Wasiat kepada ahli waris : studi komparatif pasal 195 kompilasi hukum islam dengan hukum islam

(1)

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Ilham Ismail

NIM : 106043101303

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Ilham Ismail NIM : 106043101303

Pembimbing :

Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA NIP : 195008171989021001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta; 15 Rabiul Akhir 1432 H 21 Maret 2011 M


(4)

iv

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis, sehingga dengan kudrat dan iradatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Salawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dibalik selesainya skripsi yang berjudul “Wasiat Kepada Ahli

Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMF), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses penulisannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat, di tengah kemampuan ekonomi yang kurang memadai. Akan tetapi, dengan penuh keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut.

Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang tiada hingga penulis sampaikan kepada yang terhormat :


(5)

v

Dr. Drs. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Prodi yang telah memberikan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA pembimbing skripsi yang

telah banyak memberikan bantuan, baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.


(6)

vi balasan yang berlipat ganda.

Harapan penulis semoga skripsi ini berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.

Jakarta; 7 Rabiul Awal 1432 H

11 Februari 2011 M


(7)

vi

KATA PENGANTAR ...

i

DAFTAR ISI ...

iv

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Metode Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan ... .... 15

BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT ………….. 17

A. Pengertian Wasiat ... 17

B. Dasar Hukum Wasiat ... 19

C. Hukum Wasiat ... 24

D. Rukun dan Syarat Wasiat ... .... 26

E. Kadar Dan Hikmah Wasiat ... 31


(8)

vii

A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 35

B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 45

C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum Nasional ... 48

D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 51

BAB IV : ANALISIS WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PASAL 195 DAN HUKUM ISLAM ……… 54

A. Kedudukan Wasiat Kepada Ahli Waris ... 54

1.Menurut Imam Mazhab ... 54

2.Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 59

B. Relevansi Pasal 195 Kompilasi Hukm Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris di Indonesia ... 63

BAB V : PENUTUP ………. 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran-saran ... 67


(9)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pengaruh informasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitasnya ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fikih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang berubah pula. Dengan demikian sifat fikih sangat fleksibel. Dalam kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan:

ﺔّﻠﻌﻟا ﻊﻣ روﺪﯾ ﻢﻜﺤﻟا

ﺎﻣﺪﻋ و ادﻮﺟو

.

1

Artinya: Keberadaan hukum itu sesuai dengan ‘illatnya, baik ada dan tidak adanya. Pada dasarnya, hukum Islam dihadirkan dalam rangka untuk merealisasikan kemashlahatan individu maupun kemashlahatan sosial yang selalu sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Oleh kerenanya, hukum Islam selalu bersifat elastis dan

1


(10)

fleksibel. Dalam rangka inilah, selalu diperlukan ijtihad agar terealisasikannya hukum Islam.

Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk dan mayoritas warga negara memeluk agama Islam, banyak upaya yang dilakukan oleh ulama agar hukum Islam menjadi hukum positif dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh karenanya, diantara upaya untuk merealisasikan hukum Islam adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bahtsul Masail dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu juga, untuk menjawab seputar masalah hukum Islam yang terjadi seiring dengan berkembangnya zaman.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945 menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah.2

Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya

2

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 240-241


(11)

masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris”, dinyatakan dihapus.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.4 Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi.

Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansional dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Qur’an dan Al-Sunnah dan secara hierarkial mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang

3

Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2

4


(12)

berlaku.5 Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI) memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global dan memperhatikan tatanan hukum barat yang tertulis (terutama hukum eropa kontinental) dan tatanan hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Di Bidang Kewarisan, Wasiat dan Perwakafan (Buku II dan Buku III) dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya merupakan suatu bentuk peralihan dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan fuqaha ke dalam bentuk qanun. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat majemuk, khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat lokal, diantaranya ketentuan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang kebolehan memberikan wasiat kepada ahli waris dengan syarat adanya persetujuan dari ahli waris lainnya.

Dalam hal wasiat, Islam mensyari’atkan ketentuan adanya wasiat dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama dan juga bentuk amal jariyah si mayit sebagai tambahan amal kebajikannya. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dapat dilaksanakan bila si mayit mempunyai harta peninggalan dan sudah dibereskan masalah yang sudah berkaitan dengan si mayit seperti biaya penguburan dan hutang piutang. Dengan demikian masalah perwasiatan erat hubungannya dengan harta peninggalan si mayit yang bahasa arab disebut tirkah.

