4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Larva Nyamuk yang Ditemukan pada Penelitian Pendahuluan
Larva nyamuk yang tertangkap saat penelitian pendahuluan diidentifikasi berjenis A. sundaicus, A. subpictus dan Culex spp. Total larva nyamuk yang
didapatkan dari tiga ulangan pencidukan pada satu titik pengambilan sampel dapat diperinci sebanyak 3 ekor pada muara sungai Senggigi, 5 ekor pada laguna
Kerandangan dan 8 ekor pada muara sungai Mangsit. Hanya ditemukan dua jenis larva Anopheles yang secara teori telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria di
Indonesia. Larva A. sundaicus ditemukan pada ketiga habitat di desa Senggigi, sedangkan A. subpictus hanya ditemukan di laguna Kerandangan Tabel 2.
Selanjutnya ketiga lokasi tersebut ditetapkan sebagai habitat potensial larva A. sundaicus dan dilakukan pengamatan lebih mendalam tentang karakteristiknya.
4.2 Keberadaan dan Sebaran Habitat Larva A. sundaicus
Di desa Senggigi ditemukan badan air sebagai habitat larva nyamuk berupa muara sungai dan laguna. Secara rinci dapat dijelaskan bahwa muara sungai
Senggigi berada di dusun Senggigi dengan titik koordinat x= 394080.061, y= 9062956.404. Laguna Kerandangan berada di dusun Kerandangan dengan titik
koordinat x= 394143.187, y= 9061381.079 dan muara sungai Mangsit berada di dusun Mangsit dengan titik koordinat x= 394895.575, y= 9060642.047 Gambar 5.
Pemetaan habitat potensial larva A. sundaicus mempunyai arti yang cukup penting dalam upaya pengendalian vektor malaria. Melalui pemetaan tersebut
Tabel 2 Jenis Larva Nyamuk pada Lokasi Pengamatan di Desa Senggigi
Jenis Larva Nyamuk
Muara Sungai Senggigi
Laguna Kerandangan
Muara Sungai Mangsit
Jumlah Larva Nyamuk ekor
Jumlah Larva Nyamuk ekor
Jumlah Larva Nyamuk ekor
A. Sundaicus 3
100 4
80 2
25 A. Subpictus
1 20
Culex spp 6
75
Total
3 100
5 100
8 100
21 diperoleh ketepatan lokasi habitat larva A. sundaicus sehinga akan lebih
memudahkan petugas terkait saat melakukan tindakan pengendalian vektor dan monitoring.
4.3 Karakteristik Habitat
Muara sungai Senggigi Gambar 6 mendapat aliran air yang berasal dari mata air di perbukitan Batulayar dan air hujan. Keberadaan mata air di perbukitan
Batulayar dan air hujan menjadikan debit air sungai relatif stabil dengan luas ± 210 m
2
dan kedalaman berkisar antara 30-50 cm. Pada saat laut terjadi pasang naik, maka air laut akan masuk ke sungai melalui pintu muara Gambar 7 sehingga
terjadi pencampuran antara air sungai yang bersifat tawar dengan air laut yang bersifat asin. Proses tersebut berdampak merubah sifat air sungai menjadi air
payau. Situsi muara sungai Senggigi relatif terbuka bagi masuknya sinar matahari secara langsung. Bantaran muara sungai berupa pasangan semen dan batu kali
yang permanen, dasar muara sungai berupa lumpur berpasir serta sedikit batu kerikil.
