38
BAB II PEMBAHASAN
Kedudukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Terhadap Prinsip Asas Legalitas
1.Konvensi PBB Tentang Pengadilan HAM Ad Hoc
Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana
disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya,tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM. Didalam Statute Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain,yaitu ”the most serious crimes of
concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma 1998 pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida,kejahatan
terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional PPI. Undang-undang Nomor
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Banyak orang bertanya mengapa undang-undang tersebut tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta
Roma 1998. Atas pertanyaan ini maka perlu disampaikan beberapa pertimbangan yaitu :
1. Dua jenis pelanggaran HAM lainnya kejahatan perang dan agresi sampai saat ini masih dalam perdebatan Negara anggota PBB dan
Universitas Sumatera Utara
39 Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap
keduanya. 2. Statuta Roma 1998 sudah diadopsi dalam Konprensi Diplomatik di
Roma namun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia untuk
memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian
ketentuan dalam Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat.
3. Kepentingan pemerintah untuk mengundangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 didorong oleh kehendak untuk memenuhi
prinsip Komplementaritas complementarity principles yang dianut oleh Statuta Roma 1998 tersebut sehingga dengan cara demikian
Undang-undang Nasional Indonesia UU Nomor 26 tahun 2000mengenai peradilan atas perkara Pelanggaran HAM berat
sudah memenuhi standar minimum hukum internasional tersebut. 4. Karena Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian internasional
yang tidak boleh direservasi sama sekali maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut berdampak mengikat secara penuh Negara
peratifikasi sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati untuk meratifikasinya. Untuk kepentingan Indonesia kebijakan
pemerintah yang telah mengadopsi beberapa prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut merupakan kebijakan yang dianggap
Universitas Sumatera Utara
40 tepat untuk saat ini dan dianggap tidak akan membahayakan
kedaulatan Negara RI. Ada perbedaan mendasar dan penyimpangan terhadap prinsip-
prinsip yang dianut dalam Statuta Roma 1998 dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yaitu : 1. Bahwa Statuta Roma 1998 menganut prinsip legalitas secara
penuh yaitu yang melarang pemberlakuan surut atau retroaktif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya
Statuta Roma 1998.Sedangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 membolehkan berlaku surut dengan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc melalui mekanisme DPR RI. 2. Bahwa Statuta Roma 1998 tidak menganut prinsip Ne Bis in Idem
secara mutlak karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat 3 putusan pengadilan nasional yang telah memperoleh kekutan
hukum tetap dapat dikesampingkan dengan pertimbangan : a Proses peradilan dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari
pertanggungan jawab pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya;
b Proses peradilan tidak dilaksanakan secara independen dan terbuka sesuai dengan norma-norma hukum internasional yang
berlaku. 3. Bahwa Statuta Roma 1998 menerapkan ketentuan yang disebut “
issue of admissibility “yaitu bahwa Pengadilan Pidana Internasional
Universitas Sumatera Utara
41 dapat menetapkan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak dapat
diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional atas pertimbangan sebagai berikut :
a Kasus tersebut sedang dalam penyidikan ataun penuntutan oleh negara yang berwenang untuk melakukannya,kecuali jika
negara yang bersangkutan tidak berkeinginan atau tidak mampu untuk melakukan tugasnya tersebut;
b Kasus tersebut sudah disidik oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasusnya dan Negara tersebut sudah
memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan kecuali putusan tersebut berasal dari
ketidakinginan atau ketidakmampuan yang bersangkutan untuk menuntut;
c orang yang bersangkutan telah diadili untuk pelanggaran HAM yang telah dilakukannya,dan peradilannya oleh Pengadilan
Pidana Internasional tidak diperbolehkan berdasarkan Pasal 20 ayat 3
d kasus tersebut tidak cukup serius untuk digolongkan kedalam pelanggaran HAM.
4. Statuta Roma 1998 meliputi empat jenis pelanggaran HAM yaitu : genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi, dengan catatan bahwa untuk kejahatan agresi masih dipandang perlu dirumuskan kembali dengan jelas tentang lingkup
pengertian dan defenisinya selama 7 tujuh tahun sejak berlaku
Universitas Sumatera Utara
42 efektif Statuta Roma 1998. Dengan demikian maka kejahatan
agresi atas keberatan pihak Amerika Serikat telah ditangguhkan pemberlakuannya sampai ada kesepakatan peserta atau
peratifikasi Statuta tersebut tentang defenisi agresi. Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui dua jenis pelanggaran HAM
yaitu genosida dan kejahatan atas kemanusiaan. 5. Bahwa Statuta Roma 1998 hanya mengakui instansi penyelidikan
dan penyidikan dilakukan oleh pihak Kejaksaan, sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui KOMNAS HAM sebagai
lembaga independen satu-satunya yang berwenang melakukan penyelidikan dan pihak Kejaksaan yang berwenang melakukan
penyidikan dan penunututan. 6. Bahwa Statuta Roma 1998 mengakui hukum internasional dan
putusan-putusan Pengadilan Pidana Internasional menjadi acuan dalam mengadili kasus pelanggaran HAM berdasarkan ketentuan
dalam Statuta Roma 1998 . Sedangkan UU Nomor 26 tahun 2000 hanya mengakui seluruh ketentuan dalam Undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan hukum acara pidana nasional.