5


(13)

Secara khusus tirkah diartikan dengan segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai bagi ahli waris, seperti kebendaan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, serta bukan kebendaan yang bersangkutan dengan orang lain.6 Demikian juga diungkapkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah sedangkan Hanafi dan Ibnu Hazm hanya berupa harta benda saja.

Adapun hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan terdiri atas beberapa urutan, seperti hak yang berkaitan dengan zat harta tirkah, pengurusan biaya jenazah, pelunasan hutang piutang. Hutang piutang kepada Allah SWT, seperti pelaksanaan ibadah haji bila mampu atau hutang kepada manusia, seperti melaksanakan wasiat dan pembagian waris.7

Dalam syari’at Islam pelaksanaan wasiat telah diatur oleh Al-Qur’an juga Al-Sunnah. Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan tentang wasiat adalah yang terdapat dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 dan juga Surat al-Maidah Ayat 106. Adapun dalam pelaksanaannnya dilakukan setelah orang yang berwasiat telah meninggal dunia.

Wasiat hanya berlaku sepertiga dari harta peninggalan bila masih ada ahli waris dari si mayit, baik wasiat itu dikeluarkan masih sakit atau sehat. Apabila melebihi sepertiga harta peninggalan, maka kesepakatan ulama mazhab adalah membutuhkan izin dari ahli waris yang ada. Bila ada sebagian mengizinkan

6

Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif,1984), h. 36-37 7


(14)

sedangkan yang lain tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang mengizinkan, sedangkan izin ahli waris adalah sah dan berlaku jika ia berakal sehat, baligh dan dapat dipercaya.8

Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat yang tersebut di atas, para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini. Mayoritas mereka berpendapat bahwa status hukum wasiat adalah tidak fardhu ‘ain, baik kerabat dan orang tua atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.9

Implikasi wasiat yang dipahami oleh para ahli hukum Islam itu adalah kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat secara nyata, jika mereka tidak berwasiat maka tidak perlu mengada-ngada agar wasiat dilaksanakan karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 telah dinasakh oleh Surat an-Nisa Ayat 11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat dekatnya, baik orang-orang yang menerima warisan ataupun tidak menerima warisan setelah turunnya Surat an-Nisa Ayat 11-12 itu sudah tertutup haknya atau dengan kata lain tidak menrima wasiat.

Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa yang dikehendakinya, namun harus terikat dengan beberapa ketentuan. Adanya ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar pelaksanaan hak seseorang untuk berwasiat jangan sampai merugikan pihak yang lain. Adapun tentang hukum

8

Jawad Mighniyah, Terjemah Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.513

9

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 153


(15)

berwasiat, para ulama hukum Islam tidak ada perbedaan di kalangan mereka dalam kebolehannya berwasiat sebagian harta kepada siapa yang dikehendakinya selain ahli waris yang akan mendapatkan harta warisan, dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta peninggalan.

Berbeda dengan hal itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapat pembagian warisan:10

1. Pendapat yang dipegang oleh para Imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pihak yang menerima wasiat harus bukan yang terdiri dari ahli waris yang mendapat pembagian harta warisan bilamana dalam kasus tersebut terdapat ahli waris yang lain. Sehingga wasiat kepada ahli waris tidak sah. Alasan mereka beberapa ketegasan Rasulullah, antara lain hadis riwayat Nasa’iy:

ثراﻮﻟ ﺔّﯿﺻو ﻻ و ﮫّﻘﺣ ّﻖﺣ ىذ ّﻞﻛ ﻰﻄﻋا ﺪﻗ ﷲا ّنا

)

ىءﺎﺴّﻨﻟا هاور

(

11

Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Al-Nasa’iy)

Hadis tersebut menunjukan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak sah kecuali atas izin ahli waris yang lain. Menurut aliran ini Surat al-Baqarah Ayat 180 :

10

Setria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 380

11


(16)











Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.(QS. al-Baqarah/2: 180) Ayat ini telah dinasakh oleh ayat pembagian harta warisan, yakni Surat an-Nisa Ayat 11-14:


























































































(17)



















































Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.