Laguna Kerandangan Gambar 8 mendapatkan aliran air dari mata air di perbukitan Batulayar, air laut dan air hujan. Saat laut terjadi pasang naik maka air
laut dapat masuk ke laguna melalui pintu laguna Gambar 9. Laguna Kerandangan mempunyai luas ± 1.000 m
2
dan kedalaman berkisar antara 40-70 m. Situasi laguna relatif terbuka bagi masuknya sinar matahari secara langsung. Bantaran laguna
berupa tanah yang terbentuk secara alamiah, dasar laguna berupa lumpur berpasir. Muara sungai Mangsit Gambar 10 mendapatkan aliran air yang berasal dari
mata air di perbukitan Batulayar, air hujan dan limpahan limbah domestik. Debit air pada muara sungai Mangsit lebih kecil dibandingkan dengan debit air pada muara
sungai Senggigi. Pada saat laut terjadi pasang naik, maka air laut akan masuk ke sungai melalui pintu muara Gambar 11 sehingga terjadi percampuran antara air
sungai yang bersifat tawar dengan air laut yang bersifat asin dan berdampak merubah sifat air sungai menjadi air payau. Situsi muara sungai Mangsit relatif
terbuka bagi masuknya sinar matahari secara langsung dengan luas ± 80 m
2
dan kedalaman 10-30 cm. Bantaran muara sungai sebagian berupa tanah yang
terbentuk secara alamiah serta pasangan semen dan batu kali yang permanen, dasar muara sungai berupa lumpur berpasir serta sedikit batu kerikil.
Gambar 5 Keberadaan dan Sebaran Habitat A. sundaicus di Desa Senggigi
Y X
394080.061 394143.187
394895.575
Ket
Muara Sungai Mangsit Lagun Kerandangan
Muara Sungai Senggigi
Id
1 2
3 9062956.404
9061381.079 9060642.047
1
2
3
393400
393400 394100
394100 394800
394800 395500
395500 9
6 8
9 6
8 9
6 1
5 9
6 1
5 9
6 2
2 9
6 2
2 9
6 2
9 9
6 2
9
PETA HABITAT LARVA
DI DESA SENGGIGI KAB. LOMBOK BARAT
A. sundaicus
4
0.2 0.2
0.4 Km
PETA LOKASI
Lokasi Studi
23
Gambar 6 Muara sungai Senggigi
Gambar 7 Pintu Muara Sungai Senggigi
24
Gambar 8 Laguna Kerandangan
Gambar 9 Pintu Laguna Kerandangan
25
Gambar 10 Muara sungai Mangsit
Gambar 11 Pintu Muara sungai Mangsit
26
4.3.1 Kepadatan Larva A. sundaicus
Rerata kepadatan larva A. sundaicus per bulan selama penelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil penangkapan terbanyak diperoleh pada bulan Juni pada muara
sungai Senggigi 1,29 ekorcidukan dan laguna Kerandangan 1,32 ekorcidukan, sedangkan pada muara sungai Mangsit penangkapan terbanyak diperoleh pada
bulan Mei 0,90 ekorcidukan. Tabel 3
Rerata Kepadatan Larva A. sundaicus per Bulan pada Habitat di Desa Senggigi
Bulan Rerata Kepadatan A. sundaicus ekorcidukan
Muara sungai Senggigi
Laguna Kerandangan Muara sungai
Mangsit
Maret 0,04
0,70 0,82
April 0,10
1,14 0,65
Mei 0,69
1,19 0,90
Juni 1,29
1,32 0,39
Juli 0,68
0,99 0,37
Rerata 0,560
1,068 0,626
Gambar 12 Pencidukan larva A. sundaicus
27 Habitat larva A. sundaicus dijumpai pada berbagai variasi badan air. Dalam
penelitiannya, Tjokroprawiro 1983 menemukan larva A. sundaicus pada parit-parit yang dimaksudkan untuk mengalirkan kelebihan air pada perkebunan kelapa di
Kepenghuluan Berakit Pulau Bintan. Budasih 1993 menemukan larva A. sundaicus pada sungai Legundi dan Larem di Lombok Timur. Sembiring 2005 menemukan
larva A. sundaicus pada sungai Piyai di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara. Situmeang 1991 menemukan larva A. sundaicus pada kolam bekas tambak
udang di desa Sukaresik Pangandaran Jawa Barat, sedangkan Mardiana et al. 2002 menemukan larva A. sundaicus pada laguna di Watulimo Trenggalek, Jawa
Timur. Habitat yang lebih bervariasi di beberapa daerah di Indonesia dijumpai
sebagai mana dalam penelitian Shinta et al. 2003 yang menemukan larva A. sundaicus pada laguna, kobakan dan mata air Di Wongsorejo Banyuwangi, Jawa
Timur. Dachlan et al. 2005 menemukan larva A. sundaicus pada laguna, sungai dan tambak ikan di Sekotong, Lombok Barat, Sukowati 2009 menemukan larva A.
