Evaluasi Kinerja MIMO-OFDM Dengan Modulasi Adaptif Pada Long Term Evolution Dalam Arah Downlink

(1)

TUGAS AKHIR

EVALUASI KINERJA MIMO-OFDM DENGAN MODULASI ADAPTIF PADA LONG TERM EVOLUTION DALAM ARAH DOWNLINK

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendididikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro

SANDI SIBURIAN NIM. 070402033

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Adanya efek multipath fading mengakibatkan sinyal yang terima di bagian penerima akan berubah-ubah dan akan mempengaruhi kualitas bit error rate (BER) di penerima. Untuk mengatasi masalah tersebut teknologi long term evolution (LTE) sudah mendukung teknik modulasi adaptif (QPSK, 16-QAM, 64-QAM) dan MIMO-OFDM . Pada teknik MIMO-MIMO-OFDM jumlah antena pemancar dan antena penerima lebih dari satu yang akan meningkatkan dan mengoptimalkan signal to noise ratio

(SNR) di penerima sehingga diperoleh BER yang lebih baik pada jaringan. Teknik modulasi adaptif memungkinkan pengirim untuk mengubah jenis modulasinya sesuai dengan kondisi link radio yang ada untuk mendapatkan bit rate yang lebih baik.

Pada Tugas akhir ini penulis akan mengevaluasi kinerja MIMO-OFDM dengan modulasi adaptif dalam arah downlink dan akan menganalisis pengaruhnya terhadap BER pada kanal AWGN. Adapun softwa re yang digunakan untuk simulasi ini adalah MATLAB R2010a. Dari hasil simulasi dan analisa yang dilakukan diperoleh bahwa modulasi QPSK memberikan nilai bit error rate (BER) lebih rendah dibandingkan dengan modulasi 16-QAM, dan 64-QAM pada setiap nilai SNR yang sama. Dari simulasi juga diperoleh, untuk mendapatkan BER ≤ 10-3 dengan menggunakan modulasi QPSK, maka MISO 2x1-OFDM memerlukan SNR >16 dB, sedangkan MIMO 2x2 OFDM memerlukan SNR ≥ 10 dB, dan MIMO 2x4-OFDM memerlukan SNR > 2 dB. Untuk modulasi 16-QAM dengan target BER ≤ 10-3, maka MISO 2x1-OFDM membutuhkan SNR ≥ 19 dB, sedangkan MIMO

2x2-OFDM membutuhkan SNR ≥ 11 dB dan MIMO 2x4-OFDM membutuhkan SNR ≥ 6,5 dB. Untuk modulasi 64-QAM dengan target BER ≤ 10-3, maka MISO 2x1-OFDM membutuhkan SNR > 20 dB, MIMO 2x2-OFDM membutuhkan SNR ≥ 19 dB, dan MIMO 2x4- OFDM membutuhkan SNR ≥13 dB. Selain itu teknik modulasi adaptif juga dapat mempertahankan nilai BER ≤ 10-2 tetap konstan, tetapi dengan bit rate yang lebih cepat dengan mengganti jenis modulasi dengan level yang lebih tinggi. Pada simulasi diperoleh bahwa nilai SNR minimal yang dibutuhkan oleh MISO 2x1-OFDM, MIMO 2x2 OFDM, dan MIMO 2x4-OFDM untuk menggunakan modulasi 64-QAM yang memiliki bit rate lebih tinggi dan dengan tetap


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul

“Evaluasi Kinerja MIMO-OFDM dengan Modulasi Adaptif Pada Long Term

Evolution Dalam Arah Downlink”

Penulisan Tugas Akhir ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis sudah berusaha maksimal dengan kemampuan yang ada, namun penulis menyadari penyusunan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis bersedia menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini.

Tugas Akhir ini penulis persembahkan kepada orangtua tercinta, ayahanda B.Siburian dan ibunda T.Sinaga yang memberikan dukungan moral dan materil selama perkuliahan sampai selesainya penulisan Tugas Akhir ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis berupa fasilitas, moril, dan materil antara lain :

1. Bapak Ir. Surya Tarmizi, MSi, selaku Ketua Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Rachmad Fauzi, ST, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. Sihar P. Panjaitan, MT, selaku dosen pembimbing Tugas Akhir, atas bimbingan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

4. Bapak Ir. Pernantin Tarigan, MSc, selaku Dosen Wali penulis atas segala nasehat dan bimbingannya kepada penulis selama mengikuti kegiatan akademik.


(4)

5. Seluruh staf pengajar Departemen Teknik Elektro, khususnya Konsentrasi Teknik Telekomunikasi yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

6. Seluruh Pegawai dan Karyawan Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Teman-teman di Departemen Teknik Elektro USU, terkhusus angkatan 2007 8. Para Teman-teman koordinasi UKM KMK USU, yaitu candra, rani, tria,

ayet, dan meylona, serta seluruh orang yang Tuhan pakai membentuk hidupku di pelayanan ini

9. Terkhusus buat Sri Dewi Situmorang yang setia memberikan semangat dalam penyelesaian Tugas Akhir ini

Akhir kata penulis berharap semoga penulisan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan bagi siapapun yang membutuhkannya.

Medan, Agustus 2011


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….. i

KATA PENGANTAR ……… ii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR GAMBAR ...….. ix

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR SINGKATAN..……….. x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...….. 1

1.2 Rumusan Masalah ...…. 2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 2

1.5 Metodologi Penulisan ... 3

1.6 Sistematika Penulisan ... 3

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Teknologi Long Term Evolution ( LTE ) ... 5

2.1.1 Umum ...………… 5

2.1.2 Arsitektur Long Term Evolution ...… 6

2.1.3 Aspek Interface Radio LTE ...… 8


(6)

2.1.3.2 Mode Akses Radio... 9

2.1.3.3 Konfigurasi Antena Pada LTE ... 10

2.1.3.3.1 Single Input Multiple Output (SIMO) ... 11

2.1.3.3.2 Multiple Input Single Ouput (MISO) ... 11

2.1.3.3.3 Multiple Input Multiple Output (MIMO)... 12

2.1.3.4 Adaptive Modulation coding ( AMC )... 13

2.2 Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM)... 13

2.2.1 Sistem Tranceiver OFDM... 17

2.2.2.1 Transmiter OFDM ... 17

2.2.2.2 Receiver OFDM ... 19

2.3 Kanal AWGN ... 20

2.4 Modulasi dan Teknik Modulasi Adaptif... 21

2.4.1 Modulasi... 21

2.4.1.1 Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) ………... 22

2.4.1.2 Quadratute Amplitude Modulation (QAM) ………... 24

2.4.2 Teknik Modulasi Adaptif ... 27

2.5 Teknik Transmisi Antena MIMO... 28


(7)

BAB III MODEL SISTEM MIMO-OFDM PADA LTE DALAM ARAH DOWNLINK

3.1 Umum ... 32

3.2 Model Sistem ... ... 32

3.2.1 Bagian Pengirim…. ... 33

3.2.2 Modulation Mapper ... 33

3.2.2 Layer Mapper. ... 34

3.2.3 Precoder... 35

3.2.4 OFDM modulator... 36

3.2.2 Kanal MIMO... 38

3.2.2.1 Kanal MIMO 2x1... 38

3.2.2.2 Kanal MIMO 2x2... 39

3.2.2.3 Kanal MIMO 2x4... 40

3.2.2.4 Matriks Korelasi MIMO Pada LTE.... 41

3.2.3 Bagian Penerima... 42

3.2.3.1 OFDM Demodulator ... 42

3.2.3.2 SFBC Deprecoder dan Combiner... 43

3.4.3 Layer Demapper... 44

3.4.4 Demodulator... 45

3.5 Modulasi Adaptif ... 46


(8)

BAB IV HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

4.1 Parameter Simulasi ... 48

4.2 Hasil Simulasi dan Analisis ... 49

4.2.1 Perbandingan Kinerja Jenis Modulasi Pada MIMO- OFDM ……….………….………... 49

4.2.2 Kinerja MIMO-OFDM tanpa Menggunakan modulasi Adaptif ………... 51

4.2.1.4 Perbandingan Kinerja Konfigurasi MIMO- OFDM Dengan Modulasi 64-QAM... 51

4.2.1.5 Perbandingan Kinerja Konfigurasi MIMO- OFDM Dengan Modulasi 16-QAM... 52

4.2.1.6 Perbandingan Kinerja Konfigurasi MIMO- OFDM Dengan Modulasi QPSK…... 54

4.2.3 Kinerja MIMO-OFDM Dengan Menggunakan Modulasi Adaptif ... 62

4.2.2.1 MISO 2x1 –OFDM ... 57

4.2.2.2 MIMO 2x2 –OFDM ... 59

4.2.2.3 MIMO 2x4 –OFDM ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA………. 66 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Evolusi Jaringan LTE ……… 5

Gambar 2.2 Arsitektur Dasar Jaringan LTE...………. 7

Gambar 2.3 Arah Transmisi Downlink dan Uplink .………. 8

Gambar 2.4 FDD dan TDD Pada LTE……….. 10

Gambar 2.5 Konfigurasi SIMO………. 11

Gambar 2.6 Konfigurasi MISO………. 12

Gambar 2.7 Konfigurasi MIMO………... 13

Gambar 2.8 Sinyal Subca rrier yang Non-Orthogonal……….… 14

Gambar 2.9 Sinyal Subcarrier yang Saling Orthogonal pada OFDM………. 15

Gambar 2.10 Sistem Transceiver OFDM………... 16

Gambar 2.11 Transmitter OFDM……… 17

Gambar 2.12 Proses Serial to Parallel dan Modulasi………... 18

Gambar 2.13 Sistem Receiver OFDM... 19

Gambar 2.14 Fungsi kerapatan daya AWGN..……….…. 20

Gambar 2.15 Modulator QPSK………. 23

Gambar 2.16 Konstelasi Sinyal QPSK………..… 24

Gambar 2.17 Konstelasi Sinyal 16-QAM (a) dan 64-QAM (b)……… 26

Gambar 2.18 Penggunaan Modulasi Adaptif pada Kondisi Link Radio yang Berbeda ……….……… 28

Gambar 2.19 Antena MIMO 3x3………. 29

Gambar 2.20 Proses Pengkodean SFBC dengan Dua Antena Pengirim……. 31

Gambar 3.1 Model sistem yang disimulasikan……….…… 33

Gambar 3.2 Layer Mapping untuk Dua Layer………..… 34


(10)

Gambar 3.4 Blok Diagram OFDM Modulator………. 37

Gambar 3.5 Kanal MIMO 2x1……….. 39

Gambar 3.6 Kanal MIMO 2x2………. 40

Gambar 3.7 Kanal MIMO 2x4……….. 41

Gambar 3.8 Blok Diagram Sistem Penerima ……… 48

Gambar 3.9 OFDM Demodulator……….. 49

Gambar 4.1 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x1 - OFDM pada Jenis Modulasi Berbeda……….. 52

Gambar 4.2 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x2 - OFDM pada Jenis Modulasi Berbeda……….. 54

Gambar 4.3 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x4 - OFDM pada Jenis Modulasi Berbeda……….. 56

Gambar 4.4 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM dengan 64-QAM.. 58

Gambar 4.5 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM dengan 16-QAM.. 60

Gambar 4.6 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM dengan 64-QAM.. 62

Gambar 4.7 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x1 - OFDM dengan Modulasi Adaptif……….… 64

