ia NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012

(1)

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN

KAMPUNG RAKYAT KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH:

091000215

ERWIN SALEH PULUNGAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN

KAMPUNG RAKYAT KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

091000215

ERWIN SALEH PULUNGAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

(4)

ABSTRAK

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematoda atau cacing Filaria limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex. Penyakit Filariasis disebut penyakit kaki gajah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan perumahan meliputi saluran pembuangan air limbah, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kawat kasa pada ventilasi, pencahayaan pada ruang utama, kerapatan dinding, kelembaban ruang utama dan hubungan perilaku masyarakat meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan di Kecamatan Kampung Rakyat Kab.Labuhan Batu Selatan Tahun 2012.

Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan desain case control. Populasi penelitian adalah kasus yaitu masyarakat yang menderita Filariasis sebanyak 20 orang dan kontrol adalah masyarakat yang tidak menderita Filariasis sebanyak 20 orang.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan dan tindakan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian Filariasis. Sanitasi lingkungan perumahan meliputi saluran pembuangan air limbah (p=0,057), tempat perindukan nyamuk (p=0,157), kawat kasa pada ventilasi (p=0,177), kerapatan dinding (p=0,122), pencahayaan pada ruang utama (p=0,500), kelembaban (p=0,122) seluruh sanitasi lingkungan perumahan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian Filariasis yang dianalisa dengan menggunakan uji Chi-square, yang memilki hubungan yang bermakna tempat peristirahatan nyamuk (p=0,026).

Masyarakat disarankan memakai celana dan baju panjang sebagai pelindung diri waktu keluar rumah pada malam hari serta menggunakan kelambu sewaktu tidur. Meningkatkan kebersihan lingkungan perumahan dan melakukan gotong royong. Kata Kunci : Filariasis, Sanitasi Perumahan, Perilaku


(5)

ABSTRACT

Filariasis is a chronic infectious disease which is caused by the infection of nematode parasite, lymphatic filaria transmitted by Mansonia, Anopheles and Culex mosquitos. Filariasis is also known as elephantiasis.

The purpose of this research is to study the relation between house environment sanitation including waste drainage system, mosquitos breeding sites, mosquitos resting sites, ventilation with insect-proof gauze, room lighting, wall density, room moisture level, with the people’s behavior including knowledge, attitude and practice in Kampung Rakyat subdistrict Labuhan Batu Selatan regency 2012

This is an analytical survey with case control design. Population for this research is the people suffering from Filariasis which are 20 persons and the control is the people who don’t suffer from Filariasis which are 20 persons.

Results from this research show that knowledge and practice have significant relation with the incidence of Filariasis. House environment sanitasion including waste drainage system (p=0,057), mosquitos breeding sites (p=0,157), ventilation with insect-proof gauze (p=0,177), wall density (p=0,122),room lighting (p=0,500), moisture level (p=0122,) all has no significant relation with the incidence of Filariasis analysed with chi-square test, the only one that has a significant relation is mosquitos resting site (p=0,026).

The people are suggested to wear long-sleveed clothing and trousers as self-protection when going out at night time, use mosquito-net for sleeping, promote sanitation for house environment and do a community self-help.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Erwin Saleh Pulungan

Tempat/Tanggal lahir : Pagaran Tapah/ 16 September 1986

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Desa Pagaran Jalu-jalu Kec. Lubuk Barumun Kab.Palas

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri 038 Pagaran Tapah : Tahun 1993-1999 2. MTs Swasta Asshowah Islamiyah Ujung Batu : Tahun 1999-2002

3. MA Darel Hikma Pekanbaru : Tahun 2002-2005

4. D3 Keperawatan Indah Medan : Tahun 2005-2008 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) USU : Tahun 2009-2012

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Pegawai RS Indah Bagan Batu-Riau : Tahun 2008-2009 2. Staf Puskesmas Paringgonan Kab. PALAS : Tahun 2010-sekarang


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes selaku dosen pembimbing I (satu) dan Ibu Ir. Indra Chahaya, Msi selaku dosen pembimbing II (dua) yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh dosen dan staff serta seluruh civitas akademika FKM USU yang telah membimbing dan membantu selama perkuliahan.

4. Bapak Dr. Rusman Lubis, Sp.B, FinaCs selaku Kepala Dinas Kesehatan Labuhan Batu Selatan dan Bapak Adiyanto, SKM selaku Kepala Puskesmas Tanjung Medan yang telah memberikan izin penelitian skripsi ini.


(8)

5. Ibu Sri Purnama, AM.Keb selaku Kepala Puskesmas Paringgonan dan seluruh staf Puskesmas Paringgonan yang telah memberikan dukungan selama pendidikan.

6. Ayahanda (Alm) Mail Pulungan dan Ibunda Nismawati Nasution serta Abangnda Riwan Hermanto yang telah memberi doa, dukungan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

7. Rekan-rekan se-angkatan khususnya, Afdhal Kurniawan, Yuki Laura Angelin, Siti Khalijah, Ahmad Taufiq yang telah banyak memberika dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat

Medan, Desember 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Abstrack ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Pengertian Penyakit Filariasis ... 7

2.1.1 Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis ... 8

2.1.1.1 Agen (Penyebab Filariasis) ... 8

2.1.1.2 Wuchereria Bancrofti ... 8

2.1.1.3 Brugia Malayi ... 9

2.1.1.4 Brugia Timori ... 10

2.1.2 Morfologi Cacing Filaria... 11

2.1.2.1 Daur Hidup Nyamuk ... 13

2.1.2.2 Perilaku Nyamuk ... 17

2.1.2.3 Tempat Berkembangbiak Nyamuk ... 18

2.1.3 Rantai Penularan Filariasis ... 19

2.1.4 Teori Simpul ... 23

2.1.5 Gejala Klinis Filariasis ... 23

2.1.5.1 Gejala Klinis Akut ... 24

2.1.5.2 Gejala Klinis Kronis ... 24

2.1.6 Patogenesis Filariasis ... 26

2.1.7 Diagnosis Filariasis ... 28

2.1.8 Penentuan Stadium Limfedema ... 29

2.1.9 Penetapan Kabupaten/Kota Endemis ... 31

2.1.10 Program Eliminasi Filariasis ... 33

2.1.11 Upaya pencegahan dan Pengendalian ... 34

2.1.12 Pengobatan pada Filariasis ... 35

2.2 Rumah Sehat ... 35

2.2.1 Syarat-syarat Rumah Sehat ... 36

2.2.2 Syarat-syarat Rumah Untuk Memenuhi Kebutuhan Fisiologis ... 37


(10)