7. Bahwa Statuta Roma 1998 mengangkat dan menempatkan Hakim tetap yang berasal dari beberapa negara,sedangkan UU Nomor 26
tahun 2000 memerintahkan pengangkatan Hakim non-karir dan Jaksa Penuntut Umum non-karir yang berasal dari unsure
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
43 Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia diamanatkan
dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 dan pembentukannya untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang ini. Didalam Undang-undang ini disyaratkan bahwa pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini sangat tergantung dari
permintaan DPR RI kepada Pemerintah. Hal ini disebabkan pemberlakuan surut kebelakang terhadap pelanggaran HAM berat dimasa lalu
merupakan penyimpangan atas asas legalitas yang berlaku universal dan juga dilarang dalam Statuta Roma 1998,sehingga prosedur
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini perlu dilakukan secara khusus. Alasan kedua ialah bahwa pelanggaran HAM berat dimasa lampau
merupakan perkosaan terhadap hak-hak asasi rakyat yang telah menimbulkan luka dalam dan dendam berkepanjangan dan akan berakhir
dengan disintegrasi bangsa. Jika terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tidak diadili maka akan ada nilai keadilan yang tidak
dipenuhi,yaitu nilai keadilan restoratif sementara nilai keadilan retributive sudah terwakili dengan dipidananya pelaku pelanggaran HAM berat masa
akan datang. Mengingat pelanggaran HAM berat ini sarat dengan muatan politis maka akan terjadi maka akan terjadi ketidakseimbangan antara nilai
keadilan retributive disatu sisi dan nilai keadilan restorative disisi lain. Harapan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah untuk
menciptakan nilai-nilai rekonsiliasi nasional dalam mengatasi kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
44 Proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan
Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 harus didahului oleh penyelidikan proaktif oleh KOMNAS HAM sebagai lembaga satu-satunya yang
berwenang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor.26
Tahun 2000 sangat kuat karena hasil penyelidikannya bersifat pro-justitia. Kedudukan ini sangat jauh berbeda dengan kedudukannya didalam
Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedudukan KOMNAS HAM dalam Undang- undang Nomor 26 Tahun
2000 memiliki implikasi bahwa KOMNAS HAM tidak boleh bersifat pasif dan menunggu permintaan masyarakat atau menunggu pihak kepolisian
untuk bertindak. Bahkan kedudukannya sebagai lembaga pemantau berdasarkan Undang- undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, merupakan modal dasar untuk meningkatkan kedudukan dan perannya sebagai lembaga satu- satunya yang dapat melaksanakan
penyelidikan atas pelanggaran HAM berat. Setelah fungsi penyelidikan selesai dilaksanakan maka KOMNAS HAM bekerja sama dengan pihak
Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Setelah fungsi penyidikan selesai dilaksanakan maka Kejaksaan Agung melalui Presiden
dapat memberitahukan DPR RI untuk segera meminta pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dengan berlakunya Undang- undang nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kedudukan KOMNAS HAM
yang diperkuat didalam Undang- undang tersebut maka tidak ada alasan
Universitas Sumatera Utara
45 masyarakat Internasional menuntut pembentukan Mahkamah Ad hoc
untuk kasus Timor- timur dan lainnya. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip komplementaritas yang secara eksplisit dicantumkan dalam alinea
kesepuluh dari Piagam Statuta Roma 1998 dan artikel 17 dan artikel 20 Statuta tersebut. Yang sangat penting dalam implementasi Undang-
undang nomor 26 Tahun 2000 dan memerlukan kesungguhan seluruh komponen bangsa Indonesia ialah artikel 17 ayat 1 Huruf b yang
menegaskan dua kata kunci yaitu : unwilling or inability. Sebagaimana
telah diuraikan dimuka, kedua kata kunci tersebut sangat menentukan dapat atau tidaknya Statuta Roma berlaku terhadap suatu Negara dan
menggantikan yurisdiksi pengadilan Nasional. Berdasarkan Statuta Roma 1998 dan acuan Undang- undang
Nomor 26 tahun 2000 keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia sangat tergantung dari bukan saja peranan dan pemahaman
KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung terhadap kedua perangkat hukum tersebut melainkan juga tergantung dari saling pengertian dan kerja sama
kedua lembaga tersebut. Suatu proses peradilan terhadap pelanggaran HAM tidak akan dapat berjalan secara Imparsial dan terbuka jika proses
penyelidikan dan penyidikan tidak dilaksanakan secara professional dan memihak pula. Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia melalui jalur
pengadilan in –court system harus dilandaskan kepada prinsip- prinsip : non-impunity, transparansi, imparsial dan due-process of law.