Gambar 4.8 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x2 - OFDM dengan Modulasi Adaptif………...……..… 67

Gambar 4.9 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x4 - OFDM dengan Modulasi Adaptif………... 70


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Jumlah Bit pada Beberapa Jenis Modulasi….. 22

Tabel 2.2 Pemetaan Bit pada QPSK………... 23

Tabel 3.1 Sintaks Fungsi Modulator QPSK,16-QAM, dan 64-QAM pada Matlab……….. 34

Tabel 3.2 Layer Mapping untuk dua layer………..…. 35

Tabel 3.3 Jenis Korelasi Kanal MIMO Pada LTE………. 42

Tabel 3.4 Matriks Korelasi Kanal MIMO………... 43

Tabel 3.5 Layer demapping untuk dua antena penerima………. 46

Tabel 3.6 Sintaks fungsi demodulasi pada Matlab……….. 47

Tabel 3.7 Batas treshold nilai SNR untuk pemilihan jenis modulasi.…. 48 Tabel 3.8 Logika XOR untuk mendeteksi Error Bit…….……... 49

Tabel 4.1 Parameter Sistem yang Disimulasikan……….... 50

Tabel 4.2 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x1 - OFDM pada jenis modulasi berbeda……… 52

Tabel 4.3 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x2 - OFDM pada Jenis modulasi berbeda……… 54

Tabel 4.4 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x4 - OFDM pada jenis modulasi berbeda……….... 56

Tabel 4.5 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM Dengan Modulasi 64-QAM………. 58


(12)

Tabel 4.6 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM Dengan Modulasi

16-QAM……… 60

Tabel 4.7 Perbandingan SNR vs BER MIMO-OFDM Dengan Modulasi

QPSK……… 62

Tabel 4.8 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x1 - OFDM dengan

Modulasi Adaptif………. 64

Tabel 4.9 Perbandingan SNR vs BER MISO 2x2 - OFDM dengan

Modulasi Adaptif………. 67

Tabel 4.10 Perbandingan SNR vs BER MIMO 2x4 - OFDM dengan


(13)

DAFTAR SINGKATAN

3GPP Third Generation Partnership Project AMPS Advance Mobile Phone System AWGN Adaptive White Gaussian Noise BER Bit Error Rate

CQI Channel Quality Indicator CSI Channel State Information DSL Digital Subscriber Line

E-UTRAN Evolved UMTS Terrestrial Radio Access FDD Frequency Division Duplex

FDM Frequency Division Multiplexing FFT Fast Fourier Transform

IFFT Inverse Fast Fourier Transform IMS IP Multimedia Subsystem IP Internet Protocol

ISI Intersymbol Interference LPF Low Pass Filter

LTE Long Term Evolution

MIMO Multiple Input Multiple Output MISO Multiple Input Single Ouput ML Maximum Likehood

MME/GW Mobility Management Entity/Gateway MMSE Minimum Mean Square Error

MRC Maximum Ratio Combining

OFDM Orthogonal Frequency Division Multiplexing OSTBC Orthogonal Space Time Block Coding

PAPR Peak Average Power Ratio PDN Packet Data Network

P-GW Packet Data Network Gateway PIC Parallel Interference Cancellation QAM Quadrature Amplitude Modulation QOS Quality Of Service

QPSK Quadrature Phase Shift Keying RNC Radio Network Controller

SC-FDMA Single Carrier-Frequency Division Multiple Access SFBC Space Frequency Block Coding

S-GW Serving Gateway

SIC Successive Interference Cancellation SIMO Single Input Multiple Output


(14)

SISO Single Input Single Ouput SNR Signal To Noise Ratio STBC Space Time Block Coding TDD Time Division Duplex UE User Equipment ZF Zero Forcing


(15)

ABSTRAK

Adanya efek multipath fading mengakibatkan sinyal yang terima di bagian penerima akan berubah-ubah dan akan mempengaruhi kualitas bit error rate (BER) di penerima. Untuk mengatasi masalah tersebut teknologi long term evolution (LTE) sudah mendukung teknik modulasi adaptif (QPSK, 16-QAM, 64-QAM) dan MIMO-OFDM . Pada teknik MIMO-MIMO-OFDM jumlah antena pemancar dan antena penerima lebih dari satu yang akan meningkatkan dan mengoptimalkan signal to noise ratio

(SNR) di penerima sehingga diperoleh BER yang lebih baik pada jaringan. Teknik modulasi adaptif memungkinkan pengirim untuk mengubah jenis modulasinya sesuai dengan kondisi link radio yang ada untuk mendapatkan bit rate yang lebih baik.

Pada Tugas akhir ini penulis akan mengevaluasi kinerja MIMO-OFDM dengan modulasi adaptif dalam arah downlink dan akan menganalisis pengaruhnya terhadap BER pada kanal AWGN. Adapun softwa re yang digunakan untuk simulasi ini adalah MATLAB R2010a. Dari hasil simulasi dan analisa yang dilakukan diperoleh bahwa modulasi QPSK memberikan nilai bit error rate (BER) lebih rendah dibandingkan dengan modulasi 16-QAM, dan 64-QAM pada setiap nilai SNR yang sama. Dari simulasi juga diperoleh, untuk mendapatkan BER ≤ 10-3 dengan menggunakan modulasi QPSK, maka MISO 2x1-OFDM memerlukan SNR >16 dB, sedangkan MIMO 2x2 OFDM memerlukan SNR ≥ 10 dB, dan MIMO 2x4-OFDM memerlukan SNR > 2 dB. Untuk modulasi 16-QAM dengan target BER ≤ 10-3, maka MISO 2x1-OFDM membutuhkan SNR ≥ 19 dB, sedangkan MIMO

2x2-OFDM membutuhkan SNR ≥ 11 dB dan MIMO 2x4-OFDM membutuhkan SNR ≥ 6,5 dB. Untuk modulasi 64-QAM dengan target BER ≤ 10-3, maka MISO 2x1-OFDM membutuhkan SNR > 20 dB, MIMO 2x2-OFDM membutuhkan SNR ≥ 19 dB, dan MIMO 2x4- OFDM membutuhkan SNR ≥13 dB. Selain itu teknik modulasi adaptif juga dapat mempertahankan nilai BER ≤ 10-2 tetap konstan, tetapi dengan bit rate yang lebih cepat dengan mengganti jenis modulasi dengan level yang lebih tinggi. Pada simulasi diperoleh bahwa nilai SNR minimal yang dibutuhkan oleh MISO 2x1-OFDM, MIMO 2x2 OFDM, dan MIMO 2x4-OFDM untuk menggunakan modulasi 64-QAM yang memiliki bit rate lebih tinggi dan dengan tetap


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan telekomunikasi dewasa ini sangat pesat seiring dengan kebutuhan masyarakat akan layanan komunikasi yang semakin hari semakin meningkat. Berbagai macam teknologi telekomunikasi dan layanan terus dikembangkan agar user dapat menikmati setiap layanan telekomunikasi dengan kualitas yang lebih baik. Salah satu teknologi telekomunikasi yang sangat pesat perkembangannya adalah teknologi jarigan seluler, mulai dari teknologi seluler generasi pertama, seperti advance mobile phone system (AMPS), sampai teknologi seluler generasi ke-4 (4G), seperti WIMAX dan Long Term Evolution (LTE).

Penelitian-penelitian terus dikembangkan dalam rangka inovasi teknologi telekomunikasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan layanan komunikasi. Teknologi yang saat ini dikembangkan pada teknologi WIMAX dan LTE adalah teknik MIMO-OFDM dan modulasi adaptif. Pada teknologi seluler konvensional digunakan hanya satu antena pengirim dan antena penerima untuk mengirimkan sejumlah data. Teknik

mutiple input multiple output (MIMO) memanfaatkan diversitas antena di pengirim dan penerima yang secara teoritis dapat meningkatkan signal to noise ratio (SNR) dan bit rate data yang ditransmisikan [2]. Dengan teknik MIMO transmit diversity

masing-masing sinyal yang sama dikirimkan melalui beberapa antena pengirim dan pada penerima akan dilakukan proses combining untuk mendapatkan sinyal dengan

kualitas yang terbaik sehingga diperoleh SNR yang optimal di bagian penerima. Semakin banyak antena yang digunakan pada bagian pengirim dan penerima, maka SNR dapat diperoleh secara maksimal sehingga akan diperoleh nilai BER yang kecil.

Teknik OFDM memberikan keuntungan dalam hal efisiensi bandwidth dan keunggulan dalam menghadapi gangguan lintasan jamak, serta modulasi adaptif memungkinkan sistem mengubah mode modulasinya sesuai dengan kondisi link

radio yang ada untuk mendapatkan bit rate yang optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kinerja teknik MIMO-OFDM dengan penggunaan teknik modulasi adaptif (QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM) untuk melihat sejauh mana


(17)

pengaruhnya terhadap bit error rate dan pemgoptimalan bit rate dengan tetap mempertahankan nilai bit error rate (BER) yang ditetapkan .

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1. bagaimana prinsip kerja teknik antena MIMO-OFDM dan modulasi adaptif pada LTE ?

2. bagaimana pengaruh penggunaaan Teknik antena MIMO transmit diversity

terhadap nilai BER dalam arah downlink ?

3. bagaimana peningkatan kinerja jaringan terhadap penambahan jumlah antena penerima ?

4. bagaimana pengaruh penggunaan modulasi adaptif untuk mendapat bit rate

yang optimal pada setiap kondisi link radio ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. untuk mengetahui prinsip dasar LTE

2. untuk mengetahui prinsip kerja teknik MIMO-OFDM dan modulasi adaptif 3. untuk mengetahui peningkatan kinerja jaringan dengan memanfaatkan teknik

MIMO-OFDM dan modulasi adaptif

Manfaat dari penulisan Tugas Akhir ini adalah memberikan informasi kepada pembaca seberapa besar pengaruh teknik MIMO-OFDM dan modulasi adaptif pada teknologi LTE terhadap BER sehingga dapat dijadikan dasar dalam perancangan atau pengimplementasian jaringan LTE.

1.4 Batasan Masalah

Agar pembahasan lebih terarah, maka pembahasan dibatasi sebagai berikut : 1. sistem yang dimodelkan adalah sistem teknologi LTE


(18)

3. modulasi yang digunakan adalah modulasi yang digunakan LTE, yaitu QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM .

4. noise kanal yang digunakan adalah AWGN .

5. konfigurasi antena yang dianalisis adalah MISO 2x1-OFDM, MIMO 2x2-OFDM dan MIMO 2x4-2x2-OFDM dengan transmit diversity.

6. pada simulasi hanya terdapat satu user

1.5 Metodologi Penulisan

Metode penulisan yang dilakukan pada penulisan tugas akhir ini adalah: 1. studi literatur

berupa studi kepustakaan dan kajian dari buku-buku dan tulisan-tulisan lain yang terkait serta dari layanan internet berupa jurnal-jurnal penelitian.

2. simulasi

merupakan metode yang digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi kinerja MIMO-OFDM dengan penggunaan modulasi adaptif pada LTE. Software yang digunakan untuk mensimulasikan sistem tersebut adalah MATLAB R2010a .

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan Tugas akhir ini disajikan dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab ini berisi penjelasan tentang pengenalan teknologi LTE, antena MIMO, teknik OFDM, dan modulasi adaptif .