2.2.4 Jenis-jenis Rumah ... 39

2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi terjadinya Filariasis ... 39

2.3.1 Faktor Lingkungan ... 39

2.3.2 Faktor Manusia dan Nyamuk (Host) ... 46

2.3.2.1 Manusia ... 46

2.3.2.2 Faktor Agent ... 49

2.4 Perilaku Kesehatan ... 50

2.4.1 Pengetahuan ... 51

2.4.2 Sikap ... 51

2.4.3 Tindakan ... 52

2.5 Kerangka Konsep ... 54

2.6 Hipotesis Penelitian ... 54

BAB III METODE PENELITIAN ... 56

3.1 Jenis Penelitian ... 56

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 56

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 56

3.2.2 Waktu Penelitian ... 56

3.3 Populasi dan Sampel ... 56

3.3.1 Populasi ... 56

3.3.2 Sampel ... 57

3.4 Objek Penelitian ... 58

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 58

3.5.1 Data Primer ... 58

3.5.2 Data Sekunder ... 59

3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 59

3.6.1 Variabel Penelitian ... 59

3.6.2 Defenisi Operasional ... 59

3.7 Aspek Pengukuran ... 61

3.8 Analisa Data ... 65

3.8.1 Analisa Univariat ... 65

3.8.2 Analisa Bivariat ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 66

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Kampung Rakyat ... 66

4.1.1 Demografi ... 66

4.2 Analisis Univariat Karekteristik Responden ... 66

4.2.1 Umur ... 66

4.2.2 Jenis Kelamin ... 67

4.2.3 Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan ... 68

4.3 Analisis Univariat Sanitasi Lingkungan Perumahan... 68

4.3.1 Saluran Pembuangan Air Limbah ... 68

4.3.2 Tempat Perindukan Nyamuk ... 69


(11)

4.3.4 Kawat Kasa Pada Ventilasi ... 70

4.3.5 Pencahayaan pada Ruang Utama ... 71

4.3.6 Kerapatan Dinding ... 72

4.3.7 Kelembaban pada Ruang Utama ... 72

4.4 Gambaran Perilaku Responden di Kecamatan Kampung Rakyat ... 73

4.4.1 Pengetahuan Responden... 73

4.4.2 Sikap Responden ... 74

4.4.3 Tindakan Responden ... 74

4.5 Analisis Bivariat ... 75

4.4.1 Hubungan Saluran Pembuangan Air dengan Kejadian Filariasis ... 75

4.4.2 Hubungan Tempat Perindukan Nyamuk dengan Kejadian Filariasis ... 76

4.4.3 Hubungan Tempat Peristirahatan Nyamuk dengan Kejadian Filariasis ... 76

4.4.4 Hubungan Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi dengan Kejadian Filariasis ... 77

4.4.5 Hubungan Kerapatan Dinding dengan Kejadian Filariasis ... 78

4.4.6 Hubungan Pencahayaan pada Ruang Utama dengan Kejadian Filariasis ... 78

4.4.7 Hubungan Kelembaban pada Ruang Utama dengan Kejadian Filariasis... 79

4.4.8 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Kejadian Filariasis ... 80

4.4.9 Hubungan Sikap Responden dengan Kejadian Filariasis... 80

4.4.10 Hubungan Tindakan Responden dengan Kejadian Filariasis ... 81

BAB V PEMBAHASAN ... 82

5.1 Hubungan Saluran Pembuangan Air Limbah Dengan Kejadian Filariasis ... 82

5.2 Hubungan Tempat Perindukan Nyamuk Dengan Kejadian Filariasis ... 83

5.3 Hubungan Tempat Peristirahatan Nyamuk Dengan Kejadian Filariasis... 84

5.4 Hubungan Kawat kasa Pada Ventilasi Dengan Kejadian Filariasis ... 85

5.5 Hubungan Kerapatan Dinding Dengan Kejadian Filariasis ... 86

5.6 Hubungan Pencahayaan pada Ruang Utama Dengan Kejadian Filariasis ... 87

5.7 Hubungan Kelembaban Dengan Kejadian Filariasis ... 88

5.8 Hubungan Pengetahuan Responden Dengan Kejadian Filariasis ... 88

5.9 Hubungan Sikap Responden Dengan Kejadian Filariasis ... 89

5.10 Hubungan Tindakan Responden Dengan Kejadian Filariasis ... 90

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat Di Indonesia Dalam Sediaan Darah Pewarnaan Giemsa ... 12 Tabel 2.2 Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan

Pada Penderita Kronis Filariasis ... 30 Tabel 2.3 Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan ... 35 Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Umur Pada Puskesmas Tanjung Medan

Kecamatan kampung Rakyat Tahun 2012 ... 67 Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin pada Puskesmas Tanjung

Medan Kecamatan Kampung Rakyat Tahun 2012 ... 67 Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Pendidikan dan Pekerjaan pada

Puskesmas Tanjung Medan Kecamatan Kampung Rakyat Tahun 2012 ... 68 Tabel 4.4 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Saluran

Pembuangan Air Limbah di Kecamatan Kampung Rakyat ... 69 Tabel 4.5 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Tempat

Perindukan Nyamuk di Kecamatan Kampung Rakyat ... 69 Tabel 4.6 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Tempat

Peristirahatan Nyamuk di Kecamatan Kampung Rakyat ... 70 Tabel 4.7 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Kawat Kasa

Pada Ventilasi di Kecamatan Kampung Rakyat ... 71 Tabel 4.8 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Pencahayaan


(13)

Tabel 4.9 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Kerapatan Dinding di Kecamatan Kampung Rakyat... 72 Tabel 4.10 Distribusi Sanitasi Lingkungan Perumahan Berdasarkan Kelembaban di

Kecamatan Kampung Rakyat ... 73 Tabel 4.11 Kategori Responden Tentang Pengetahuan Filariasis di Kecamatan

Kampung Rakyat ... 73 Tabel 4.12 Kategori Sikap Responden Tentang Filariasis di Kecamatan Kampung

Rakyat... 74 Tabel 4.13 Kategori Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan Filariasis di