An-Nisa/04: 11)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudahh dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak


(18)

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi

Maha Penyantun. (QS. An-Nisa/04: 12)

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa/04: 13)

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa/04: 14)

Dengan turunnya ayat mawaris tersebut, maka berakhirlah masa diwajibkannya berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang mewajibkan berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama muslim, tetapi secara bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan harta warisan disebabkan berlainan agama.

2. Pendapat yang dianut oleh kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah. Seandainya ahli waris menyetujuinya juga, begitu aliran ini menjelaskan, maka


(19)

statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana lazimnya praktek hibah.12

3. Syi’ah Imamiyah dan sebagian dari Syi’ah Zaidiyah berpendapat boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan dari ahli waris yang lain dalam batas jumlah sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Ayat 180 Surat al-Baqarah telah dinasakh oleh ayat-ayat mawaris dalam Surat an-Nisa.13

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam membahas tentang wasiat menjabarkan dalam pasal 195 tentang kebolehannya berwasiat kepada ahli waris setalah adanya persetujuan dari pihak ahli waris yang lain.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang fenomena perbedaan pendapat tentang wasiat kepada ahli waris, secara khusus tentang kebolehan wasiat kepada ahli waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena disadari secara umum Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah merupakan sumber hukum Islam yang sangat bercorak keindonesiaan, maka dari itu penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul Peran “Wasiat Kepada Ahli Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam”.

12

Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 240

13


(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalahnya berkisar tentang pemberian wasiat kepada ahli waris menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kajian persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam serta kajian tentang relevansinya dengan konteks keindonesiaan.

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka terdapat pokok masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) tentang wasiat kepada ahli waris serta persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam tentang wasiat kepada ahli waris?

2. Bagaimanakah relevansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi adalah sebagai berikut:

1. Agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan tentang wasiat kepada ahli waris antara pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan hukum Islam. 2. Agar dapat mengetahui relefansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI)


(21)

Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi manfaat:

1. Memperkaya pemahaman bagi penulis yang dalam hal ini lebih memahami kajian hukum Islam dan tatanannya yakni Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini. 2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para peminat

studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan menambah khazanah kepustakaan.

D. Kajian Pustaka

Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan mirip dengan penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis yakni skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syaukani, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Tahun 2006 yang berjudul “Pengaruh Pembunuhan Tidak Sengaja Terhadap Wasiat Dalam Perspektif Hukum Islam”.

Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang pengaruh pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja terhadap wasiat, apakah pelaku pembunuhan tidak sengaja masih memperoleh wasiat?

Berbeda dengan skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi penulis “Faktor Dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris”, penulis lebih mendiskripsikan tentang kajian komparatif tantang wasiat kepada ahli waris antara hukum Islam dengan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi bagian dari sumber rujukan hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia.


(22)

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah pendekatan hukum normatif, analisis deskriptif dan kajian perbandingan.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah pustaka yang bersifat kualitatif yang dalam pengumlan datanya menggunakan bahan-bahan tulisan atau dokumen. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis data.

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.14 3. Data Penelitian

a. Data Primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan objek dari skripsi ini.

b. Data Sekunder

Bahan pustaka, buku-buku, literatur-literatur yang mempunyai hubungan dengan skripsi ini.

14


(23)

4. Tekhnik Pengolahan Data

Setelah data-data kualitatif terkumpul, penulis menggunakan study komparatif (perbandingan) dengan membandingkan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan hukum islam.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan

Bab II : Ketentuan Umum Perwasiatan Menurut Hukum Islam. Adapun Fokus Kajiannya Adalah Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Menerima Wasiat, Kadar Dan Hal-Hal Yang Membatalkan Wasiat.


(24)

Bab III : Berisi Mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun Fokus Kajiannya Adalah Dasar Pembentukan Dan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Tujuan Dari Perumusan KHI.

Bab IV : Analisis Faktor dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris. Bab Ini Terdiri Dari Dasar Pembentukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Relefansinya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Negara Indonesia Saat Ini.

