secara jelas ditentukan mengenai jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh tenaga kerja outsourcing oleh
perusahaan penerima tenaga kerja outsourcing, walaupun kewajiban mengenai upah adalah kewajiban dari pihak penyalur tenaga kerja. Kemudian dalam penggunaan
tenaga kerja outsourcing pada perusahaan tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, karena pekerjaan cleaning service
adalah bukan pekerjaan pokok hanya sebagai pekerjaan penunjang dalam suatu perusahaan. Dengan cara menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada pihak ketiga,
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diutarakan di atas, dalam menjalankan usahanya
93
Wawancara dengan Bapak Houtman Simanjuntak, selaku Presiden Direktur PT. ISS Indonesia perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing di Kota Medan, tanggal 17 Juni 2009 di
Medan.
memberi peluang kepada para pengusaha untuk melakukan efisiensi dan dapat terhindar dan risikoekonomis, seperti perselisihanPHK, jaminan sosial, dan
kesejahteraan lainnya. Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan di perusahaan kepada pihak ketiga, melalui suatu hubungan hukum antara dua perusahaan yang
masing-masing berbadan hukum, bagi perusahaan yang dapat melaksanakan peluang itu secara baik dan benar, akan dapat tertolong dari resiko perburuhan, seperti
perselisihan danatau PHK, yang tidak jarang menyita waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Untuk itu pengusaha perlu mengetahui dan mengatasi segala bentuk
penyimpangan yang dapat terjadi, agar dalam pelaksanaannya tidak sampai mengganggu kelancaran perusahaan atau merugikan perusahaan.
Tantangan pertama dalam pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga ini adalah menentukan pekerjaan apa saja yang merupakan pekerjaan
pokok, yang tidak dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Untuk itu perlu disusun suatu
daftar pekerjaan yang menjadi pekerjaan utama dan yang bersifat terus-menerus di dalam perusahaan. Apabila ini sulit, dilakukan hal yang sebaliknya, yaitu dengan
membuat daftar pekerjaan yang bukan pokok danatau dilakukan tidak terus-menerus di dalam perusahaan. Memang untuk pertama kali mungkin hal ini tidak mudah
dikerjakan, tetapi apabila cara ini dapat diselesaikan dengan baik, ke depan akan sangat membantu perusahaan dalam melakukan penyerahan pekerjaan kepada pihak
ketiga.
94
Dalam praktiknya sulit menentukan mana yang merupakan pekerjaan pokok, atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, dan mana yang bukan.
Untuk itu disusunlah daftar pekerjaan utama dan yang bersifat terus-menerus, atau yang sebaliknya. Supaya daftar pekerjaan dimaksud mendapat legalisasi hukum yang
kuat, daftar tersebut dimasukkan ke dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dengan disahkannya sebuah peraturan perusahaan atau didaftarkannya
94
Andrian Sutedi, op. cit., hal. 228.
sebuah perjanjian kerja bersama, instansi ketenagakerjaan telah ikut mengetahui adanya bentuk kegiatan dimaksud di dalam perusahaan, melalui pengesahan
peraturan perusahaan atau pendaftaran perjanjian kerja bersama. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila kelak terjadi perselisihan.
Hal berikutnya yang harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis.
Khususnya dalam membuat perjanjian dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, ditentukan sekurang-kurangnya perjanjian tersebut memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerjaburuh dan perusahaan penyedia jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerjaburuh yang dipekerjakan
perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat- syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja; c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja
dari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.
BAB III HUBUNGAN HUKUM ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN
PERUSAHAAN PENGGUNA JASA OUTSOURCING A.
Hubungan Hukum Antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan Penyedia Jasa Karyawan
”Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja hendak menunjukkan kedudukan kedua pihak itu
yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban majikan terhadap buruh.”
95
Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh
mengikatkan dirinya pada pihak lain, majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah; dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh
dengan membayar upah. ”Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat
oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang
dibuat oleh pengusaha.”