Kecamatan Kampung Rakyat ... 74 Tabel 4.14 Hasil Analisis Keberadaan Saluran Pembuangan Air Limbah dengan

Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat... 75 Tabel 4.15 Hasil Analisis Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk dengan Kejadian

Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat ... 76 Tabel 4.16 Hasil Analisis Keberadaan Tempat Peristirahatan Nyamuk dengan

Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat... 77 Tabel 4.17 Hasil Analisis Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi dengan Kejadian

Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat ... 77 Tabel 4.18 Hasil Analisis Kerapatan Dinding dengan Kejadian Filariasis di

Kecamatan Kampung Rakyat ... 78 Tabel 4.19 Hasil Analisis Pencahayaan pada Ruang Utama dengan Kejadian


(14)

Tabel 4.20 Hasil Pengukuran Kelembaban pada Ruang Utama dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat ... 79 Tabel 4.21 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Kejadian Filariasis di

Kecamatan Kampung Rakyat ... 80 Tabel 4.22 Hubungan Sikap Responden dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan

Kampung Rakyat ... 81 Tabel 4.23 Hubungan Tindakan Responden dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan


(15)

ABSTRAK

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematoda atau cacing Filaria limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex. Penyakit Filariasis disebut penyakit kaki gajah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan perumahan meliputi saluran pembuangan air limbah, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kawat kasa pada ventilasi, pencahayaan pada ruang utama, kerapatan dinding, kelembaban ruang utama dan hubungan perilaku masyarakat meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan di Kecamatan Kampung Rakyat Kab.Labuhan Batu Selatan Tahun 2012.

Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan desain case control. Populasi penelitian adalah kasus yaitu masyarakat yang menderita Filariasis sebanyak 20 orang dan kontrol adalah masyarakat yang tidak menderita Filariasis sebanyak 20 orang.

Dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan dan tindakan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian Filariasis. Sanitasi lingkungan perumahan meliputi saluran pembuangan air limbah (p=0,057), tempat perindukan nyamuk (p=0,157), kawat kasa pada ventilasi (p=0,177), kerapatan dinding (p=0,122), pencahayaan pada ruang utama (p=0,500), kelembaban (p=0,122) seluruh sanitasi lingkungan perumahan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian Filariasis yang dianalisa dengan menggunakan uji Chi-square, yang memilki hubungan yang bermakna tempat peristirahatan nyamuk (p=0,026).

Masyarakat disarankan memakai celana dan baju panjang sebagai pelindung diri waktu keluar rumah pada malam hari serta menggunakan kelambu sewaktu tidur. Meningkatkan kebersihan lingkungan perumahan dan melakukan gotong royong. Kata Kunci : Filariasis, Sanitasi Perumahan, Perilaku


(16)

ABSTRACT

Filariasis is a chronic infectious disease which is caused by the infection of nematode parasite, lymphatic filaria transmitted by Mansonia, Anopheles and Culex mosquitos. Filariasis is also known as elephantiasis.

The purpose of this research is to study the relation between house environment sanitation including waste drainage system, mosquitos breeding sites, mosquitos resting sites, ventilation with insect-proof gauze, room lighting, wall density, room moisture level, with the people’s behavior including knowledge, attitude and practice in Kampung Rakyat subdistrict Labuhan Batu Selatan regency 2012

This is an analytical survey with case control design. Population for this research is the people suffering from Filariasis which are 20 persons and the control is the people who don’t suffer from Filariasis which are 20 persons.

Results from this research show that knowledge and practice have significant relation with the incidence of Filariasis. House environment sanitasion including waste drainage system (p=0,057), mosquitos breeding sites (p=0,157), ventilation with insect-proof gauze (p=0,177), wall density (p=0,122),room lighting (p=0,500), moisture level (p=0122,) all has no significant relation with the incidence of Filariasis analysed with chi-square test, the only one that has a significant relation is mosquitos resting site (p=0,026).

The people are suggested to wear long-sleveed clothing and trousers as self-protection when going out at night time, use mosquito-net for sleeping, promote sanitation for house environment and do a community self-help.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2010-2014 difokuskan pada delapan fokus prioritas, salah satunya adalah pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti penyehatan lingkungan (KeMenkes RI, 2010)

“Indonesia Sehat 2010” yang telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan, mempunyai visi yang sangat ideal, yakni masyarakat Indonesia yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Dari visi tersebut ada 3 prakondisi yang perlu untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yakni: lingkungan sehat berupa bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan memadai, perumahan dan pemukiman sehat dan sebagainya. Perilaku sehat adalah perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan atau kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat. Sedangkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat diartikan memperoleh pelayanan dengan mudah dari tenaga kesehatan yang profesional.

Pada tahun 2004 filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Di Indonesia, berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004


(18)

terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis (elephantiasis) yang tersebar di seluruh provinsi. Secara epidemiologi data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada yang berisiko tinggi tertular filariasis dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi. (DepKes RI, 2005)

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889 di jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotumt. Pada saat itu pula Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi. Pada tahun 1937 Brug membuat suatu rangkuman tentang laporan filariasis diseluruh Indonesia pada waktu itu telah diketahui dua spesies cacing filaria sebagai penyebabnya yaitu Wuchererrre bancrofti dan Brugia malayi. (DepKes RI, 1999)

Selanjutnya pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah, pada tahun 2000, WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Goal Of Elimination Of Limphantic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020), menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah yang disingkat ELKAGA pada tahun 2020. Eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan prevalensi (MF- rate) hingga dibawah 1% sehingga Filariasis tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. (Anonim, 2012)

Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Kalimanta, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua baik perkotaan maupun pedesaan. Kasus di Pedesaan banyak di temukan di kawasan Indonesia bagian timur, sedangkan untuk di perkotaan banyak di temukan di daerah seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan, dan Lebak (Banten). Berdasarkan hasil survei cepat


(19)

tahun 2000, Jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231Kabupaten, 26 Provinsi. (DepKes RI, 2006)

Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 Puskesmas. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari tahun 1999 masih tinggi dengan microfilaria (MF) rate 3,1% (0,5-19,64%). Berdasarkan survei untuk pemeriksaan mikroskopis pada desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005 terutama di Sumatera dan Kalimantan telah terindentifikasi 84 kabupaten/Kota dengan microfilaria rate 1% atau lebih. Data tersebut menggambarkan bahwa seluruh daerah di Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah endemis filariasis. (Nasry, 2006)