31
31
httpwww.Konvensi PBB.go.id
.
Universitas Sumatera Utara
46
a. Apakah Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar Prinsip Asas Legalitas?
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 selanjutnya
disebut dengan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib; dimana untuk mewujudkan tata
kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan.
Salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah suatu proses pengadilan
yang bersih, mandiri, dan benar-benar mempunyai kewenangan untuk menyidangkan suatu perkara yang ditangani.
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini
merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan. Dalam rangka
pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah melakukan pelarangan, segala bentuk
penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun pada kenyataannya praktek-praktek penyiksaan, pembunuhan
Universitas Sumatera Utara
47 dan segala macam hal-hal yang tidak sesuai dengan kodrat dasar
manusia untuk hidup aman dan tenteram seringkali dilanggar. Menegakkan HAM di negeri ini sama seperti upaya menegakkan
benang basah. Penegakan HAM secara politis mulai dijalankan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dengan dibentuknya Kementrian
HAM. Secara yuridis,upaya penegakan HAM sudah mendapat pengakuan melalui Undang-undang yakni UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26
Tahun 2000. Tapi kenyataannya, hingga saat ini kasus-kasus pelanggaran HAM berat penegakannya masih sangat simpang siur dalam
pengungkapannya walaupun dalam proses pengungkapannya sendiri telah melibatkan Komnas HAM.
Komnas HAM sendiri awalnya dibentuk oleh Presiden Suharto pada tahun 1994 yang saat itu diketuai oleh Ali Said, mantan Jaksa Agung
1971-1981, mantan Menteri Kehakiman 1981-1984 dan mantan Ketua Mahkamah Agung 1984-1981. Pembentukan Komnas HAM sendiri tidak
lepas dari tuntutan internasional terhadap pemerintah Indonesia akibat peristiwa 12 November 1991 di Dili, Timtim, saat itu. Walaupun Komnas
HAM adalah “produk” yang dilahirkan orde baru, akan tetapi Komnas HAM memposisikan diri sebagai pihak independen yang tidak segan-segan
mengungkap fakta peristiwa yang terjadi disebabkan oleh rezim orde baru, yang oleh karena itu Komnas HAM akhirnya mendapat julukan “Si Malin
Kundang” yang diibaratkan adalah anak yang durhaka terhadap orang tua yang melahirkannya.
32
32
A.M. Fatwa, Op.Cit ., hal.104.
Universitas Sumatera Utara
48 Pelanggaran HAM menimbulkan dampak luas di bidang sosial,
ekonomi, politik dan hubungan internasional. Maka, peristiwa itu telah dapat digolongan sebagai kejahatan luar biasa extra ordinary crime dan
kejahatan terhadap kemanusiaan crime against humanity sehingga diperlukan adanya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
33
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa juga memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan
HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah
negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pelanggaran HAM berat tersebut termasuk adalah Kejahatan genosida yang
merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok; atau pun kejahatan kemanusiaan lainnya.
Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan suatu pengadilan yang dibentuk secara khusus dalam lingkup pengadilan umum untuk
menangani satu permasalahan HAM saja. Misalkan untuk kasus pelanggaran HAM Timtim maka dibentuk Pengadilan Ham Ad Hoc kasus
Timtim.
34
Walaupun Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk berdasarkan UU
33
Ibid.
34
Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
49 No. 26 Tahun 2000 sebagai upaya untuk menegakkan HAM dan menjerat
para pelaku pelanggaran HAM berat, akan tetapi dalam prakteknya harus tetap memperhatikan asas hukum yang berlaku karena asas hukum
sendiri merupakan “jantungnya” suatu peraturan perundangan. Sebagai contoh adanya penerapan peraturan perundangan yang
tidak sesuai dengan asas hukum yakni asas legalitas adalah dengan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc atas Peristiwa Tanjung Priok tahun
1984 dan Pengadilan HAM Ad Hoc pasca jajak pendapat tahun 1999 di Timtim berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 dan Kepres
No. 53 Tahun 2001. Tujuan sebenarnya dari asas legalitas sendiri adalah memperkuat
kepastian hukum, menciptakan keadilan bagi terdakwa, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Asas ini
mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. Ini menegaskan agar acara pidana dijalankan menurut acara yang telah diatur undang-
undang. Francis Bacon ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat diberlakukan dalam menjatuhkan sanksi pidana, yaitu: lex
scripta, lex certa, analogi dan retro aktif. Mengenai keempat aspek ini akan dijelaskan sebagai berikut
35
1. Lex Scripta atau penghukuman yang harus didasarkan pada undang- undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Tidak ada
pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang dan penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
:
35
Elsam, Op.Cit., hal. 3
Universitas Sumatera Utara
50 2. lex certa atau adanya perumusan delik jelas dengan kata lain undang-
undang harus dirumuskan setajam dan sejelas mungkin serta harus dipercaya.
3. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi 4. Tidak ada kekuatan surut non retro aktif atau lex temporis delicti.
Berdasarkan paparan tentang prinsip hukum pidana di atas, dapat diketahui bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dalam penerapannya terhadap
kasus pelanggaran HAM berat kasus jajak pendapat Timtim dan Kasus Tanjung Priok menyimpang terhadap asas legalitas dengan diterapkannya
asas retro aktif untuk menjerat para pelakunya. Penerapan UU No. 26 Tahun 2000 dengan dibentuknya Pengadilan
HAM Ad Hoc atas kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat Timtim dan Tanjung Priok tersebut dikategorikan bersifat retro aktif atau berlaku
surut yakni apabila dilihat dari tempus delicti atau waktu kejadian perkaranya maka dapat diketahui bahwa kedua kasus tersebut terjadi di
bawah tahun 2000 dimana pada saat itu belum terbentuk UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc. Pasal
yang menjelaskan mengenai pemberlakuan asas retro aktif sehingga Pengadilan HAM Ad Hoc bisa diterapkan untuk kedua kasus tersebut,
diatur dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 yang berbunyi : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.” Jadi dengan kata lain pembentukan Pengadilan
HAM Ad Hoc tersebut jelas-jelas melanggar asas legalitas karena bersifat
Universitas Sumatera Utara
51 retro aktif atau berlaku surut.
b. Mengapa Pengadilan HAM Ad Hoc Melanggar Prinsip Asas Legalitas?
Masalah utama yang saat ini masih menjadi persoalan besar adalah menyangkut pengaturan tentang fungsi dan tugas TNI dalam
bidang pertahanan maupun dalam pemberian kewenangan dan atau tugas-tugas lain di luar bidang pertahanan,baik pada masa damai maupun
pada masa perang. Dalam masa damai misalnya, peran TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang akan bergantung pada
bagaimana dan apa yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakjelasan peran tersebutlah yang sering menimbulkan konflik sipil-militer dimana
perlakuan militer saat gencatan senjata atau saat damai terkadang dianggap sebagai keadaan darurat yang penuh dengan ancaman
sehingga mereka bereperan seolah-olah musuh dimana-mana.
36
Pengadilan koneksitas menurut pasal 89 KUHAP pada dasarnya adalah pengadilan untuk menyidangkan suatu tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan pengadilan umum dan lingkungan pengadilan militer, diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum kecuali jika menurut Konflik yang terjadi yang melibatkan perkara yang termasuk dalam
lingkup sipil-militer atau koneksitas sangat rentan terjadi di dalam suatu tempat dimana di tempat itu merupakan daerah rawan konflik yang
menjadi target operasi militer pemerintah.
36
Jaleswari Pramodhawardani, Op.Cit., hal. 395.
Universitas Sumatera Utara
52 keputusan Menteri Pertahanan dan keamanan dengan persetujuan
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Militer. Selama kerugian yang ditimbulkan
suatu tindak pidana tidak merugikan militer, sekalipun pelakunya lebih banyak dari TNI, berlakulah prinsip umum yakni perkara koneksitas yang
diperiksa dan diadili oleh lingkungan pengadilan umum. Saat terjadi konflik sipil-militer terutama mengenai perlakuan yang
berlebihan dari pihak militer atau TNI terhadap sipil menyangkut masalah- masalah hak asasi manusia, ketika dihadapkan pada suatu pemeriksaan
kasus seringkali terjadi pertentangan tentang kompetensi absolut pengadilan apa yang berhak mengadili perkara tersebut, dimana di satu
pihak menginginkan perkara tersebut diadili di pengadilan koneksitas, akan tetapi pihak lainnya menginginkan perkara tersebut diadili di
Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan suatu pengadilan yang
dibentuk secara khusus dalam lingkup pengadilan umum untuk menangani satu permasalahan HAM saja. Misalkan untuk kasus
pelanggaran HAM Timor-timur maka dibentuk Pengadilan Ham Ad Hoc kasus Timor-timur.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa juga memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan
HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah
negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
53 HAM berat tersebut termasuk adalah Kejahatan genosida yang
merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok; atau pun kejahatan kemanusiaan lainnya.