96
Jadi hubungan kerja merupakan hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha yang menggambarkan hak-hak dan kewajiban tenaga kerja
terhadap pengusaha serta hak-hak dan kewajiban pengusaha terhadap tenaga kerja.
95
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, 1990,Jakarta, hal. 1
96
Zainal Asikin. et. al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raka Grafindo Persada, 1997,Jakarta, hal. 51
Swary Natalia Tarigan : Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara
Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, 2009
Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerjapengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak mulai dari saat hubungan kerja itu terjadi hingga berakhirnya hubungan kerja. Dalam perjanjian kerja
juga harus jelas hubungan kerja tersebut termasuk hubungan kerja untuk waktu tertentu PKWT atau untuk waktu tidak tertentu PKWTT.
Demikian juga halnya dengan hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang juga dilakukan atas dasar adanya
perjanjian kerja di antara para pihak. Dimana dari hasil penelitian, pada perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan karyawan,
berbeda-beda perjanjian kerja tersebut. Artinya ada yang dilakukan secara PKWT dan ada juga yang dilakukan secara PKWTT tergantung dari jenis jabatan yang
dibutuhkan pada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tersebut, sebagaimana terlihat pada perjanjian-perjanjian kerja berikut ini:
1. ”Perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia tenaga kerja dengan karyawan, yaitu antara PT. ISS Indonesia, dengan judul Perjanjian Kerja, untuk
jabatan Cleaner, secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk mengadakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.”
97
2. ”Perjanjian kerja yang dilakukan PT. ISS Indonesia, dengan judul Perjajian Kerja, untuk jabatan Service Supervisor Medan, dinyatakan Pihak Pertama menerangkan
97
Perjanjian Kerja antara PT. ISS Indonesia dengan Karyawan, tanggal 3 April 2008.
bahwa Pihak Kedua telah cukup cakap untuk diangkat atau ditetapkan menjadi karyawan tetap”.
98
3. ”Kemudian pada perjanjian antara PT. Securindo Packatama Indonesia dengan karyawan, dengan judul Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, juga telah ditentukan
Perjanjian Kerja ini berlaku untuk jangka waktu tertentu terhitung sejak tanggal sampai dengan tanggal yang telah ditentukan.”
99
Dari perjanjian kerja yang dilakukan perusahaan penyedia tenaga kerja dengan karyawan di atas, terlihat perjanjian kerja itu dilakukan secara perjanjian waktu
tertentu PKWT ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWTT, tergantung dari jenis pekerjaan atau jabatan yang dibutuhkan perusahaan penyedia jasa karyawan
tersebut. ”Dalam UU Ketenagakerjaan ditentukan, dalam perjanjian kerja waktu tertentu PKWT maka tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan, dan
apabila diisyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja kerja waktu tertentu PKWT masa percobaan kerja yang diisyaratkan batal demi hukum.”
100
Sedangkan untuk ”perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu PKWTT dapat mensyaratkan
masa percobaan kerja paling lama 3 tiga bulan, dan dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.”
101
Hubungan hukum antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawan adalah hubungan kerja atas dasar perjanjian kerja, yang mana perjanjian kerja
98
Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSIND HRD0183IV2008 tanggal 01 April 2008.
99
Point 4 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara PT. PT. Securindo Packatama Indonesia dengan karyawan.
100
Pasal 58 UU Ketenagakerjaan.
101
Pasal 60 UU Ketenagakerjaan.