Berdasarkan survei darah yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun 2005 terdapat enam Kabupaten Di Sumatera Utara yang dinyatakan endemis Filariasis : Tapanuli Selatan (3%), Nias (2,2%), Asahan (2,1%), Deli Serdang (1,4%), Serdang Bedagai (1,3%), dan Labuhan Batu (1%), sesuai ketentuan yang dibuat World Health Organization (WHO), jika Survei darah Jari (SDJ) diatas 1% hal itu berarti daerah tersebut sudah kategori endemis transmisi filariasis dan memenuhi syarat pengobatan massal. (Dinkes Propinsi Sumut, 2005)

Berdasar data dari Profil Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu Selatan pada tahun 2009 bahwa penyakit Filariasis masih merupakan penyakit lokal spesifik daerah Kabupaten tersebut dengan terdapat 3 (tiga) daerah dengan jumlah penderita yaitu Desa Tanjung Medan 20 kasus, Desa Batu Ajo 2 kasus, Desa Aek Batu 2 kasus


(20)

dan total keseluruhannya adalah 24 kasus. (Profil Kesehatan Labuhan Batu Selatan, 2009)

Persentase keluarga yang memenuhi rumah sehat merupakan satu indikator Indonesia Sehat 2010 dan target Millenuim Development Goals (MDGs) tahun 2015. Target rumah sehat yang akan dicapai dalam Indonesia Sehat 2010 telah ditentukan sebesar 80% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003 ). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2007, persentase rumah sehat Indonesia pada tahun 2007 adalah 50,79% jumlah ini masih dibawah target yang ditetapkan untuk mencapai pada tahun 2007 yaitu 75% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Kondisi ini juga terjadi di Sumatera Utara Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2008) menyatakan bahwa peningkatan persentase rumah sehat cenderung mengalami stagnasi selama kurun waktu 6 tahun terakhir. Bila stagnasi peningkatan ini terus berlanjut, diprediksi persentase rumah sehat di Provinsi Sumatera Utara tidak akan mampu mencapai target 80% pada tahun 2010.

Berdasarkan profil Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2009 persentase rumah sehat baru mencapai angka 70,70%. Angka ini masih dibawah target Indonesia Sehat yakni sebesar 80%. Hal ini terlihat masih adanya kecamatan dengan persentase rumah sehat yang masih rendah yaitu Kecamatan Sei Kanan Puskesms Huta Godang yaitu 48,59%, Kecamatan Silangkitang Puskesmas Aek Goti dan pada kecamatan Kampung Rakyat Puskesmas Tanjung Medan yaitu sebanyak 64,31% dari persentase rumah sehat sehimgga perlu upaya program untuk meningkatkan jumlah rumah sehat, sehingga target yang ditetapkan tercapai untuk


(21)

menuju Indonesia Sehat yaitu sebesar 80%. (Profil Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu Selatan, 2009)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di Desa Tanjung Medan terdapat kasus penderita Filariasis sebanyak 20 orang, dan dari data profil kesehatan Kabupaten Kesehatan Labuhan Batu Selatan diketahui bahwa persensentase rumah sehat belum mencapai target Indonesia Sehat. Oleh karena itu peneliti ingin melihat hubungan sanitasi lingkungan rumah dan perilaku masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan kampung rakyat Kabupaten Labuhan batu Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan perumahan dan perilaku penderita masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan perumahan yang meliputi ketersediaan saluran pembuangan air, tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kawat kasa pada ventilasi, kerapatan dinding, pencahayaan dan kelembaban.

2. Untuk mengetahui perilaku penderita dengan kejadian filariasis.

3. Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan perumahan dengan kejadian filariasis


(22)

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Dinas Kesehatan

Sebagai informasi berkaitan dengan faktor resiko yang mempengaruhi kejadian filariasis sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhan Batu Selatan dalam program penanggulangan filariasis.

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya filariasis,sehingga masyarakat dapat mengetahui cara atau upaya pencegahan.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai sumber informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian filariasis,sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan ilmu pengetahuan didalam bidang ilmu kesehatan masyarakat secara umum dan ilmu kesehatan lingkungan secara khusus.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian penyakit Filariasis

Filum nematoda termasuk salah satu filum yang besar, memiliki lebih dari 10.000 spesies, berukuran kecil, berbentuk selinder, seperti benang dengan tubuh yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat (roundworms) dan merupakan jenis yang sukses membuat kolonisasi dalam berbagai habitat.

Nematoda terdapat dimana-mana dalam jumlah yang sangat besar terutama di lautan, mengkolonisasi danau-danau, sungai, rawa, dan berbagai jenis tanah mulai dari antartika hingga daerah tropis. Nematoda merupakan parasit pada berbagai jenis organisme seperti gangang, jamur, hewan, dan tumbuhan.

Nematoda merupakan organisme penting karena banyak anggota-anggota yang bersifat parasit, antara lain Nippostrongylus sembeli (Heligmonellidae) pada tikus: Meloidogyne, Tylenchulus, dan Heterodera pada tanaman sayur-sayuran serta Ascaris, Trichina, dan filaria pada manusia (Walker, 1969, Hasegawa dan Tarore, 1995). Salah satu anggota nematoda yang merupakan parasit penting pada manusia adalah cacing filaria yang menyebabkan penyakit filariasis. (Sembel,2009)

Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematode atau oleh cacing Filaria limfatik yang ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,dan merusak jaringan pada manusia yang mengenai kelenjar/saluran getah bening, dengan gejala akut berupa demam berulang, disertai tanda-tanda peradangan kelenjar/saluran getah


(24)

bening serta pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening (andenolymphangitis) terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak, peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, scrotum, dan kelamin wanita. (Achmadi, 2001)

2.1.1 Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis 2.1.1.1 Agen (Penyebab Filariasis)

Penyebab Filariasis menurut Ditjen PPM&PL (2002) adalah parasit nematoda jaringan. Ada tiga jenis nematoda jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. 2.1.1.2 Wuchereria Bancrofti

Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan

filariasis bancrofti atau wuchereria bancrofti, penyakit ini tergolong ke dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis diseluruh dunia. Cacing dewasa jantan dan betina hidup disaluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm serta mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x 7-8 mikron dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat dialiran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. jadi


(25)

mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (Paru-paru, Jantung, Ginjal)

Di daerah Pasifik, mikrofilaria W.bancrofti mempunyai perioditas subperiodikdiurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. (Utama, 2008)

Daur hidup wuchereria bancrofti memerlukan waktu sangat panjang masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk kira-kira 2 minggu dan masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh manusia kira-kira 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan dalam Presbytis cristata (lutung). Di daerah perkotaan parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus, di pedesaan vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. (Utama, 2008)

2.1.1.3 Brugia malayi

Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup manusia dan hewan misalnya kucing, kera. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut dengan Filariasis malayi .Brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mmx 0,16 mm dan mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukuran mikrofilaria Brugia malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Perioditasi mikrofilaria Brugia malayi adalah periodik nokturna, sub periodik nokturna, atau nan periodik mikrofilaria


(26)

terdapat dalam darah tepi siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari.

Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan mengalami dua kali pergantian kulit berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini Brugia malayi yang hidup pada manusia di tularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada hewan di tularkan nyamuk Mansonia. (Utama,2008)

2.1.1.4 Brugia timori

Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang di sebabkan oleh Brugia timori di sebut Filariasis timori. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tengara Timur. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm, cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280-310 mikron x 7 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna.

Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan, Brugia timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirotis. (Utama, 2008)


(27)

2.1.2 Morfologi Cacing Filaria

Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 1. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. 2. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 µm x 8µm dan mempunyai sarung. Secara mikrokopis morfologi spesies mikrofilaria dapat di bedakan berdasarkan ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.


(28)

Tabel 2.1 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat Di Indonesia Dalam Sediaan Darah Pewarnaan Giemsa

No Karakteristik W.bancrofti B.malayi B.timori

1. Gambaran umum

dalam sediaan darah

Melengkung mulus

Melengkung kaku dan patah

Melengkung kaku dan patah

2. Perbandingan lebar dan panjang ruang kepala

1:1 1: 2 1:3

3. Warna sarung Tidak berwarna

Merah muda Tidak berwarna

4. Ukuran panjang

(µm)

240-300 175-230 265-325

5. Inti badan Halus. tersusun rapi

Kasar.

Berkelompok

Kasar, berkelompok 6. Jumlah inti di ujung

ekor

0 2 2

7. Gambaran ujung

ekor

Seperti pita ke arah ujung

Ujung agak tumpul

Ujung agak tumpul

Sumber : Nugroho, 1996

3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 µm x 15-30 µm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada


(29)

stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990)

2.1.2.1 Daur Hidup Nyamuk

Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk siklus berupa bentuk telur, larva, pupae, dan bentuk nyamuk dewasa. Dalam hal ini nyamuk dewasa yang hidup di dalam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya hidup dan berkembang di dalam air.

1. Culex a.Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk kelompok (raft). Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b.Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk culex biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air.


(30)

Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari.

c. Pupa

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009)

2. Anopheles a. Telur

Telur nyamuk Anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip dan mempunyai pelampung, meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu terpisah. biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b. Larva

Larva atau sering juga disebut jentik dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air pada Anopheles biasanya secara


(31)

horizontal atau sejajar dengan permukaan air yang berguna untuk mendapatkan oksigen dari udara. Larva biasanya akan berpupasi sesudah sekitar 7(tujuh) hari.

Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair.

c. Pupa atau jentik

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

Setelah melewati masa pertumbuhan dari pupa selanjutnya berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya nyamuk dewasa terbang mencari makan dan dalam keadaan istirahat Anopheles hinggap agak tegak lurus dengan permukaan. (Sembel, 2009)


(32)

3. Aedes a. Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk satu persatu. Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk Aedes biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari.

c. Pupa

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari


(33)

makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009)

2.1.2.2 Perilaku Nyamuk

Menurut Sembel (2009) perilaku nyamuk selalu memerlukan 3 tempat untuk kelangsungan hidupnya yaitu :

a. Perilaku Mencari Darah

Beberapa spesies nyamuk dalam perilaku mencari darah berbeda yaitu pada nyamuk Culex aktif pada waktu pagi, siang, dan pada waktu sore atau malam. Pada nyamuk Aedes dalam mencari darah aktif pada siang hari. Pada nyamuk Anopheles ini ada yang aktif terbang pada waktu pagi, siang, sore ataupun malam.

Dihubungkan dengan tempat ada spesies nyamuk yang aktifitas menggigit lebih cenderung di dalam rumah (Endophagic) namun ada pula yang cenderung menggigit di luar rumah saja (Exsophagic) yaitu biasanya terdapat pada nyamuk Anopheles

Berdasarkan pada macam darah yang di senangi dapat dibedakan antara nyamuk yang menggigit manusia saja (anthropopilik) dan ada pula yang hanya menggigit hewan (zoopilik) namun ada pula yang tidak mempunyai pilihan tertentu dalam mencari sumber darah.

Untuk mempertahankan hidupnya nyamuk betina memerlukan darah bagi proses pertumbuhan telurnya. Tiap beberapa hari secara periodik nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada masing-masing spesies dan sangat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu dan kelembaban.


(34)

b. Perilaku Istirahat

Istirahat bagi nyamuk memiliki arti istirahat yang sebenarnya menunggu proses pematangan telur dan istirahat sementara yaitu pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Pada waktu malam hari ada nyamuk yang masuk ke dalam rumah hanya untuk menghisap darah kemudian keluar, ada pula yang sebelum menggigit maupun yang sudah menggigit hinggap pada dinding rumah untuk istirahat.

c. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih peridukan atau tempat untuk berkembang biak dengan kebutuhannya. Ada spesies yang senang terkena matahari langsung dan ada pula yang memilih pada tempat yang teduh, ada yang senang di air payau, pada air yang jernih dan ada pula yang senang di air kotor. (Sembel, 2009) 2.1.2.3 Tempat Berkembang Biak Nyamuk

Diketahui bahwa tempat berkembang biak nyamuk adalah pada genangan – genangan air. Pemilihan tempat peletakan telur dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Pemilihan tempat yang disenangi sebagai tempat pembiakan dilakukan secara turun temurun oleh seleksi alam. Berdasarkan tempat tersebut maka dapat dibedakan berdasarkan jenis nyamuk yaitu:

a. Culex

Nyamuk-nyamuk ini biasanya meletakkan telur dan berbiak di selokan-selokan yang berisi air bersih ataupun selokan-selokan air pembuangan domestik yang kotor (air organik), serta di tempat-tempat pegenangan air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. (Sembel, 2009)


(35)

b. Aedes

Aedes biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, bambu pagar, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut. (Sembel, 2009)

c. Anopheles

Nyamuk Anopheles dapat berbiak dalam kolam-kolam air tawar yang bersih, air kotor, air payau, maupun air-air yang tergenang di pinggiran laut. (Sembel, 2009) 2.1.3 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:

1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

a. Manusia

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengedap baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis didalam tubuhnya.


