Penyelesaian Melalui Arbitrase Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)

didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama PB. 122 Anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PHI pada Pengadilan Negeri setempat dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.

4. Penyelesaian Melalui Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dan kata arbitrare bahasa Latin yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Namun sebenarnya kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis arbiter tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. 123 Menurut Erman Rajagukguk, ”arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.” 124 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004 sebagai salah satu dari empat undang-undang bidang ketenagakerjaan yang dibuat dalam era reformasi, maka istilah arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar PHI. Sebenarnya istilah arbitrase bukanlah suatu hal baru di bidang ketenagakerjaan sebab Undang- 122 Pasal 23 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 123 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 144 124 Erman Rajagukguk, Arbiirase dan Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, 2000,Jakarta hal. 14. Undang Nomor 22 Tahun 1957 telah memberikan ruang dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan melalui dewan pemisah arbitrase, namun kenyataannya dalam kurun waktu 48 tahun undang-undang tersebut tidak berjalan, perselisihan yang diselesaikan melalui arbitrase dapat dihitung dengan jari, ini membuktikan pihak-pihak yang berselisih ternyata masih enggan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, misalnya masih ”kurangnya pemahaman tentang arbitrase itu sendiri karena belum memasyarakat, kemampuan para arbiter yang menyelesaikan perselisihan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, prosedur penyelesaiannya tidak jelas atau perangkat peraturannya yang kurang lengkap dan lain-lain penyebabnya.” 125 Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, hanya dua jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui arbitrase yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, danatau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Adapun perselisihan antar senikat pekerjalserikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerjaserikat buruh dengan serikat pekerjaserikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban ke serikat pekerja. Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah a. perselisihan kepentingan, dan 125 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 115. b. perselisihan antarserikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak ditetapkannya putusan arbitrase. a. Perjanjian Arbitrase Menurut Pasal 32 ayat 3, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat nama, alamat, dan tempat kedudukan para pihak yang berselisih, pokok persoalan yang menjadi perselisihan ian yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan, jumlah arbitrase yang disepakati, pernyataan para pihak untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase dan tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian arbitrase dan tanda tangan para pihak yang berselisih. b. Penunjukan Arbiter Penunjukan arbiter tunggal berdasarkan kesepakatan para pihak secara tertulis. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter secara tertulis dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja, sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Arbiter hubungan industrial harus didaftar dengan penetapan menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Penunjukan arbiter dapat dilakukan melalui arbiter tunggal atau beberapa orang arbiter majelis. Penunjukan tersebut dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih. Apabila pihak yang berselisih tidak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal atau majelis maka atas permohonan salah satu pihak pengadilan dapat menetapkan nama-nama arbiter dan daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. Umumnya dalam penjanjian arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter dari dua jenis arbiter, yaitu arbiter ad hoc atau arbiter institusional. Arbiter ad hoc atau juga disebut arbitrase volunter atau arbitrase perorangan, yaitu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, karenanya kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc ini bersifat insidentil. Artinya, kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu yang dimintakan. Menurut M. Yahya Harahap untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah arbitrase ad hoc dapat dilihat dari rumusan perjanjian arbitrase. 