27 Habitat larva A. sundaicus dijumpai pada berbagai variasi badan air. Dalam
penelitiannya, Tjokroprawiro 1983 menemukan larva A. sundaicus pada parit-parit yang dimaksudkan untuk mengalirkan kelebihan air pada perkebunan kelapa di
Kepenghuluan Berakit Pulau Bintan. Budasih 1993 menemukan larva A. sundaicus pada sungai Legundi dan Larem di Lombok Timur. Sembiring 2005 menemukan
larva A. sundaicus pada sungai Piyai di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara. Situmeang 1991 menemukan larva A. sundaicus pada kolam bekas tambak
udang di desa Sukaresik Pangandaran Jawa Barat, sedangkan Mardiana et al. 2002 menemukan larva A. sundaicus pada laguna di Watulimo Trenggalek, Jawa
Timur. Habitat yang lebih bervariasi di beberapa daerah di Indonesia dijumpai
sebagai mana dalam penelitian Shinta et al. 2003 yang menemukan larva A. sundaicus pada laguna, kobakan dan mata air Di Wongsorejo Banyuwangi, Jawa
Timur. Dachlan et al. 2005 menemukan larva A. sundaicus pada laguna, sungai dan tambak ikan di Sekotong, Lombok Barat, Sukowati 2009 menemukan larva A.
sundaicus pada tambak ikan dan laguna di Purworejo, Jawa Tengah, Safitri 2009 menemukan larva A. sundaicus pada tambak terbengkalai, sumur, kobakan, laguna
dan rawa di Padang Cermin Padang Lampung Selatan. Variasi habitat tersebut mengindikasikan adanya kemampuan beradaptasi larva A. sundaicus yang secara
umum dapat ditemukan pada habitat berupa laguna dan rawa.
4.3.2 Suhu, Salinitas dan pH air
Kualitas perairan pada habitat memiliki kisaran suhu 24,80-28,10
o
C, salinitas 0,00-2,00
o oo
dan pH 7,00-8,00 memberikan kondisi lingkungan yang mendukung bagi perkembangbiakan larva A. sundaicus pada muara sungai dan laguna yang ada
di desa Senggigi Tabel 4.
28 Tabel 4 Rerata dan Kisaran Parameter Kualitas Perairan pada Habitat di Desa
Senggigi
Parameter Rerata
Kisaran Muara sungaiSenggigi
Laguna Kerandangan
Muara sungai Mangsit
Suhu
o
C 26,33
24,80-28,10 26,38
24,87-27,73 26,42
25,20-28,10 Salinitas
o oo
0,33 0,00-1,00
0,80 0,00-1,93
0,57 0,00-2,00
pH 7,47
7,00-7,50 7,53
7,50-8,00 7,53
7,40-8,00 Kepadatan jentik
ekorcidukan 0,560
0,00-1,42 1,068
0,18-1,83 0,626
0,12-1,58
Gambar 13 Pengukuran suhu Gambar 14 Pengukuran salinitas
Pengukuran suhu air yang didapatkan pada ketiga habitat seiring dengan hasil penelitian Sukowati 2009 yang mendapatkan larva A. sundaicus dapat hidup
dengan baik pada habitat dengan suhu 25,6-27,8
o
C. Larva A. sundaicus juga mampu hidup pada suhu lebih tinggi. Tjokroprawiro 1983 mendapatkan larva A.
sundaicus dapat hidup
pada suhu 27,3-32,7
o
C, sedangkan Safitri 2009
29 mendapatkan pada suhu 30-40
o
C. Hoedojo 1993 menyatakan bahwa suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk secara umum berkisar antara 20-28
o
C. Sedangkan menurut Depkes RI 2007b suhu optimum untuk tempat perindukan
nyamuk secara umum berkisar antara 25-27
o
C. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan larva nyamuk Bates
1970. Telur A. quadrimaculatus akan menetas secara optimal pada suhu 33,3
o
C, pertumbuhan instar pertama akan optimal pada suhu 32,5
o
C, sedangkan pertumbuhan instar keempat akan optimal pada suhu 30
o
C dan menyelesaikan stadium pupa secara optimal pada suhu 30,5
o
C. Pertumbuhan optimal stadium larva sampai dengan pupa secara umum pada suhu 31
o
C Huffaker 1944 dan Clements 1963.