tersebut dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu PKWT maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWT, tetapi yang pasti bahwa karyawan
yang melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja itu adalah sebagai karyawan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja perusahaan
outsourcing. Maka menjadi kewajiban bagi perusahaan penyedia jasa untuk memenuhi hak-hak normatif karyawan, seperti upah kerja, biaya pengobatan, THR,
asuransi ataupun hak cuti, demikian juga halnya dalam pemutusan hubungan kerja PHK. Dimana kewajiban itu dapat terjadi karena telah diperjanjikan terlebih dahulu
ataupun karena memang diharuskan oleh UU Ketenagakerjaan. Pada Perjanjian Kerja antara PT. ISS Indonesia selaku perusahaan penyedia jasa
dengan karyawan, ditentukan hak-hak karyawan itu adalah: 1. Karyawan berhak atas gaji kotor dan transport telah ditentukan
2. Karyawan berhak mendapat Tunjangan Hari Raya THR sebesar 1 satu bulan gaji pokok bilamana karyawan itu pada Hari Raya Idul Fitri telah bekerja satu
tahun. THR akan dibayarkan 2 minggu sebelum hari raya, dengan catatan karyawan sebelum hari raya tersebut masih bekerja pada perusahaan.
3. Karyawan berhak atas tunjangan pengobatan. Setiap kwitansi akan diganti sebesar 85 dari setiap klaim sampai batas maksimum sebesar satu bulan gaji
bruto per tahun. Penggantian biaya pengobatan tersebut terbatas kepada diri sendiri, 1 orang istri, dan 3 orang anak yang dilahirkan dari istri yang sah hanya
berlaku untuk Service Supervisor laki-laki.
4. Karyawan diasuransikan terhadap risiko biaya perawatan di Rumah Sakit Asuransi Rawat Inap dan tindakan-tindakan medis lainnya seandainya
diperlukan. Biaya ditanggung Asuransi untuk setiap kasus maksimum setiap tahun.
5. Karyawan diikut sertakan dalam Asuransi kecelakaan yang iurannya ditanggung oleh perusahaan.
6. Karyawan berhak atas cuti selama 12 dua belas hari kerja.
102
102
Pasal 3 Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSINDHRD0183IV2008 tanggal 01 April 2008.
Sedangkan yang menjadi tugas dan kewajiban karyawan adalah: 1. Karyawan wajib tunduk kepada perintah atau instruksi atasan di tempat kerja
dengan batasan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. 2. Karyawan wajib tunduk kepada Peraturan Perusahaan yang berlaku.
3. Karyawan wajib memberitahukan kepada atasannya bila hendak izin tidak masuk kerja.
103
Dari perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa karyawan di atas, telah diatur mengenai hak-hak karyawan, seperti upah, THR, biaya pengobatan,
asuransi dan juga diatur hak cuti bagi karyawan.
B. Hubungan Hukum Antara Karyawan Outsourcing Dengan Perusahaan
Pengguna Jasa
Hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa adalah atas dasar perjanjian antara perusahaan penyedia jasa karyawan dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Sebelum terjadi perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dengan pengguna jasa, telah didahului adanya perjanjian kerja antara
karyawan yang akan dikerjakan secara outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa. Perusahaan pemberi pekerjaan sepakat untuk memberikan pekerjaan kepada
perusahaan penyedia jasa karyawan, maka sesuai Pasal 4 Kep.101MenVI2004 kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurang-
sekurangnya: 1. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh karyawan outsourcing dari perusahaan
jasa.
103
Pasal 4 Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan PT. ISS Indonesia, Reff No. ISSINDHRD0183IV2008 tanggal 01 April 2008.
2. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan karyawan outsourcing. Dengan
demikian, perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja outsourcing. Setiap perjanjian penyediaan jasa karyawan outsourcing antara perusahaan
pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa karyawan harus didaftarkan di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupatenkota tempat
perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan Pasal 5 Kep.101MenVI2004, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pendaftaran di Instansi di Bidang Ketenagakerjaan Provinsi, dalam hal
perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan di perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupatenkota dalam
satu provinsi.
b. Pendaftaran di Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, dalam hal perusahaan penyedia jasa karyawan melaksanakan pekerjaan menyediakan jasa
pekerja di perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi.
Perusahaan penyedia jasa karyawan yang tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa karyawan outsourcing ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sesuai ketentuan di atas, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupatenkota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa
karyawan berhak mencabut izin operasional perusahaan penyedia jasa karyawan yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di provinsi dan atau dan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
104
”Dalam hal izin operasional suatu perusahaan penyedia jasa karyawan dicabut karena tidak melakukan pendaftaran perjanjian kerja tersebut, maka hak-hak karyawan tetap
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa karyawan yang bersangkutan.”