Pengadilan HAM Ad Hoc yang sudah dibentuk adalah Pengadilan HAM Ad Hoc atas peristiwa pasca jajak pendapat tahun 1999 di Timor
Timur dan Pengadilan HAM Adhoc atas Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Lingkup kejadian-kejadian tersebut termasuk dalam lingkup
kejadian perkara sipil-militer berupa pembunuhan, penyiksaan dan lain- lain yang dilakukan oleh militer. Selain kasus tersebut masih ada lagi
kasus yang akan disidangkan melalui sistem Pengadilan HAM Ad Hoc yakni kasus Semanggi-Trisakti pada tahun 1997 yang telah membawa
korban jiwa dari pihak sipil. Kasus-kasus diatas kalau dicermati adalah termasuk ke dalam
kasus koneksitas dimana unsur konflik sipil-militer ada didalamnya dan yang seharusnya pula menjadi kewenangan pengadilan koneksitas untuk
menyelesaikannya. Salah satu yang mendasari adalah tempus delicty dari delik yang dilakukan dimana semua kejadian tersebut terjadi sebelum
tahun 2000 yakni sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000. Latar belakang terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc peristiwa
Tanjung Priok dan Pengadilan HAM Ad Hoc peristiwa pelanggaran HAM
Universitas Sumatera Utara
54 berat pasca jajak pendapat di Timor Timur adalah dikarenakan UU No.26
Tahun 2000 memberlakukan asas retro aktif atau asas berlaku surut seperti tercantum pada dalam Pasal 43 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000
yang berbunyi : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc. ” Artinya dengan adanya undang-undang ini maka asas legalitas dikesampingkan.”
Asas legalitas dirumuskan oleh seorang ahli hukum pidana Jerman 1775-1833 yang bernama Anselm von Feuerbach, merumuskan asas
legalitas secara mantap dalam bahasa latin: nullum crimen, nulla poena sine praevia lege. Prinsip tersebut berarti, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa kekuatan undang-undang lebih dahulu. Tujuan dari asas legalitas sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan
keadilan bagi terdakwa, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Asas ini mensyaratkan terikatnya hakim
pada undang-undang. Ini menegaskan agar acara pidana dijalankan menurut acara yang telah diatur undang-undang. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa asas legalitas sendiri mengandung unsur- unsur, yaitu tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana
menurut undang-undang; tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi, juga tidak dapat dipidana hanya berdasarkan
kebiasaan; tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas; tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang; penuntutan pidana
hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang; tidak ada kekuatan
Universitas Sumatera Utara
55 surut. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditelaah mengenai UU No. 26
Tahun 2000 yang banyak disorot karena menyimpang terhadap asas legalitas dengan diterapkannya asas retro aktif. Undang-undang ini
memungkinkan pelanggar HAM berat diadili secara retro aktif dengan menggunakan undang-undang yang baru dimana undang-undang
tersebut dibentuk setelah delik berlangsung.
37
Sebagian ahli hukum mengatakan pelanggaran HAM menimbulkan dampak luas di bidang sosial, ekonomi, politik dan hubungan
internasional. Maka, peristiwa itu telah dapat digolongan sebagai kejahatan luar biasa extra ordinary crime dan kejahatan terhadap
kemanusiaan crime against humanity. Selain itu mereka juga mendasarkan pendapat mereka berdsarkan asas yang terkandung dalam
Pasal 1 ayat 2 KUHP yakni :”Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada terdakwa dikenakan ketentuan
yang menguntungkan baginya”. Ketentuan ini mereka jadikan sebagai pedoman bahwa undang-undang itu dapat berlaku surut walaupun delik
telah berlangsung sebelum undang-undang tersebut dibentuk.
38
Pasal 1 ayat 2 tersebut sebenarnya adalah pasal yang diberlakukan khusus mengenai hukum formil suatu delik. Ketika
seseorang dalam proses pengadilan kemudian suatu saat ketika proses masih berjalan tiba-tiba aturan yang dapat didakwakan atas terdakwa
tersebut berubah, maka demi keadilan digunakan aturan yang lebih meringankan terdakwa, entah itu dari peraturan yang baru atau peraturan
37
R. Mochamad Ikhsan, Asas Legalitas Perpu Anti Terorisme, Makalah Hukum Pidana, 2 Nopember 2002.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
56 yang lama. Jadi apabila perkara tersebut belum dalam proses
persidangan, maka pasal ini tidak dapat digunakan.
39
Hal paling mendasar yang merupakan landasan yuridis tertinggi dalam menentang adanya asas retro aktif yakni Amandemen Undang-
undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 Pasal 28 i isinya melarang seseorang dituntut atas dasar hukum berlaku surut non-
retroactivity. UUD 1945 merupakan aturan tertinggi di Indonesia, jadi semua peraturan yang ada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945.
40
UU No. 26 Tahun 2000 yang melakukan pembatasan pemberlakuan undang-undang yang bisa berlaku surut menurut
penjelasan UU NO. 26 Tahun 2000 karena dalam Pasal 28 j UUD 1945 Dasar yuridis yang digunakan sebagai pertimbangan pemberlakuan
asas retro aktif atau asas non legalitas pada Pengadilan HAM Ad Hoc sehingga bisa muncul pasal 43 ayat 1, menurut penjelasan dari UU No. 26
Tahun 2000 adalah Pasal 28 j ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
39
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 178.
40
CST Kansil dan Christine Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hal.153.
Universitas Sumatera Utara
57 tersebut terdapat kalimat “ ….. setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang …..”.