Bab V :Penutup Yang Meliputi Kesimpulan dan Saran-saran. Daftar Pustaka


(25)

17

KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT

A. Pengertian Wasiat

Wasiat menurut bahasa adalah meminta sesuatu kepada orang lain agar ia dapat mengerjakan sewaktu yang memberi tersebut tidak ada baik ia masih hidup atau sudah mati.1 Sedangkan menurut istilah wasiat adalah suatu pemberian dari seseorang kepada orang lain baik berupa barang, hutang piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.2

Pengertian secara bahasa tersebut masih bersifat umum, sehingga membatasi terhadap kematian si pewasiat. Yang dititikberatkan di sini adalah keadaan si pewasiat, apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.

Untuk manjelaskan pengertian wasiat itu sendiri, di sini dikemukakan beberapa definisi yang diberikan para ulama mazhab dan pakar dalam menta’rifkan secara syara antara lain:

1. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian tentang wasiat sebagai berikut:

اﻮﻟﺎﻗ ﺔﯿﻔﻨﺤﻟا

:

ءاﻮﺳ عﺮﺒﺘﻟا ﻖﯾﺮﻄﺑ تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﻰﻟا فﺎﻀﻣ ﻚﯿﻠﻤﺗ ﺔﯿﺻﻮﻟا

أ

نﺎﻛ

ﻠﻤﻟا

ﺔﻌﻔﻨﻣ ما ﺎﻨﯿﻋ ﻚ

.

3

1

Sutan Rajasa, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), h. 631 2

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 1990), Jilid 4, h. 217 3


(26)

Artinya: “Wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain setelah (‘aqid) meninggal dunia dengan jalan sukarela, sama sebagaimana kepemilikan benda atau manfaat”.

2. Ulama Malikiyah mendefinisikan wasiat adalah sebagai berikut:

ﺔﯿﻜﻟﺎﻤﻟا

ﻟﺎﻗ

اﻮ

:

ﮫﺗﻮﻤﺑ مﺰﻠﯾ هﺪﻗﺎﻋ لﺎﻣ ﺚﻠﺛ ﻰﻓ ﺎﻘﺣ ﺐﺟﻮﯾ ﺪﻘﻋ ﺔﯿﺻﻮﻟا

.

4

Artinya: “Wasiat adalah suatu ‘aqad perjanjian yang menimbulkan suatu dalam memperoleh sepertiga harta dari orang yang memberikan janji yang bisa dilangsungkan ketika yang memberikan itu meninggal dunia.” 3. Ulama Syafi’iyah mengartikan wasiat sebagai berikut:

5

.

ﻻ و

أ

ﺎﻈﻔﻟ ﮫﻓﺎﺿ

أ ءاﻮﺳ تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﻰﻟإ

فﺎﻀﻣ ﻖﺤﺑ عﺮﺒﺗ ﺔﯿﺻﻮﻟا اﻮﻟﺎﻗ ﺔﯿﻌﻓﺎﺸﻟا

Artinya: “Wasiat adalah sama dengan amal shadaqah dengan satu hak yang duiksandarkan pada keadaan setelah mati, baik dengan ucapan atau tidak.”

4. Ulama Hanabilah menjelaskan wasiat adalah sebagai berikut:

6

.

تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ فﺮﺼﺘﻟﺎﺑ ﺮﻣﻻا ﻲھ ﺔﯿﺻﻮﻟا

:

اﻮﻟﺎﻗ

ﺔﻠﺑﺎﻨﺤﻟا

Artinya: “Wasiat adalah menyuruh orang lain untuk melakukan daya upaya

setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia”

Pengertian wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah serta Hanabilah pada dasarnya adalah sama, yaitu suatu akad yang memindahkan hak milik yang kepemilikannnya diserahkan setelah si pewasiat telah meninggal dunia.

4

Abd al-Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unahAla Mazhab‘Alim al-Madinah al-Imam Malik bin Annas, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3, h. 1619

5

Abdurrahmsn al-Juzairy, al-Fikih ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beyrut, Dar Irsyad al-Thaba’ah 1647), Juz 3, h. 316

6


(27)

Sedangkan para pakar mengartikan wasiat sama dengan menghibahkan sesuatu kepada orang lain yang kepemilikannya dapat diambil setelah pewasiat meninggal dunia, seperti disebutkan di bawah ini.