126 Apabila perjanjian arbitrase pactum de compromitendo atau acta compromis menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase di luar arbitrase institusional atau apabila perjanjian arbitrase menyebut arbitrase yang menyelesaikan terdiri atas arbiter perseorangan maka arbitrase yang disepakati adalah jenis arbitrase ad hoc. Adapun arbitrase institusional institusional arbitration, yaitu badan arbitrase yang bersifat permanen yang sengaja didirikan. Pembentukannya ditujukan untuk menangani perselisihan yang timbul bagi mereka atau untuk kepentingan bangsa dan negara yang menghendaki penye1esaian di luar pengadilan. Ketentuan penunjukan arbiter dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur, para pihak yang telah menandatangani perjanjian arbitrase berhak memilih dan menunjuk arbiter baik arbiter tunggal atau majelis arbiter 126 M. Yahya Harahap, dalam Ibid., hal. 118-119. dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya tiga orang. Apabila para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal maka penunjukan dilakukan dalam waktu selambat lambatnya tujuh hari kerja. Selanjutnya apabila para pihak sepakat untuk menunjuk majelis arbiter maka masing-masing pihak berhak memilih seorang arbiter dalam waktu selambat lambatnya tiga hari kerja, kemudian arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk masing-masing pihak untuk diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase. Namun apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk arbiter tunggal maupun majelis arbiter maka atas permohonan salah satu pihak, ketua pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri appointing authority. Dengan ditetapkannya arbiter tunggal atau majelis baik oleh para pihak maupun atas penetapan pengadilan, para pihak dengan arbiter membuat perjanjian penunjukan arbiter. Arbiter yang akan menarik diri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila permohonannya tidak mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan kepada PHI untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dengan mengajukan alasan yang dapat diterima. Prosedur ini harus dilalui oleh arbiter, tanpa melalui proses seperti ini arbiter tidak dapat menarik dirimengundurkan diri. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak menyebut alasan apa yang diajukan arbiter untuk menarik diri. Oleh karena itu, alasan pengunduran diri harus merupakan alasan yang benar-benar serius. Misalnya karena gangguan kesehatan yang dibarengi dengan surat keterangan medis. Bisa juga berupa alasan yang dapat diperkirakan akan mengganggu kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian fungsi arbitrase. Misalnya karena terpaksa melaksanakan tugas jabatan. c. Pemeriksaan Arbitrase Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya. Sebelum acara pemeriksaan perselisihan dilakukan, yang pertama-tama harus jelas dulu identitas dan kedudukan para pihak dalam perselisihan, juga memuat penjelasan tentang pokok-pokok permasalahanl perselisihan, yang biasa disebut positum atau fundamentum petendi serta apa yang menjadi tuntutan para pihak petitum. Secara umum telah ada sebutan standar yang sudah diterima masyarakat pada umumnya maupun dalam literatur. Misalnya para pihak adalah penggugatpemohon dan tergugattermohon atau dalam istilah asing disebut Claimant dan Respondent. Claimant adalah seseorang yang membuat tuntutan atau pihak yang mengambil inisiatif mengajukan tuntutan, sedangkan Respondent ialah pihak yang ditarik atau yang dijadikan sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu persengketaanperselisihan. Dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini sama sekali tidak memberi sebutan pada masing-masing pihak, tetapi hanya memberi sebutan berupa para pihak party. ”Dari segi tata tertib beracara sebaiknya pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan penyelesaian disebut pihak penggugat. Adapun pihak yang ditarik ke dalam perselisihan disebut pihak tergugat.” 127 Dalam setiap perselisihan juga hendaknya dituangkan apa yang menjadi dasar fundamentum petendi diajukannya tuntutan sebagaimana dalam Pasal 34 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, menyebutkan perjanjian penunjukan arbiter memuat pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil Keputusan juga apa yang menjadi tuntutan para pihak petitum harus secara jelas dicantumkan. Tujuannya adalah selain untuk membatasi permasalahan dan tuntutan para pihak agar tidak obscur libel kaburtidak jelas, juga agar lebih mudah mengontrol arbiter dalam melaksanakan fungsinya. Tata pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter diatur dalam Pasal 41 sampai 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Asas pemeriksaan perselisihan hubungan industrial di muka arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Artinya, asas pemeriksaan secara tertutup tidak bersifat mutlak, tetapi dapat dikesampingkan apabila para pihak menghendakinya. Asas pemeriksaan secara tertutup ini bertolak belakang dengan asas pemeriksaan di muka sidang pengadilan, yaitu fair trial, setiap tahap proses pemeriksaan persidangan mesti dilakukan terbuka untuk umum. Pemeriksaan secara tertutup dalam forum arbitrase bersifat konfidensial dilakukan dengan 127 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 122. tujuan dan motivasi agar nama baik para pihak dapat terjamin kerahasiaannya sehingga pihak luar tidak tahu adanya perselisihan di antara para pihak. Untuk acara pemeriksaan, arbiter memanggil para pihak, dan apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter dianggap selesai. Atau apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbiter dapat memeriksa perselisihan dan menjatuhkan putusannya tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya verstek. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak memberikan penjelasan apakah terhadap putusan verstek tersebut dapat mengajukan perlawanan verzet tegen verstek atau tidak. 