(19)

BAB III MODEL SISTEM MIMO-OFDM PADA LTE DALAM ARAH DOWNLINK

Bab ini berisi model sistem MIMO-OFDM pada LTE yang akan disimulasikan .

BAB IV EVALUASI KINERJA MIMO-OFDM DENGAN MODULASI ADAPTIF PADA LONG TERM EVOLUTION DALAM ARAH DOWNLINK

Bab ini berisi tentang evaluasi kinerja MIMO-OFDM dengan modulasi adaptif pada LTE dalam arah downlink dengan softwa re Matlab dan hasil yang diperoleh dari evaluasi tersebut.

BAB V PENUTUP

Bab ini kesimpulan dan saran dari hasil pembahasan-pembahasan sebelumnya.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengenalan Teknologi Long Term Evolution (LTE) 2.1.1 Umum

Layanan mobile broadband terus berkembang seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dalam beraktivitas serta kebutuhan layanan internet. Berbagai teknologi seluler terus dikembangkan mulai dari GSM/GPRS/EDGE (2G), UMTS/HSPA (3G), dan teknologi LTE. LTE adalah standar terbaru dalam teknologi jaringan seluler dibandingkan GSM/EDGE and UMTS/HSPA. LTE adalah sebuah nama baru dari layanan yang mempunyai kemampuan tinggi dalam sistem komunikasi bergerak yang merupakan langkah menuju generasi ke-4 (4G) dari teknologi radio yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan jaringan telepon mobile. LTE adalah suatu proyek dalam third generation partnership project (3GPP). Evolusi jaringan seluler sampai ke teknologi LTE ditunjukkan pada Gambar 2.1.


(21)

Pada Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa LTE merupakan evolusi dari jaringan seluler yang dipersiapkan untuk teknologi 4G. Adapun tujuan pengembangan teknologi pada 3GPP adalah sebagai berikut [1] :

1. kebutuhan akan pengembangan jaringan 3G dalam waktu yang akan datang. 2. kebutuhan pelanggan akan kecepatan data yang tinggi dan quality of service

(QOS).

3. pengembangan teknologi packet switching.

4. mengurangi biaya operasional karena arsitektur jaringan yang sederhana. LTE menawarkan beberapa keunggulan dan keuntungan bagi pelanggan dan pihak operator jaringan, yaitu :

1. Efisiensi spektrum dan throughput yang tinggi, LTE menggunakan OFDM pada arah downlink, dimana teknik ini tahan terhadap interferensi akibat lintasan jamak dan menggunakan single-carrier- FDMA (SC-FDMA) pada arah uplink yang memiliki peak average power ratio (PAPR) rendah. Selain itu LTE juga mendukung antena multiple input multiple output (MIMO) yang dapat meningkatkan BER dan bit rate [1, 2].

2. latency yang rendah, jaringan LTE memiliki setup time dan transfer delay

yang sangat rendah, serta waktu handover yang rendah [3].

3. Mendukung bandwidth yang bervariasi, yaitu 1.4, 3, 5, 10, 15 and 20 MHz. 4. Memiliki arsitektur jaringan yang sederhana, hanya ada eNodeB pada evolved

UMTS terrestrial radio access (E-UTRAN).

5. Kompatibel dengan teknologi 3GPP sebelumnya dan teknologi lainnya. 6. Mendukung frequency division duplex (FDD) dan time division duplex

(TDD).

2.1.2 Arsitektur Long Term Evolution

Arsitektur jaringan LTE dirancang untuk tujuan mendukung trafik packet switching dengan mobilitas tinggi, quality of service (QOS), dan latency yang kecil. Pendekatan packet switching ini memperbolehkan semua layanan termasuk layanan


(22)

dirancang sesederhana mungkin, yaitu hanya terdiri dari dua node yaitu eNodeB dan

mobility management entity/gateway (MME/GW). Hal ini sangat berbeda dengan arsitektur teknologi GSM dan UMTS yang memiliki struktur lebih kompleks dengan adanya radio network controller (RNC). Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan hanya adanya single node pada jaringan akses adalah pengurangan latency

dan distribusi beban proses RNC untuk beberapa eNodeB. Pengeliminasian RNC pada jaringan akses memungkinkan karena LTE tidak mendukung soft handover [1]. Arsitektur dasar jaringan LTE dapat dilihat pada Gambar 2.2.

eNodeB eNodeB

eNodeB X2 X2 X2 X2

X2

S1

S1 S1

S1

MME/SGW MME/SGW

Gambar 2.2 Arsitektur dasar jaringan LTE

Semua interface jaringan pada LTE adalah berbasis internet protocol (IP). eNodeB saling terkoneksi dengan interface X2 dan terhubung dengan MME/SGW melalui interface S1 seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Pada LTE terdapat 2logical gateway, yaitu serving gateway (S-GW) dan packet data network gatewa y

(P-GW). S-GW bertugas untuk melanjutkan dan menerima paket ke dan dari eNodeB yang melayani user equipment (UE). P-GW menyediakan interface dengan jaringan


(23)

packet data network (PDN), seperti internet dan IMS. Selain itu P-GW juga melakukan beberapa fungsi lainnya, seperti alokasi alamat, packet filtering, dan

routing.

2.1.3 Aspek Interface Radio LTE

Spesifikasi LTE telah ditetapkan oleh 3GPP untuk user equipment (UE) dan eNodeB. Adapun spesifikasi teknik LTE yang telah ditetapkan meliputi mode akses radio, teknik akses jamak, mode transmisi MIMO, dan modulasi yang digunakan [2].

2.1.3.1 Teknik Akses

Pada LTE teknik akses yang digunakan pada transmisi dalam arah downlink

dan uplink berbeda. Arah downlink adalah arah komunikasi dari eNodeB ke UE, sementara arah uplink adalah arah dari UE menuju eNodeB seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Pada arah downlink teknik akses yang digunakan adalah

orthogonal frequency division modulation access (OFDMA) dan pada arah uplink

teknik akses yang digunakan adalah single ca rrier frequency division multiple access

(SC-FDMA). OFDMA adalah variasi dari orthogonal frequency division modulation

(OFDM).

UPL INK

SC -FDMA

DOW NL

INK

OFDMA eNodeB

UE

Gambar 2.3 Arah transmisi downlink dan uplink

Pada teknik OFDM setiap subca rrier adalah orthogonal sehingga akan menghemat spektrum frekuensi dan setiap subcarrier tidak akan saling


(24)

mempengaruhi . Akan tetapi salah satu kelemahan teknik akses ini adalah tingginya

peak average power ratio (PAPR) yang dibutuhkan. Tingginya PAPR dalam OFDM membuat 3GPP melihat skema teknik akses yang berbeda pada arah uplink karena akan sangat mempengaruhi konsumsi daya pada UE sehingga pada arah uplink LTE menggunakan teknik SC-FDMA. SC-FDMA dipilih karena teknik ini mengkombinasikan keunggulan PAPR yang rendah dengan daya tahan terhadap gangguan lintasan jamak dan alokasi frekuensi yang fleksibel dari OFDMA [2][20].

2.1.3.2 Mode Akses Radio

Pada komunikasi seluler sangat penting untuk mempertimbangkan kemampuan jaringan untuk melakukan komunikasi dalam dua arah secara simultan atau dikenal dengan istilah komunikasi full duplex. Oleh karena itu untuk dapat melakukan komunikasi dua arah secara simultan, maka dibutuhkan suatu teknik

duplex. Pada umumnya terdapat dua teknik duplex yang biasanya digunakan, yaitu

frequency division duplex (FDD) dan time division duplex (TDD). FDD merupakan teknik duplex yang menggunakan dua frekuensi yang berbeda untuk melakukan komunikasi dalam dua arah. Dengan menggunakan FDD dimungkinkan untuk mengirim dan menerima sinyal secara simultan dengan frekuensi yang berbeda-beda. Dengan teknik ini dibutuhkan guard frequency untuk memisahkan frekuensi pengiriman dan penerimaan secara simultan, serta dibutuhkan proses filtering

frekuensi yang harus akurat. Sedangkan TDD menggunakan frekuensi tunggal dan frekuensi tersebut digunakan oleh semua kanal untuk melakukan pengiriman dan penerimaan data. Setiap kanal tersebut di-multiplexing dengan menggunakan basis waktu sehingga setiap kanal memiliki time slot yang berbeda [24]. Perbedaan teknik FDD dan TDD dapat dilihat pada Gambar 2.4.


(25)

F

re

ku

e

n

si

Waktu f up

f do Teknik FDD

f do f up Teknik TDD

f up = frekuensi uplink f do = frekuensi downlink

Gambar 2.4 FDD dan TDD pada LTE [24]

Pada Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa dalam teknik FDD lebih banyak menggunakan spektrum frekuensi yang tersedia. FDD lebih unggul dalam menangani latency

dibandingkan TDD karena kanal harus lebih lama menunggu waktu pemprosesan dalam multiplexing.

Interface radio LTE mendukung frequency divison duplex dan time divison duplex (TDD), yang masing-masing memiliki struktur frame yang berbeda-beda. Pada LTE terdapat 15 band operasi FDD dan 8 band operasi TDD pada LTE. LTE juga dapat menggunakan fasilitas half-duplex FDD yang mengizinkan sha ring

hardware di antara uplink dan downlink dimana koneksi uplink dan downlink tidak digunakan secara simultan. LTE dapat menggunakan kembali semua band frekuensi yang digunakan pada UMTS.

2.1.3.3 Konfigurasi Antena Pada LTE

Pada LTE terdapat beberapa konfigurasi antena yang digunakan untuk mengoptimasikan kinerja pada arah downlink dalam kondisi link radio yang bervariasi. Konfigurasi ini mengkombinasikan jumlah antenna, baik dibagian pengirim maupun di penerima sesuai dengan tujuan sistem jaringan yang diinginkan, seperti untuk memperbaiki kinerja penerimaan sinyal pada kondisi link radio yang buruk [3][21].


(26)

2.1.2.3.1 Single Input Multiple Output (SIMO)

Pada konfigurasi ini hanya digunakan satu buah antena pada ENodeB dan

user equipment (UE) harus memiliki minimal dua antena penerima seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Konfigurasi ini disebut single input multiple output

(SIMO) atau receive diversity. Konfigurasi ini diimplementasikan menggunakan teknik ma ximum ratio combining (MRC) pada aliran data yang diterima untuk memperbaiki SNR pada kondisi propagasi yang buruk, sehingga sinyal yang akan diproses selanjutnya adalah sinyal dengan kualitas SNR terbaik.

Gambar 2.5 Konfigurasi SIMO 2.1.3.3.2 Multiple Input Single Ouput (MISO)

Pada mode ini jumlah antena yang digunakan pada sisi penerima lebih dari satu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Konfigurasi Antena ini digunakan untuk skema transmit diversity dan tipe beam forming yang berbeda. Tujuan utama

beam forming adalah untuk memperbaiki SNR dan tentunya memperbaiki kapasitas sistem dan daerah layanan [2] .

