27 HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.”
Adapun Keputusan Presiden yang mengatur mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk dua kasus tersebut adalah
Keputusan Presiden No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat selanjutnya disebut Kepres No. 53 Tahun 2001. Kepres ini antara lain menyebutkan :
Pasal 1 : “Membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pasal 2 : “Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak
Asasi Manusia berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.”
D. Asas Legalitas
Asas hukum merupakan landasan yang paling kuat bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Dengan adanya asas hukum maka suatu
peraturan bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan semata akan tetapi mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Oleh karena asas
hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan
Universitas Sumatera Utara
28 jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan
pandangan hidup masyarakat.
18
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk
menerapkanya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum
pidana. Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin,
tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-
kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’.Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah criminia stellionatus perbuatan
durjanajahat
19
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana jus puniendi, diperlukan lebih dari
sekedar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi,
yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya,berlakunya hukum pidana menurut waktu kejadian tempus delicty disamping
18
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 45
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
29 menurut tempat locus. Norma ini sangat penting untuk mentapkan
tanggung jawab pidana.
20
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan
itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Harus ada
ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas
atau legaliteit beginsel atau Principle of Legality. Ajaran asas legalitas ini disebut juga sebagai nullum delictum, nulla poena sine praevia lege
poenali, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun menggunakan bahasa
latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal ungkapan di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh ahli
hukum dari Jerman yang bernama Von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang
sebagai ajaran klasik.
21
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts 1801, Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa
Psychologische Zwang Theorie. Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana.
Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya
20
Ibid.
21
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
30 untuk melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu harus dicantumkan
dalam undang-undang.
22
a. Lex Scripta Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis
Bacon 1561-1626 telah memperkenalkan sebuah ungkapan yakni ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya : undang-undang harus memberikan
peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas menghendaki
bahwa ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu. Menurut Francis Bacon ada empat aspek asas legalitas
yang diterapkan secara ketat diberlakukan dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu: lex scripta, lex certa, retroaktivitas retroactivity dan analogi.
Mengenai keempat aspek ini akan dijelaskan sebagai berikut :
Lex scripta adalah suatu penghukuman yang harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis.
Undang-undang statutory, law harus mengatur mengenai tingkah laku perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang
yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi
bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
23
22
Ibid.
23
Ibid., hal. 4
Universitas Sumatera Utara
31 b. Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang- undang legislative harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana kejahatan, crimes. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar nullum crimen sine lege stricta, sehingga tidak ada
perumusan yang ambigu mengenai.perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidana karena warga selalu akan dapat membela diri
bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku.
24
c. Non-retroaktif Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut retroaktif. Pemberlakuan secara surut
merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang
yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sejalan dengan itu,
menurut Romli Atmasasmita “Prinsip hukum non-retroaktif tersebut
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32 berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak
asasi manusia bukan pelanggaran biasa, oleh karenanya prinsip non- retroaktif tidak bisa dipergunakan”.
25
Seperti disebutkan diatas, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian,
dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu : penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran
sistematis, penafsiran histories, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan
penafsiran analogi. d. Analogi
26
Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum yang terbagi ke
dalam dua pendapat, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu
perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain
yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan
lainnya. Menurut Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu : gesetz
25
Ibid., hal. 5
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
33 analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap
perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah terhadap perbuatan yang mempunyai
kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, diantaranya
adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum
yang dianut suatu negara.
27
E. Perkembangan Asas Legalitas di Indonesia