sundaicus pada tambak ikan dan laguna di Purworejo, Jawa Tengah, Safitri 2009 menemukan larva A. sundaicus pada tambak terbengkalai, sumur, kobakan, laguna
dan rawa di Padang Cermin Padang Lampung Selatan. Variasi habitat tersebut mengindikasikan adanya kemampuan beradaptasi larva A. sundaicus yang secara
umum dapat ditemukan pada habitat berupa laguna dan rawa.
4.3.2 Suhu, Salinitas dan pH air
Kualitas perairan pada habitat memiliki kisaran suhu 24,80-28,10
o
C, salinitas 0,00-2,00
o oo
dan pH 7,00-8,00 memberikan kondisi lingkungan yang mendukung bagi perkembangbiakan larva A. sundaicus pada muara sungai dan laguna yang ada
di desa Senggigi Tabel 4.
28 Tabel 4 Rerata dan Kisaran Parameter Kualitas Perairan pada Habitat di Desa
Senggigi
Parameter Rerata
Kisaran Muara sungaiSenggigi
Laguna Kerandangan
Muara sungai Mangsit
Suhu
o
C 26,33
24,80-28,10 26,38
24,87-27,73 26,42
25,20-28,10 Salinitas
o oo
0,33 0,00-1,00
0,80 0,00-1,93
0,57 0,00-2,00
pH 7,47
7,00-7,50 7,53
7,50-8,00 7,53
7,40-8,00 Kepadatan jentik
ekorcidukan 0,560
0,00-1,42 1,068
0,18-1,83 0,626
0,12-1,58
Gambar 13 Pengukuran suhu Gambar 14 Pengukuran salinitas
Pengukuran suhu air yang didapatkan pada ketiga habitat seiring dengan hasil penelitian Sukowati 2009 yang mendapatkan larva A. sundaicus dapat hidup
dengan baik pada habitat dengan suhu 25,6-27,8
o
C. Larva A. sundaicus juga mampu hidup pada suhu lebih tinggi. Tjokroprawiro 1983 mendapatkan larva A.
sundaicus dapat hidup
pada suhu 27,3-32,7
o
C, sedangkan Safitri 2009
29 mendapatkan pada suhu 30-40
o
C. Hoedojo 1993 menyatakan bahwa suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk secara umum berkisar antara 20-28
o
C. Sedangkan menurut Depkes RI 2007b suhu optimum untuk tempat perindukan
nyamuk secara umum berkisar antara 25-27
o
C. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan larva nyamuk Bates
1970. Telur A. quadrimaculatus akan menetas secara optimal pada suhu 33,3
o
C, pertumbuhan instar pertama akan optimal pada suhu 32,5
o
C, sedangkan pertumbuhan instar keempat akan optimal pada suhu 30
o
C dan menyelesaikan stadium pupa secara optimal pada suhu 30,5
o
C. Pertumbuhan optimal stadium larva sampai dengan pupa secara umum pada suhu 31
o
C Huffaker 1944 dan Clements 1963.
Salinitas air pada ketiga habitat seiring dengan hasil penelitian Dusfour et al. 2004 yang menyatakan bahwa salinitas optimum habitat larva A. sundaicus di
pulau Lombok mempunyai rentang 0-2
o oo
. Habitat dengan rentang kadar salinitas 1,2-1,8
o oo
lebih disukai oleh larva A. sundaicus di Indonesia, meskipun terkadang ditemukan pula larva A. sundaicus pada kadar salinitas dibawah atau diatas rentang
tersebut Bonne-Wepster dan Swellengrebel 1953. Salinitas pada ketiga habitat di desa Senggigi relatif lebih rendah dari beberapa hasil penelitian terdahulu.