(36)

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b.Hewan

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008)

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis 3. Manusia yang retan terhadap filariasis

Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia maka larva L3 akan keluar dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk, pada saat nyamuk menarik probosisnya larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah


(37)

tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan.

Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap resiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik penularan dapat terjadi siang dan malam hari. (Utama, 2008)


(38)

Skema Rantai Penularan Filariasis adalah sebagai berikut


(39)

2.1.4 Teori Simpul Filariasis

Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Sumber. Achmadi, 1991

Gambar 2.2 .Teori Simpul Patogenesis Penyakit Filariasis 2.1.5 Gejala Klinis Filariasis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada kronisnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.Barofti, B.malayi dan B.Timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi

Sehat Sakit Faktor Manusia

1.umur

2.jenis kelamin 3.imunitas Nyamuk Anopheles

Nyamuk Aedes Nyamuk Culex Penderita Filariasis

Hewan

Faktor Nyamuk 1.siklus gonotrofik 2.frekuensi

menggigit manusia Faktor Agent

1.Wucheria bancrofti 2.Brugia malayi 3.Brugia timori

Variabel lain yang berpengaruh

Suhu udara, kelembaban, tempat

perkembangbiakan nyamuk, kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu, pekerjaan.


(40)

oleh B.malayi, B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi, B,timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin.

2.1.5.1 Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi, B.timori dibandingkan karena infeksi W.bancrofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis tetapi sebaliknya pada infeksi W.bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). (Dinkes Sumut, 2010)

2.1.5.2 Gejala klinis Kronis

Gejala klinis kronis terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel a. Limfedema

Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal.

b. Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan


(41)

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar

c. Kiluria

Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang di sertai (haematuria)

2. Sukar kencing 3. Kelelahan tubuh 4. Kehilangan berat badan d. Hydrocele

Adalah pelebaran kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:

1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.

2. Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus

3. Kadang-kadang akumulasi cairan limfe di sertai dengan komplikasi yaitu komplikasi dengan Chyle (Chylocele), darah (Haematocele) atau nanah (Pyocele). Uji transiluminasi dapat di gunakan untuk


(42)

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih.

4. Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis W.bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi W,bancrofti. (DinKes Sumut, 2010).

2.1.6 Patogenesis Filariasis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum pekembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit.

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik :

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk kejaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan keretanan


(43)

kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack)

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack)

3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut :

a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri Yaitu :

1. Limfangitis : peradangan di saluran limfe 2. Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe

3. Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe 4. Abses (lanjutan ADL)

5. Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis

b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah. 4. Kerusakan sistem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

5. Pada penderita limfedema serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga


(44)

terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006)

2.1.7 Diagnosis Filariasis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan 1.Diagnosis Parasitologi

A. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.

B. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. (Utama, 2008)

2. Radiodiagnosis

A.Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan infeksi filaria oleh W.bancrofti.


(45)

B. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. (Utama, 2008)

3. Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.

Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.

Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria. (Utama, 2008)

2.1.8 Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalm melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.


(46)

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium lumfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan

penatalaksanaan kasus.

Tabel 2.2.Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis

Gejala Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 Bengkak dikaki menghila ng waktu bangun tidur pagi

Menetap Menetap Menetap menetap, meluas menetap, meluas menetap, meluas Lipatan kulit

tidak ada tidak ada Dangkal Dangkal dalam, kadang dangkal dangkal, dalam dangkal, dalam Nodul tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Ada Kadang

kadang Mossy

lesions*

tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada Ada kadang-kadang Hambata

n berat

Tidak Tidak Tidak Tidak tidak Tidak Ya


(47)

2.1.9 Penetapan Kabupaten/Kota Endemis

Dilakukan berdasarkan hasil survei cepat dan survei darah jari, dan ditetapkan oleh provinsi.

a. Survei Kasus Kronis Filariasis

Survei kasus kronis filariasis merupakan cara untuk menemukan kasus kronis, dan pada desa yang ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilakukan survei darah jari. Dan cara memperoleh data kasus kronis filariasis adalah laporan dari masyarakat, kartu status di Puskesmas dan Rumah Sakit, Penemuan kasus oleh tenaga kesehatan. Dan dalam pelaksanaan adalah sebagai berikut :

1.Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mendistribusikan Formulir data kasus kronis Filariasis Desa (Formulir-1), formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2) dan bahan promosi berupa gambar kasus kronis filariasis ke semua Puskesmas di seluruh wilayah kerjanya.

2.Puskesmas membuat surat edaran penemuan kasus kronis filariasis kepada para Kepala Desa/Lurah dan tokoh masyarakat /kader di seluruh wilayah kerja Puskesmas yang dilampiri formulir data kasus kronis filariasis Desa (Formulir-1) dan media promosi.

3.Puskesmas melakukan sosialisasi kasus kronis filariasis pada pertemuan-pertemuan di kecamatan dan Desa serta menyebarluaskan media promosi di tempat-tempat umum.

4.Semua data kasus kronis yang diperoleh dari Kepala Desa, Tokoh masyarakat atau penderita yang melapor langsung ke Puskesmas direkapitulasi oleh Puskesmas.


(48)

5.Dilakukan konformasi kasus kronis filariasis oleh petugas Puskesmas

6.Data selanjutnya dicatat dalam formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2).

