Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
lain, maka dari itu manusia disebut dengan makhluk sosial.
2
Oleh karena manusia akan selalu berusaha untuk mewujudkan bentuk ke hidupan bersama dalam
masyarakat. Keinginan untuk selalu berkomunikasi merupakan hukum agama yang tersirat, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk selalu hidup berdampingan
satu dengan yang lainnya dan saling menolong tanpa membeda-bedakan masalah ras, suku, dan bangsa.
3
Allah juga menjadikan manusia itu sebagai makhluk hidup yang selalu menjaga kehormatan dan kemuliaan martabatnya. Oleh karena itu agar bentuk
kehidupan bersama antara seorang pria dan wanita terjaga baik kehormatan dan kemuliaan, maka diaturlah dalam suatu ikatan perjanjian yang suci dan kokoh untuk
membentuk suatu keluarga yang kokoh dan kekal. Masyarakat lebih mengenal perjanjian tersebut dengan istilah perkawinan yang mempunyai fungsi –fungsi sosial
seperti regenerasi keturunan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Keturunan merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam tujuan sebuah perkawinan,
karena keturunan dapat membuat perkawinan menjadi lebih harmonis.
4
Menurut Undang- Undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dengan tujuan membentuk
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia , Jakarta : Balai Pustaka,2002,h. 29
3
Sayyid Qutub, Tassir FI zhilalil Qur’an, Jakarta : Gema Insani, 2000, h.171
4
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta : CV . Pedoman Ilmu jaya, 1993,cet ke – 1,h.52
keluarga rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa.
5
Selain hukuk positif yang mengatur tentang perkawiinan, hukum islam juga menjelaskan tentang bagaimana mengatur kehidupan berkeluarga yang baik sebab
islam adalah “ Rahmatal Lilalamin “ rahmat bagi semesta alam baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di
akhirat. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang
kemudian.
6
Keluarga merupakan bagian dari institusi sosial yang terkecil dalam masyarakat. Satu sisi dapat dipahami sebagian dari proses sosial, namun di sisi lain
juga dapat dipahami sebagi cara membangun masyarakat yang ramah nilai, manfaat dan arti kehidupan yang lebih luas. Untuk menghantarkan yang demikian, keluarga
mesti memiliki seperangkat aturan yang dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi diantara anggota keluarga terhadap hak dan kewajibannya masing – masing.
7
Menurut agama Islam hak dan kewajiban suami istri tercermin dalam kehidupan sehari-hari antara keduanya. Pergaulan tersebut berupa pergaulan yang ma’ruf, dan
saling menjaga rahasia masing-masing. Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah.
Melalui rumah tangga yang islami, diharapkan akan terbentuk komunitas kecil
5
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama , Jakarta : PT Internasa , 1991, cet . ke-1,h. 187
6
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang , 1993, Cet, ke – 3,h.9
7
Zaituah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan , Jakarta : el-kahfi,2008,h. 265
masyarakat islami. Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat. Bila setiap keluarga dibina dan dididik dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam,
maka pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang islami pula.
8
Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
9
Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi munahhad SAW tidak pernah
menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.
10
Namun, tidaklah dapat dipungkiri bahwa untuk mempertahankan suatu mahligai perkawinan yang sesuai dengan tujuan perkawinan dan ketentuan pergaulan
suami istri seperti yang diharapkan oleh agama Islam itu tidaklah mudah. Hal itu karena manusia dalah makkhluk yang tak luput dari kesalahan, khilap, dan dosa.
Begitu pula suami istri, tidak ada suami istri yang hidup dalam masa indah yang tentram terus menerus tanpa adanya rintangan dan hambatan sebab kehidupan itu
laksana berlayar yang penuh dengan gelombang, oleh sebab itu seharusnya pasangan suami istri harus pintar-pintar menjaga hubungannya agar tidak kandas di tengah
jalan. Namun jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan airnya, sehingga hati sudah tidak lagi memperdulikan satu sama
8
Hasbi Indra, Potret Wanita Shalihah, Jakarta : Penamadani, 2004 ,h. 61
9
Zaituah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan ,h. 275
10
Abdullah Gymnastiar, Aa Gym dan Fenomena Darrut tauhid, Bandung : PT Mizan ,2002,h.210
lainnya, maka yang akan terjadi adalah percekcokan yang terus menerus dan tidak menutup kemungkinan berakhir dengan perceraian.
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai macam permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri , muncul pula masalah-masalah lain sebagai
akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta bersama, dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula permasalahan tentang
siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah pemeliharaan terhadap anak.
11
Hadhanah atau pemeliharaan terhadap anak, juga mengandung arti tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya
serta mencukupi kebutuuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan
nafkah anak tersebut berkelanjutan sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Proses pemeliharaan
anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika kedua orang tua saling bekerja sama dan saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika
keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah. Permasalahannya seberapa efektifkah pasal 105 point c jo pasal 156 point d
Kompilasi Hukum Islam di dalam memenuhi kebutuhan biaya hadhanah anak yang masih di bawah umur akibat perceraian, khususnya jika ayah tidak mampu sama
11
Said Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Hukum keluarga Islam kontemporer analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah, Jakarta : Prenada Media, 2004 , h. 189
sekali ataupun tidak bertanggung jawab sedikitpun. Di sini penulis akan mencoba menganalisis pasal 105 point c dan pasal 156 point d yang berbunyi :
pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya, b
pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.
12
Dan juga hal yang sama di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 156 point d yang berbunyi “semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus dirinnya sendiri 21 tahun.”
13
Pasal ini memang sangat jelas, akan tetapi belum tentu sempurna. Dengan lahirnya pasal ini menjadi suatu jaminan hak-hak khususnya bagi anak yang masih di
bawah umur ketika kedua orang tuanya bercerai. Letak masalahnya ketika sang ayah tidak bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali di dalam
pembiayaan hadhanah tersebut menjadi suatu problem. Karena tujuan dilahirkannya pasal ini, yaitu guna untuk menjamin hak-hak anak, di dalam pasal 105 dan 156
Kompilasi Hukum Islam jelas- jelas tidak mengakomodir ketika sang ayah tidak bertanggung jawab sama sekali ataupun tidak mampu sama sekali. Tentunya hak –
hak yang nantinya akan diperoleh oleh anak akan tidak ada.
12
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, CV. Nuansa Aulia , 2008 ,h. 33
13
Nuansa Aulia, kompilasi Hukum Islam, h. 48
Berangkat dari paradigma di atas penulis berfikir hal ini perlu dikritisi. Karena di zaman sekarang terutama di kota metropolitan terdapat banyak faktor penyebab
permasalahan khususnya di dalam pembiayaan anak, macam problematika sosial yang tentunya berujung pada permasalahan kewajiban pemeliharaan anak pasca
perceraian. Sesuai dengan wacana di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk penelitian dengan judul :
KEWAJIBAN PEMBIAYAAN HADHANAH ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN
studi kritis terhadap pasal 105 point c jo Pasal 156 point d Kompilasi Hukum Islam