128 Pada awal pemeriksaan pada sidang arbitrase, apabila para pihak hadir, arbiter terlebih dahulu harus mengupayakan penyelesaian melalui perdamaian. Upaya perdamaian ini dalam ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bersifat imperatif. Apabila dalam sidang tersebut tercapai perdamaian antara para pihak maka dituangkan dalam suatu akta perdamaian. Menurut isi Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang arbiter atau Majelis Arbiter. Akta perdamaian ini didaftarkan di PHI untuk memperoleh akta bukti pendaftaran. Dengan dibuatnya akta bukti pendaftaran. akta perdamaian tersebut menjadi bersifat final dan mengikat final and binding serta mempunyai kekuatan eksekutorial executorial kracht. Artinya, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan isi akta perdamaian, pihak lainnya dapat mengajukan permohonan eksekusi pada PHI setempat untuk memperoleh penetapan eksekusi. Jika perselisihan tidak berhasil didamaikan, pemeriksaan dilanjutkan oleh arbiter dengan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan tentang pendirian masing-masing audi et alteram partem serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendirian 128 Ibid., hal. 123. dalil masing-masing pihak. Pemberian kesempatan yang sama juga berlaku apabila arbiter meminta penjelasan tambahan kepada para pihak atau adanya amandemen terhadap tuntutan, pembelaan serta pendirian para pihak. 129 Di samping penjelasan yang disampaikan para pihak dalam sidang arbitrase. pembuktian merupakan hal yang menentukan bagi arbiter untuk mengambil keputusan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini, perihal alat bukti yang dapat diajukan sebagai bukti dalam proses pemeriksaan perselisihan dapat ditemukan dalam Pasal 45 dan 46, yaitu dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dan saksi atau saksi ahli. Kalau dibandingkan dengan alat bukti dalam perkara perdata yang terdiri atas lima alat bukti, yaitu 1 alat bukti surat, 2 alat bukti saksi, 3 alat bukti persangkaan, 4 alat bukti pengakuan, dan 5 alat bukti sumpah, alat bukti dalam sidang arbitrase ini sangat limitatif sekali hanya terdiri dari dua macam alat bukti, yaitu alat bukti surat dan alat bukti saksi. Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila: 1. cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan; 2. terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya; 3. putusan Pengadilan Negeri tentang tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan. 130 Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, arbiter wajib menyelesaikannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari kerja sejak terhitung penandatanganan penunjukan arbiter. ”Perpanjangan waktu penyelesaian dapat 129 Ibid., hal. 124. 130 Ibid., hal. 124-125. dimungkinkan atas kesepakatan para pihak dengan jangka waktu perpanjangan satu kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 hari.” 131 d. Putusan Arbitrase Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memuat ketentuan yang harus dimuat dalam putusan yang menyangkut syarat formal maupun syarat materiil dalam suatu putusan arbitrase. Jika dirinci lebih lanjut syarat formal yang harus dipenuhi dari suatu putusan arbitrase hampir sama dengan putusan pengadilan pada umumnya dan terdiri atas: 1 identitas para pihak nama para pihak, dan tempatalamat para pihak, 2 nama dan alamat arbiter, 3 tempat dan tanggal putusan diambil, dan 4 putusan ditandatangani oleh arbiter. Adapun syarat materiil suatu putusan arbitrase terdiri atas: 1 pendirian dan kesimpulan arbiterikhtisar dan tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak berselisih; 2 dasar alasan pertimbangan yang menjadi dasar putusan; 3 pokok putusanamar putusan. Majelis Arbitrase dalam mengambil putusan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ini tidak diatur apabila para arbiter tidak sepakat atau tidak sependapat, apakah dengan sistem suara terbanyak dan sampai di mana kewenangan Ketua Majelis Arbiter dalam pengambilan putusan. Dalam sistem mayoritas, apabila majelis arbitrase terdiri atas tiga orang arbiter, sistem pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak, yang lazim disebut party arbitrase. Dalam sistem pengambilan putusan dengan suara terbanyakmayoritas ini kedudukan para arbiter diletakkan dalam posisi yang sama. Sistem lainnya, yang disebut sistem umpire, menganut prinsip. putusan diambil berdasarkan 131 Pasal 40 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. mayoritas, namun apabila mayoritas tidak tercapai, arbiter ketiga yang bertindak sebagai Ketua Majelis Arbiter memiliki kewenangan sebagai umpire untuk memutus sendiri tanpa memerhatikan pendapat arbiter-arbiter lain. 132 Putusan arbiter diambil berdasarkan hukum, keadilan, kebebasan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan arbiter tersebut bersifat final dan mengikat para pihak. Dalam hal putusan arbitrase tidak dilaksanakan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan kepada PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat in kracht van gewsde bagi para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap final and binding. Putusan ini didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Karena putusan arbiter bersifat final dan berkekuatan hukum yang tetap, bilamana salah satu pihak tidak melaksanakan putusan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa saja putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan. 133 e. Pembatalan Putusan Arbitrase Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung oleh salah satu pihak selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter, karena diduga surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan tidak diakui atau dinyatakan palsu, setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; putusan diambil dan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu 132 Adrian Sutedi, op. cit., hal. 126. 