Gambar 2.6 Konfigurasi MISO Rx Tx2


(27)

2.1.3.3.3 Multiple Input Multiple Output (MIMO)

Teknik ini menggunakan antena lebih dari satu, baik di penerima maupun di pengirim. Teknik ini dapat digunakan untuk meningkatkan bit rate dan perbaikan BER. Transmisi dengan teknik MIMO mendukung konfigurasi dua atau empat antena pengirim dan dua atau empat antena penerima. Konfigurasi MIMO yang mungkin pada arah downlink adalah MIMO 2x2, MIMO2x4, MIMO 4x2, dan MIMO 4x4. Akan tetapi UE dengan 4 antena penerima yang dibutuhkan untuk konfigurasi MIMO 4x4 hingga saat ini masih belum diimplementasikan [2] .

(a)

(b)

Gambar 2.7 Konfigurasi MIMO: spatial multiplexing(a) dan transmit diversity (b)

Pada umumnya teknik MIMO terdiri atas teknik spatial multiplexing dan

transmit diversity seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Teknik spatial multiplexing mengirimkan data yang berbeda pada masing-masing antena pemancar


(28)

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7(a), sedangkan teknik transmit diversity

mengirimkan data yang sama pada masing-masing antena pemancar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8(b). Masing-masing teknik ini memiliki keuntungan tersendiri tergantung dari skenario yang ada. Misalnya, pada beban jaringan yang tinggi atau pada tepi sel, teknik spatial multiplexing keuntungan yang terbatas karena pada kondisi ini kondisi SNR cukup buruk. Sebaliknya teknik transmit diversity seharusnya digunakan untuk memperbaiki SNR dengan beamforming. Selanjutnya pada skenario dimana kondisi SNR tinggi, misalnya pada sel yang kecil, maka spatial multiplexing lebih baik digunakan untuk memberikan bit rate

yang tinggi [2] .

2.1.3.4 Adaptive Modulation coding (AMC)

LTE menggunakan modulasi dan pengkodean adaptif AMC untuk memperbaiki throughput. Teknik ini memvariasikan teknik modulasi dan pengkodean yang digunakan sesuai dengan kondisi kanal dari masing-masing user. Apabila kondisi link baik, LTE akan menggunakan teknik modulasi tingkat tinggi (lebih banyak bit/simbol), dimana akan meningkatkan kapasitas dan bit rate jaringan. Sebaliknya ketika kondisi kanal buruk misalnya akibat fading, maka LTE dapat merubahnya ke teknik modulasi tingkat lebih rendah untuk menjaga link ma rgin

radio yang sudah ditetapkan. Pada LTE digunakan 3 jenis modulasi, yaitu QPSK, 16- QAM, dan 64- QAM [4].

2.2 Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM)

OFDM atau singkatan dari orthogonal frequency division multiplexing merupakan metode modulasi multica rrier yang telah berhasil dikembangkan pada teknologi wireline, seperti digital subscriber line (DSL). OFDM adalah teknologi yang sangat tepat digunakan untuk lingkungan komunikasi mobile untuk bit rate

yang tinggi. OFDM membagi aliran data seri dengan laju yang tinggi menjadi aliran data paralel dengan laju data yang rendah dan masing-masing laju data tersebut dimodulasi dengan carrier yang berbeda-beda. Durasi simbol sumber dari suatu data serial akan dikonversikan ke bentuk paralel menjadi durasi simbol OFDM yang dinyatakan seperti pada persamaan 2.1.


(29)

Dimana N adalah jumlah subcarrier, Ts adalah periode simbol OFDM, dan Td

periode simbol sumber.

OFDM merupakan teknik pengembangan dari frequency division multiplexing (FDM). Pada teknik FDM, subcarrier ini dibuat tidak saling

overlapping seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Sedangkan pada OFDM setiap subca rrier memiliki frekuensi orthogona l sehingga memungkinkan kedua

subcarrier saling overlap dan sangat menghemat spektrum frekuensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9 [5].

Gambar 2 .8 Sinyal subcarrier yang nonorthogonal

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa OFDM menghindari rugi-rugi atau efisiensi bandwidth karena tidak ada jarak bandwidth di antara subcarrier dan hal ini memberikan keuntungan yang besar untuk teknik OFDM dibandingkan dengan teknik lainnya.

Gambar 2.9 Spektrum frekuensi subcarrier yang saling othogonal pada OFDM

f = 1 / Ts

A

m

pl

itudo


(30)

Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa jarak setiap frekuensi subca rrier agar

orthogonal minimal harus dipisahkan sejauh 1/Ts dan dapat dinyatakan pada persamaan 2.2.

(2.2)

Orthogonal mengandung arti hubungan matematis antara frekuensi subcarrier. Hubungan matematis dari orthogonalitas dari subcarrier dituliskan seperti pada persamaan 2.3 [16].

(2.3) Misalkan terdapat dua buah subca rrier yang diwakilkan dengan persamaan , maka subca rrier tersebut dikatakan orthogonal jika perkalian dari periode dasar bersama mereka adalah nol seperti pada persamaan 2.4.

(2.4)

Sinyal yang ditransmisikan Xk dapat diterima kembali pada receiver dengan menggunakan teknik korelasi sesuai dengan persamaan 2.5 [17].


(31)

(2.5)

Salah satu masalah pada komunikasi bergerak adalah adanya intersymbol interference (ISI) akibat adanya peristiwa multipath. Keuntungan utama dari OFDM adalah periode simbol OFDM lebih besar karena kecepatan transmisi di tiap

subcarrier lebih rendah, sehingga kesensitifan terhadap peristiwa delay sprea d

(Penyebaran sinyal yang tertunda) menjadi sangat berkurang. Hal ini akan menjadikan teknik OFDM dapat mengurangi pengaruh ISI. Selain itu Guard interval

juga dapat disisipkan di antara simbol-simbol OFDM. Apabila guard interval lebih besar dari lebar waktu tunda multipath maka ISI akan dapat dihilangkan [2][18].

Pada umumnya kanal multipath memiliki suatu bandwidth, dimana variasi kanalnya yang relatif sama. Bandwidth ini dinamakan coherence bandwidth. Ketika sinyal-sinyal ditransmisikan melalui suatu kanal, apabila coherence bandwidth lebih kecil dibandingkan dengan bandwidth sinyal yang ditransmisikan, kanal tersebut disebut frequency selective channel. Pada kasus ini, sinyal tersebut akan terdistorsi atau mengalami pelemahan daya secara tidak seragam pada beberapa frekuensi tertentu. Sebaliknya jika coherence bandwidth lebih besar dibandingkan dengan

bandwidth sinyal yang ditransmisikan, kanal tersebut disebut frequency non selective

atau flat channel. Kanal ini akan mengakibatkan pelemahan daya secara seragam. Pelemahan daya akibat flat channel lebih mudah dikendalikan, sehingga kinerja sistem dapat ditingkatkan. Teknologi OFDM dapat mengubah frequency selective

menjadi flat channel, karena transmisi menggunakan subcarrier dengan jumlah yang banyak sehingga kecepatan di setiap subca rrier sangat rendah dan bandwidth di setiap subcarrier sangat sempit dan lebih kecil dari coherence bandwidth [2][18].


(32)

2.2.1 Sistem Tranceiver OFDM

Prinsip kerja teknik OFDM adalah membagi deretan data serial laju yang tinggi ke dalam sejumlah deretan data paralel dengan laju yang lebih rendah dan kemudian ditransmisikan menggunakan subcarrier yang saling orthogonal. Adapun diagram blok dari tranceiver OFDM ditunjukkan oleh Gambar 2.10 .

Gambar 2.10 Sistem tranceiver OFDM

Pada Gambar 2.10 dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada tranceiver meliputi proses serial to parallel converter, modulasi, IFFT, penambahan cyclic prefix (CP), serta proses parallel to serial converter, pemindahan cyclic prefix (CP),

serial to parallel converter, FFT, demodulator, dan parallel to serial converter.

2.2.2.1 Transmiter OFDM

Gambar 2.11 menunjukkan blok transmiter OFDM. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada transmitter, yaitu serial to pa rallel converter, modulasi, inverse fast fourier transform (IFFT), penambahan cyclic prefix


(33)

Gambar 2.11 Transmitter OFDM

Data yang masuk dengan kecepatan R pada serial to parallel converter akan memiliki kecepatan R / Nc pada setiap jalur paralel, dimana Nc adalah jumlah jalur paralel atau subcarrier. Misalkan data yang masuk adalah [ X(0), X(1),....,X(N-1) ], maka data tersebut akan dipisahkan menjadi beberapa bagian, yaitu X(0), X(1),...., X(N-1). Kemudian data tersebut dimodulasi dengan subcarrier yang berbeda-beda dengan masing-masing subca rrier dipisahkan sejauh ∆f, maka sinyal termodulasi dinyatakan pada persamaan 2.6 [8] :

, 0 ≤ t ≤ Ts (2.6)

Dimana X(k) adalah simbol paralel yang dikirim pada subcarrier ke-k yang dimodulasi dengan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.12 .

S/P

∑ t

f j k

e

2

X(0) X(1) X(2)

X(0),.., X(N-1) 

 1

0 2 ) ( ) (

N k

t k f j e k X t

S 

Gambar 2.12 Proses konversi serial to parallel dan modulasi

Setiap subca rrier memiliki frekuensi seperti pada persamaan 2.7.


(34)

Kemudian sinyal hasil modulasi dimasukkan dalam blok IFFT untuk mengubah sinyal dalam domain frekuensi ke dalam sinyal domain waktu yang menghasilkan sinyal keluaran IFFT. Hal ini dilakukan dengan melakukan sampling pada persamaan

S(t) dengan menggunakan kecepatan sampling 1/Td seperti pada persamaan 2.8 [8].

,

( 2.8 ) Selanjutnya sinyal ini dikonversikan kembali ke serial dengan menggunakan parallel to serial converter.

2.2.2.2 Receiver OFDM

Gambar 2.13 menunjukkan diagram blok receiver OFDM. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada receiver, meliputi pembuangan

cyclic prefix (CP), serial to paralel converter, fast fourier transform (FFT), demodulasi, serta proses parallel to serial converter.

Gambar 2.13 Sistem receiver OFDM

Sinyal keluaran dari FFT dan demodulator dapat ditulis seperti pada persamaan 2.9 [8].

, (2.9)

dimana N0 adalah noise dan N adalah jumlah subcarrier. Apabila tidak ada noise


(35)

(2.10)

2.3 Kanal AWGN

Kanal AWGN merupakan kanal ideal yang memiliki bandwidth tidak terbatas dan respon frekuensinya tetap untuk segala frekuensi sehingga tidak menimbulkan distorsi atau perubahan sinyal yang dikirimkan. Kanal ini memiliki white noise

dengan kerapatan spektrum yang tetap dan amplitudo terdistribusi Gaussian. Kanal ini tidak melibatkan pengaruh fading, interferensi, ketidaklineran kanal atau dispersi .

White noise ini berasal dari berbagai sumber, seperti thermal noise atom dalam konduktor, shot noise, radiasi bumi atau objek lainnya, serta panas matahari [5 ].

Apabila sinyal s(t) dikirimkan melewati kanal AWGN n(t), maka sinyal yang tiba di penerima r(t) dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.11.

r(t) = s (t) + n(t) (2.11)

White noise memiliki kerapatan noise yang sama untuk setiap frekuensi seperti Gambar 2.14 dan dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.12 [13]

(2.12)

Dimana No adalah konstanta dan sering disebut kerapatan daya noise.