Salinitas air pada ketiga habitat seiring dengan hasil penelitian Dusfour et al. 2004 yang menyatakan bahwa salinitas optimum habitat larva A. sundaicus di
pulau Lombok mempunyai rentang 0-2
o oo
. Habitat dengan rentang kadar salinitas 1,2-1,8
o oo
lebih disukai oleh larva A. sundaicus di Indonesia, meskipun terkadang ditemukan pula larva A. sundaicus pada kadar salinitas dibawah atau diatas rentang
tersebut Bonne-Wepster dan Swellengrebel 1953. Salinitas pada ketiga habitat di desa Senggigi relatif lebih rendah dari beberapa hasil penelitian terdahulu.
Tjokroprawiro 1983 mendapatkan larva A. sundaicus mampu hidup pada air dengan kisaran salinitas 1,32-33
o oo
, Budasih 1993 mendapatkan kisaran salinitas 1-9
o oo
, Mardiana et al. 2002 mendapatkan kisaran salinitas 9
o oo
, Shinta et al. 2003 mendapatkan kisaran salinitas 1-15
o oo
, Sukowati 2004 mendapatkan kisaran salinitas 3-3,4
o oo
dan Safitri mendapatkan kisaran salinitas 0-16‰. Salinitas rendah pada ketiga habitat di desa Senggigi karena pada bulan Maret sampai Juli
merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau yang dapat diasumsikan bahwa air hujan sebagai sumber air tawar lebih berpengaruh pada
salinitas perairan tersebut. Salinitas berpengaruh terhadap mekanisme pengaturan tekanan osmosis
dan ionik pada hemolim dan jaringan kulit Clements 1963. Pertukaran garam pada tubuh larva nyamuk dengan lingkungan habitat terjadi melalui saluran pencernaan
dan permukaan tubuh yang dapat ditembus garam serta air. Tubulus malpighi berperan sebagai pengontrol mekanisme ekskresi garam dalam tubuh larva nyamuk
Bates 1970.
30 pH air pada ketiga habitat ideal bagi pertumbuhan larva A.sundaicus. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Effendi 2003 yang menyatakan bahwa sebagian besar biota aquatik menyukai rentang pH 7-8,5. Tjokroprawiro 1983 mendapatkan
larva A. sundaicus mampu hidup pada air dengan kisaran pH 5,5-7,0, Sukowati 2004 mendapatkan kisaran pH 7,2-7,6, Sembiring 2005 mendapat kisaran pH 7-
7,8 dan Safitri 2009 mendapatkan kisaran pH 6,4-8,5. Bila pH air terlalu tinggi atau terlalu rendah maka metabolisme larva nyamuk
akan terganggu. Tubulus malphigi larva nyamuk memiliki kisaran pH 6,8-7,2 dan usus bagian belakang memiliki kisaran pH 6,6-7,2. Kondisi pH tersebut harus
dipertahankan oleh tubuh larva nyamuk agar enzim pencernaan dapat bekerja secara optimal Clements 1963.
Faktor kimia yang berpengaruh bagi pertumbuhan larva Anopheles spp antara lain pH, salinitas dan endapan lumpur Rao 1981, demikian juga Lee et al.
1987 yang menyatakan bahwa pH dan salinitas sebagai faktor yang berpengaruh. Suhu, pH dan garam mineral terlarut mempengaruhi proses pigmentasi larva
nyamuk Clements 1963.
4.3.3 Keberadaan Plankton, Ganggang dan Sampah