Wasiat merupakan suatu akad yang boleh dan tidak mengikat sehingga wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak (pemberi wasiat). Dengan demikian wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang lain sesudah meninggalnya si pewasiat atau pembebasan hartanya, baik dijelaskan dengan kata-kata (lafadz) atau tidak.7 Begitu pun yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib.8 Dan wasiat bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pembagian harta warisan kepada seseorang yang selain ahli waris.9

Dari berbagai pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, atau sekedar manfaat yang akan menjadi milik bagi orang yang akan diberikan wasiat tanpa mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang yang berwasiat telah meninggal dunia.

B.Dasar Hukum Wasiat

Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat adalah berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma’ dan Ijtihad para Ulama.

1. Al-Qur’an

7

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan ‘Abdurrahman,

(Semarang: asy-Syifa, 1990), Juz 3, h. 40 8

Sayuthi Thalib, Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Askara, 1970), h. 87 9


(28)

Dalam Al-Qur’an penjelasan tentang wasiat terdapat dalam surat al-Baqarah Ayat 180 yakni:











Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah/02: 180). Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham dan mahjub yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun karena mahram (kecuali pembunuh).10 Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada hadis Nabi yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Selanjutnya dalam surat al-Maidah Ayat 106 menganjurkan dalam berwasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi, yakni:























10

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),


(29)



















Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (QS. Al-Maidah/05: 106).

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya wasiat merupakan suatu perbuatan yang dianjurkan oleh agama dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari wasiat tersebut, maka hendaklah wasiat disaksikan oleh dua orang saksi.

2. Al-Hadis

Di samping ayat Al-Qur’an, juga ada hadis Nabi Saw yang menjelaskan tentang hal wasiat di antaranya sebagai berikut:

ﻲﺿرﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﷲا ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﻊﻓﺎﻧ ﻦﻋ ﻚﻟﺎﻣ ﺎﻧﺮﺒﺧا ﻒﺳﻮﯾ ﻦﺑ ﷲا ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ

لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا

:

ﮫﻟ ﻢﻠﺴﻣ ئﺮﻣا ﻖﺣ ﺎﻣ

هﺪﻨﻋ ﺔﺑﻮﺘﻜﻣ ﮫﺘﯿﺻوو ﻻا ﻦﯿﺘﻠﯿﻟ ﺖﯿﺒﯾ ﮫﯿﻓ ﻰﺻﻮﯾ ﺊﯿﺷ

)

ىرﺎﺨﺒﻟا هاور

.(

11 11

Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, (Beyrut: Dar al-Fikr, Tt), Juz I, h. 124


(30)

Artinya: “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar R.A, Ia berkata: bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: bukankah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tercatat di sisinya”. (H.R. al-Bukhari)

ﷲا ﺪﺒﻋ ةﺪﯿﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ

،

لﺎﻗ

:

ﺪﻤﺼﻟا ﺪﺒﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧا

،

لﺎﻗ

:

ﻰﻧاﺪﺤﻟا ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﺮﺼﻧ ﺎﻨﺛﺪﺣ

،

لﺎﻗ

:

ﺮﺑﺎﺟ ﻦﺑ ﺚﻌﺷﻻا ﺎﻧﺮﺒﺧا

،

لﺎﻗ

:

ّنا ﺐﺷﻮﺣ ﻦﺑ ﺮﮭﺷ ﻰﻨﺛﺪﺣ

نا ﮫﺛﺪﺣ ةﺮﯾﺮھ ﺎﺑا

لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر

:

ّنا

ّﺮﻟا

ةاﺮﻤﻟا وا ﻞﻤﻌﯿﻟ ﻞﺟ

ّﺘﺳ ﷲا ﺔﻋﺎﻄﺑ

ﻦﯿ

ّﻢﺛ ،ﺔﻨﺳ

ّرﺎﻀﯿﻓ ،تﻮﻤﻟا ﺎﻤھ ﺮﻀﺤﯾ

رﺎﻨﻟا ﺎﻤﮭﻟ ﺐﺠﺘﻓ ﺔﯿﺻﻮﻟا ﻰﻓ نا

.