105
Menurut keterangan responden, perusahaan pemberi kerja perlu memperhatikan persyaratan status badan hukum perusahaan penyedia jasa karyawan
104
Pasal 7 ayat 1 Kep.101MenVI2004.
105
Pasal 7 ayat 2 Kep.101MenVI2004.
outsourcing sebelum melakukan perjanjian kerja, karena suatu kewajiban bagi perusahaan penyedia jasa memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupatenkota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa karyawan, yang terlihat dari dokumen kelengkapan perusahaan itu,
antara lain: a. “Anggaran dasar yang memuat kegiatan usaha penyedia jasa karyawan.
b. Surat Izin Usaha Perusahaan SIUP c. Wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.”
106
UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perusahaan penyedia jasa karyawan outsourcing untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan penyedia jasa karyawan;
b. Perjanjian kerja yang berlaku antara karyawan dan perusahaan penyedia jasa karyawan adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang memenuhi ketentuan,
danatau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihannya menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan dibuat secara tertulis dan wajib memuat
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.
106
Wawancara dengan Bapak Paulus Tamie, selaku Direktur PT. Supra Uniland Utama di Medan, tanggal 18 Juni 2009 di Medan.
Persyaratan ini tentunya diawasi oleh perusahaan pemberi kerja, agar tidak terjadi pelanggaran hukum oleh perusahaan pemberi jasa karyawan, yang dapat mengganggu
kelancaran jalannya perusahaan. Perusahaan pengguna karyawan outsourcing harus mengawasi bahwa karyawan itu telah memperoleh hak yang sama dari perusahaan
penyedia jasa, sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama PKB atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul dengan karyawan di perusahaan pengguna jasa pekerja. Apabila hak karyawan outsourcing ini tidak dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa,
maka berpotensi menimbulkan perselisihan hak karena tidak ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh perusahaan, yang juga berdampak
para perusahaan pemberi kerja. Hak-hak karyawan sebagaimana diuraikan di atas, dapat terlihat dari perjanjian
kerja yang dilakukan perusahaan penyedia jasa karyawan dengan karyawan yang akan dikerjakan secara outsourcing itu. Selain itu juga sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa perjanjian kerja penggunaan karyawan outsourcing dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pengguna jasa, bukan
oleh karyawan dengan pemberi kerja, yang juga dilakukan secara tertulis untuk mengatur hak dan kewajiban dari para pihak tersebut.
Dari hasil penelitian, pada Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service antara PT. Supra Uniland Utama selaku perusahaan penerima jasa dengan PT. ISS Indonesia
selaku perusahaan penyalur karyawan outsourcing diketahui bahwa: 1. Tanggung Jawab dan kewajiban Pihak Pertama perusahaan pengguna jasa
adalah melaksanakan pembayaran atas hasil Pekerjaan Pihak Kedua perusahaan penyedia jasa yang sesuai dengan ketentuan Perjanjian ini.
2. Pihak Kedua dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk;
a. Mengikuti prosedur tata tertib dan pedoman kerja dari Pihak Pertama; b.