Tjokroprawiro 1983 mendapatkan larva A. sundaicus mampu hidup pada air dengan kisaran salinitas 1,32-33
o oo
, Budasih 1993 mendapatkan kisaran salinitas 1-9
o oo
, Mardiana et al. 2002 mendapatkan kisaran salinitas 9
o oo
, Shinta et al. 2003 mendapatkan kisaran salinitas 1-15
o oo
, Sukowati 2004 mendapatkan kisaran salinitas 3-3,4
o oo
dan Safitri mendapatkan kisaran salinitas 0-16‰. Salinitas rendah pada ketiga habitat di desa Senggigi karena pada bulan Maret sampai Juli
merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau yang dapat diasumsikan bahwa air hujan sebagai sumber air tawar lebih berpengaruh pada
salinitas perairan tersebut. Salinitas berpengaruh terhadap mekanisme pengaturan tekanan osmosis
dan ionik pada hemolim dan jaringan kulit Clements 1963. Pertukaran garam pada tubuh larva nyamuk dengan lingkungan habitat terjadi melalui saluran pencernaan
dan permukaan tubuh yang dapat ditembus garam serta air. Tubulus malpighi berperan sebagai pengontrol mekanisme ekskresi garam dalam tubuh larva nyamuk
Bates 1970.
30 pH air pada ketiga habitat ideal bagi pertumbuhan larva A.sundaicus. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Effendi 2003 yang menyatakan bahwa sebagian besar biota aquatik menyukai rentang pH 7-8,5. Tjokroprawiro 1983 mendapatkan
larva A. sundaicus mampu hidup pada air dengan kisaran pH 5,5-7,0, Sukowati 2004 mendapatkan kisaran pH 7,2-7,6, Sembiring 2005 mendapat kisaran pH 7-
7,8 dan Safitri 2009 mendapatkan kisaran pH 6,4-8,5. Bila pH air terlalu tinggi atau terlalu rendah maka metabolisme larva nyamuk
akan terganggu. Tubulus malphigi larva nyamuk memiliki kisaran pH 6,8-7,2 dan usus bagian belakang memiliki kisaran pH 6,6-7,2. Kondisi pH tersebut harus
dipertahankan oleh tubuh larva nyamuk agar enzim pencernaan dapat bekerja secara optimal Clements 1963.
Faktor kimia yang berpengaruh bagi pertumbuhan larva Anopheles spp antara lain pH, salinitas dan endapan lumpur Rao 1981, demikian juga Lee et al.
1987 yang menyatakan bahwa pH dan salinitas sebagai faktor yang berpengaruh. Suhu, pH dan garam mineral terlarut mempengaruhi proses pigmentasi larva
nyamuk Clements 1963.
4.3.3 Keberadaan Plankton, Ganggang dan Sampah
Kelimpahan berbagai macam plankton pada ketiga habitat tersaji dalam Tabel 5 dan Tabel 6. Pada muara sungai Senggigi didapatkan sebanyak 9 macam
keragaman pythoplankton, laguna Kerandangan sebanyak 14 macam dan muara sungai Mangsit sebanyak 5 macam. Zooplankton pada muara sungai Sengigi
didapatkan sebanyak 7 macam, laguna Kerandangan sebanyak 12 macam dan muara sungai Mangsit tidak ditemukan sama sekali. Zooplankton pada muara
sungai Mangsit tidak ditemukan, diduga karena adanya air limbah domestik yang masuk ke badan air tersebut sehingga berdampak terjadinya pencemaran dan
berefek matinya zooplankton. Makanan larva nyamuk adalah berbagai mikroplankton yang berada pada
habitatnya berupa alga, rotifera, protozoa, bakteri dan spora jamur Clements 1963 serta detritus hasil penguraian sampah organik Bates 1970. Keberadaan ganggang
dan tumbuhan air yang membusuk membantu perkembangan larva nyamuk Rao 1981.