133 Ibid., hal. 18. pihak dalam pemeriksaan perselisihan; putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Putusan arbitrase hanya dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak dengan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak ditetapkannya putusan arbiter apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagaimana dimuat dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai berikut: 1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; 2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; 3. putusan diambil dan tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; 4. putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial, atau putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Alasan-alasan yang dikemukakan di atas bersifat limitatif dengan pengertian, sepanjang unsur tersebut tidak ditemukan dalam putusan arbiter, putusan tidak dapat ditinjau atau dimintakan pembatalan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dan pembatalan, baik seluruhnya maupun sebagian putusan arbitrase. Mahkamah Agung harus sudah memutuskan permohonan pembatalan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima permohonan.

B. Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Melalui Jalur Pengadilan Hubungan

Industrial PHI Dalam hal mediasi atau konsiliasi tidak tercapai kesepakatan, salah satu pihak atau keduanya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial PHI. Undang-undang menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil, dan murah melalui PHI yang berada pada lingkungan peradilan umum dengan membatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, selain itu waktu proses beperkara di pengadilan dibatasi paling lama 50 hari. Hal ini untuk mencegah kekuatan bahwa proses di pengadilan akan berlarut-larut. Sejalan dengan keinginan untuk menciptakan penyelesaian perselisihan yang cepat, pembentuk undang-undang sepakat tanpa mengabaikan asas keadilan dan prinsip hukum, menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan pada PHI, penyelesaiannya merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian halnya putusan pengadilan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan industrial beranggotakan tiga orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan dua orang Hakim Ad Hoc, yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan dari organisasi buruh. Gugatan perselisihan industrial ke pengadilan oleh salah satu pihak yang berselisih, dengan menyertakan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Pengadilan wajib mengembalikan berkas gugatan jika tidak dilengkapi risalah tersebut. Putusan pengadilan disampaikan dalam waktu selambat lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. Sebagaimana dalam peradilan umum, putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tidak diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berselisih, dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kenja. Permohonan kasasi perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja harus disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat. Penyelesaianputusan Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung tanggal penerimaan permohonan kasasi sudah disampaikan kepada yang bersangkutan. PHI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum. Dalam Pasal 56 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatakan PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan: a di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan. Penyelesaian perselisihan di tingkat PHI selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama dilakukan. Adapun penyelesaian di tingkat Mahkamah Agung baik dalam proses kasasi maupun peninjauan kembali harus selesai selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi. Dengan ditetapkannya batas waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, diharapkan bahwa setiap perselisihan telah memperoleh kepastian hukum dalam waktu tidak lebih dari enam bulan. Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuhan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Pengadilan Umum, kecuali diatur secara khusus oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Hukum Acara dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan adalah: 1 Het Herziene Indonesisch Reglement HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbarui: S. 1848 No.16, S. 1941 No. 44, berlaku untuk daerah Jawa dan Madura; 2 Rechtsreglement Buitengewesten Rbg atau Reglemen Daerah Seberang, S.1927 No.227 berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura; 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perseisihan Hubungan Industrial. Selanjutnya mengenai proses Beracara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan oleh Pengadilan Hubungan Industrial adalah:

1. Pengajuan Gugatan