41
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini diatur dengan jelas dalam KUHP Wetboek van Strafrecht yang berlaku sekarang. Pasal
1 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP ini, secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu
Menurut analisa penulis, Pasal 28 j UUD 1945 tidak bisa dijadikan sebagai dasar yuridis pemberlakuan asas retroaktif karena :
a. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan rinci mengenai pemberlakuan asas retro aktif, padahal sebuah
peraturan harus baru bisa dibelakukan pada suatu peristiwa atau masalah jika dalam peraturan tersebut mengatur secara jelas dan
rinci akan suatu masalah tersebut lex certa. b. Walaupun terdapat kalimat “ ….. setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang …..” akan tetapi pembatasan yang dimaksud dalam UUD tersebut harus tetap
berpijak pada asas yang berlaku secara universal salah satunya adalah asas legalitas, karena fungsi asas sendiri menurut Satjipto
Raharjo adalah sebagai fundamen dasar dari suatu peraturan perundangan.
42
41
Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit, hal. 270.
42
Elsam., Op.Cit., hal. 13
:
Universitas Sumatera Utara
58 1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam peraturan
perundang-undangan; 2. Peraturan perundang-undangan harus ada sebelum terjadinya tindak
pidana tidak berlaku surut. Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan dapat
dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih dahulu ada undang- undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana.
Oleh karenanya, asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara surut retro aktif. Pasal 1 ayat 1 KUHP inilah yang menjadi landasan
penegakan hukum pidana di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.
Asas legalitas ini diatur pula dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Selanjutnya disebut dengan UU No.
4 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh
undang-undang”. Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara tertulis. Begitu juga
dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal 28 i ayat 1 yang menyebutkan bahwa “…….dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
43
UUD 1945 merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia dan kedudukannya adalah yang pertama dan utama. Dari
43
Elsam, Op.Cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
59 UUD 1945 tersebut kemudian mengalir peraturan-peraturan pelaksana
yang menurut tingkatannya adalah
44
1. Tap MPR :
2. Undang-undang Peraturan Pengganti Undang-undang Perpu, 3. Peraturan Pemerintah,
4. Keputusan Presiden 5. Peraturan pelaksana lainnya.
Apabila dilihat dari runtutan aturan-aturan tersebut, maka peraturan yang lebih tinggi mengalahkan aturan yang lebih rendah, atau dengan
kata lain aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.
45
Selain itu dapat diketahui pula disini bahwa Pasal 28 i dapat digunakan sebagai dasar pelarangan asas retro aktif karena dalam isinya
sudah menyebutkan secara jelas lex certa mengenai pelarangan pemberlakuan asas retro aktif atau asas berlaku surut. Lain halnya
dengan Pasal 28 j UUD 1945 yang digunakan sebagai pertimbangan dari Dalam materi atau isi UU No. 26 Tahun 2000 khususnya pasal 43
ayat 1 yang bisa menerapkan pemberlakuan surut terhadap suatu kasus pelanggaran HAM berat, tidak sesuai dengan isi atau muatan dari UUD
1945 Pasal 28 i yang melarang pemberlakuan asas retro aktif yang merupakan acuan tertinggi dari pemberlakuan asas legalitas dan secara
otomatis pula peraturan dibawahnya yang dalam hal ini adalah UU No. 26 Tahun 2000 tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
44
Moh Kusnardi, HukumTata Negara Indonesia, PD. Budi Chaniago, Jakarta, hal. 48.
45
CST Kansil, Christine Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000., hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
60 UU No. 26 Tahun 2000 khususnya Pasal 43 ayat 1 untuk memberlakukan
asas retro aktif yang sama sekali tidak menyebutkan secara jelas dan rinci mengenai pemberlakuan asas retro aktif.
Jadi dalam hal ini secara yuridis maka kewenangan pengadilan koneksitas dalam perkara pelanggaran HAM adalah untuk menangani
perkara-perkara pelanggaran HAM yang tempus delictinya dibawah tahun 2000 atau sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000. Sedangkan
pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 adalah untuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 2000. Walaupun penerapan Pengadilan
Koneksitas untuk kasus-kasus pelanggaran HAM dapat menyebabkan tidak adanya independensi, karena pengadilan ini menggunakan
perangkat hukum pidana biasa yang tidak memuat prinsip-prinsip dan prosedur hukum untuk perlindungan HAM serta pertanggungjawaban
negara terhadap rakyat responsibility of the state. Selain itu jika memang pengadilan koneksitas tetap dijalankan
untuk mengadili perkara-perkara HAM dimasa sebelum tahun 2000 dengan berbagai alasan yuridis yakni salah satunya adalah UUD 45,
maka konstitusi telah digunakan sebagai instrumen untuk melepaskan tanggung jawab Negara dalam rangka menyelidiki to investigate dan
menghukum to prosecute kejahatan-kejahatan hak asasi manusia, dengan mencantumkan ke dalam konstitusi “hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut” sebagai hak yang tidak boleh dikurang non-derogable rights. Implikasi lebih jauh adalah tertutupnya
kemungkinan mengadili kejahatan HAM di masa Orde Baru yang bukan
Universitas Sumatera Utara
61 merupakan kejahatan delik seperti kejahatan terhadap kemanusiaan
crime against humanity dan kejahatan genosida genocide.