Menyediakan tenaga kerja yang trampil dan berpengalaman untuk melaksanakan Pekerjaan sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 di atas,
termasuk staf pengawaspelaksana lapangan, dan tenaga kerja Iainnya yang sesuai dengan kebutuhan Pihak Kedua;
c. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk melaksanakan Pekerjaan sesuai dengan yang telah disepakati Para Pihak, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian ini; d. Menyediakan peralatan dan perlengkapan kerja yang berada dalam kondisi
baik dan siap pakai untuk melaksanakan pekerjaan; e. Atas permintaan secara tertulis dari Pihak Pertama, mengganti tenaga kerja
Pihak Kedua dalam hal tenaga kerja tersebut tidak mematuhi tata tertib Pihak Pertama, indisipliner, berbuat tindak pidana, keributan, tidak trampil bekerja,
ataupun alasan lain dari Pihak Pertama;
f. Memberikan segala hak dan tenaga kerja Pihak Kedua, terutama mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kenja Jamsostek, Jaminan Kecelakaan Kerja,
Jaminan Kematian dan asuransi tenaga kerja lain, seragam dan tunjangan- tunjangan namun tidak terbatas pada tunjangan kesehatan, dan tunjangan
lainnya yang diwajibkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g. Menyelesaikan masalah perburuhan yang timbul dari dan dengan tenaga kerja Pihak Kedua berkenaan dengan pelaksanaan Penjanjian dan membebaskan
Pihak Pertama dari gugatan dalam bentuk apapun dari tenaga kerja Pihak Kedua;
h. Merahasiakan segala sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan Pihak Pertama, dan tidak memberitahukan mengungkapkan atau
membeberkan kepada pihak lain, segala hal yang berkaitan dengan hubungan kerja antara para pihak, serta tidak memperbanyak, menggandakan, meniru,
baik untuk tujuan pemakaian sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Pihak Pertama, segala sistem,
data, infonmasi, gambar-gambar dan mengetahui bagaimana yang telah atau sedang dipergunakan oleh Pihak Pertama dalam melaksanakan rangkaian
kegiatan-kegiatan usaha yang diketahui atau akan diketahui oleh Pihak Kedua danatau tenaga kerja Pihak Kedua
107
Dalam perjanjian di atas terlihat bahwa tanggung jawab dan kewajiban dari perusahaan pengguna karyawan outsourcing sebagaimana disebutkan pada point 1
adalah melaksanakan pembayaran atas hasil pekerjaan perusahaan penyedia jasa
107
Pasal 6 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01SUU-UPISS-CSI2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
kepada perusahaan penyedia jasa. Sedangkan yang akan membayar gaji karyawan outsourcing adalah perusahaan penyedia jasa yang telah menerima pembayaran dari
perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing tersebut. Demikian juga mengenai hak karyawan outsourcing atas jaminan sosial tenaga kerja Jamsostek, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian dan asuransi tenaga kerja itu sesuai point 2f di atas, adalah menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari perusahaan penyedia jasa
karyawan outsourcing tersebut. Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah perlindungan kerja dan syarat-
syarat kerja di perusahaan penerima kerja. UU Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa syarat kerja bagi karyawan outsourcing yang bekerja pada perusahaan penerima
kerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sementara bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud dilakukan dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakannya. Perjanjian kerja dimaksud dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
PKWTT atau perjanjian kerja waktu tertentu PKWT. Dalam perjanjian kerja jasa cleaning service yang dilakukan perusahaan penerima karyawan outsourcing dengan
perusahaan penyedia jasa karyawan, antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia dilakukan dalam perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 bagian 1 perjanjian tersebut ditentukan: Perjanjian ini telah mulai berlaku terhitung sejak tanggal 1 satu Januari 2009 dua ribu sembilan dan
diperbuat untuk jangka waktu 1 satu tahun lamanya, oleh karena itu akan berakhir pada tanggal 31 tiga puluh satu Desember 2009 dua ribu sembilan.
108
Merujuk ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembuatan PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. 2. Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia.
3. Tidak boleh ada masa percobaan. 4. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertertu. 5. Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Syarat kerja yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Kemudian perjanjian kerja waktu tertentu PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah perjanjian kerja yang didasarkan
atas selesainya pekerjaan tertentu, yang dibuat untuk paling lama tiga tahun. Apabila pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat
dari yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Sementara itu, bagi pengusaha yang mempekerjakan karyawan
berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, harus memuat daftar nama karyawan yang melakukan pekerjaan tambahan.
108
Pasal 2 bagian 1 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01SUU-UPISS- CSI2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu, harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Namun, karena kondisi
tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pcmbaharuan perjanjian kerja waktu tertentu.Berdasarkan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, perubahan
perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu 30 hari
itu, tidak ada hubungan kerja antara pekerjaburuh dan pengusaha. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan di atas yang dituangkan dalam perjanjian.