ّﻲﻠﻋ أﺮﻗو لﺎﻗ

ﺎﻨھ ﺎھ ﻦﻣ ةﺮﯾﺮھ ﻮﺑا

)

ﷲا ﻦﻣ ﺔّﯿﺻو رﺎﻀﻣ ﺮﯿﻏ ﻦﯾذوا ﺎﮭﺑ ﻲﺻﻮﯾ ﺔﯿﺻﻮﻟا ﺪﻌﺑ ﻦﻣ

.

ﻢﯿﻈﻌﻟا زﻮﻓ ﻚﻟاذو

) .(

دواد ﻮﺑا هاور

(

.

12

Artinya: “Dari ‘Aidah ‘Abdullah, dari ‘Abd Shamad, dari Nashr bin ‘Ali al-Haddany, dari al-‘Asy’ats bin Jabir, dari Syahr bin Hausyah, dari Abu Hurairah menceritakan sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Bahwa seseorang sungguh akan beramal, juga perempuan (sungguh akan beramal) taat kepada Allah SWT itu selama enam puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedang keduanya menyulitkan dalam wasiatnya, maka keduanya pun akan dipastikan masuk neraka”. Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat : ...“sesudah wasiat yang ia wasiatkannya atau (untuk membayar) hutang, padahal wasiat itu tidak juga menyusahkan, sebagai ketetapan dari Allah. Yang demekian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka akan kekal di surga-surga itu: dan demikian itu adalah kebahagiaan yang sangat besar”. (H.R. AbuDawud)

Kedua hadis tersebut memberikan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu kehati-hatian, sebab kematian seseorang tidak ada yang dapat mengetahui, kemudian pada hadis berikutnya dapat dipahami bahwa apabila seseorang beramal baik selama enam puluh tahun, sedang ia

12

Abi Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, SunanAbiDawud, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1987), Juz 4, h. 4


(31)

dalam wasiatnya berbuat kecurangan maka terhadap orang tersebut jaminannya adalah neraka.

Dalam hal ini al-Syafi’i memberikan komentarnya bahwa orang islam yang berwasiat sebaiknya wasiat tersebut ditulis dan berada di sisinya, sebab hal tersebut dapat menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam berwasiat, bisa jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai karena kematian seseorang hanya Allah yang mengetahui.

3. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid di antara umat islam pada satu masa setelah wafatnya Rasulallah terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.13

Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang masih banyak yang menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang mengingkarinya dan dengan tiada adanya pengingkaran tersebut telah menunjukan adanya ijma’.14

Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi hadis Nabi tentang kadar wasiat yang tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalannya si pewasiat.

4. Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Sedang ijtihad menurut istilah adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan

13

Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 81 14


(32)

segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan ketentuan hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.15

Ada beberapa jenis wasiat yang tidak ada penegasan hukumnya baik dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti membagi macam-macam harta benda warisan kepada ahli waris tertentu, bolehkah wasiat direalisasikan atau tidak. Dalam hal ini ulama melakukan ijtihad yang dianggap perlu oleh karena ahli waris tertentu dari harta benda warisan adalah keseluruhan harta, dengan alasan bahwa Al-Qur’an menentukan bagian warisan dua pertiga, sepertiga, seperempat, seperenam, dan seperdelapan itu adalah dari keseluruhan harta warisan yang ada.16

C. Hukum Wasiat

Dari beberapa fenomena di atas, para ulama juga berijtihad dalam menetapkan status hukum wasiat, yaitu:

1. Wajib

Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum

15

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), (Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 104

16

Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1972), h. 32


(33)

dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang belum dipersaksikan.17

2. Sunah

Berwasiat hukumnya sunnah bila diberikan kepada karib kerabat atau ditujukan kepada orang-orang miskin dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan sosial.18

3. Haram

Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama islam.19

4. Makruh

Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang berwasiat itu sedikit hartanya, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang banyak yang membutuhkan hartanya. Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika diketahui atau diduga dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta tersebut dalam kefasikan dan kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu mengetahui dan

17

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 222 18

Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 449 19


(34)

menduga bahwa orang akan diberi wasiat itu menjadi baik, maka hal ini menjadi sunnah.20

5. Mubah

Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada kerabat, tetangga atau yang lain yang penghidupannya tidak kekurangan.21