7.Formulir data kasus kronis filariasis puskesmas yang telah diisi dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (DinKes Sumut, 2010)

Dari data kasus kronis yang diperoleh, dapat ditentukan Angka kesakitan Kronis (Chronic Disease Rate=CDR) di suatu desa dalam persen

���=�����ℎ���������������������������������

�����ℎ�������������������� � 100 %

b. Survei Darah Jari

Adalah indentifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas intensitas infeksinya. Yang dimulai pada jam 20.00 waktu setempat dengan menghitung kepadatan Rata-rata Mikrofilaria dan Menghitung Mikrofilaria rate

1.Kepadatan rata-rata mikrofilaria dari hasil survei darah jari disatu Desa adalah angka rata-rata mikrofilaria permili liter darah yang dihitung dengan menjumlahkan semua mikrofilaria yang ditemukan pada semua sedian dibagi dengan jumlah orang yang sediaannya positif, kemudian dikalikan faktor pengali.

2.Menghitung mikrofilaria rate bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan darahnya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.


(49)

Mf Rate =�����ℎ������� ����ℎ�������������������

�����ℎ�����������ℎ��������� � 100 %

Bila Mf.Rate > 1% di salah satu atau lebih lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal.

Bila Mf Rate < 1 % pada semua lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah. (DinKes Sumut, 2010)

2.1.10 Program Eliminasi Filariasis

Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah-tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah, Pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Good of Elimination of Limphatic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020). Menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat ElKaGa pada tahun 2020. (DinKes Sumut, 2010)

Eliminasi Filariasis bertujuan yaitu:

1. Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020

2. Menurunnya angka mikrofilaria (mikrofilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota


(50)

3. Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

Dalam program eliminasi filariasis ini terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan berupa Pengobatan massal yaitu pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut. Dan Tatalaksana kasus yaitu pengobatan dn perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. (DinKes Sumut, 2010)

2.1.11 Upaya Pencegahan dan Pengendalian

Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah (host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang diperoleh lebih optimal.

Upaya pencegahan dan pengeliminasi Fialariasis yang efektif antara lain: 1.Memutuskan rantai penularan filariasis melalui program pengobatan massal di daerah endemis filariasis.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. 3. Pengendalian vektor secara terpadu.

4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. 5. Memperkuat surveilans dan pengembangan penelitian.


(51)

2.1.12 Pengobatan Pada Filariasis

Pengobatan dilakukan yaitu dengan pemberian obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), albendazole dan paracetamol yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. DEC diberikan 6mg/KgBB sekali pemberian. Sebaik

nya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas.

Dosis obat ditentukan berdasarkan berat badan atau umur sesuai tabel dibawah ini

Tabel 2.3. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan Berat Badan

(Kg)

DEC (100mg) Tablet

Albendazole (400mg) Tablet

Paracetamol (500mg) Tablet

10-16 1 1 0,5

17-25 1,5 1 0,5

26-33 2 1 1

34-40 2,5 1 1

41-50 3 1 1

51-58 3,5 1 1

59-67 4 1 1

68-75 4,5 1 1

76-83 5 1 1

>84 5,5 1 1

2.2 Rumah Sehat

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung di gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga. Oleh karena itu keberadaan rumah yag sehat, aman, serasi, dan teratur sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik. (MenKes, 1989)


(52)

Rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. (Wicaksono, 2009)

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Selain itu rumah juga merupakan pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Rumah sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. (DepKes, 2002)

2.2.1 Syarat-syarat Rumah Sehat

Menurut Irianto (2007) yang mengutip pendapat wislow, bahwa syarat-syarat rumah sehat terdiri dari :

1. Memenuhi kebutuhan Fisiologi antara lain :

a.Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu).

b. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan

c.Terhindar dari kebisingan yang menggangu

d.Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar. 2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi :


(53)

b. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangan dan kebebesannya, tidak terganggu oleh anggota keluarga dalm rumah, tetangga.

c.Mempunyai ruang sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga. d.Cara mengatur rumah harus memenuhi rasa keindahan.

e.Memiliki Wc di kamar mandi dan adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

3. Mencegah Penularan Penyakit

a.Tersedianya air bersih yang memenuhi syarat

b.Pengolahan tinja dan limbah rumah tangga yang memenuhi syarat c.Bebas vektor penyakit dan tikus

d.Kepadatan hunian kamar yang tidak berlebihan. e.Cukup sinar matahari pagi

f. Makan dan minuman terlindung dari pencemaran g.Pencahayaan dan penghawaan yang cukup. 4. Mencegah Terjadinya Kecelakaan :

Syarat agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan meliputi :

a.Konstruksi rumah dan material yang digunakan harus cukup kuat (berkualitas baik)

b. Tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

2.2.2 Syarat-syarat Rumah Untuk Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

Menurut Irianto (2007) syarat-syarat rumah untuk memenuhi kebutuhan fisiologi dapat dilihat dari kondisi fisik rumah yaitu yang meliputi :


(54)

1. Suhu Ruangan

Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah sebaiknya tetap berkisar antara 18-20 C. Pada rumah-rumah modern suhu ruangan dapat diatur dengan air conditioning.

2. Harus Cukup Mendapat Penerangan

Rumah harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun malam hari. Pada pagi hari ruangan agar diusahakan mendapat sinar matahari.

3. Harus Cukup Mendapat Pertukaran Hawa (Ventilasi)

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen serta ventilasi juga berfungsi untuk menjaga agar kelembaban ruangan rumah selalu tetap dalam keadaan optimum.

4. Harus Cukup Mempunyai Isolasi Suara

Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara yang berasal dari luar maupun dari dalam.

2.2.3 Fungsi Rumah

Menurut Siregar (2006) yang mengutip pendapat Azwar, rumah memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari.

2. Sebagai tempat berkumpul keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.


(55)

3. Sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengancam

4. Sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan sampai sekarang

5. Sebagai tempat meletakkan atau menyimpan barang yang dimiliki 2.2.4 Jenis-jenis Rumah

Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri dari :

1. Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu, bambu.

2. Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen.

3. Rumah Permanen yaitu rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya filariasis 2.3.1 Faktor Lingkungan

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air lain yang ditumbuhi tanamanan air. Daerah endemis W.bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk Cx.quiquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W.baccrofti tipe pedesaan


(56)

(rural) secara umum kondisi lingkungan sama dengan daerah endemis B.malayi. (DepKes, 2007)

Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, Lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (DepKes, 2007)

a. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis, lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat peridukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes resevoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B,malayi sub periodik nokturna dan non periodik. (DepKes RI, 2006)

1. Suhu Udara

Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30 C. (DepKes, 2007)

2. Kelembaban Udara

Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan mengigit, istirahat, dan lain-lain nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada


(57)

kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. (DepKes, 2007)

3. Angin

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah satu faktor ikut menentukan jumlah kontak atara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya, bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km.