Dalam perjanjian kerja jasa cleaning service yang dilakukan perusahaan penerima karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa karyawan, antara
PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia, pada Pasal 2 bagian 2 perjanjian ditentukan:
Apabila Perjanjian ini hendak diperpanjang jangka waktunya oleh Para Pihak, maka Pihak Kedua PT. ISS Indonesiaperusahaan penyedia jasa harus dan wajib
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pihak Pertama PT. PT. Supra Uniland Utamaperusahaan pengguna karyawan outsourcing terlebih dahulu 3 tiga
bulan sebelum berakhirnya Perjanjian ini, apabila Perjanjian ini diperpanjang kembali maka akan dibuatkan suatu perjanjian dengan syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh Para Pihak dan apabila Perjanjian ini tidak diperpanjang maka Perjanjian ini tetap berakhir pada tanggal 31 tiga puluh
satu Desember 2009 dua ribu sembilan.
109
Perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan untuk pekerjaan musiman, yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, hanya dapat
dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Perjanjian kerja waktu
109
Pasal 2 bagian 2 Perjanjian Kerja Jasa Cleaning Service Nomor: 01SUU-UPISS- CSI2009 antara PT. Supra Uniland Utama dengan PT. ISS Indonesia.
tertentu yang dilakukan untuk pekerjaan musiman tidak dapat dilakukan pembaruan. Adapun pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat
dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu sebagai pekerjaan musiman. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target
tertentu dimaksud hanya diberlakukan untuk karyawan yang melakukan pekerjaan tambahan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat pula dilakukan untuk melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Penjanjian kerja waktu
tertentu dimaksud hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama satu tahun. Perjanjian kerja waktu
tertentu dimaksud tidak dapat dilakukan pembaruan. Perjanjian kerja waktu tertentu seperti ini, hanya boleh diberlakukan bagi karyawan yang melakukan pekerjaan di
luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap karyawan yang
berubah hubungan kerjanya menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu PKWTT maka hak-hak karyawan dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi perjanjian kerja waktu tak tertentu PKWTT. Dengan demikian baik dari perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa dengan
karyawan, maupun dari perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa dengan penyedia jasa sebagaimana di atas, secara tegas dalam perjanjian itu disebutkan
bahwa hak-hak karyawan seperti upah, biaya pengobatan, asuransi ataupun jaminan sosial tenaga kerja Jamsostek, bahkan adalah menjadi tanggung jawab pihak
perusahaan penyedia jasa karyawan. Bahkan menyelesaikan masalah perburuhan yang timbul dari dan dengan karyawan outsourcing berkenaan dengan pelaksanaan
perjanjian dan membebaskan perusahaan pengguna jasa dari gugatan dalam bentuk apapun dari karyawan outsourcing tersebut.
Oleh karena itu tidak ada hubungan organisatoris antara perusahaan pengguna dengan karyawan outsourcing karena secara resmi karyawan outsourcing adalah tetap
karyawan dari perusahaan outsourcing. Gaji dibayar oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja.
Perintah kerja walaupun sejatinya diberikan oleh perusahaan pemakai karyawan outsourcing akan tetapi resminya juga diberikan oleh perusahaan outsourcing dan
biasanya perintah itu diberikan dalam bentuk paket.Cara seperti ini melindungi perusahaan pemakai karyawan outsourcing dan kerepotan dalam hubungan karyawan
dan majikan bagi perusahaan pemakai karyawan outsourcing. Perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai kesulitan tentang tuntutan kenaikan upah UMR, tidak
menanggung biaya kesehatan, biaya pemutusan hubungan kerja dengan karyawan outsourcing, dan lain-lain hal yang sepatutnya menjadi beban majikan. Bahkan dapat
juga diperjanjikan bahwa semua kerugian dan tuntutan disebabkan kesalahan pihak karyawan menjadi tanggung jawab pihak perusahaan outsourcing. ”Bagi karyawan
outsourcing maka cara kerja seperti ini adalah cara kerja yang sangat menyudutkan karena tidak dapat menuntut apapun kepada perusahaan di mana dia sebenarnya
bekerja. Keluhan tidak dapat disampaikan kepada perusahaan karena perusahaan
outsourcing biasanya adalah perusahaan yang tidak mempunyai asset apapun sehingga percuma saja menuntut kepada perusahaan ini.”
