Pihak Pihak yang Berhak Mendapatkan Hak Hadhanah

berkualitas baik yang menyangkut “ imtak “ maupun “ iptek “sehingga ada keseimbangan antara intelektual quotient dan spiritual quoitieun dalam diri si anak, dan memang begitulah seharusnya orang tua yang baik yang memiliki emosi kebapakan dan keibuan tumbuh pada jiwa yang kedua orang tua, dan dari hati mereka terpancar sumber sensitifitas, tak pelak dalam sesitifits tersebut terdapat pengaruh mulia dan hasil hasil positif dalam memelihara anak – anak dan kesejahteraan mereka dan bergerak menuju kehidupan tentang dan tentram dan masa depan yang mulia dan luhur 15 Ilustrasi dari sebuah rumah tangga di atas dijelaskan oleh banyak pasangan dan itu merupakan perwujudan dari ketaatan kepada Allah SWT, sebagimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: ⌧ ﺮ ا 66 : 6 “ Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendhuharkai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakannya apa yang diperintahkannya “. QS.Al-Tahrim:6 Ayat tersebut memerintahkan untuk semua kaum muslimin untuk mengasuh dan mendidik anak – anaknya. Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada 15 Abdullah Nashih Ulwah, Pemeliharaan kesehatan jiwa anak terj , penerjmh: Khulullah Ahmad Masjkur Hakim, Bandung : Remaja Rosdakarya,1996 , Cet, ke- 3,h.7 saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan. Ketegangan suami isteri biasanya timbul dari hal yang kecil seperti perasaan yang kurang dihargai bagi isteri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi “ bom waktu “ yang sewaktu- waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian. Perceraian baik yang disebabkab oleh kematian salah satu pihak atau talak, fasakh, atau li’an, akan menimbulkan akibat bagi ” penyelenggaraan anak “ terutama anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun. Mengenai pemeliharaan anak ini yang lebih berhak menurut mayoritas ulama adalah ibu dikarenakan kesempurnaan kasih sayangnya. Alasan mengapa ibu lebih didahulukan hak asuhnya dari pada ayah, atas dasar hadist Rasulullah SAW : ﻋ ْﻦ ﻋ ْﺪ ﷲا ْ ﻦ ﻋ ﺮ وا ن اْ ﺮ اة ﺎ ْ ا ﷲا ن اْ ْﺪﺛو ءﺎﻋو ْ نﺎآ ﺬه ﷲا لﻮ ر لﺎ ﻋﺰ ْ ْنا دراو ﺎ ا ناو ءاﻮ يﺮْ و ءﺎ ﻜْ ْ ﺎ ا ْا و ْ ﻋ ﷲا ﺪ أ ﺟﺮﺧا “ Dari Abdillah Bin Amr, bahwasanya seorang perempuan berkata : ya Rasulullah sesunggunya anakku ini perutku tempatnya, susuku menjadi minumnya, pangkuanku menjadi tempat pemeliharaanya, dan sesungguhnya ayahnya telah mentalaknya saya dan ia hendak mengambilnya dari saya, maka Rasulullah berkata : engkaulah lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah . 16 dikeluarkan oleh Imam Ahmad 16 Al- Imam Al-Hafidz Abi Sulaiman, Sunan Abu Daud, al-Qahiroh : Dar al-Harrin, 1988 M 1408 H , juz 2, h,292 Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya dan orang yang mendidiknya. Dan ibulah yang berkeawajiban melakukan hadhanah. 17 Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai pada umur teretentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik shaleh di kemudian hari. Disamping itu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan yang memiliki sayarat-syarat tersebut itu ialah wanita. 18 Menurut Imam Malik dalam kitab Muwatha’ dari yahya bin sa’id berkata Qasim bin Muahammad bahwa Umar bin Khatab mempunyai seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian ia bercerai. Pada suatu waktu Umar pergi ke Quba dan menemui anaknya itu sedang bermain-main di dalam masjid. Umar mengambil anaknya itu dan meletakkannya di atas kudanya. Dalam pada itu datanglah nenek si anak, Umar berkata, “ anakku”. Wanita itu berkata pula, “ anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada khaliah Abu Bakar. Abu Bakar memberi keputusan bahwa anak Umar itu ikut Ibunya, dengan dasar yang dikemukakannya. 19 Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian antara suami istri, mereka masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- 17 Sayid Sabiq, Fiquh Sunnah 8,,h.173 18 Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat, Jakarta : Prenada Media,2003 ,h.177 19 Abdurahman Ghazaly, Fiqih munaqahat,h,178 anak mereka yang semata- mata ditunjukan bagi kepentingan si anak. Dalam pemeliharaan tersebut walau pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut. Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara si anak. 20 Apabila sepasang suami dan istri bercerai, baik dengan jalan thalak, ataupun jalan fasah atau lian, sedangkan mereka mempunyai anak yang masih kecil, maka yang lebbih berhak mengasuh anak mereka ialah istri, yaitu ibu anak itu. Alasannya ialah bahwa pernah terjadi suatu peristiwa di zaman Rasulullah, seoarang perempuan datan pada Rasulullah: “ ya Rasulullah, anakku ini adalah dari kandunganku, pangkuanku merupakan tempatnya berlindung dan ari susuku ia mendapat minuman. Bapaknya telah menceraikan daku dan ia hendak mengambil anak ini dari padaku.” Rasulullah pun menjawab: “ engkau lebih berhak terhadap anak ini selama engkau belum kawin lagi.” 21 Tampaknya teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak , menetapkan untuk pemeliharaan anak pada pihak ibu selama si anak belum balig dan belum menikah dengan lelaki lain. Alasanya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq, “ ibu lebih cendrung sabar kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya. Maka jelaslah yang 20 Aminur Nuruddin, Azhari Akmal Taligan, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih.UU No 1 1974 sampai KHI Jakarta: Prenada Media,2006 ,h.296 21 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandinan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.400 berhak merawat anak adalah dari pihak istri. Alasannya seperti telah diungkap dalam pernyataan Abu Bakar Siddiq di atas. Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut : pertama, sebagai ibu ikatan lahiir batin dan kasih sayang dengan anak cendrung selalu melebihi kasih sayang sang ayah. kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah. ketiga, sentuhan tangan keibuan pertumbuhan dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat. 22 Senada dengan penjelasan Masdar, menurut Muhammad Baqir Al-Habsyi, sebab-sebab ibu lebih berhak adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan keperluan anak dalam usianaya yang masih amat muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada ayahnya. Di samping itu, ibu memiliki waktu yang lebih panjang untuk melaksanakan tugasnya tersebut di banding seorang ayah yang memiliki banyak kesibukan. 23 Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari pada keayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutannya sebagai berikut ini: jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukann, mislanya karena salah satu syaratnya tidak terepenuhi, mak berpindahlah ke tangan ibu dari ibu nenek dan terus ke atas. Jika ternyata ada satu halangan, maka berpindahlah ke 22 Masdar Farid Mas’udi, Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fikih Pemberdayaan, Bandung : Mizan.1997 ,h. 151-152 23 Muhammad Baqir, Al-Habsyi, Fiqih Praktis menurut Al-Qur’an dan Sunnah dab Pendapat Ulama Bandung : Mizan, 2002 ,h. 237 tangan ayah, kemudian saudara perempuannya sekandung, lalu saudara perempuannya seibu , kemudian saudara perempuan seayah. Setelah itu, kemenakan perempuannya sekandung, lalu kemenakannya perempan seibu, kemudian saudara perempuan ibu yang sekandung, lalu saudara perempuan yang seibu, lalu saudara perempuan ibu yang seayah. 24 Kemudian kemenekan perempuan ibu yang seayah, anak perempuan ke saudara laki-lakinya yang sekandung, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seibu, lalu anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah. Setelah itu kemudian bibi dari ibu sekandung lalu bibi dari ibu yang seibu, lalu bibi dari dari ibu yang seayah, lalu bibinya ibu, lalu bibinya ayah, kemudian bibinya ibu dari ayah ibu, lalu bibinya ayah dari ayahnya ayah. 25 Apabila seorang ibu uzur atau sang ibu telah meninggal dunia, maka berpindah hak mengasuh itu kepada anggota keluarga lain, menurut Mazhab Hanafi hak asuh itu berpindah dari ibu kepada : 1. Ibu dari ibu nenek 2. Ibu dari bapak 3. Saudara perempuan seibu sebapak kandung 4. Saudar perempuan seibu 5. Saudara perempuan sebapak 6. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu sebapak 24 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih munakahat II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ,h. 184 25 Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih munakahat II, h. 185 7. Anak perempuan dari saudara perempuan seibu 8. Bibi saudara perempuan ibu 9. Bibi saudara perempuan bapak Adapun menurut pandangan dari kalangan mzhab Maliki, urutan perpindahan itu sesudah ibu. 1. Ibu dari ibu nenek 2. Bibi kandung 3. Bibi seibui 4. Bibi ibu saudara perempuan nenek 5. Bibi ibu saudar perempuan Bapak dari Ibu 6. Bibi Bapak saudara perempuan kakek 7. Ibu dari ibu ibu nenek 8. Ibu dari Bapak nenek Menurut mazhab Hanbali, urutan hak mengasuh itu sesudah ibu 1. Ibu dari ibu nenek 2. Ibu dari ibunya ibu ibu nenek 3. Bapak 4. Ibu dari bapak nenek 5. Kakek 6. Ibu kakek 7. Saudara perempuan seibu bapak 8. Saudara perempuan seibu 9. Saudara perempuan sebapak 10. Bibi kandung saudara perempuan dari ibu 11. Bibi seibu, dan seterusnya 26 Menurut mazhab Syafi’ie, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut: 1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain 2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas 3. Bapak 4. Ibu dari bapak nenek 5. Saudara yang perempuan 6. Tante bibi 7. Anak perempuan 8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 9. Saudara perempuan dari bapak. 27