No / 2

Power Spectrum Density

f

( b )

Gambar 2.14 Fungsi kerapatan daya AWGN

Kerapatan Daya


(36)

Pola kemunculan noise AWGNdianggap terdistribusi Gaussian dengan nilai rata-rata (μ) adalah nol dan variansi tergantung dari rapat daya yang diperkirakan dari noise tersebut seperti pada Gambar 2.14. Fungsi kerapatan probabilitas dapat ditunjukkan persamaan 2.13 [12] .

(2.13)

σ2

= N0/2 dan No= kTB , sehingga σ 2

= kTB/2 .

Dimana : f(x) = Fungsi kepadatan probabilitas

σ2

= Variansi

μ = rataan (mean), nilainya 0

x = variabel (tegangan atau daya sinyal)

k = konstanta Boltzman (1,38 x 10-23 JK-1) T = Temperatur (Kelvin)

B = Bandwidth (Hz)

2.4 Modulasi dan Teknik Modulasi Adaptif

Pada LTE dengan Teknik modulasi Adaptif yang mampu menyesuaikan jenis modulasi sesuai dengan kondisi link saat itu. Modulasi yang dapat digunakan, yaitu QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM

2.4.1 Modulasi

Modulasi adalah proses pengkodean informasi dari sumber pesan dengan cara yang sesuai dengan proses transmisi. Pada modulasi digunakan sinyal carrier yang yang memiliki nilai frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai frekuensi sinyal pesan. Sinyal pesan disebut sebagai sinyal pemodulasi dan sinyal ca rrier

disebut sinyal termodulasi. Pada umumnya modulasi dapat dilakukan dengan mengubah-ubah amplitudo, fasa, atau frekuensi dari sinyal ca rrier sesuai dengan amplitudo sinyal pesan [10]. Akan tetapi pada perkembangannya teknik modulasi sudah dapat mengkombinasikan perubahan amplitudo, fasa, dan frekuensi dalam suatu teknik modulasi. Adapun jenis-jenis modulasi yang digunakan pada teknologi LTE dalam arah downlink adalah QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM. Perbedaan bit rate


(37)

Tabel 2.1 Perbandingan beberapa jenis modulasi pada LTE

Jenis Modulasi Jumlah Bit /Simbol Bit rate

QPSK 2 R

16-QAM 4 2R

64-QAM 6 3R

Pada Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa modulasi 64-QAM memiliki jumlah bit untuk membentuk satu simbol dibandingkan dengan modulasi lainnya sehingga memiliki bitrate tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan bit rate QPSK dan dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan bitrate 16-QAM.

2.4.1.1 Quadrature Phase Shift Keying (QPSK)

Teknik modulasi QPSK merupakan teknik modulasi pemetaan fasa yang mentransmisikan 2 bit pada setiap simbolnya sehingga teknik modulasi ini memiliki esifiensi bandwidth dua kali lebih baik dibandingkan BPSK. Sinyal QPSK untuk keadaan setiap simbol ditunjukkan oleh persamaan 2.14 [6].

(2.14)

Dimana Ts adalah durasi dari simbol dan nilainya dua kali periode bit dan adalah energi sinyal. Dengan menggunakan rumus trigonometri, persamaan di atas dapat dituliskan seperti persamaan 2.15 [6].

( 2.15)

Karena sinyal QPSK dihasilkan oleh dua sinyal sinyal BPSK, maka untuk membedakan kedua sinyal tersebut digunakan dua sinyal carrier yang saling

orthogonal, yaitu gelombang sinus dan cosinus dan dirumuskan pada persamaan 2.16 dan persamaan 2.17 [6].


(38)

(2.16)

(2.17)

Kemudian subtitusi persamaan 2.16 dan 2.17 ke persamaan 2.15, sehingga persamaan sinyal QPSK dengan 4 keadaan dapat dinyatakan dengan persamaan 2.18 [6] .

(2.18)

Gambar 2.15 Modulator QPSK

Pada Gambar 2.15 ditunjukkan skema modulator QPSK dan dapat dilihat bahwa sinyal input data terlebih dahulu dikonversikan ke bentuk paralel dengan masing-masing terdiri atas 2 bit, kemudian sinyal tersebut melalui low pass filter (LPF) dan selanjutnya melalui osilator lokal dengan frekuensi sinyal carrier berbeda fasa 90 .

Karena dalam satu simbol terdapat 2 bit, maka kemungkinan terdiri 4 kombinasi bit yang membentuk 1 simbol, yaitu 00, 01, 10, 11. Adapun Pemetaan bit tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.2 .


(39)

Tabel 2.2 Pemetaan bit pada modulasi QPSK

Kombinasi Bit Besar Fasa Resultan Amplitudo

11 π/4

01 3π/4

00 5π/4

01 7π/4

Secara konstelasi sinyal QPSK dapat direpresentasikan menggunakan dua dimensi diagram kontelasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16 .

Gambar 2.16 Konstelasi sinyal QPSK 2.4.1.2 Quadratute Amplitude Modulation (QAM)

Pada modulasi M-QAM, amplitudo dari sinyal yang ditransmisikan dijaga tetap konstan. Dengan membuat amplitudo dan fasa berubah-ubah, suatu teknik modulasi quadrature amplitude modulation (QAM) diperoleh. Bentuk umum sinyal M-QAM ditunjukkan oleh persamaan 2.19 [6].

(2.19)

Dimana Emin adalah energi dari sinyal pada amplitudo terendah dan ai,bi adalah

bilangan integer yang dipilih sesuai dengan letak titik sinyal. Nilai (ai, bi ) minimum

adalah (±1,±1), dimana i = 1,2, …, M. ai, bi adalah elemen dari matriks L x L dengan L = seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.20 [6].


(40)

(2.20)

Misalkan untuk 16-QAM (M = 4), maka matriks L x L dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.21.

(2.21)

Konstelasi sinyal 16-QAM dan 64-QAM dapat dilihat pada Gambar 2.17.

( a )

( b)

Gambar 2.17 Konstelasi sinyal 16-QAM (a) dan 64-QAM (b)

Im

ag

in

e

r

Im

ag

in

e


(41)

Pada Gambar 2.17 dapat dilihat bahwa pada modulasi 16-QAM terdapat 16 simbol yang berbeda dengan masing-masing simbol terdiri atas 4 bit. Sementara untuk 64-QAM terdapat 64 simbol yang berbeda dengan masing-masing simbol terdiri atas 6 bit. Pada modulasi M- QAM, alphabet

α

yang digunakan memenuhi persamaan 2.22.

α

M-QAM = [±( 2m- 1 ) ± ( 2m-1 )] (2.22)

dimana mЄ { 1, ..., }. Maka dapat ditentukan besar alphabet

α

dari modulasi 16-QAM dan 64-16-QAM dinyatakan seperti pada persamaan 2.23 dan persamaan 2.24 [6].

(2.23)

(2.24)

Jadi total energi pada konstelasi M-QAM dapat dirumuskan seperti pada persamaan 2.25.

Masing masing alphabet digunakan kali pada konstelasi sehingga untuk mendapatkan energi rata-rata dari konstelasi simbol dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.26.


(42)

Energi rata-rata untuk 16-QAM adalah dan energi rata-rata untuk 64-QAM = . Oleh karena itu, untuk menormalisasi energi rata-rata menjadi satu, maka digunakan faktor skala , untuk modulasi 16-QAM dan

untuk modulasi 64-QAM [21].

2.4.2 Teknik Modulasi Adaptif

Sistem modulasi adaptif melakukan perubahan jenis modulasi sesuai dengan kondisi link radio saat itu. Misalkan, saat kondisi link radio baik, maka akan meningkatkan nilai SNR sehingga dapat digunakan teknik modulasi yang menghasilkan bit rate tertinggi dengan BER yang rendah. Saat link radio buruk akan menurunkan nilai SNR sehingga memaksa penggunaan teknik modulasi dengan bit rate yang lebih rendah untuk mempertahankan reabilitas link. Ketika kondisi link baik maka modulasi 64-QAM akan dipilih untuk digunakan daripada modulasi QPSK karena memiliki bit rate lebih cepat. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 2.18. Pada Gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin dekat daerah layanan dengan antena pengirim, maka digunakan modulasi dengan level lebih tinggi sehingga digunakan bit rate yang lebih tinggi. Modulasi adaptif memungkinkan adanya efisiensi spektrum dan kekebalan transmisi pada kondisi kanal yang bervariasi terhadap waktu [12] .


(43)

Pada teknik modulasi adaptif receiver akan mengirimkan channel quality indicator (CQI) berisi level SNR kepada tra nsmitter dan nilai tersebut akan dibandingkan dengan nilai threshold SNR dan standar BER yang ditetapkan sebelumnya sehingga pengirim akan memutuskan untuk mengubah jenis modulasi pada transmisi berikutnya sesuai dengan informasi yang diterimanya dari penerima.

2.5 Teknik Transmisi Antena MIMO

MIMO adalah antena cerdas yang menggunakan antena lebih dari satu, baik pada sisi transmitter ataupun receiver untuk memperbaiki kinerja komunikasi link

radio seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.19. Teknologi MIMO sudah diimplementasikan pada standar teknologi komunikasi wireless seperti 3GPP LTE atau wimax karena teknologi ini menawarkan peningkatan throughput data secara signifikan dan jangkauan link tanpa penambahan bandwidth atau daya pancar. Teknologi ini memberikan efisiensi spektrum dan reabilitas link yang tinggi karena dapat mengurangi pengaruh fading [7]. Dengan Antena MIMO, maka interferensi yang sering mengganggu pada komunikasi seluler dapat ditekan sehingga dapat menaikkan signal to noise ratio (SNR). Selain itu kombinasi teknik OFDM dan MIMO atau MIMO-OFDM telah memberikan efisiensi spektrum yang tinggi karena OFDM membagi data serial dengan frekuensi tinggi menjadi data paralel dengan laju rendah yang dimodulasi menggunakan subca rrier-subcarrier dengan frekuensi yang orthogonal.

Gambar 2.19 Antena MIMO 3x3

MIMO dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu teknik transmit diversity dan

spatial multiplexing dan pemilihan ini tergantung pada kondisi kanal. Transmit diversity meningkatkan coverage dan quality of service (QOS) karena mengirimkan


(44)

aliran data yang sama ke penerima, sedangkan spatial multiplexing meningkatkan efisiensi spektrum karena mengirimkan aliran data secara independen dan terpisah pada masing-masing antena .

Mode Operasi MIMO terdiri atas dua jenis, yaitu open loop dan closed loop. Pada MIMO-open loop system hanya mengetahui channel state information (CSI) pada sisi penerima, sedangkan MIMO-closed loop sudah mengetahui CSI pada sisi

transmitter yang dapat digunakan untuk memperbaiki throughput dan reabilitas dari sistem. Teknik open loop pada spatial multiplexing menerapkan strategi pendeteksian pada sisi penerima secara linear, seperti zero forcing (ZF) dan minimum mean square error (MMSE), atau secara nonlinear, misalnya ma ximum likehood

(ML), successive interference cancellation (SIC) atau parallel interference cancellation (PIC). Sementara Untuk teknik transmit diversity, misalnya space time block coding (STBC) dan space frequency block coding (SFBC). Teknik STBC yang cukup popular saat ini adalah teknik yang diperkenalkan alamouti dan selanjutnya dikembangkan menjadi teknik orthogonal space time block coding (OSTBC) untuk jumlah antena pemancar di transmitter lebih dari dua [7].