110
Bila terjadi pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan pemakai maka karyawan outsourcing ini juga tidak akan mendapatkan hak-hak normatif layaknya
karyawan biasa walaupun sudah lama bekerja pada perusahaan pengguna karyawan outsourcing. Masa kerja tidaklah merupakan faktor penentu karena tiap tahun kontrak
diperbaharui sehingga karyawan mulai dari nol tahun. Hak lainnya seperti Pesangon pasal 156 ayat 2 UU No 13 tahuan 2003, UMP pasal 156 ayat 3 UU No 13 Tahun
2003, Uang penggantian perumahan dan pengobatan sesuai pasal 156 ayat 4, Uang Pengganti cuti tahun yang bersangkutan saat penghentian hubungan kerja serta uang
gaji yang dihitung sejak diberhentikan sampai keputusan pengadilan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat sekarang melalui Peradilan Hubungan
IndustrialPHI
111
, semua bukan menjadi hak karyawan outsourcing. Semua hal ini bisa diselesaikan bilamana perkara pemutusan hubungan kerja PHK
itu dibawa ke persidangan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan sekarang PHI yang memutuskan berlandaskan Pasal 59 Undang Undang No 13 tahun 2003.
Karyawan outsourcing itu oleh Panitia tersebut ditetapkan sebagai karyawan tetap biasa berlandaskan fakta bahwa apa yang dikerjakan oleh karyawan tersebut
merupakan tugas tetap yang tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan karyawan biasa. Pekerjaannya adalah pekerjaan yang merupakan suatu tugas dalam suatu garis
organisasi line of duties yang tak terputus dan terpisahkan misalnya pekerjaan administrasi kantor,dan tugas-tugas pokok dalam perusahaan bersangkutan.
”Pekerjaan yang boleh dilakukan oleh tenaga outsourcing adalah tugas yang dapat dipisahkan seperti cleaning service, caterring, pembangunan gedung atau fasilitas
lainnya, transportasi untuk karyawan dan dinas, dan pekerjaan lainnya yang sifatnya independen.”
112
110
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 6.
111
Lihat, UU No. 2 Tahun 20004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indusrial.
112
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 7.
C. Karakteristik Hukum Hubungan Kerja Karyawan Outsourcing
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam praktik outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan karyawan, karena hubungan
kerja selalu dalam bentuk tidak tetap atau perjanjian kerja waktu tertentu, upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security
serta tidak adanya jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan
menyengsarakan karyawan dan membuat kaburnya hubungan industrial.
113
Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan UU Ketenagakerjaan, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan
terhadap karyawan dalam melaksanakan outsourcing. Kalaupun ada, barangkali Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-100MENVI2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing.
114
Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang
begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap karyawan terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi
kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
113
Adrian Sutedi, op. cit., hal. 219.
114
Ibid., hal. 219-220.
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang
maupun jasa dan oleh pemerhati. Oleh karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya karyawan dengan perlindungan dan syarat kerja yang
diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan karyawan. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan
karyawan dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai,
karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa. Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan
setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, majikan untuk bekerja dengan mendapatkan
upah; dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh buruh dan
majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya. Demikian pula
perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.
Menurut Pasal 50 UU Ketenagakerjaan ditentukan definisi resmi dari hubungan kerja itu, yakni bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan pekerja buruh. Perjanjian kerja ini menurut pasal selanjutnya dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekeijaan yang diperjanjikan d.