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan tentang hukum wasiat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keadaan si pewasiat dan orang yang akan diberikan wasiat sangat mempengaruhi terhadap status hukum dari wasiat itu sendiri. Seperti contoh, apabila orang yang akan berwasiat sebelum meninggal, ia masih memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah SWT yang hanya diketahui olehnya, maka hukum wasiat adalah wajib. Wasiat pun akan menjadi haram apabila hendak berwasiat yang bertujuan untuk kemaksiatan. Seperti berwasiat untuk membangun rumah prostitusi. Wasiat juga dianggap makruh apabila meninggalkan harta yang sedikit sedangkan banyak ahli yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan tersebut.

D. Rukun dan Syarat Wasiat

Wasiat yang telah diatur oleh syariat Islam merupakan suatu amalan yang sangat dianjurkan, hal ini karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapatkan pahala dari allah swt dan juga mengandung nilai-nilai sosial yang mengandung kemashlahatan bagi yang ada di dunia.

20

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 223 21

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Tintamas, 1981), h. 57-58


(35)

Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak syariat maka diperlukan sebuah perangkat aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan syarat syariat. Rukun syarat itu merupakan kumpulan komponen yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat.

Adapun rukun wasiat terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan rukunnya wasiat diantaranya ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwasanya rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka wasiat adalah suatu akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, tidak mengikat pihak yang menerima wasiat. Oleh sebab itu qabul tidak diperlukan.22

Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, bahwa rukun wasiat itu ada empat, yaitu:23

1. Al-Mushi (orang yang berwasiat) 2. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat) 3. Al-Musha bihi (harta yang diwasiatkan) 4. Sighat (lafaz atau ucapan)

Dari keenpat rukun di atas, masing-masing memiliki syarat yang harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun wasiat tersebut adalah sebagai berikut:

22

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 1927 23

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata(BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 136-237


(36)

a. Al-Mushi (orang yang berwasiat)

Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli tabarru’) yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena adanya kedunguan dan kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu adalah seseorang yang kurang kompetensinya, yaitu karena ia masih anak-anak, gila, hanba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Untuk itu imam syafi’i menghukumi tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum baligh.

b. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat)

Bagi orang atau badan hukum yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut:

1) Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang menerima wasiat tersebut, nama orang tersebut, atau badan organisasi tersebut. 2) Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada

secara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan. 3) Bukan tujuan kemaksiatan.

c. Al-Musha bihi (harat yang diwasiatkan)

Sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) dengan syarat sebagai berikut:

1) Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak bergera, atau dapat menjadi objek perjanjian.


(37)

2) Benda itu sudah ada (wujud) pada waktu diwasiatkan. 3) Hak milik itu betul kepunyaan si pewasiat

d. Shighat (lafaz atau ucapan)

Shighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh si pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima wasiat sebagai tanda terima atas ijab wasiat. Ajab dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.

Penjelasan tentang rukun dan syarat wasiat juga disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:

Pasal 194

1)Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

2)Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

3)Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195

1)Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.

2)Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

3)Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4)Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris.

Dalam pasal 194 dan 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta harta yang akan diwasiatkan merupakan hak seutuhnya si pewasiat.


(38)

Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah bila telah disetujui oleh ahli semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun dalil tentang notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:





































Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa /04: 135)

Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan.





































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat


(1)

66 BAB V PENUTUP A.Kesimpulan

Sebagai akhir dari penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan beberapa

kesimpulan yang merupakan inti uraian pembahasan tersebut antara lain:

1. Setelah melakukan penelitian berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris Jumhur ulama berpendapat bahwa berwasiat terhadap ahli waris mutlak tidak dapat

dilaksanakan kecuali atas persetujuan ahli waris lainnya, jika mereka

mengizinkan selama tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan maka wasiat

dapat dilaksanakan dan jika tidak mengizinkan maka hukum wasiat adalah batal.

Ulama sepakat bahwa wasiat yang diberikan kepada selain ahli waris dan wasiat

tersebut tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, maka dibolehkan tanpa

harus menunggu persetujuan dari ahli waris.

Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pemberian wasiat kepada ahli

waris adalah boleh selama tidak melebihi sepertiga dari harta warisan dan juga

telah ada izin dari ahli waris lainnya.