2.5.1 Space Frequency Block Coding (SFBC)

Teknik transmit diversity dimplementasikan dengan menggunakan space frequency block coding (SFBC) dan spa ce time block coding (STBC). SFBC hampir memiliki kesamaan dengan teknik space time block coding (STBC) yang dikenal dengan alamouti code. Akan tetapi perbedaannya terletak pada domainnya, dimana SFBC berada pada domain frekuensi, sedangkan STBC berada dalam domain waktu [8]. STBC digunakan pada UMTS, tetapi pada LTE jumlah simbol OFDM pada suatu subframe selalu berjumlah ganjil, sementara STBC menggunakan pasangan-pasangan simbol yang berpasangan-pasangan pada domain waktu. Oleh karena itu teknik STBC tidak digunakan pada teknologi LTE [9] .

Simbol-simbol yang ditransmisikan dari dua antena pengirim pada


(45)

Antena

= frekuensi

dimana menyatakan simbol yang dikirimkan pada port antena ke-p pada subcarrier ke-k. Pada persamaan di atas dapat dilihat pada antena pertama dikirimkan

S0 dan S1 pada frekuensi yang berbeda dan pada antena kedua dikirimkan simbol dan yang merupakan hasil konjugasi dari sinyal asli. Pada Gambar 2.20 dapat dilihat kombinasi SFBC dengan dua antena pengirim dan satu antena penerima.

Gambar 2.20 Proses pengkodean SFBC dengan dua antena pengirim

Pada Gambar 2.20 dapat dilihat bahwa sinyal yang sama dikirimkan pada kedua antena kemudian dipancarkan melewati antena yang berbeda. Sinyal yang dipancarkan oleh kedua antena tersebut melewati lintasan yang berbeda dan diasumsikan terdapat bahwa kanal adalah kanal fading, maka persamaan matematis dapat dituliskan seperti pada persamaan 2.27 dan 2.28 [10].

(2.27)

(2.28)

Sinyal yang diterima pada penerima dinyatakan seperti pada persamaan 2.29 [1][10]:

Y = HS + N (2.29)

Subtitusikan persamaan 2.27 dan 2.28 ke persamaan 2.29.

[ Y0 Y1 ]= [ H11 H12 ]

Rx Tx2

Tx1

H11

H12 S0 S1

-S1* S0* S0 S1


(46)

(2.30) (2.31) Dimana N0 dan N1 adalah noise AWGN, H adalah matriks kanal MIMO, dan Y0 ,Y1

merupakan sinyal yang diterima pada frekuensi yang berbeda. Kemudian kedua sinyal tersebut masuk ke bagian combiner dan hasil sinyal yang dikombinasikan dinyatakan seperti pada persamaan 2.32 [10].

(2.32)

dimana dan merupakan hasil akhir sinyal yang diterima di receiver pada proses pengiriman simbol S0 dan S1.


(47)

BAB III

MODEL SISTEM MIMO-OFDM PADA LTE DALAM ARAH

DOWNLINK

3.1 Umum

Pada Tugas Akhir ini akan disimulasikan sistem MIMO-OFDM pada LTE dalam arah downlink. Adapun sistem MIMO yang disimulasikan menggunakan teknik transmit diversity sehingga didapatkan perbandingan kinerjanya dilihat dari

bit error rate. Selain itu pada simulasi ini juga akan digunakan teknik modulasi adaptif yang dapat memilih jenis modulasi sesuai dengan kondisi link radio. Adapun tipe modulasi yang digunakan adalah QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM. Kanal yang digunakan adalah kanal AWGN dan kanal MIMO berdistribusi rayleigh.

3.2 Model Sistem

Model sistem yang disimulasikan terdiri atas 3 model, yaitu MISO 2x1-OFDM, MIMO 2x2-OFDM dan MIMO 2x4-2x1-OFDM, dimana dilakukan penambahan jumlah antenna di bagian pengirim. Ketiga model sistem yang disimulasikan ditunjukkan pada Gambar 3.1

(a)


(48)

(c)

Gambar 3.1 Model sistem yang disimulasikan

a) MISO 2x1-OFDM b) MIMO 2x2-OFDM c) MIMO 2x4-OFDM

3.2.1 Bagian Pengirim

Adapun model bagian pengirim MIMO-OFDM pada LTE dalam arah downlink pada simulasi ini terdiri atas beberapa blok, yaitu modulation mapper,

layer mapper, precoding, OFDM modulator, dan menggunakan dua antena pengirim seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.

3.2.1.1 Modulation Mapper

Setiap data input biner b(i) akan dimodulasi oleh mode modulasi, yaitu QPSK,16-QAM, dan 64 QAM yang menghasilkan blok simbol bernilai kompleks

) 1 (

),..., 0

( (q)

symb )

( )

( 

M d

d q q . Modulation mapper mengubah digit biner 0 atau 1

mejadi simbol modulasi bernilai kompleks X = I + jQ [21]. Adapun pemetaan modulasi QPSK, 16-QAM,dan 64-QAM ditunjukkan pada Lampiran B. Pada

software Matlab telah disediakan fungsi untuk melakukan proses modulasi QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 3.1.


(49)

Tabel 3.1 Sintaks fungsi modulasi QPSK,16-QAM, dan 64-QAM pada Matlab

Jenis Demodulasi Sintaks Fungsi Keterangan

Demodulasi QPSK Q= modem.pskmod('M', M); hmod1=modulate(Q,y); hmod=hmod1/sqrt(2) ;

M merupakan tingkat modulasi, misalnya untuk modulasi QPSK=4 , dan y adalah sinyal input kompleks. Nilai merupakan faktor skala untuk normalisasi.

Demodulasi QAM Q= modem.qammod('M', M); hmod1=modulate(Q,de) ; hmod=hmod1/K;

M merupakan tingkat modulasi, M=16 untuk modulasi 16-QAM, M=64 untuk modulasi 64-QAM dan y adalah sinyal input biner. K merupakan faktro normalisasi. Untuk 16-QAM, nilai K= dan 64-QAM memiliki K=

3.2.1.2 Layer Mapper

Simbol modulasi bernilai kompleks untuk masing-masing input data atau

codeword yang ditransmisikan dipetakan pada satu atau beberapa layer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Simbol modulasi bernilai kompleks

) 1 ( ),..., 0

( () symb(q)

)

(

M d

d q q untuk data input q dipetakan ke layer

T

i x i

x i

x() (0)( ) ... (1)( ) , 0,1,..., layer 1

symb

 M

i dimana v adalah jumlah layer , Msymb

adalah jumlah simbol dan layer symb

M merupakan jumlah simbol modulasi per layer.


(50)

Pada transmit diversity hanya digunakan satu input data atau codeword dan jumlah layer v sama dengan jumlah antena port p yang digunakan untuk transmisi. Untuk layer mapping untuk 2 antena pengirim memiliki satu codeword yang kemudian dipetakan ke dalam dua layer seperti yang ditunjukkan Gambar 3.2 . Adapun proses pemetaan data input ke dalam 2 layer ditunjukkan pada Tabel 3.2 [1] [19].

Tabel 3.2 Layer mapping untuk dua layer Jumlah

Layer

Jumlah Data input

Data input to layer mapping 1 ,...,

1 ,

0 symblayer

 M

i

2 1 ( ) (2 1)

) 2 ( ) ( ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( ) 0 (    i d i x i d i x 2 ) 0 ( symb layer symb M M 

3.2.1.3 Precoder

Precoder digunakan untuk memetakan setiap simbol yang ditransmikan ke antena pengirim. Precoder mengambil input x(i)

x(0)(i) ... x(1)(i)

T,

1 ,...,

1 ,

0 symblayer

 M

i dari layer mapping dan membangkitkan blok vektor

p

T

i y i

y() ... ( )() ... , i0,1,...,Msymbap 1 yang dipetakan langsung ke port antena

dimana y(p)(i) didefinisikan sebagai sinyal untuk port antena p dan Msymbap merupakan jumlah simbol per port antena. Precoding untuk transmit diversity terdiri atas dua atau empat port antena.

Proses Precoding untuk dua antena pengirim menggunakan dua antena port. Pada transmit diversity dengan dua port antena menggunakan teknik space frequency block coding (SFBC). Untuk transmisi pada dua port p

 

0,1 , output

T

i y i y i


(51)

 

 

 

 

Im

(

)

)

(

Im

)

(

Re

)

(

Re

0

0

1

0

1

0

0

1

0

0

0

1

2

1

)

1

2

(

)

1

2

(

)

2

(

)

2

(

) 1 ( ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( i x i x i x i x j j j j i y i y i y i y ( 3.1) Untuk i0,1,...,Msymblayer1 dengan Msymbap 2Msymblayer

Misalkan, simbol yang yang dikirim adalah S0 dan S1 , maka setelah melewati sinyal

tersebut dapat dirumuskan ke dalam bentuk matriks seperti berikut ini : Antena

frekuensi (3.2)

Secara blok diagram proses precoding transmit diversity -SFBC untuk dua antena port ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 SFBC Precoding untuk dua antena port

3.2.1.4 OFDM modulator

OFDM adalah teknologi dasar yang digunakan pada LTE dalam arah downlink. OFDM merupakan modulasi multicarrier yang membagi bandwidth sinyal yang besar menjadi subcarrier dengan bandwidth yang sempit. Bagian OFDM modulator pada bagian Pengirim, meliputi serial to parallel converter, inverse Fourier transform (IFFT), dan penyisipan guard interval seperti pada Gambar 3.4.


(52)

Gambar 3.4 Blok diagram OFDM modulator

Sinyal keluaran serial dari SFBC precoding dengan menggunakan dua antena diubah menjadi data paralel dengan menggunakan serial to pa rallel converter. Misalkan hasil keluaran dari SFBC precoding untuk MIMO 2x2 dapat diubah menjadi sederetan data paralel dengan sintaks sebagai berikut :

paradata1 =reshape(precode1,para,nd) ; paradata2 =reshape(precode2,para,nd) ;

dimana precode1 dan precode2 berturut-turut adalah sinyal hasil SFBC precoding

untuk antena 1 dan antena 2, para menyatakan jumlah kanal paralel yang ditransmisikan dan nd menyatakan jumlah simbol OFDM.

Pada model sistem yang akan disimulasikan juga digunakan IFFT. IFFT mengubah sinyal dalam domain frekuensi ke dalam domain waktu. Hasil keluaran setelah melalui IFFT secara matematis ditunjukkan oleh persamaan 3.3 .

dimana X(k) sinyal diskrit dalam domain frekuensi, x(n) merupakan sinyal diskrit dalam domain waktu dan N adalah ukuran FFT. Pada Matlab telah disediakan fungsi untuk melakukan proses IFFT dengan menggunakan fungsi y = ifft (x), dimana x

adalah sinyal input dan y adalah sinyal output .

Dalam menghadapi lintasan jamak dan intersymbol interference (ISI), maka

guard interval disisipkan ke dalam sistem. Gua rd interval atau cyclic prefix ini adalah salinan dari simbol akhir yang ditambahkan pada awal simbol. Adapun sintaks pada Matlab untuk melakukan penyisipan gua rd interval ini dapat dilihat pada kode program di Lampiran A.