2. Bagaimanakah realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Di Indonesia, persoalan penegakan HAM dewasa ini juga semakin mendapat perhatian dari berbagai pihak, mulai dari studi-studi akademik,
diskusi serta seminar semakin intensif dilakukan guna mencari keadilan dan mengkampanyekan isu-isu HAM di Indonesia secara umum, karena
seperti kita ketahui selama pemerintahan orde baru memimpin Negara ini, banyak sekali kejahatan kemanusian atau pelanggaran HAM telah terjadi,
sebut saja pembantaian massal pada tahun 1965-1970 yang menelan korban 1.500 orang, kasus di timur-timor pra referendum 1974-1999
menelan ribuan korban, kasus Papua, di Aceh pada saat menjadi daerah operasi militer DOM, kasus Bulu kumba, kasus trisakti penembakan
mahasiswa, sampai kepada penculikan aktivis pro demokrasi pra era reformasi, dan banyak kasus pelanggaran lainnya.
Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto, banyak pihak yang mulai mempertanyakan, menggugat, bercerita dan menuntut diadilinya para
pelaku kejahatan tersebut, namun ternyata pemerintahan yang diselenggarakan pasca reformasi belum mampu mengungkap semua itu,
pada kondisi inilah banyak bermunculan lembaga sipil non pemerintah yang membantu para korban mencari keadilan, sebut saja KontraS,
YLBHI, PBHI, Imparsial, ELSAM, dan masih banyak lembaga lainnya.
Universitas Sumatera Utara
62 Berbagai lembaga ini mulai mengkampanyekan perlunya penegakan HAM
secara menyeluruh, pusat-pusat studi yang berada di berbagai kampus juga mulai mengkaji, melakukan penelitian mengenai persoalan-persolan
HAM yang terjadi di Indonesia, sampai ahirnya Indonesia juga membentuk Komisi Hak Asasi Manusia Komnas HAM sebagai sebuah lembaga yang
berfungsi dan bertugas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, lembaga ini juga diberikan tugas untuk melakukan pencegahan
pelanggaran HAM melalui pendidikan HAM bagi aparatur dan warga Negara secara umum.
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa
berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan
oleh Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun
dengan dasar kekerasan serta pelanggaran terhadap HAM. Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus dilakukan oleh
berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang
penegakan HAM. Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya penegakan HAM serta mendesak
pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam upaya
Universitas Sumatera Utara
63 tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja
internasional untuk mendapatkan dukungan. Peranan pihak internasional pun cukup berperan penting dalam
upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak kejatuhan presiden Soeharto, perhatian pihak internasional kepada perkembangan
HAM di Indonesia menjadi lebih besar. Dalam beberapa kasus, justru tekanan dari pihak internasional berhasil mendesak pemerintah Indonesia
untuk menyelesaikan kasus tersebut. Selain itu, isu HAM kemudian menjadi salah satu indikator dari
berbagai negara untuk melakukan kerja sama dengan Indonesia. misalnya, Amerika Serikat menghentikan bantuan militernya karena
terjadinya kasus pembumi-hangusan di Timor Leste. Mereka yang dulu dikorbankan selanjutnya akan kita sebut kelompok korban oleh
pemerintahan yang berkuasa, mulai berani untuk menyuarakan apa yang mereka alami. Mereka kemudian menuntut negara melalui pemerintahan
yang berkuasa untuk bertanggung jawab terhadap tindakan yang mereka alami. Mereka menuntut untuk diungkapnya berbagai pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh rejim sebelumnya serta mengembalikan hak-hak mereka yang dulu dirampas. Kelompok korban yang kemudian memegang
peranan penting dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
Tahun 1998, merupakan tahun yang bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah
negara yang mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke
Universitas Sumatera Utara
64 sistem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan oleh rejim. Komnas HAM merupakan salah satu institusi yang memiliki
peranan cukup penting dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM. Komnas HAM dibentuk pertama kali pada tahun 1993 oleh Keputusan
Presiden Kepres No. 50 Tahun 1993 atas rekomendasi Lokakarya Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI
dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam masa kerja 1993-1998, Komnas HAM tidak ada ubahnya sebagai sebuah pajangan
pelengkap dari sebuah negara namun tidak mempunyai dampak yang signifikan. Pada tahun 1998, desakan yang begitu kuat dari berbagai
pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi,
keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan tindak pidana umum diyakini tidak akan berjalan
maksimal sebagaimana diharapkan publik. Sependapat dengan
pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji bahwa penanganan kasus- kasus pelanggaran HAM berat cukup rumit jika harus melalui pengadilan
HAM. Tetapi, kesulitan itu bisa dipermudah jika Jaksa Agung mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya.