31 Tabel 5 Pythoplankton pada Habitat di Desa Senggigi
No Jenis Pythoplankton
Muara sungai Senggigi Laguna Kerandangan
Muara sungai Mangsit
1 Chaetoseros lorenzianus
Coscinodiscus sp Bakterium sp
2 Chaetoseros teres
Dismidium beileyi Chaetoseros lorenzianus
3 Coscinodiscus sp
Leptocylindrus sp Chaetoseros teres
4 Navicula sp
Navicula sp Coscinodiscus sp
5 Pratodon plovus
Melosira sp Leptocylindrus sp
6 Rhezosolenia pragilema
Nitzchia sigma 7
Spirogyra sp Oscillatoria limosa
8 Thalasiothrix sp
Pleurosigma affine 9
Triceratium sp Pelogotrix clevei
10 Rhezosolenia pragilema
11 Spirogyra sp
12 Tabellaria forestata
13 Thalissiosira hyaline
14 Triceratium sp
Tabel 6 Zooplankton pada Habitat di Desa Senggigi
No Jenis Zooplankton
Muara sungai Senggigi Laguna Kerandangan
Muara sungai Mangsit
1 Brachionus sp
Acertia clause -
2 Calanus sp
Acertia neupleus 3
Hilicostamella longa Alana qullafa
4 Penilia avirostris
Brachionus sp 5
Platyas pelatus Calanus sp
6 Sagitella kowalewakii
Calonus sinicus 7
Tintinopsis sp Euchlanis triqueta
8 Groptoleberis testudinaria
9 Hyperia shezogenesios
10 Keratella cochlearis
11 Sagitella kowalewakii
12 Testudinella patina
32
Gambar 15 Pengambilan Sampel Plankton
Penyebaran larva nyamuk di habitatnya tidak merata di permukaan air, larva nyamuk berkumpul pada tempat yang tertutup tanaman air yang mengapung seperti
ganggang, sampah yang terapung dan pinggiran habitat yang berumput. Hasil observasi pada ketiga habitat dijumpai adanya ganggang Enteromorpha spp serta
sampah yang mengapung berupa plastik, daun dan ranting. Tumbuhan air dan sampah yang terapung dapat berfungsi sebagai tempat
menambatkan diri bagi larva nyamuk yang beristirahat dan berlindung dari arus air serta serangan predator. Tumbuhan air yang dapat diasosiasikan dengan
keberadaan larva A. sundaicus adalah lumut suteraganggang dari golongan Enteromorpha spp Bates 1970.
Keberadaan Plankton sebagai mikroflora dan mikrofauna berfungsi sebagai bahan makanan larva nyamuk. Keberadaan plankton Tabel 5 dan 6, Enteromorpha
spp dan sampah pada muara sungai dan laguna di desa Senggigi menjadikan daya dukung bagi pertumbuhan larva A. sundaicus.
33
Sumber: http:www.msc.ucla.eduoceanglobespecimenphotogra
phsPlantsChlorophytaEnteromorpha
Gambar 16 Enteromorpha spp
4.4 Keterkaitan Kepadatan Larva A. sundaicus dengan Indeks Curah Hujan
Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa indeks curah hujan mempengaruhi kepadatan larva A. sundaicus, garis yang terbentuk dari indeks curah hujan dan
rerata kepadatan jentik mempunyai pola fluktuasi yang berlawanan Gambar 17. Curah hujan berpengaruh terhadap jumlah habitat perkembangbiakan nyamuk dan
secara langsung akan mempengaruhi kepadatan larva nyamuk Sukowati 2004. Curah hujan yang tinggi menyebabkan jentik hanyut dan mati Depkes RI 2007b.
Akan tetapi uji statistik korelasi tidak menunjukkan adanya hubungan kepadatan jentik dengan indeks curah hujan p0,05.
34
Gambar 17. Keterkaitan Kepadatan A. sundaicus dengan Indeks Curah hujan di Desa Senggigi
4.5 Keterkaitan Kepadatan Larva A. sundaicus dengan Kasus Malaria