(53)

3.2.2 Kanal MIMO

Pada sistem antena MIMO, sinyal yang diterima oleh antena penerima adalah sinyal yang dikirimkan oleh antena pengirim setelah dikalikan dengan matriks kanal (H) dan noise yang ada. Untuk sistem MIMOMxN, dimana M dan N berturut-turut

menyatakan jumlah antena pengirim dan penerima, maka matriks kanalnya dapat dinyatakan pada persamaan 3.4.

(3.4)

Sinyal yang di terima di antena penerima dinyatakan pada persamaan 3.5 .

Y = HS + N (3.5) dimana : Y = Sinyal yang diterima di masing-masing antena

H = Matriks kanal , Hij Lintasan dari antena pengirim j ke antena

penerima i

S = Sinyal hasil precoding atau sinyal yang ditransmisikan N = Noise AWGN

3.2.2.1 Kanal MIMO 2x1

Untuk MIMO 2x1 terdapat dua lintasan kanal anatara antena pengirim dan penerima seperti pada Gambar 3.5, maka dapat ditentukan matriks kanalnya seperti pada persamaan 3.6.


(54)

Gambar 3.5 Kanal MIMO 2x1

Misalkan pada Gambar 3.5, simbol yang akan dikirimkan adalah S0 dan S1, serta dianggap kanal memiliki kanal noise N, maka sinyal yang diterima di receiver dinyatakan dengan persamaan 3.7.

Y = HM2x1 S + N (3.7)

[ Y0 Y1 ]= [ H11 H12 ] (3.8)

dimana Y0 danY1 merupakan sinyal yang diterima pada frekuensi yang berbeda dan

dan adalah noise pada masing-masing transmisi.

3.2.2.2 MIMO 2x2

Kanal Matriks untuk MIMO 2x2 ditunjukkan seperti pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6 Kanal MIMO 2x2

Pada Gambar 3.6 terdapat empat lintasan sinyal, maka kanal matriksnya dapat dinyatakan dalam bentuk matriks seperti pada persamaan 3.9.

Tx2

Tx1 Rx1

Rx2

H11

H22

H21


(55)

(3.9)

Misalkan pada Gambar 3.6, simbol yang akan dikirimkan adalah S0 dan S1, serta dianggap kanal memiliki kanal noise N, maka sinyal yang diterima di receiver dinyatakan pada persamaan 3.10.

Y = HM2x2 S + N (3.10)

(3.11)

3.2.2.3 MIMO 2x4

Kanal MIMO 2x4 ditunjukkan seperti pada Gambar 3.7.

TX

RX

T1

T2

H11

H21 H31

H41

H12 H22

H42 H32

Gambar 3.7 Kanal MIMO 2x4

Pada Gambar 3.7 dapat dilihat bahwa terdapat 8 lintasan sinyal dari antena pengirim ke antena penerima. Kanal tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk matriks seperti pada persamaan 3.12.

(3.12)

Sinyal yang diterima pada masing-masing antena dapat dituliskan dalam bentuk matriks seperti pda persamaan 3.13.

Y = HM2x4S + N (3.13)


(56)

= (3.14)

3.2.2.4 Matriks Korelasi MIMO Pada LTE

Pada LTE terdapat model korelasi kanal yang ditetapkan, yaitu korelasi

rendah, korelasi medium, dan korelasi tinggi dimana masing memiliki nilai α dan β

yang berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Jenis korelasi kanal MIMO pada LTE

Korelasi Rendah Korelasi Medium Korelasi Tinggi

     

0 0 0.3 0.9 0.9 0.9

Pada Tabel 3.3 dapat dilihat terdapat tiga jenis nilai α dan β. Ketika α dan β bernilai nol, kanal MIMO digambarkan seakan-akan kanal tersebut adalah kanal yang independen atau tidak berhubungan dengan kanal lainnya. Misalnya pada sistem MIMO 1x2, ketika antena pemancar Tx1 memancarkan suatu sinyal, maka sinyal tersebut dimodelkan melalui kanal yang berbeda sekali karakteristiknya sehingga sinyal yang diterima pada antena penerima Rx1 dan Rx2 juga berbeda sekali.

Ketika α dan β bernilai mendekati nilai satu, maka kanal MIMO memiliki

karakteristik seperti kanal single input single output (SISO), dimana sinyal yang dikirim dilewatkan pada kanal yang memiliki karakteristik yang sama dan sinyal yang diterima pada antena penerima Rx1 dan Rx2 hampir sama [11]. Adapun matriks korelasi untuk masing-masing konfigurasi antena yang disimulasikan ditunjukkan pada Tabel 3.4.

Pada Tabel 3.4 dapat dilihat bahwa matriks korelasi merupakan perkalian

Kronecker (dinotasikan dengan “⊗“) antara matriks korelasi pemancar dan


(57)

=0.3 dan =0.9. Adapun pembangkitan matriks korelasi ini dapat dilihat pada Lampiran A.

Tabel 3.4 Matriks korelasi kanal MIMO [11]

Konfigurasi MIMO Matriks Korelasi

MISO 2x1-OFDM

MIMO 2x2-OFDM

MIMO 2x4-OFDM

              1 1 1 1 * * * * * 9 1 9 4 * 9 1 9 1 9 4 9 4 9 1 9 1 9 4 9 1            

3.2.3 Bagian Penerima

Pada simulasi ini terdapat 3 model penerima yang akan disimulasikan, yaitu penerima dengan 1, 2, dan 4 antena penerima. Adapun bagian penerima MIMO-OFDM pada LTE dalam arah downlink pada simulasi ini terdiri atas beberapa blok, yaitu OFDM modulator, SFBC deprecoding and combiner, layer demapper, dan

demodulator.

3.2.3.1 OFDM Demodulator

Pada bagian penerima OFDM demodulator terdiri atas pemisahan guard interval, FFT, dan paralel to serial converter seperti pada Gambar 3.9.


(58)

Gambar 3.9 OFDM demodulator

Untuk pemisahan guard interval dapat dilihat pada kode program di Lampiran A. Pada program di atas dilakukan proses pemisahan gua rd interval (gilen) dari total simbol OFDM (fftlen2) sehingga sinyal OFDM kembali memiliki panjang simbol sebesar fftlen .

Setelah melakukan proses pemisahan gua rd interval, kemudian sinyal memasuki blok FFT. FFT mengubah sinyal dalam domain waktu kembali menjadi domain frekuensi. Adapun sinyal keluaran setelah melalui FFT dinyatakan pada persamaan 3.15.

(3.15) dimana N adalah panjang FFT, n= 0,……, N-1. Pada Matlab untuk melakukan proses IFFT dapat dilakukan dengan perintah y= fft(x), dimana x adalah sinyal input dan y adalah sinyal hasil FFT.

3.2.3.2 SFBC Deprecoder dan Combiner

SFBC deprecoder dan combiner melakukan penggabungan dari sinyal-sinyal yang diterima oleh antena penerima dan memilih sinyal asli dengan level daya terbaik. Skema SFBC pada simulasi ini didasarkan pada skema Alamouti. Ketika pengirim mengirimkan simbol S0 dan S1, maka sinyal keluaran combiner dapat dinyatakan sebagai berikut [10] :

(3.16)


(59)

(3.18)

dimana :

S0r = Simbol pertama hasil combiner

S1r = Simbol kedua hasil combiner

Hij = Lintasan dari antena pengirim j ke antena penerima i

Yn = Sinyal yang diterima di setiap antena penerima

3.2.3.3 Layer Demapper

Layer demapper menggabungkan sinyal dari beberapa layer ke dalam satu atau dua data input. Pada transmit diversity hanya digunakan satu data input sehingga setiap sinyal dari beberapa layer digabungkan menjadi satu data input. Untuk sistem dengan dua antena penerima, maka sinyal dari 2 layer yang berbeda digabungkan menjadi satu input data . Adapun proses layer demapping untuk dua antena penerima ditunjukkan pada Tabel 3.5 .

Tabel 3.5 Layer demapping untuk dua antena penerima Jumlah

Layer

Jumlah Data Input

Layer Demapping

1 ,...,

1 ,

0 symblayer

 M

i

2 1 for i=1:MsymLay

decoder_x(i) = (K((4*i)-3) + (sqrt(-1)*K((4*i)-1)));

decoder_y(i) = (K((4*i)-2) + (sqrt(-1)*K((4*i) )));

end


(60)

Kemudian kedua sinyal tersebut digabungkan untuk membentuk data input. Pada Matlab dapat dituliskan sebagai berikut :

gabungdemapping = [decoder_x ;decoder_y];

hasildemapping= reshape(gabungdemapping,Msym,1);

3.2.3.4 Demodulator

Demodulasi merupakan proses pengembalian sinyal asli dari sinyal termodulasi. Pada receiver juga digunakan jenis modulasi yang sama sesuai dengan yang dilakukan pada transmiter, yaitu demodulasi QPSK,16-QAM,dan 64-QAM. Hasil keluaran demodulator ini adalah sinyal biner. Pada matlab fungsi untuk melakukan proses demodulasi ditunjukkan pada Tabel 3.6. Pada kode program dapat dilihat bahwa faktor normalisasi digunakan kembali.

Tabel 3.6 Sintaks fungsi demodulasi pada Matlab

Jenis

Demodulasi Sintaks Fungsi Keterangan

Demodulasi QPSK

Q= modem.pskdemod('M', 4); Denormalisasi=hasildemapping* sqrt(K); HasilDemodulasi=demodulate(Q, hasildemapping);

M merupakan tingkat modulasi, misalnya untuk QPSK = 4, K adalah faktor normalisasi, dan y adalah sinyal input kompleks.

Demodulasi QAM

Q = modem.qamdemod('M', 16); Denormalisasi=

hasildemapping*sqrt(K); HasilDemodulasi=demodulate(Q,

hasildemapping);

M merupakan tingkat modulasi dan K adalah faktor normalisasi. M=16 dan K=10 untuk demodulasi 16-QAM, M=64 dan K=42 untuk demodulasi 64-QAM .


(61)

3.3 Modulasi Adaptif

Dalam simulasi ini digunakan tiga mode modulasi, yaitu QPSK,16-QAM,dan 64-QAM. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam modulasi adaptif digunakan mode modulasi sesuai dengan kondisi SNR yang diterima di penerima. Apabila kondisi SNR semakin tinggi, maka digunakan mode modulasi dengan level paling tinggi. Jadi pada simulasi ini akan diberikan batas treshold dari SNR untuk melakukan pergantian jenis modulasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Batas treshold nilai SNR untuk pemilihan jenis modulasi Konfigurasi MIMO Jenis modulasi Level treshold SNR

MISO 2x1-OFDM

QPSK 0 dB≤ SNR < 15 dB 16-QAM 15 dB ≤ SNR < 20 dB

64-QAM SNR ≥ 20 dB

MIMO 2x2-OFDM

QPSK 0 dB≤ SNR < 8 dB 16-QAM 8 dB ≤ SNR < 15 dB

64-QAM SNR ≥ 15 dB

MIMO 2x4-OFDM

QPSK 0 dB≤ SNR < 5 dB 16-QAM 5dB ≤ SNR < 10 dB

64-QAM SNR ≥ 10 dB

3.4 Perhitungan BER

Pada tugas akhir ini perhitungan BER dilakukan menggunakan sistem perbandingan antara bit yang diterima dengan yang dikirimkan dengan menggunakan logika XOR seperti pada Tabel 3.9. Kemudiaan hasil dari XOR akan dibagikan dengan jumlah seluruh bit data yang dikirimkan.