D. Kewajiban Biaya Pemeliharaan Anak

Seorang ibu yang mengasuh anaknya atau orang lain berhak mendapatkan atau menerima ongkos atau upah jasa yang sudah diberikan dalam mengasuh anak itu apabila perempuan itu sudah tidak menjadi istri bapak dari anak yang diasuhnya itu, atau sudah tidak dalam iddah raj’inya lagi. Upahnya diambil dari sebagian harta anak 26 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.403 27 Slamet Abidin, Aminuddin, FIqih Munaqahat 2, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999 ,h. 186 itu sendiri kalau dia mempunyai harta seperti sejumlah kekayaan yang dihadiahkan orang. Kalau anak itu tidak mempunyai harta, maka upah tersebut menjadi kewajiban bapaknya memberi nafkah kepada anak itu. 28 Ibu memang berhak mendapatkan upah dari mengasuh anaknya namun ibu tidak berhak mendapatkan biaya asuhan seperti upah menyusukan anaknya selama dia berstatus istri atau sedang dalam masa iddah. Karena pada masa itu dia masih mendapat belanja dari suami, sebagaimana firman Allah : ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ☺ ةﺮ ا 2 : 233 .“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas 28 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam suatu studi perbandingan dalam kalangan Ahlusunnah wal jamaah, dan Negara-negara Islam ,h.408