Penulis menyimpulkan bahwasanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya

tentang wasiat kepada ahli waris pada dasarnya telah seragam dengan pendapat

yang di anut oleh mazhab Syafi’i dan Jumhur. Hal ini dikarenakan keberadaan

mazhab Syafi’i yang sangat mendominasi di negara Indonesia sehingga pemikiran


(2)

67

2. Berdasarkan pada uraian sebelumnya, maka keberadaan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bisa direalisasikan dalam konteks Indonesia saat ini karena

secara umum keberadan Kompilasi Hukum Islam (KHI) termasuk di dalamnya

pasal 195 telah menjadi salah satu sumber utama dalam lingkungan Peradilan

Agama untuk mengatasi persoalan hukum yang ada di Indonesia khususnya bagi

umat Islam.

B.Saran-saran

1. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah beraku di Indonesia, agar Kompilasi Hukum

Islam (KHI) selalu menjadi rujukan dalam mengampil keputusan di lingkungan

Peradilan Agama kapan dan di manapun, maka para pejabat hukum di Indonesia

perlu untuk kembali menyempurnakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sesuai

dengan watak masyarakat Islam Indonesia saat ini yang semakin majemuk.

2. Dianjurkan kepada umat Islam khususnya di Indonesia, agar melaksanakan wasiat

dalam hal ini wasiat kepada ahli waris, seyogyanya perlu mempertimbangkan

piahk-pihak yang mempunyai hak terhadap harta peninggalan. Hal ini bertujuan

agar ahli waris yang ditinggalkan merasa tidak dirugikan dan tidak saling iri.

3. Terakhir, penulis menyarankan bagi yang akan melakukan penelitian yang

berhubungan dengan latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI),

maka harus bersemangat dalam mengumpulkan rujukan, karena telah cukup


(3)

68

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan “Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004

Al-Asy’ats, Abi Dawud Sulaiman bin, Sunan Abi Dawud, Beyrut: Dar al-Fikr, 1987

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-4,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000

Arifin, Bustanul, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ditjen Bimbaga Departemen Agama RI, 1991

Al-Baghdadi, Abd al-Wahab, al-Ma’unahAla Mazhab ‘Alim Madinah al-Imam Malik bin Annas, Beyrut: Dar al-Fikr, 1995

Basran, Masrani, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 105 Mei 1986

Basry, Hasan, Perlunya Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 104 April 1986


(4)

69

Basyir, Ahmad Azhar, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1972

Basri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

Bhreisy, Husein, Kamus Islam, Bandung: Galuni Jaya, 1990

Al-Bukhary, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhary, Beyrut: Dar al-Fikr, Tt

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1996

Danim, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pusaka Setia, 2002

Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan

Hukum, Jakarta: Dapertemen Agama RI, 1995

Djalil, Abdul Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006

Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif, 1984

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005

Harahap, Yahya, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Dalam IAIN Syarif Hidayatullah, ed., Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1988

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1981


(5)

Al-Juzairy, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beyrut, Dar al-Irsyad al-Thaba’ah 1647

Mughniyah, Jawad, Terjemah Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996

Muhibbin, Moh, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Muthohhar, Abdul Hadi, Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan

Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW),

Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan ‘Abdurrahman, Semarang: asy-Syifa, 1990

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: al-Ma’arif, 1990

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: Bina Askara, 1990

Sumberindonesia.blogspot.com

Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Cet. 1, Bandung: Pustaka Setia, 2007

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, al-Umm, Beyrut: Dar al-Fikr, 1987

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997

Al-Suyuti, Jalaluddin, Syarh Sunan Nasa’i, Beyrut: Dar al-Fikr, Tt


(6)

71

At-Turmudzi, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sawrah, Sunan at-Turmudzi, Beyrut: Dar al-Fikr, 1994

Usman, Suparman, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997

Usman, Suparman, Hukum Islam: Asa-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam

Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001

Usman, Suparman, Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997

Zahra, Mahammad Abu, Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah, Beyrut: Dar al-Fikr, 1995

Zein, Muhammad Ma’shum, Arus Pemikiran Empat Mazhab Studi Analisis Istinbat Para Fuqaha, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Zein, Setria Effendi M, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004

Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 9, Beyrut: Dar al-Fikr, 1998