Universitas Sumatera Utara
65 Fungsi Jaksa Agung ada dua, penyidik dan penuntut. Jaksa Agung
memang tidak bisa membawa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke pengadilan HAM. Tapi itu ada di tahap penuntutan. Saat ini Jaksa Agung
masih penyidik, belum penuntut. Karena itu wajib menyidik laporan Komnas HAM. Jika penyidikan selesai, dan Jaksa Agung hendak
melakukan penuntutan, baru DPR merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc. Dengan begitu, alasannya lebih masuk akal.
Permintaan Jaksa Agung agar DPR lebih dulu mengusulkan pengadilan ad hoc HAM sebelum Jaksa Agung menyidik, sama saja dengan meminta
DPR kembali masuk ke ranah hukum. Jaksa Agung seharusnya berpegang teguh pada hukum yang memberi kewenangan kepada
Komnas HAM untuk menentukan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Sebab bukan tidak mungkin kasus penculikan aktivis 19971998
akan bemasib seperti kasus Trisakti Semanggi. Terhambat karena DPR masuk ke ranah hukum dan menganulir penyelidikan Komnas HAM.
Jalannya memang berliku-liku, tapi itu bisa dipermudah kalau Jaksa Agung mempunyai niat untuk menyelesaikannya. Artinya, semua itu
kembali keniatnya. Apakah Jaksa Agung mau atau tidak. Rentetannya adalah; Komnas HAM melakukan penyelidikan, hasilnya diserahkan
kepada Jaksa Agung, kemudian didalami melalui penyidikan oleh Kejaksaan Agung, setelah itu, kalau dinyatakan ada unsur pelanggaran
HAM berat, baru DPR mengeluarkan rekomendasi untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Dua kasus yang telah ditangani oleh pengadilan HAM Ad Hoc telah
Universitas Sumatera Utara
66 menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak tentang efektifitas dari
mekanisme ini untuk mendapatkan rasa kebenaran dan keadilan bagi korban. Dalam pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor- Timur telah
menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan, khususnya kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam tingkatan komando
pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat bertanggung jawab lepas dari tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM Ad Hoc
untuk kasus Tanjung Priok Terkait dengan terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota
Dewan HAM PBB, Kepala Bidang Operasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Kontras Indria Fernida menegaskan, hal
itu merupakan kenyataan yang bertolak belakang dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap proses hukum kasus pelanggaran HAM
berat. Dalam periode keanggotaan Dewan HAM PBB 2006 lalu, telah terbukti bahwa pemerintah Indonesia telah mengingkari pledge and
commitment yang dibuat pada saat pencalonan sebelumnya. Pengingkaran tersebut, dapat dilihat dari beberapa masalah yang krusial
di dalam negeri berkaitan dengan penegakan HAM. Pemerintah Indonesia seharusnya malu, karena hingga kini
penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti Semanggi I dan II TSS, kasus Mei 1998 serta kasus
Penculikan Aktivis 19971998 belum ditangani secara serius. Bahkan sebaliknya, Jaksa Agung menolak menindaklanjuti penyidikan kasus-
kasus tersebut dengan alasan yang mengada-ada . Ia juga mengatakan bahwa Jaksa Agung telah mendeligitimasi penyelidikan peristiwa
Universitas Sumatera Utara
67 pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM dengan mengusulkannya
melalui mekanisme pidana biasa. Di sisi lain, DPR juga mempolitisir kasus-kasus ini dan menjadikannya sebagai komoditas politik. Sementara
Presiden tidak mengambil langkah aktif untuk membuka kebenaran dari sejarah kelam masa lalu. Bila mengacu pada janji-janji kampanye
Presiden SBY dalam kampanyenya sebelum terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya, maka seharusnya dia berani menyelesaikan kasus-
kasus di masa lalu. Apalagi katanya, bahwa Demokrat menjadi mayoritas di DPR dan hal itu akan dipengaruhi pula terhadap kekuatan koalisinya di
DPR. Akhirnya dari pemaparan diatas, terlihat jelas bahwa harapan untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu semakin jauh dari kenyataan. Mekanisme yang dibuat oleh pemerintah justru terkadang
menjadi proses impunitas bagi para pelaku. Problematik yang menghadang proses tersebut begitu banyak dan sangatlah politis.
Kekuatan politik yang berkuasa di Indonesia tidak memilikimampu untuk mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagai
salah satu syarat proses transisi sistem yang otoritarian menuju ke proses demokratis. Kelompok korban dan masyarakat membutuhkan satu
terobosan untuk merebut keadilan yang telah di injak oleh penguasa.
46
46
httpwww.Penyelesaian Kasus HAM.go.id
Universitas Sumatera Utara
68
BAB IV DASAR HUKUM DAN ALASAN PENGGUNAAN ASAS LEGALITAS