(62)

Tabel 3.8 Logika XOR untuk mendeteksi bit error

Bit Kirim Bit Terima Hasil XOR

0 0 0

0 1 1

1 0 1


(63)

BAB IV

HASIL SIMULASI DAN ANALISIS

4.1 Parameter Simulasi

Pada Tugas akhir ini akan dievaluasi kinerja MIMO-OFDM dengan modulasi adaptif pada teknologi Long Term Evolution (LTE) dalam arah downlink. Parameter unjuk kerja simulasi ini didasarkan pada bit error rate (BER). Simulasi ini menggunakan software Matlab R2010a. Program simulasi dapat dilihat pada Lampiran A. Sistem pada simulasi ini memiliki parameter-parameter seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4.1 .

Tabel 4.1 Parameter sistem yang disimulasikan

Parameter Sistem Nilai Parameter

Modulasi QPSK, 16-QAM, 64-QAM, dan

modulasi adaptif

Antena MIMO MISO 2x1-OFDM, MIMO

2x2-OFDM, dan MIMO 2x4-OFDM

Jumlah user 1

Ukuran FFT 256 Poin

Mode MIMO Skema Alamouti SFBC

Kanal Transmisi AWGN

Bandwidth Transmisi 5 Mhz Jumlah simbol OFDM 6 Simbol Panjang guard interval 66 μs

Tabel 4.1 menunjukkan pada simulasi ini digunakan tiga model, yaitu MISO 2x1-OFDM, MIMO 2x2-OFDM, dan MIMO 2x4-OFDM yang menggunakan tiga jenis modulasi, yaitu QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM. Pada simulasi ini juga akan


(64)

digunakan modulasi adaptif untuk melakukan perbaikan kinerja sistem tersebut. Adapun teknik MIMO yang digunakan menggunakan transmit diversity SFBC dengan menggunakan skema Alamouti.

4.2 Hasil Simulasi dan Analisis

Analisis yang akan dilakukan pada simulasi ini adalah membandingkan pengaruh nilai SNR terhadap nilai BER untuk masing-masing konfigurasi MIMO-OFDM dengan menggunakan jenis modulasi QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM untuk mengetahui model sistem dan jenis modulasi yang memiliki unjuk kerja lebih baik. Selanjutnya pada setiap konfigurasi MIMO-OFDM juga digunakan modulasi adaptif untuk melihat perbaikan kinerja dari sistem tersebut. Pada simulasi ini ditetapkan target BER 10-3.

4.2.1 Perbandingan Kinerja Jenis Modulasi Pada MIMO-OFDM

Pada bagian ini akan disimulasikan sebuah model sistem untuk melihat bagaimana perbandingan unjuk kinerja BER dari modulasi QPSK, 16-QAM dan 64-QAM. Model yang digunakan pada bagian ini adalah model MIMO 2x2-OFDM. Dari hasil simulasi diperoleh data seperti pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Perbandingan SNR vs BER jenis modulasi berbeda pada MIMO 2x2- OFDM

SNR (dB) BER

QPSK 16-QAM 64-QAM

0 dB 0.1135 0.2173 0.3080 2 dB 0.0763 0.1523 0.2585 4 dB 0.0493 0.1101 0.2429 6 dB 0.0231 0.0660 0.2134 8 dB 0.0068 0.0241 0.1554 10 dB 0.0005 0.0131 0.0992

12 dB 0 0.0038 0.0542

14 dB 0 0.0001 0.0261

16 dB 0 0 0.0083

18 dB 0 0 0.0022


(65)

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat dengan konfigurasi MIMO 2x2-OFDM, maka nilai BER modulasi QPSK lebih kecil dibandingkan dengan modulasi lainnya untuk setiap nilai SNR. Pentransmisian data bebas error dengan modulasi QPSK diperoleh

pada saat SNR ≥ 12 dB, sedangkan modulasi 16-QAM membutuhkan SNR ≥ 16 dB dan modulasi 64-QAM membutuhkan SNR>20 dB. Dari Tabel tersebut didapat grafik perbandingan BER dan SNR seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Perbandingan SNR vs BER jenis modulasi berbeda pada MIMO 2x2 -

OFDM

Pada Gambar 4.1 dapat dilihat untuk mencapai nilai BER≤10-3, maka QPSK

membutuhkan nilai SNR ≥ 9 dB, 16-QAM membutuhkan nilai SNR ≥ 12.5 dB, dan 64-QAM membutuhkan nilai SNR≥18 dB. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada konfigurasi MIMO 2x2-OFDM modulasi QPSK masih memberikan perbaikan BER yang lebih baik dibandingkan 16-QAM dan 64-QAM, walaupun dalam hal bit rate

modulasi 64-QAM memiliki bit rate paling tinggi dibandingkan dengan 16-QAM dan QPSK.


(1)

ylabel(' Bit Error Rate ( BER ) ');

title('Perbandingan Bit Error Rate MIMO-OFDM dengan 16-QAM ');

figure

semilogy(snr,nilaiBERmiso(3,:),'-or','LineWidth',2); hold on

semilogy(snr,nilaiBERmimo2x2(3,:),'bp-','LineWidth',2); hold on

semilogy(snr,nilaiBERmimo2x4(3,:),'kd-','LineWidth',2); axis([0 24 10^-5 1])

grid on

legend('MISO 2x1-OFDM','MIMO 2x2-OFDM','MIMO 2x4-OFDM'); xlabel('SNR, dB');

ylabel(' Bit Error Rate ( BER ) ');

title('Perbandingan Bit Error Rate MIMO-OFDM dengan 64-QAM ');

Program utama Perbandingan MIMO-OFDM Dengan Modulasi adaptif

close all;

%************************** INISIALISASI PARAMETER ***********************

% Jenis Korelasi Pada LTE

% Korelasi Medium A=0.3, B=0.9

A = 0.3; B= 0.9;

para=256; % Jumlah Kanal Paralel OFDM

fftlen = 256; % Panjang FFT

noc=256; % Number of carrier

nd=6; % Jumlah simbol OFDM per Loop

snr=0:1:25; % Nilai SNR

gilen =66; % Panjang Guard Interval

nloop=10; % Jumlah loop simulasi

% Menentukan batas treshold SNR untuk pemilihan jenis modulasi for a = 1: 1: length(snr)

% Batas Treshold SNR untuk MISO 2x1-OFDM

if (0<=snr(a)&snr(a)<15)

M=4 ; % Memilih modulasi QPSK

elseif (15<=snr(a)&snr(a)<20) M=16 ; % Memilih modulasi 16-QAM

elseif (snr(a)>=20)

M=64 ; % Memilih modulasi 64-QAM

end

% Batas Treshold SNR untuk MIMO 2x2-OFDM

if (0<=snr(a)&snr(a)<8)

M1=4 ; % Memilih modulasi QPSK


(2)

M1=64 ; % Memilih modulasi 64-QAM

end

% Batas Treshold SNR untuk MISO 2x4-OFDM

if (0<=snr(a)&snr(a)<5)

M2=4 ; % Memilih modulasi QPSK

elseif (5<=snr(a)&snr(a)<10) M2=16 ; % Memilih modulasi 16-QAM

elseif (snr(a)>=10)

M2=64 ; % Memilih modulasi 64-QAM

end

ml = log2(M); ml1=log2(M1); ml2=log2(M2);

% Modulation level:QPSK

for q =1:1:nloop

[BER1(q)]=misofunction(M,para,fftlen, noc,nd,ml,sr,gilen,snr(a),A,B); [BER2(q)]=mimo2x2function(M1,para,fftlen, noc,nd,ml1,sr,gilen,snr(a),A,B); [BER3(q)]=mimo2x4(M2,para,fftlen, noc,nd,ml2,sr,gilen,snr(a),A,B); end nilaiBER1(a)=sum(BER1)/nloop ; nilaiBER2(a)=sum(BER2)/nloop ; nilaiBER3(a)=sum(BER3)/nloop ; end

nilaiBER1 % Nilai BER MISO 2x1-OFDM dengan modulasi adaptif

nilaiBER2 % Nilai BER MISO 2x2-OFDM dengan modulasi adaptif

nilaiBER3 % Nilai BER MISO 2x4-OFDM dengan modulasi adaptif

close all

% Mencari nilai BER MIMO pada masing-masing jenis Modulasi

figure

semilogy(snr,nilaiBER1,'-or','LineWidth',2); axis([0 25 10^-5 1])

grid on

legend('modulasi adaptif'); xlabel('SNR, dB');

ylabel('Bit Error Rate');

title(' BER MISO 2x1-OFDM dengan Modulasi Adaptif ');

figure

semilogy(snr,nilaiBER2,'bp-','LineWidth',2); axis([0 25 10^-5 1])

grid on

legend('modulasi adaptif'); xlabel('SNR, dB');

ylabel('Bit Error Rate');


(3)

figure

semilogy(snr,nilaiBER3,'kd-','LineWidth',2); axis([0 25 10^-5 1])

grid on

legend('modulasi adaptif'); xlabel('SNR, dB');

ylabel('Bit Error Rate');


(4)

PEMETAAN MODULASI QPSK, 16-QAM, dan 64-QAM

Jenis Modulasi Kombinasi Bit I Q

QPSK

00 1 2 1 2

01 1 2 1 2

10 1 2 1 2

11 1 2 1 2

16 - QAM

0000 1 10 1 10

0001 1 10 3 10

0010 3 10 1 10

0011 3 10 3 10

0100 1 10 1 10

0101 1 10 3 10

0110 3 10 1 10

0111 3 10 3 10

1000 1 10 1 10

1001 1 10 3 10

1010 3 10 1 10

1011 3 10 3 10

1100 1 10 1 10

1101 1 10 3 10

1110 3 10 1 10

1111 3 10 3 10

64 - QAM

000000 3 42 3 42

000001 3 42 1 42

000010 1 42 3 42

000011 1 42 1 42

000100 3 42 5 42

000101 3 42 7 42


(5)

000111 1 42 7 42

001000 5 42 3 42

001001 5 42 1 42

001010 7 42 3 42

001011 7 42 1 42

001100 5 42 5 42

001101 5 42 7 42

001110 7 42 5 42

001111 7 42 7 42

010000 3 42 3 42

010001 3 42 1 42

010010 1 42 3 42

010011 1 42 1 42

010100 3 42 5 42

010101 3 42 7 42

010110 1 42 5 42

010111 1 42 7 42

011000 5 42 3 42

011001 5 42 1 42

011010 7 42 3 42

011011 7 42 1 42

011100 5 42 5 42

011101 5 42 7 42

011110 7 42 5 42

011111 7 42 7 42

100000 3 42 3 42

100001 3 42 1 42

100010 1 42 3 42

100011 1 42 1 42


(6)

100110 1 42 5 42

100111 1 42 7 42

101000 5 42 3 42

101001 5 42 1 42

101010 7 42 3 42

101011 7 42 1 42

101100 5 42 5 42

101101 5 42 7 42

101110 7 42 5 42

101111 7 42 7 42

110000 3 42 3 42

110001 3 42 1 42

110010 1 42 3 42

110011 1 42 1 42

110100 3 42 5 42

110101 3 42 7 42

110110 1 42 5 42

110111 1 42 7 42

111000 5 42 3 42

111001 5 42 1 42

111010 7 42 3 42

111011 7 42 1 42

111100 5 42 5 42

111101 5 42 7 42

111110 7 42 5 42