4. Hujan

Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan dan jenis vektor serta jenis tempat perkembangbiaknya (breeding place).

5. Sinar Matahari

Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk. Nyamuk An.aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembangbiak dalam air yang ada sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An.sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.hyrcanus dan


(58)

An.punctulatus spp lebih suka tempat yang terbuka, dan An.barbirostis dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang. (DepKes, 2007)

6. Arus Air

An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir

lambat, sedangkan An.minimis menyukai aliran iar yang deras dan An.letifer menyukai air tergenang, An.maculatus berkembangbiak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti yang dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpicutus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya. 7. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk

Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. (DepKes, 2007)

8. Keadaan Dinding

Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat kontak dengan insektisida tersebut. Dinding


(59)

rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk.

9. Pemasangan kawat kasa

Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia.

b. Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, gangang dan berbagai tumbuhan lainnya dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepal timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (DepKes RI, 2006)

Telur Mansonia ditemukan melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir, telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing, lalu larva dan pupanya melekat pada


(60)

akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet, sehingga dengan alat kait itu baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia dan kita tahu bersama kalau spesies inang Mansonia sp antara lain eceng gondok, kayambang. Akhirnya untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakit, caranya bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (DepKes RI, 2006)

c. Lingkungan Kimia

Dari lingkungan ini baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di sumatera utara An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH rendah. (Notoatmodjo, 1997)

d. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari


(61)

atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intesitas kontak dengan vektor (bila vektor menggigit pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden pada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.(Notoatmodjo, 1997)

1. Kebiasaan Keluar Rumah

Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002.). (Kadarusman, 2003)

2. Pemakaian Kelambu

Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunkan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadiaan filariasis (OR=8,09). (DepKes, 2003)

3. Obat Anti Nyamuk

Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan oleh masyarakat seperti berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan obat nyamuk semperot atau obat nyamuk bakar, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk atau dengan cara memberantas nyamuk. Menurut Asri (2006) diketahui bahwa kebiasaan tidak menggunakan obat nyamuk malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,004). (Asri, 2006)


(62)

4. Pekerjaan

Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat beresiko untuk terkena filariasis, Diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,003). (Asri, 2006)

5. Pendidikan

Tingakt pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filariasis tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehtan seseorang.

2.3.2 Faktor Manusia dan Nyamuk (Host) 2.3.2. Manusia

a. Manusia 1. Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3 atau L-3 ) ribuan kali. (DepKes RI, 2006)

2. Jenis Kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaan. (DepKes RI, 2006)


(63)

3. Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuh. (DepKes, 2006)

4. Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat. (DepKes, 2006)

b. Nyamuk

Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air, kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm, setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. (DepKes RI, 2007)


(64)

1. Siklus Gonotrofik

Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk

2. Frekuensi Menggigit manusia

Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (DepKes RI, 2007)

3. Faktor yang penting

Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umum nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor. (DepKes RI, 2007)


(1)

Chi-Square Te sts

1,026b 1 ,311

,456 1 ,500

1,033 1 ,310

,501 ,250

40 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Lik elihood Ratio Fis her's Ex act Test N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Ex act Sig. (2-sided)

Ex act Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x 2 table a.

0 c ells (,0% ) have expected count less t han 5. The minimum expected count is 6,50.

b.

Risk Estimate

,500 ,130 1,930

,722 ,396 1,319

1,444 ,672 3,107

40 Odds Ratio for

pencahayaan pada ruang utama rum ah (Masuk / Tidak mas uk )

For cohort kejadian

filarias is pada responden = Kasus

For cohort kejadian

filarias is pada responden = Kontrol

N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidence Interval


(2)

kelembaban pada ruang utama * kejadian filariasis pada responden Crosstabulation

8 14 22

36,4% 63,6% 100,0%

40,0% 70,0% 55,0%

20,0% 35,0% 55,0%

12 6 18

66,7% 33,3% 100,0%

60,0% 30,0% 45,0%

30,0% 15,0% 45,0%

20 20 40

50,0% 50,0% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

50,0% 50,0% 100,0%

Count

% within kelembaban pada ruang utama % within kejadian filariasis pada responden % of Total

Count

% within kelembaban pada ruang utama % within kejadian filariasis pada responden % of Total

Count

% within kelembaban pada ruang utama % within kejadian filariasis pada responden % of Total

Memenuhi syarat

Tidak memenuhi syarat kelembaban pada ruang utama Total Kasus Kontrol kejadian filariasis pada responden Total

Chi-Square Te sts

3,636b 1 ,057

2,525 1 ,112

3,696 1 ,055

,111 ,055

40 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Lik elihood Ratio Fis her's Ex act Test N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Ex act Sig. (2-sided)

Ex act Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x 2 table a.

0 c ells (,0% ) have expected count less t han 5. The minimum expected count is 9,00.

b.


(3)

Ri sk Estim ate

,286 ,077 1,058

,545 ,287 1,037

1,909 ,924 3,944

40 Odds Ratio for

kelembaban pada ruang utama (Memenuhi s yarat / Tidak mem enuhi s yarat )

For cohort kejadian filarias is pada

res ponden = Kasus For cohort kejadian filarias is pada

res ponden = Kontrol N of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Confidenc e Int erval


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Determinan Daya Saing Ekonomi Kabupaten Batu Bara

1 59 70

Evaluasi Lahan Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Untuk Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica)

2 72 89

Hubungan Karakteristik Penderita dan Sanitasi Rumah serta Lingkungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie

3 97 128

Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan Dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012

1 56 140

Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Penyakit Filariasis di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005

0 35 181

Analisis Pekerjaan Alternatif Nelayan Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara (Studi Kasus: Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara)

0 39 74

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN DENGAN KEJADIAN DBD DI KENAGARIAN SALIDO KECAMATAN IV JURAI KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2013.

0 0 9

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KAMPUNG RAKYAT KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN TAHUN 2012

0 0 14

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “PENGARUH EKUITAS MEREK TERHADAP MINAT BELI

0 0 16

KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Kualitas Layanan, Nilai Pelanggan dan Kepuasan Pelanggan

0 0 20