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Tidak boleh ditarik kembali dan atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
115
Hubungan kerja demikian ini akhir-akhir ini dinamakan sebagai hubungan kerja industrial yang menurut pasal 1 huruf 16 UU Ketengakerjaan dinyatakan sebagai
suatu sistim hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang danatau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerjaburuh,dan pemerintah
yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikianlah semestinya dalam pelaksanaan
outsourcing tersebut. Terminologi outsourcing terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang
mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang kesatu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja
tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketengakerjaan secara eksplisit tidak ada istilah
outsourcing. Akan tetapi, praktik outsourcing dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan dikenal dalam dua bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan
pekerjaburuh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, dengan persyaratan yang sangat ketat sebagai berikut:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis.
115
Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 27.
2. Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a apabila bagian pekerjaan yang tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,
b bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga kalau dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat
proses produksi secara langsung, dan c
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua persyaratan di atas, bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat di-outsourcing-
kan. Perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam
memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja akibatnya karyawan menjadi terlantar. Oleh karena itu, berbadan hukum menjadi sangat penting agar perusahaan
outsourcing tidak menghindar dari tanggungjawab dalam hal perusahaan penerima pekerjaan demi hukum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan. Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi karyawan outsourcing pada perusahaan penerima pekerja sekurang-kurangnya sama dengan karyawan pada perusahaan pemberi kerja.
Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap karyawan outsourcing baik di perusahaan pemberi maupun perusahaan penerima pekerja karena pada
hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara karyawan outsourcing dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam perjanjian
kerja secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya perjanjian kerja waktu tak tertentu atau tetap dan bukan kontrak, tetapi dapat pula dilakukan perjanjian kerja
waktu tertentukontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian,
hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentukontrak, “apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa
outsourcing selalu danatau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu”.
116
Perusahaan penyedia jasa karyawan yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta
Labour Supplier. Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37, dan 38 UU Ketenagakerjaan, yaitu apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja
yang terjadi sepenuhnya adalah pekerjaburuh dengan perusahaan pemberi kerja bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut.
Secara hukum, tidak ada hubungan struktural antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan para pekerja sebab yang menjadi majikan bagi pekerja tersebut
bukan perusahaan principal tapi perusahaan outsourcing. Karena itu perusahaan yang mengelola para pekerja itu adalah perusahaan outsourcing itu sendiri. Pengawasan
berkaitan dengan absensi dan gaji, misalnya, dibayarkan oleh perusahaan outsourcing setelah pihaknya memperoleh pembayaran dari perusahaan pemakai tenaga kerja.
117
Dalam penyediaan jasa karyawan outsourcing, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan karyawan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
116
Ibid., hal. 221.
117
Libertus Jehani, Op. Cit., hal. 3.
kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan cleaning service, usaha penyedia makanan bagi pekerjaburuh
catering, usaha tenaga pengaman atau satuan pengamanan security, usaha jasa penunjang di pertambangan, dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan
pekerjaburuh. Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerjaburuh outsourcing bertanggung jawab dalam
hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
Dengan demikian dari pembahasan di atas diperoleh pemahaman bahwa yang menjadi karakteristik hukum hubungan kerja karyawan outsourcing itu adalah:
1. Pemborongan pekerjaan, dalam hal ini pekerjaan yang dikerjakan karyawan itu adalah pekerjaan tertentu yang bukan merupakan pekerjaan utama pada
perusahaan pemberi pekerjaan, dan dilakukan dalam waktu tertentu. 2. Penyedia jasa, yaitu adanya perusahaan yang memasok karyawan tersebut kepada
perusahaan pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan di bawah perintah langsung dari perusahaan pemberi kerja, atas dasar perjanjian kerja antara perusahaan
penyedia jasa dengan perusahaan penerima.
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KARYAWAN OUTSOURCING
YANG MELANGGAR ATURAN KERJA PADA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA
A. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Luar Jalur Pengadilan Hubungan
Industrial PHI
1. Penyelesaian Melalui Bipartit